Fahmina
Yayasan Fahmina | |
---|---|
Gambaran Umum | |
Didirikan | November 1999 |
Struktur | |
Majlis Pembina |
|
Dewan Pengawas |
|
Badan Pengurus |
|
Badan Pelaksana |
|
Kantor pusat | |
Jl. Swasembada 15 Majasem Karya Mulya Kota Cirebon Jawa Barat 45131 Telp. 0231-8301548 | |
Situs web | |
https://fahmina.or.id | |
Profil
Berbeda dengan organisasi lain yang menjadi fokus penelitian ini, Fahmina-institute (selanjutnya disebut fahmina saja) adalah lembaga swadaya masyarakat (LSM), bbukan organisasi masyarakat (Ormas) yang memiliki basis massa yang jelas, dan juga bukan organisasi politik (Orpol) yang berorientasi pada perebutan kekuasaan politik. Sebagai LSM, Fahmina organisasi nirlaba, non-profit oriented, dan non-pemerintah. Fahmina memilih bergerak pada wilayah kajian agama, sosial dan penguatan masyarakat sipil (civil society). Sebagai organisasi civil society, Fahmina terbuka bekerjasama dengan masyarakat lintas etnis, ras, agama dan gender. Ikatan Fahmina adalah sistem nilai dan ideologi perjuangan yang dianut, bukan kesamaan etnik, ras, agama, atau gender.
Sejarah kehadiran Fahmina berawal dari pergumulan intelektual kawula muda dari kalangan pesantren di Cirebon, yang memunculkan kesadaran berbagai pihak untuk mengembangkan tradisi intelektual dan etos sosial pesantren dalam merespon perkembangan kontemporer dan perubahan sosial yang tiada henti. Berangkat dari semangat pergumulan itu dan sesuai dengan kebutuhan gerakan, pada bulan November tahun 2000 empat aktivis pesantren, yakni Husein Muhammad[1], Affandi Mochtar[2], Marzuki Wahid[3], dan Faqihuddin Abdul Kodir[4] mendirikan Fahmina[5]. Kemudian pada bulan Februari 2001, Fahmina mulai diluncurkan ke publik.
Sejak peluncurannya, orientasi kerja Fahmina fokus pada kajian kritis sosial keagamaan dan pendampingan masyarakat marjinal (mustadl’afin) dalam perspektif kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan. Orientasi perjuangannya tampak dari program-program yang telah dilaksanakan, yakni menciptakan struktur sosial yang setara dan adil, di mana setiap orang – baik laki-laki maupun perempuan, baik muslim maupun non-muslim, latar etnik maupun – bisa berdaya dan memiliki kesempatan yang sama untuk bisa menjadi kuat, baik secara politik, sosial, maupun budaya.
Oleh karena itu, dalam dokumen terakhir, rumusan visi Fahmina adalah “terwujudnya tatanan-sosial dan masyarakat yang kritis, terbuka, bermartabat, dan berkeadilan berbasis Islam-Pesantren.” Sedangkan misinya untuk mewujudkan visi tersebut adalah: (1) Mengembangkan gerakan keagamaan kritis berbasis tradisi keislaman pesantren untuk perubahan sosial; (2) Mempromosikan tatanan kehidupan masyarakat yang berkeadilan dan bermartabat dengan mengacu pada kearifan lokal; (3) Menguatkan kelompok-kelompok masyarakat untuk mempengaruhi kebijakan publik yang menjamin terpenuhinya kemaslahatan rakyat; dan (4) Mengembangkan upaya-upaya masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kehidupannya.
Saat ini Fahmina memiliki 6 devisi program yang terwadahi dalam departemen, yaitu: (1) Departemen Islam dan Gender; (2) Departemen Islam dan Demokrasi; (3) Departemen Penguatan Otonomi Komunitas; (4) Departemen Pendidikan; Departemen Data Informasi dan Media (5); Departemen Keuangan dan Administrasi; dan (6) Departemen Kawasan dan Kerumahtanggaan.
Dalam mengembangkan program-program setiap departemennya, Fahmina selalu; [1] mengacu pada visi dan misi, yaitu pengembangan dan penyebarluasan wacana keagamaan kritis yang mengarah pada perubahan sosial yang berkeadilan (al-‘adalah) dan demokratis, dan memfasilitasi keberdayaan dan melakukan pembelaan terhadap masyarakat yang tertindas melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya; [2] mendasarkan pada rekomendasi hasil penelitian pendahuluan (preliminary research); [3] berorientasi pada transformasi sosial melalui pengguliran isu-isu strategis dari kenyataan sosial yang digeluti oleh masyarakat; [4] mendasarkan pada argumen-argumen teologis dalam khazanah intelektual dan peraadaban keislaman, baik klasik maupun kontemporer; [5] memprioritaskan pada penguatan tiga ranah, yaitu: pertama, sosial-intelektual, program diarahkan pada prduksi wacana keagamaan kritis dan penguatan teologi pembebasan sebagai basis gerakan sosial; kedua, sosial-budaya, program diarahkan pada pengembangan kultur masyarakat yang berorientasi pada perubahan sosial untuk keadilan sosial; dan ketiga, sosial-politik, program diarahkan pada pengorganisasian berbagai kelompok masyarakat agar mandiri, berdaya, dan mampu menciptakan kebijakan publik yang adil; [6] mengupayakan realisasi program melalui: pengkajian dan penelitian yang berorientasi pada transformasi sosial, pendidikan yang berorientasi pada pembentukan agen perubahan sosial dan penciptaan komunitas intelektual kritis yang bermartabat, produksi hasil kajian dan karya intelelktual bermazhab kritis, dan memfasilitasi tumbuhnya kelompok-kelompok kritis-strategis yang memperjuangkan keadilan sosial, demokratisasi, dan tegaknya Hak Asasi Manusia (HAM), advokasi kebijakan publik agar berpihak kepada masyarakat yang tertindas demi keadilan sosial.
Sejarah dan Perkembangan
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, keberadaan Fahmina berawal dari pergumulan intelektual kawula muda yang berakar di dunia pesantren. Ada semacam kegundahan terhadap etos sosial dan tradisi intelektual yang tidak lagi diperankan pesantren, karena penetrasi politik yang sangat dalam dan lama terhadap kehidupan pesantren. Padahal pada pendirian awalnya pesantren secara sengaja didesain untuk melakukan pembelaan terhadap rakyat, sekaligus melakukan pendidikakn dan pengembangan intelektual untuk kepentingan rakyat.
Pada tahun 1998, kelompok anak-anak muda yang tergabung dalam Klub Kajian Bildung[6] dan PC Lakpesdam Kabupaten Cirebon[7] melakukan serangkaian diskusi keliling ke berbagai pesantren, dengan mengusung kajian kontekstualisasi kitab kuning. Diskusi ini memperoleh tanggapan yang luar biasa dari berbagai aktivis muda pesantren, dan dukungan dari beberapa kyai sepuh seperti KH. Syarif Usman Yahya Kempek[8], KH. Fuad Hasyim Buntet[9], KH. Yahya Masduqi Babakan[10], dan KH. Prof. Dr. A. Chozin Nasuha Arjawinangun, dan KH. Ibnu Ubaidillah Syathori Arjawinangun[11].
Pergumulan ini juga memunculkan serangkaian aktivitas sosial kalangan muda pesantren untuk melakukan pembelaan terhadap orang-orang marjinal; dengan mendiskusikan isu-isu kerakyatan, hak-hak warga, sampai pembelaan di tingkat pewacanaan publik. Pembentukan JILLI (Jaringan Informasi untuk Layanan Lektur Islam) Cirebon[12], juga berangkat dari kegelisahan dan pergumulan di atas. Jaringan ini mencoba melakukan pendataan terhadap seluruh literatur kitab kuning dan literatur lain yang ada di pesantren-pesantren, pengemasan dalam bentuk software, dan pelayanan informasi-informasi yang dibutuhkan masyarakat dari pesantren.
Baik dalam komunitas Bildung Cirebon, JILLI, maupun forum-forum lain yang digagas para santri pasca pesantren, semuanya masih bersifhat ad hoc, sederhana, dan tidak berkesinambungan untuk kegiatan intelektual maupun program pemberdayaan yang dilakukan. Seringkali isu-isu yang dikembangkan menguap begitu saja, karena tidak ada koordinasi kelembagaan yang memadai. Pergumulan kawula muda pesantren itu, baik kelompok intelektual maupun kelompok sosial, meniscayakan adanya kelembagaan yang lebih mampu mengkoordinasi cita-cita yang diusung[13].
Atas dasar ini, beberapa pendiri dan pengampu forum-forum itu kemudian mendirikan lembaga Fahmina sebagai kristalisasi dari gagasan dan gerakan kawula santri sebelumnya. Dari gerakan yang cair menjadi kristal, dari gagasan yang liar menjadi terwadahi, dari gerakan yang tanpa bentuk menjadi terlembagakan, itulah kemunculan awal Fahmina yang pertama kali berkantor di Jln. Pangeran Drajat 15 Kota Cirebon. Meski begitu, secara kelembagaan, fahmina didirikan sebagai institusi yang independen, tidak menjadi cabang dair lembaga atau kekuatan lain, non-pemerintah, tidak partisan, dan terbuka keanggotaan komunitas yang lintas etnis, gender, golongan dan agama.
Mewadahi Santri Pasca Pesantren
Pada awalnya, Fahmina dimaksudkan untuk mewadahi para santri pasca pesantren, baik laki-laki maupun perempuan, yang masih memiliki semangat akademik dan gairah keilmuan di wilayah Cirebon. Fahmina melibatkan mereka dalam kajian kitab kuning secara kontekstual dan mendalam di kantor Fahmina, yakni dengan cara mengetahui latar belakang sosial, politik dan ekonomi siapa pengarang, dan kapan, di mana kitab kuning itu muncul dan ditulis. Beberapa kitab yang pernah dikaji dengan pendekatan kontekstual dan mendalam adalah kitab Matan at-Taqrib karangan Imam Abu Syuja’ (434-448 H./1042-1091 M), kitab al-Muhadzdzab karangan Imam Abu Ishaq as-Syairazi (393-476 H./1003-1083 M), kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi, Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyyah Abi Ya’la, kitab al-Munqidz min adl-Dlalal karangan Imam al-Ghazali (w. 555 H./1111 M.), kitab Bidayah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd, kitab Syarah ‘Uqud al-Lujjayn karangan Syekh Nawawi al-Bantani (w. 1314 H./1897 M.), dll.
Pelibatan ini mengantarkan para penggerak Fahmina berjejaring dengan individu, lembaga, dan komunitas yang sudah lebih dahulu bekerja pada wacana dan gerakan sosial. Jaringan yang dibangun pada saat itu di antaranya: di wilayah Cirebon dengan Gerbang Informasi dan Dewan Kesenian Cirebon; di luar Cirebon dengan PP. Lakpesdam NU, Rahima, LkiS, MADIA, dan Desantara. Fahmina bergumul dengan mereka, saling berdiskusi, berbagi, menerima, dan saling memberi, baik pengalaman maupun pengetahuan. Di Cirebon, Fahmina mengajak banyak alumni pesantren untuk berbagi dan memperkuat diri. Fahmina merasa yakin bahwa keislaman harus mewujud dalam tatanan keadilan sosial. Tetapi Fahmina tetap rendah hati, dengan menyatakan bahwa hal tersebut masih sebatas pemahaman kita, atau dalam bahasa Arab disebut fahmina.
Keyakinan itu diaktualisasikan dalam koran Cirebon, Radar Cirebon dan Mitra Dialog (sekarang Kabar Cirebon) ke berbagai pesantren. Sejak tahun 2001 hingga sekarang, Fahmina menerbitkan sendiri media kecil untuk komunitas terbatas, yaitu warkah al-Basyar, sebuah bulletin Jum’at dengan empat halaman yang disebarkan setiap Jum’at sebanyak 10.000-15.000 eksemplar. Warkah al-Basyar awalnya hanya disebarkan ke sejumlah masjid di wilayah Cirebon. Namun dalam perkembangannya disebarkan ke sejumlah masjid di wilayah tiga Cirebon: Kota Cirebon, Kab. Cirebon, Kab. Majalengka, Kab. Indramayu, dan Kab. Kuningan. Selain untuk masjid, Warkah al-Basyar juga disebarkan ke sejumlah Majelis Taklim, dan pengajian di komunitas pesantren wilayah Cirebon.
Melalui Warkah al-Basyar, Fahmina berusaha menggugah kesadaran kolektif untuk melihat ketimpangan sosial yang ada di sekitar, akibat kepentingan politik, sosial, dan ekonomi. Ada kekerasan yang menimpa perempuan, buruh migran, pedagang kecil, dan kaki lima, nelayan, petani, kelompok minoritas, dan mereka yang memiliki kemampuan berbeda (diffable). Warkah al-Basyar sampai saat ini terus terbit, mencapai sebaran di Wilayah III Cirebon, meliputi Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan, sebagai media antarkomunitas untuk meneguhkan cita-cita keberpihakan pada mereka yang lemah, atau dilemahkan.
Melalui media ini, Fahmina juga bertemu lebih banyak lagi dengan komunitas pesantren, Majelis Taklim, kelompok pengajian dan kelompok-kelompok sosial lain di wilayah Cirebon; yang meliputi Kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Para penulis di media ini adalah para kiai, nyai, ustadz, santri senior, akademisi, mahasiswa, dan para penggerak warga yang sehari-hari bergelut dengan masyarakat. Media Warkah al-Basyar ini menjadi inspirasi beberapa masjid dan kelompok pengajian untuk menerbitkan hal yang sama dan menggugah selera diskusi mereka di komunitasnya. Yang secara langsung difasilitasi Fahmina adalah Forum Komunikasi Khatib dan Imam Masjid Kabupaten Indramayu, Bulletin asy-Syaqiqah PSG STAIN Cirebon, Bulletin Bannati LSM Bannati Cirebon, Bulletin Tekai FKBMI Indaramayu dan Bulletin Nalar PMII Cirebon.
Sepanjang aktivitasnya, Fahmina terus mengupayakan untuk membuka wadah seefektif mungkin sebagai pencarian intelektual dan artikulasi sosial bagi para santri pasca pesantren, bahkan bekerjasama dengan pihak pesantren, lembaga lokal, dan nasional. Dalam setiap tahun, Fahmina mengadakan pengajian Ramadhan, belajar bersama dua mingguan, pengajian perempuan pesantren, dawrah fiqh perempuan, dawrah fiqh demokrasi, halaqah kitab kuning dan mujalasah ulama di beberapa pesantren. Media pendidikan dan pengkajian tradisi ini dihadiri para kyai dan nyai muda, ustadz/ustadzah, dan santri senior dari wilayah III Cirebon. Segala aktivitas ini diselenggarakan juga untuk membuka seluas mungkin wadah aktualisasi santri pasca pesantren, selain wilayah yang sudah terbuka untuk usaha, aktif di partai politik, atau menjadi pejabat negara atau PNS.
Selama ini Fahmina juga memfasilitasi pertemuan “santri muhajirin” setiap awal bulan Syawal dari tahun Hijriah. Istilah “santri muhajirin” yang dimaksud adalah mereka orang-orang Cirebon alumni pesantren yang memilih hidup atau berada di luar Cirebon. Pertemuan silaturrahmi ini sebagai media berbagi pengalaman, informasi, dan penguatan aktivitas intelektual dan sosial bagi santri pasca pesantren.
Melalui berbagai wadah aktivitas ini, Fahmina tetap mempromosikan tradisi intelektual pesantren untuk dibaca, dikaji, dan digunakan sebagai inspirasi penegakan keadilan sosial. Fahmina berusaha memberikan inspirasi, mendorong dan memfasilitasi agar momentum-momentum ritual dan tradisi pesantren, juga diisi dengan tradisi intelektual dan penguatan kesadaran kiprah sosial pesantren untuk berpihak pada mereka yang dilemahkan.
Saat ini, masyarakat pesantren di Cirebon menyaksikan acara-acara haul tidak lepas dari halaqah, kajian, dan pengkaderan. Seperti haul di Buntet, di Babakan, dan di Arjawinangun, festival akhir as-sanah di pesantren al-Mizan Majalengka, beberapa acara di pesantren Bode Lor, pesantren Ulumuddin Susukan, dan pesantren Khatulistiwa Kempek yang memang sudah lebih lama melakukan hal-hal seperti ini.
Tradisi halaqah juga menjadi marak dalam acara ritual keorganisasian, terutama organisasi NU sebagai lembaga utama bagi kalangan pesantren. Di acara seperti musyawarah cabang, musyawarah ulama, dan peringatan harlah, Fahmina mendorong acara itu dijadikan sebagai momentum kajian tradisi dan kepedulian sosial. Di awal tahun 2008 misalnya, kekuatan para santri pasca pesantren yang terhimpun dalam Fahmina, Lakpesdam, pesantren Khatulistiwa, dan beberapa individu pesantren yang lain mengisi peringatan Harlah NU yang ke-82 dengan kegiatan-kegiatan, seperti: pengajian kitab, bedah buku, pelatihan kader NU, konferensi kaum muda NU untuk gerakan sosial, safari ulama untuk penguatan Khittah NU, dan acara ritual seperti lomba marhabanan, qira’at al-kutub, dan tahlilan akbar. Semua dilakukakn Fahmina dengan gerakan dan partisipasi kekuatan masyarakat, tanpa ketergantungan dengan lembaga politik, pejabat pemerintah, dan lembaga donor.
Tiga Perspektif Fahmina
Tahun 2003 Fahmina mengalami dinamika yang variatif, baik internal maupun eksternal[14]. Dari sisi visi dan misi Fahmina tetap berkomitmen dengan apa yang digagas sejak awal, tetapi sejak 2003 isu besar Fahmina mengenai kesetaraan dan keadilan gender dibidik melalui tiga ranah, yaitu: Islam dan demokrasi (Isdem), Islam dan Gender (Isgen), serta Islam dan otonomi komunitas (Iskom). Tiga ranah tersebut semuanya didekati dari sudut Islam. Selain itu, basis keilmuan pesantren menjadi perspektif yang tidak terpisahkan dari Fahmina. Hal ini tercermin dalam program-program Fahmina.
Pertama, Islam dan demokrasi, ditekankan pada perubahan tata pemerintahan yang baik dan bersih, pada ranah struktural. Fahmina pada saat itu memulainya bekerjasama dengan Partnership, yang kemudian melahirkan buku Bukan Kota Wali. Buku tersebut sempat menggegerkan. Karena Cirebona selama ini diklaim sebagai Kota Wali, dan Fahmina menerbitkan buku yang berkebalikan. Fahmina juga melakukan riset tentang APBD yang paradoks dengan pesan wali Sunan Gunung Djati: “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Tajug/mushola dan fakir miskin (termasuk orang-orang yang terlantar, yaitu yatim piatu, anak jalanan, pedagang kaki lima, pengamen, tukang becak, sopir angkot, buruh tani. Buruh migran, buruh pabrik dll) seharusnya menjadi perhatian utama Pemerintah, tetapi hasil kajian Fahmina tentang APBD tahun 2001 sama sekali tidak mencerminkan pesan tersebut. Fahmina sempat membongkar APBD-gate. Ada 11 orang anggota DPRD Kota Cirebon masuk penjara dari gerakan dan advokasi ini. Sejak itu, Fahmina memiliki julukan baru sebagai penentang status quo, kritis, dan anti korupsi.
Fahmina juga menyebarkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi melalui “dawrah fiqh demokrasi” di pesantren. Lahirlah Forcidem (Forum Cirebon untuk Demokrasi) yang dibentuk para alumni Dawrah Fiqh Demokrasi dari kalangan pesantren. Awalnya, forum ini efektif untuk merespon isu-isu aktual, tetapi kemudian tenggelam karena banyaknya forum yang muncul. Kemudian, di ranah Islam dan demokrasi Fahmina juga melakukan kajian-dialog antaragama yang melahirkan Forum Sabtuan di Cirebon. Forum Sabtuan ini banyak melakukan advokasi dan kajian, terutama di kalangan non-muslim. Forum ini menjadi wadah diskusi dan konsolidasi yang efektif untuk advokasi bagi kelompok minoritas, dan Fahmina menjadi inisiator dan pelopor.
Kedua, Islam dan gender, yang intensitas dan volumenya sangat tinggi. Dalam ranah ini, Fahmina menjadi ikon karena melahirkan banyak buku. Selain itu juga, ada KH. Husein Muhammad, pendiri dan ketua Dewan Kebijakan Fahmina, yang telah menjadi ikon nasional dan internasional dalam kaitan Islam dan keadilan gender. Fahmina banyak melakukan kerja-kerja dalam lingkup isu Islam dan gender melalui proses penyadaran publik, pelatihan, penerbitan dan pendidikan. Impelementasinya melalui program penanggulangan trafficking dan pendampingan terhadap korban kekerasan dalam rumamh tangga (KDRT), yang dilakukan sejak 2004 sampai sekarang. Dari program tersebut, Fahmina memunculkan komunitas yang peduli terhadap persalan perempuan, Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (Jimat) di Cirebon, Satuan Tugas Anti Trafiking (Santri) di Indramayu, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anti Trafiking sejak tahun 2004, serta buku Fiqh Anti Trafiking (tahun 2005).
Di awal tahun 2010, Fahmina mulai melakukan pengembangan isu. Dari isu anti Trafiking bertambah menjadi isu kesehatan reproduksi (Kespro) remaja. Dewasa ini Fahmina melakukan penyadaran, pendampingan dan pengembangan kurikulum berwawasan Kespro di 15 pesantren se-wilayah Cirebon. Pada akhir tahun 2011 ini, Fahmina menerbitkan buku fiqh Kespro berbahasa Arab dengan judul Manba’u as-Sa’adah, sebagai bahan referensi dan buku ajar di pesantren.
Ketiga, fahmina membreakdown kesetaraan gender dan demokrasi dalam Islam dan otonomi komunitas (Iskom). Iskom adalah implementasi semua wacana, mengaitkan teori dan praktik. Ada satu departemen sendiri dalam struktur Fahmina untuk mengelola isu Iskom. Departemen ini telah melakukan banyak hal. Di antaranya yang paling kuat adalah mendampingi kasus-kasus pedagang kaki lima (PKL) di kota Cirebon, buruh migran, radio komunitas, dan kekerasan terhadap perempuan, termasuk trafiking. Ini menjadi konsen Fahmina dari dulu sampai sekarang, yaitu melakukan pendampingan dan membela mereka yang terpinggirkan. Hasil pendampingan tersebut ditulis dalam sebuah buku berjudul Panglima Cirebon. Panglima adalah akronim dari pedagang kaki lima. Buku tentang profil dan analisis PKL di Kota Cirebon. Forum Pedagang Kaki Lima (FPKL)—organisasi yang dibentuk selama pendampingan Fahmina—juga mendapat bantuan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui program PPK-IPM senilai 2 Milyar rupiah. Bantuan ini digunakan untuk penguatan PKL. Posisi Fahmina dalam bantuan itu hanya mendampingi usaha-usaha yang mereka lakukan.
Fahmina juga melakukan pendampingan terhadap komunitas nelayan, menciptakan 10 titik radio komunitas (Rakom), dan menginisiasi pendirian Forum Kemitraan Polisi dan masyarakat (FPKM) di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Majalengka. Rakom merupakan media bagi komunitas, suaranya rakyat yang tidak bersuara. Rakyat yang selama ini tidak memiliki kedekatan dengan media massa, melalui Rakom mereka bisa menyuarakan aspirasi mereka. Fahmina mendampingi Rakom, mulai dari pengembangan isi siaran, teknik jurnalistik radio, pengelolaan siaran, pengorganisasian masyarakat, hingga penyediaan alat-alat teknologi Rakom yang dibutuhkan.
Fahmina mengembangkan diri dan membangun jaringan, tidak hanya di tingkat wilayah III Cirebon dan Jawa Barat, tetapi juga secara nasional di Situbondo Jawa Timur dan Nanggroe Aceh Darussalam. Di luar itu, Fahmina juga mengembangkan jaringan dengan komunitas muslim di tingkat reional dan internasinal, seperti Malaysia, Singapura, Philipina, Thailand, Mesir, Syria, Pakistan, dan Afghanistan. Sebagai lembaga aktualisasi intelektualisme pesantren, Fahmina telah dikunjungi—sebagian melakukan kerjasama—oleh berbagai lembaga penelitian,, lembaga pendidikan, dan perguruan tinggi, baik tingkat lokal, nasional dan internasional: IAIN Cirebon, Unswagati, STAIC dan UMC (semua di Cirebon), UIN Jakarta, UIN Yogyakarta, STAIN Purwokerto, STAIN Malikussaleh Lhokseumawe NAD, Lembaga Penelitian UI, Pusdakota Ubaya, Pusham Unair, Ohio University, Deakin University, Sister in Islam Malaysia, Majlis Ulama Afghanistan, dan Nisa ul-Haqq fi Bangsa Moro Filipina.
Kerja-kerja sosial yang dilakukan Fahmina melapangkan jalan bagi para alumni pesantren Cirebon untuk beraktivitas secara intelektual dan sosial, tanpa harus terlepas dari kekayaan tradisi pesantren yang diwariskan. Di antara yang digeluti dan didorong Fahmina adalah menulis di media massa, menulis buku, membuat bulleting, menerbitkan majalah, berceramah mengenai isu-isu sosial-kekinian, mendampingi dan mengorganisasi masyarakat untuk memperoleh keadilan. Saat ini, sejumlah kyai dari komunitas pesantren di Cirebon telah menerbitkan buku-buku karya intelektualnya. Di antaranya adalah KH. Husein Muhammad, KH. MA Fuad Hasyim, KH. Yahya Masduqi, KH. Syarif Usman Yahya, KH. Maman Imanul Haq, Ny. Hj. Masriyah Amva, Ny. Hj. Afwah Mumtazah, KH. Faqihuddin Abdul Kodir, KH. Marzuki Wahid, Nuruzzaman, Ahmad Baiquni, Abd. Muiz Syairozi, dll. Ini belum termasuk sejumlah tulisan dalam bentuk artikel, makalah, khutbah, ceramah, gerakan sosial, dan pengoranisasian masyarakat yang tidak bisa disebutkan satu per satu, yang dilakukan komunitas pesantren.
Sebagai kelanjutan wadah pasca pesantren, Fahmina akhirnya mendirikan perguruan tinggi strata satu dengan nama Institut Studi Islam Fahmina (ISIF). Sejak memperoleh ijin operasional dari Kemenerian Agama RI pada akhir tahun 2007, pada tahun 2008 ISIF sudah mulai beroperasi sebagai lembaga pendidikan tinggi. Dalam pandangan para pendiri Fahmina, ISIF adalah institusionalisasi gagasan, pemikiran, dan ideologi perjuangan Fahmina ke dalam sistem pendidikan formal sebagai ajang kaderisasi formal terstruktur.
Sejak tahun 1998 juga, Fahmina memiliki SMK BBC (Buana Bahari Cirebon), dengan konsentrasi pada pelayaran niaga. SMK ini bukan bentukan langsung Fahmina, tetapi penyerahan dari Yayasan Buana Bahari yang sebelumnya mengelola SMK ini. SMK ini dikelola Fahmina oleh karena mempertimbangkan potensi kelautan Indonesia yang belum tergarap dengan baik, dan kaderisasi dini para pelajar tingkat menengah agar sejak dini memiliki kesadaran gender yang baik.
Memperkuat Otonomi Komunitas
Dalam pandangan Fahmina, setiap komunitas harus memiliki kekuatan yang otonom agar mampu melakukan negosiasi untuk memperoleh keadilan hak-hak mereka. Otonomi dipahami Fahmina sebagai kekuatan yang memungkinkan mereka mengenali dan memahami persoalan yang dihadapi, menemukan cara untuk melepaskan diri dari persoalan itu, dan memperkuat kemampuan berorganisasi secara baik untuk kepentingan seluruh anggota komunitas. Dengan kekuatan negosiasi yang dimiliki komunitas, diharapkan program-program pembangunan benar-enar untuk rakyat. Ini perlu dilakukan, karena pada proses mewujudkan keadilan dalam tatanan kehidupan sehari-hari, seringkali kelompok yang dominan memperoleh hak-haknya terlebih dahulu dibanding mereka yang dipinggirkan.
Pada tahun 2001, Fahmina memfasilitasi pendirian Woman Crisis Center (WCC) berbasis komunitas pesantren di PP Dar al-Tauhid di Arjawinangun. Saat ini, dengan nama Mawar Balqis, WCC tersebut dengan dukungan berbagai pihak telah menjadi kekuatan komunitas yang cukup besar di wilayah Cirebon dalam mendampingi dan menangani kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Dalam laporan Balqis tahun 2007 dinyatakan bahwa sejak tahun 2001 WCC Balqis telah menerima dan mendampingi 643 kasus kekerasan terhadap perempuan, 58% di antaranya merupakan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Sepanjang tahun 2002, Fahmina juga mengupayakan keberdayaan komunitas korban tragedi politik 65-66, paling tidak untuk memperoleh pengakuan dan pemaafan antarsesama, sebagai tonggak perjalanan kemanusiaan ke depan. Upaya ini membuka lebar pintu rekonsiliasi kultural antarkomunitas, sekalipun bagi banyak orang masih cukup sulit. Tetapi paling tidak, sudah pernah ada pertemuan antara korban 65-66 dengan tokoh NU dan kiai-kiai pesantren, yang sering diposisikan sebagai musuh pada konflik tahun 1995-95, agar mengakhiri perseteruannya dan tidak dendam untuk hari ini dan yang akan datang.
Sebetulnya persentuhan Fahmina lebih banyak dengan komunitas marjinal masyarakat kota, terutama nelayan dan pebecak. Ini tidak lain karena sekretariat Fahmina berada di wilayah Kota Cirebon. Sepanjang 2001-2003 Fahmina lebih banyak mengidentifikasi bersama komunitas persoalan-persoalan yang muncul, pencarian solusi secara swadaya, dan kadang-kadang menyelenggarakan pelatihan wirausaha, pendidikan komputer, dan penyaluran bantuan yang bersifat variatif.
Pada tahun selanjutnya, 2003-2005, persinggungan Fahmina dengan komunitas banyak difokuskan pada pengorganisasian komunitas dan kemampuan bernegosiasi dalam memperoleh hak-hak mereka di Indonesia. Fahmina memfasilitasi penguatan komunitas LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) di setiap kelurahan Kota Cirebon, pedagang kaki lima, nelayan, pebecak, seniman jalanan, tukang ojek, buruh, dan perempuan kepala keluarga dan rumah tangga. Penguatan komunitas ini adalah bagian dari pengembangan partisipasi warga terhadap pembangunan kota, dalam rangka perwujudan “pemerintahan yang baik”. Dari fasilitasi ini, yang relatif telah mampu mengorganisasikan diri dan bernegosiasi dengan institusi lain dengan baik adalah LPM, Forum PKL, dan Paguyuban Seniman Harjamukti Cirebon (PSHC). Baik LPM maupun FPKL memiliki posisi yang signifikan dalam perumusan pembangunan kota, sangat diperhatikan dan memperoleh alokasi APBD yang lumayan.
Pada tahun 2006-2007, FPKL dipercaya mengelola dana 1 milyar rupiah oleh Pemerintah Kota dari anggaran Pemerintah Provinsi. Akan tetapi di akhir tahun, keberlangsungan program ini dinilai kurang berhasil oleh karena beberapa orang pengurus Koperasi Maju Bareng bertindak tidak sesuai prosedur terkait pemanfaatan dan pengembalian dana. Saat ini seluruh anggota komunitas sepakat untuk tidak meneruskan program ini, sampai pengurus koperasi mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bagi Fahmina, realitas ini adalah dinamika organisasi yang menarik dan menantang dalam proses penguatan komunitas.
Dengan intensitas yang relatif lebih kecil, Fahmina juga melakukan upaya-upaya lain, seperti penguatan komunitas imam dan khatib di Kabupaten Indramayu, komunitas pesantren, komunitas mahasiswa, dan komunitas sopir daerah Cirebon timur akibat maraknya penyimpangan trayek. Di samping itu, Fahmina juga melakukan kerjasama dengan beberapa komunitas basis di kecamatan dan desa, seperti Forum Warga Buruh Migran (FWBMI) Cirebon, Forum Keluarga Buruh Migran Indramayu (FKBMI), komunitas Bannati di Palimanan, dan komunitas WCC Balqis di Arjawinangun. Penguatan komunitas ini ada yang berbasis profesi atau kelompok kepentingan, dan ada pula yang berbasis daerah, dengan tetap memperhatikan kelompok kepentingan orang-orang yang dimarjinalkan.
Sejak Januari 2007, Fahmina memfasilitasi penguatan komunitas berbasis desa dan kelurahan di Wilayah Cirebon. Penguatan ini dilakukan melalui pengembangan Radio Komunitas (Rakom), sebagai wadah komunikasi antaranggota komunitas dalam mengidentifikasi persoalan, mencari solusi, dan mengorganisasikan sumberdaya untuk menumbuhkan keberdayaan mereka. Pengembangan ini baru dilakukan pada enam desa/kelurahan di kota dan Kabupaten Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan. Penguatan komunitas ini, dalam pandangan Fahmina, justru akan menjadi kekuatan strategis yang bisa mengisi ruang-ruang pengambilan kebijakan publik, sehingga bisa memastikan kebijakan publik yang tercipta bernafaskan keadilan, dengan keberpihakan pada komunitas yang dilemahkan.
Kerja-kerja penguatan komunitas seperti ini menjadi pilihan strategis dalam menahan laju praktik mobilisasi massa yang dilakukan organisasi politik dan organisasi massa selama ini. Mobilisasi massa hanya akan menumbuhkan pola politik yang emosional, pragmatis, tidak rasional, tidak jangka panjang, dan tidak melahirkan keberpihakan nyata pada kelompok miskin. Mereka yang dalam daftar jumlah kepala keluarga miskin sudah mencapai 15.000 KK dari 290.000 penduduk Kota Cirebon, hanya menerima amplop atau kaos saat pemilihan parlemen atau kepala daerah. Ini tentu mengancam agenda penciptaan pemerintahan yang baik dan menafikan cita-cita keadilan sosial.
Pemerintahan yang baik (good governance), dalam pandangan Fahmina, adalah suatu pemerintahan yang secara serius membuka keterlibatan seluruh komponen rakyat dalam merancang agenda pembangunan, mengontrol, dan mengevaluasinya untuk dapat memastikan “cita-cita keadilan untuk semua” tercipta dalam kehidupan mereka, terutama bagi komunitas yang dilemahkan. Pada tahun 2002, Fahmina pernah mengumpulkan berbagai kelompok masyarakat Kota Cirebon untuk membaca harapan masyarakat mengenai “pemerintahan yang baik”. Tokoh dan orang-orang kunci di Kota Cirebon berkali-kali melakukan pertemuan untuk merumuskan harapan tersebut. Mulai dari Agus Prayoga, Agus al-Wafier, Ahmad Syubbanuddin Alwi, Sri Maryati, Nurudin M. Noor, Ipah Jahrotunnasipah, Dewi Laily Purnamasari, Ade Asep Sarifuddin, Agung Sedijono, Akbarudin Sucipto, Amran Jaenuddin, PRA. Arief Natadiningrat (sekarang Raja Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon), Cawita, Dadang Kusnandar, Dalis, Djarot Surodjo, Eman Sulaeman Syahri, Enang Iman Gana, Eti Nurhayati, Djayadi, Khoiruddin Imawan, Kholifah Mudeni, M. Fahrozi, Mamat Soedia, Mumun Munyati, Nani Rusnaeni, Nurdin M. Noer, Setyo Hajar Dewantoro, S. Silalahi, Suketi, Supriatno, Suryapranata, Tari, Yasin dan Lies Zakiyah.
Atas pertemuan-pertemuan rutin ini, pada tahun 2004, Fahmina dan komunitas lain membentuk “Dewan Kota” sebagai kekuatan penyeimbang dari civil society. Ini bukan lembaga informal dari DPRD Kota, tetapi forum yang beranggotakan perwakilan kelompok kepentingan dan komunitas, sebagai penyeimbang kerja-kerja legislatif dan eksekutif dalam memberikan pelayanan publik. Kerja-kerja para anggota Dewan Kota ini kemudian diakomodasi Bappeda untuk memperkuat partisipasi publik dalam perencanaan pembangunan. Demikian juga diakomodasi dalam kelembagaan musyawarah pembangunan tingkat kelurahan, tingkat kecamatan, dan tingkat Kota yang dulu biasanya bersifat seremonial. Ada kelompok 21 pada penyusunan anggaran tahun 2005-2006, beranggotakan berbagai kelompok profesi, wakil komunitas, LSM, anggota DPRD dan eksekutif, kewenangannya menguji kelayakan usulan anggaran pembangunan dari Dinas-dinas terkait, sebelum diputuskan dalam sidang RAPBD oleh DPRD. Ini pencapaian signifikan yang belum pernah terjadi pada Pemda lain. Sekalipun keputusan akhir tetap pada sidan DPRD Kota—yang sering dinilai beberapa kalangan terjadi praktik negosiasi berbagai proyek antara legislatif dan eksekutif—tetapi kerja-kerja sosial Dewan Kota yang berpartisipasi dalam perencanaan APBD sangatlah penting.
Pada tahun 2004 dan 2005, Forum Dewan Kota telah melakukan kajian APBD Kota untuk memastikan agenda pro-poor dan pro-gender. Kajian ini kemudian merekomendasikan pentingnya advokasi penuntututan kasus APBD-gate yang kontroversial itu. Di samping itu, Forum Dewan Kota juga melakukan advokasi atas hak pendidikan dan kesehatan bagi rakyat miskin, pembangunan ruang-ruang publik, pelestarian cagar budaya, dan pemenuhan hak-hak minoritas. Hanya saja, isu-isu ini tidak sempat menggerakan Forum Dewan Kota sebagaimana isu APBD-gate dan partisipasi dalam penyusunan anggaran. Kerja-kerja Forum Dewan Kota ini sekarang tidak pernah lagi terlihat, termasuk ketika hajatan Pilkada yang digelar pada 6 Januari 2008. Beberapa orang lalu menilai Fahmina hanya bisa melahirkan, tetapi tidak mampu mengemong hingga tumbuh dewasa.
Selain Kota Cirebon, partisipasi publik sebagai pilar pemerintahan yang baik juga dilakukan Fahmina di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon. Tahun 2005 dengan berbagai komunitas, Fahmina juga melakukan evaluasi-pengawasan kebijakan pendidikan dan kesehatan di Indramayu. Bersama jaringan SANTRI (Satuan Tugas Anti Trafiking), Fahmina juga aktif memberi masukan pada Perda Anti Trafiking tahun 2005. Begitu juga di Kabupaten Cirebon untuk Raperda Anti Trafiking, perlindungan buruh migran, dan Pusat Pelayanan Terpadu, Fahmina ikut menggerakan komponen yang ada pada JIMAT (Jaringan Masyarakat Anti Trafiking) Cirebon sepanjang tahun 2005-2007.
Menariknya, keterlibatan komunitas pesantren dengan Ormas-ormasnya cukup signifikan terjadi di dua kabupaten tersebut. Ini berbeda dengan Kota Cirebon yang hampir tidak terlihat adanya keterlibatan Ormas Islam dan pesantren dalam kerja-kerja partisipasi publik untuk mempengaruhi kebijakan yang memihak orang miskin, anak, dan perempuan. Pada tahun 2007, Fahmina bekerjasama dengan PC Nahdlatul Ulama Kabupaten Cirebon mempertemukan wakil dari seluruh Kepolisian Sektor (tingkat kecamatan) se-Kabupaten Cirebon, dengan wakil dari seluruh Majlis Wakil Cabang NU (tingkat kecamatan) se-Kabupaten Cirebon, untuk menindaklanjuti kerjasama yang telah dilakukan PCNU, Fahmina, dan Polres Kab. Cirebon dalam meningkatkan upaya perlindungan masyarakat dari kejahatan trafiking dan narkoba.
Fahmina hadir di tengah keadaan demokrasi Indonesia yang masih prosedural, dan partisipasi publik masih sebatas memilih wakil rakyat, bupati/walikota, gubernur, dan presiden saja. Pada saat yang sama, bangsa ini diserahkan sepenuhnya kepada mereka. Yang nyata, publik Indonesia masih belum melihat kerja-kerja anggota dewan secara nyata untuk memastikan kebijakan pemerintah berjalan sesuai dengan rencana, anggaran, mekanisme, dan tujuan kerakyatan. Masa reses setiap tahun masih digunakan hanya sebagai ritual pertemuan dengan rakyat, tanpa agenda yang jelas dalam mengontrol eksekutif. Terkadang beberapa anggota dewan justru memanfaatkan masa reses untuk jalan-jalan, dengan bahasa keren studi banding. Pada konteks ini, partisipasi langsung dari rakyat, sebagai syarat mewujudkan pemerintahan yang baik, menjadi niscaya. Peningkatan partisipasi publik, setidaknya akan memperkuat keberdayaan mereka dalam menangani persoalan-persoalan sosial yang mereka hadapi, seperti persoalan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Fahmina, di tengah-tengah itu, berusaha terlibat dan ikut membangun partisipasi publik.
Mendakwahkan Pluralisme
Pluralisme dalam pandangan Fahmina bukanlah wihdatul wujud, bukan pula menyamakan semua agama. Kata “plural” sendiri berarti beragam. Pluralisme adalah penerimaan terhadap perbedaan sebagai basis dialog peradaban dan pembangunan. Sejak pertama didirikan, para pegiat Fahmina telah melakukan upaya penyadaran perspektif pluralisme agama ke masyarakat luas, terutama pada komunitas pesantren atau komunitas yang basisnya adalah tradisi keagamaan klasik. Pluralisme, pada tingkat paling awal, diartikan sebagai kesediaan untuk bertemu, bertatap muka, dan berdialog antarberbagai pemeluk agama yang ada di wilayah Cirebon.
Pada tingkat ini, beberapa sesepuh pesantren bisa menerima, dan beberapa orang dari mereka bersedia datang pada pertemuan yang dihadiri berbagai tokoh agama. Tetapi pada tingkatan aksi, pluralisme masih mengalami hambatan yang cukup serius, apalagi pada tingkat pembelaan terhadap hak keberagamaan kaum minoritas, terutama mereka yang dianggap menyimpang dari Islam mainstream, serpeti Ahmadiyah, Majlis Taklim HDH, dan kelompok New Age “Dayak Bumi Segandu”.
Pertemuan antarkelompok agama sangat penting untuk kehidupan bangsa yang beragam agama dan aliran, agar keberagaman itu tidak menjadi potensi yang merusak dan menghancurkan koomponen-komponen yang ada. Pelajaran dari berbagai konflik yang terjadi di Indonesia seringkali menggunakan basis-basis primordial, terutama agama dan aliran. Beberapa kiai pesantren Cirebon menyampaikan pesan bahwa keberagaman (caruban) yang hidup dan dilestarikan Sunan Gunung Djati di Cirebon tidak seharusnya dirusak kepentingan pragmatis atau golongan.
Salah seorang kiai yang banyak dijadikakn rujukan, KH. Syarif Usman Yahya, mengemukakan, “Tolong, jangan sampai Cirebon dijadikan seperti Poso”. Pesan-pesan seperti ini didakwahkan Fahmina ke berbagai kalangan, melalui media Warkah al-Basyar, media lokal, dan buku-buku yang diterbitkan. Fahmina mendasarkan pada peradaban Nabi SAW dalam Piagam Madinah, peradaban Abbasyiyah, Islam Cordova, Turki Usmani, dan peradaban-peradaban lain yang menjadikan perbedaan kelompok agama tidak sebagai pemecah kebersamaan dan perusak peradaban, melainkan sebagai rahmat yang harus digunakan untuk menghadapi problem kehidupan yang sangat kompleks. Perbedaan juga perlu dijadikan sebagai kekuatan untuk membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik dan menyejahterakan semua pihak.
Dakwah pluralisme yang dilakukan Fahmina mementingkan adanya dialog, negosiasi, dan pencarian solusi tanpa kekerasan untuk setiap persoalan relasi antarkelompok agama. Sejak tahun 2001, Fahmina ikut melahirkan, memperkuat, dan melestarikan Forum Sabtuan Cirebon (FSC), sebuah forum yang mempertemukan antarkelompok agama dengan ketulusan dan penghargaan terhadap eksistensi masing-masing. Sebelum ada Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKUB) yang digagas pemerintah daerah, FSC sudah lebih dahulu memiliki tempat utama bagi banyak kalangan sebagai ruang dialog dan media negosiasi.
Saat ini, kebanyakan orang dari kelompok minoritas justru menjadi apatis ketika FKUB tidak lebih dari kepanjangan kepentingan mayoritas atau kelompok-kelompok penekan yang utama. Pada konteks ini, Fahmina sering dituntut untuk melakukan aksi nyata dan pendampingan riil bagi kelompok minoritas agama yang mengalami persoalan vertikal dengan kekuasaan pemerintah atau horizontal dengan kelompok-kelompok masyarakat yang lain. Di samping itu, tentu saja ada juga kasus yang dilaporkan dan didiskusikan oleh Fahmina mengenai mayoritas yang merasa terancam oleh keberadaan mereka.
Sejak tahun 2001, beberapa kasus yang mana Fahmina ikut terlibat menanganinya adalah tanah pemakaman Kristen Kedung Menjangan, tanah bong Cina di Kalitanjung, kelompok “Dayak Bumi Segandu”, masyarakat sekitar Rumah Sakit Sumber Waras Ciwaringin, Radio Gratia, pengembangan rumah duka orang-orang Tionghoa, aktivitas kelompok Gratia, Jama’ah Ahmadiyah di Manis Lor, dan Majlis Taklim Hidup dibalik Hidup (HDH).
Selain pendampingan, Fahmina mulai tahun 2006 berkomitmen dengan beberapa lembaga di Jawa Barat untuk bergabung dalam Jaringan Kerja (Jaker) yang menangani kerja-kerja pemantauan dan advokasi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jawa Barat dengan instrumen Hak Asasi Manusia (HAM). Fahmina dalam Jaker Kebebasan dan Berkeyakinan ini menjadi koordinatornya.
Wilayah Cirebon memiliki beragam agama dan kelompok agama, serta ada banyak praktik tradisi yang tidak menutup kemungkinan rentan terhadap upaya “penyesatan” dari kelompok-kelompok penekan. Karena itu, dakwah pluralisme dengan makna seperti di atas, menjadi penting untuk pengembangan peradaban kemanusiaan yang toleran dan berkeadilan.
Dalam sepuluh tahun sejak didirikan, Fahmina telah melakukan berbagai kegiatan. Sebuah aspek penting dari pekerjaan Fahmina adalah mengembangkan dan menyebarkan ide-ide dalam komunitas muslim lokal yang lebih luas. Sejak tahun 2001, Fahmina telah menerbitkan bulletin mingguan, Warkah al-Basyar, mengandung pesan-pesan pendidikan publik tentang isu-isu yang berkaitan dengan keadilan sosial dari perspektif Islam, yang mendistribusikannya ke sejumlah masjid, pesantren, Majlis Taklim, dan lembaga jaringan Fahmina se-wilayah Cirebon.
Fahmina membangun dan memelihara website secara aktif beralamat di www.fahmina.or.id sebagai sarana sosialisasi pemikiran para aktivis Fahmina sebagai intelektual muslim Indonesia, serta menjadi tempat publikasi kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan Fahmina. Fahmina juga telah memiliki penerbitan sendiri bernama “Noktah”, yang menerbitkan buku-buku ilmu pengetahuan Islam Progresif.
Pada tahun 2004, Fahmina menjalankan program yang disebut “Fiqh Demokrasi” (yurisprudensi mengenai demokrasi Islam), di mana para pemimpin pesantren lokal dibawa bersama-sama untuk membahas isu-isu yang berkaitan dengan demokrasi dari perspektif Islam.
Fahmina juga telah mengembangkan dan menerbitkan panduan pelatihan untuk kursus tentang isu-isu gender dalam Islam, berjudul Dawrah Fiqih Perempuan, dan telah menjalankan program pelatihan berdasarkan panduan ini di beberapa daerah yang ada di Indonesia, Filipina, dan Thailand. Pada tahun 2008, Fahmina mendirikan sebuah universitas kecil, Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon di mana mahasiswa dididik melalui sistem pendidikan informal “aktif-partisipatif”, sebuah pendekatan yang menekankan perspektif gender, demokrasi, pluralisme, dan intelektual dalam studi dan penerapan ajaran Islam.
Fahmina juga melakukan pekerjaan yang membahas isu-isu dalam komunitas pendukung secara langsung. Fahmina menjalankan program pembangunan berkelanjutan yang akan dibahas secara rinci di bawah. Di samping itu, Fahmina juga mengembangkan komunitas radio melalui program yang membantu masyarakat lokal untuk membangun stasiun Radio Komunitas (Rakom).
Ideologi dan Peran
Perjuangan Fahmina didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan dan keadilan (equality and justice); keragaman dan kebersamaan (diversity and sense of community); kejujuran dan keterbukaan (integrity and transparency); dan nilai-nilai konsistensi dan kemandirian (consistency and self-realiance).
Yang membedakan fahmina dengan lembaga atau organisasi lain adalah perspektif keislaman-pesantren yang digunakan. Keislaman-pesantren dipilih oleh karena ikatan sejarah para pendiri, realitas sosiologis terdekat, ikatan emosional mayoritas konstituen yang didampingi Fahmina, dan kesesuaiannya dengan dasar-dasar nilai yang kami perjuangkan.
Selain itu, Fahmina juga mengikuti dan mengakui nilai-nilai universal demokrasi, pluralisme, penegakan HAM, kesetaraan-keadilan gender, nasionalitas, dan kemaslahatan. Nilai-nilai tersebut juga menjadi acuan dalam setiap aktifitas, penentuan program-program, serta isu yang dipilih Fahmina, baik isu gender, demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam pemerintahan, pluralisme, dan advokasi bagi kelompok-kelompok marjinal.
Dengan nilai-nilai tersebut, Fahmina menjadikan masyarakat sebagai subjek-partner bagi kerja-kerja Fahmina. Masyarakat bukan objek yang dapat diperlakukan secara tidak manusiawi dengan alasan apapun dan untuk kepentingan apapun.
Fahmina secara sadar—sebagaimana tercantum dalam Aturan Dasar—menyebut dirinya sebagai organisasi non-pemerintah dan lembaga nirlaba yang berbasis civil society. Oleh karena itu, peran yang diambil Fahmina selalu dalam posisi membantu, mengembangkan, membela, dan mengembangkan masyarakat, meski harus ditempuh dengan berhadap-hadapan dengan [kepentingan] pemerintah.
Oleh karena potensi dan kemampuan keislaman yang dimiliki oleh banyak aktivis Fahmina, dan basis intelektual Fahmina dalam gerakan perempuan adalah memberikan dorongan, argumen teologis, dan justifikasi atas kebenaran perjuangan gerakan ini dari perspektif keislaman.
Tujuan utama dari peran ini adalah transformasi sosial yang adil dan setara gender. Fahmina mendorong transformasi ini berangkat dari tradisi intelektual keislaman klasik ala pesantren. Fahmina tampak ingin memberikan landasan teologis atas gerakan perempuan, baik yang dilakukan oleh Fahmina sendiri maupun oleh organisasi dan lembaga lain yang memiliki orientasi perjuangan yang sama.
Fahmina dalam mendesakkan perubahan sosial selalu mendasarkan pada hasil riset yang dilakukan sebelumnya atau fakta-fakta sosial empiris yang dialami kaum perempuan, baik melalui jalur struktural maupun kultural. Tentu saja tujuan utama dari gerakan ini adalah perubahan kondisi perempuan menuju kesetaraan dan keadilannya. Kesetaraan dan keadilan, dari sisi kultural, tidak akan mungkin tercipta tanpa ada pilihan sadar. Pilihan sadar tidak akan terjadi apabila tidak ada kebebasan. Kebebasan tidak akan diperoleh tanpa ada kedaulatan diri.
Dari sisi struktural, kesetaraan dan keadilan gender akan tercipta apabila hak-hak asasi dan konstitusional perempuan dipenuhi. Pemenuhan ini akan terealisasi apabila ada jaminan hukum atas hak-hak ini. Jaminan hukum akan ada apabila ada kebijakan publik yang berpihak kepada perempuan.
Fahmina dan Pemberdayaan Perempuan
Fahmina memiliki prinsip bahwa sebuah pekerjaan atau dalam hal ini menjalankan program harus didasarkan pada kebutuhan dan aspirasi masyarakat (Fahmina-institute, 2009). Aktivis Fahmina akrab dengan wacana-wacana internasional sekitar perempuan dan Hak Asasi Manusia (HAM), pembangunan, dan isu-isu lainnya. Meski begitu dalam menjalankan programnya. Fahmina fokus pada isu-isu yang menjadi perhatian masyarakat lokal seperti kesehatan reproduksi (Kespro), perdagangan manusia (trafficking) dan migrasi aman (safe migration), partisipasi publik dalam pemerintahan lokal, dan isu diskriminasi atau kekerasan terhadap kelompok-kelompok marjinal dalam masyarakat setempat (Bush 2005)[15].
Memihak Keberdayaan Perempuan
Pilihan Fahmina pada awalnya adalah kerja-kerja strategis. Jangkauannya menyangkut pengembangan kultur dan budaya, terutama yang terwujud dalam pemahaman agama agar menjadi landasan bagi penciptaan cita-cita keadilan dan keberpihakan terhadap mereka yang lemah. Perempuan, sekalipun jumlahnya cukup banyak, tetapi sistem sosial yang patriarkhi menjadikan mereka sebagai objek, dilemahkan, dan rentan terhadap segala bentuk kekerasan. Meski begitu, disadari bahwa kedekatan Fahmina secara fisik dengan komunitas, menyulitkan Fahmina untuk membuat pilihan ini secara tegas sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar.
Sejak tahun 2001, baik perempuan korban, keluarga korban, dan kelompok-kelompok pendamping menuntut Fahmina untuk aksi, terjun langsung dan nyata dalam mengadvokasi perempuan korban kekerasan. Meski begitu tetap disadari bahwa yang ditangani fahmina tidak seefektif dan sebanyak yang ditangani kelompok-kelompok pendamping, seperti WCC Balqis, FWBMI, Bannati, dan Puspita as-Sakinah. Ini dikarenakan fahmina dalam banyak kesempatan menekankan pentingnya berbai tugas dengan melihat kemampuan dan keterbatasan lembaga masing-masing.
Kampanye Anti Perdagangan Manusia (Trafficking)
Fahmina telah memulai program pemberdayaan masyarakat melawan kejahatan trafiking ini sejak tahun 2004. Bersama Eva Sundari, Hana Satriyo, Sandra Hamid, dan Lies Marcoes-Natsir, Fahmina mengembangkakn wacana sekaligus praksis advokasi untuk melawan kejahatan trafiking dalam konteks lokal[16]. Untuk wilayah Cirebon, Indramayu, dan Majalengka, trafiking bukanlah sekadar wacana, melainkan persoalan yang hadir sehari-hari di depan mata mereka. Advokasi ini sangatlah berat bagi mereka. Ebab yang mereka lawan tidak sekadar para makelar, calo-calo, dan agen bejat yang memanfaatkan kerentanan kalangan miskin dan peraturan yang lemah, tetapi juga kenaifan dan kemiskinan itu sendiri.
Sebagai isu, trafiking bukanlah agenda baru bagi gerakan perempuan di Indonesia. Bahkan advokasi untuk memberantas praktik perdagangan manusia telah muncul sejak sebelum kemerdekaan. Di tahun 1922, tercatat beberapa perempuan pergerakan dari sayap Islam, seperti Ibu Solichah Wahid dari NU bersama organisasi perempuan dari sayap nasionalis dan sosialis meneriakkan kampanye anti-perdagangan perempuan. Awal tahun 60-an, dengan dilatarbelakangi oleh situasi politik konfrontasi Indonesia-Malaysia, seruan untuk memerangi kejahatan trafiking dilakukan oleh organisasi pergerakan perempuan Islam, seperti Aisyiyah, yang menentang perdagangan manusia yang dipekerjakan di perkebunan-perkebunan di Semenanjung Malaysia yang didatangkan secara illegal dari wilayah Sumatera. Pada perkembangannya, isu trafiking muncul mengiringi semakin terbukanya lalu lintas hubungan antarpulau dan antarnegara. Karenanya, isu ini menjadi persoalan antar dan internegara-negara di dunia, utamanya di dunia berkembang.
Menurut Lies Marcoes-Natsir, salah satu Dewan Kebijakan Fahmina, meskipun perdangan manusia merupakan isu global yang bisa terjadi di mana saja, bahkan di Eropa dan Amerika, namun cara bekerja Fahmina Cirebon tidaklah nggebyah uyah (menjeneralisasi masalah). Lies Marcoes menyebutkan:
Inilah sumbangan penting dalam membuktikan pendekatan keilmuan yang berperspektif perempuan. Bagi Fahmina, meskipun banyak tempat di dunia mengalami ancaman trafficking, namun akar dan konteksnya tidak pernah sama. Karenanya, solusi yang mereka tawarkan pun tidak mengekor kerja-kerja dan formula orang lain. Menyelesaikan masalah melalui penyadaran dengan pendekatan agama adalah cara yang kontekstual sekaligus genuine. Ada beberapa alasan yang bisa kita catat untuk menunjukan hal itu. Pertama, Fahmina menangkap pentingnya memenuhi cara pandang keagamaan umat yang lebih terfokus pada fiqh. Kedua, fiqh sebagai produk pemikiran masa lalu selama ini seringkali dipahami dan diikuti secara instan tanpa mengetahui asal usul kelahirannya secara metodologis. Dalam rangka menghentikan kecenderungan seperti itu, Fahmina menyajikan paparan argumentasi fiqh tentang trafficking yang didahului dengan pengenalan metode pengambilan hukum dalam tradisi fiqh. Dengan cara seperti itu, para pembacanya diberi kebebasan untuk menentukan sikap dan pilihan hukum atas sesuatu tindakan yang diambilnya. Ketiga, wilayah kerja fiqh selama ini dianggap telah selesai dan baku. Karenanya, fiqh dianggap tidak responsif pada isu-isu kontemporer yang membutuhkan jalan keluar. Melalui buku ini, para penulis buku ini hendak membuktikan bahwa fiqh tetaplah memiliki daya dobrak yang kuat untuk memerangi ketidakadilan dan dehumanisasi[17].
Fahmina juga mendapatkan pembelajaran dari pendampingan sejumlah kasus trafiking yang dihadirkan kelompok-kelompok pendamping komunitas. Sebagai contoh, pada tahun 2007 Fahmina pernah melakukan penjemputan tiga orang perempuan yang masih memiliki hubungan saudara dari Cirebon, yang kemudian mereka ini dijual sebagai PSK di Lubuk Lingau Sumatera Selatan. Di samping itu, Fahmina juga melakukan: penuntutan keluarga perempuan (Mundu Cirebon) yang meninggal akibat dibakar suami, pendampingan kasus KDRT di Kota Cirebon akibat korban PHK perusahaan swasta di Cirebon, pendampingan dan pemulangan perempuan Aceh yang menjadi korabn KDRT oknum Brimob Cirebon, penuntutan hak perempuan atas ingkar janji pegawai LP Gintung Lor, pendampingan kasus buruh migran dan kasus KDRT di Majalengka, dan juga pendampingan 8 kasus buruh migran dari Kabupaten Cirebon dan Indramayu.
Kasus-kasus tersebut tetap hadir dibawa oleh keluarga korban atau korban itu sendiri, dan meminta dapingan dari Fahmina, sekalipun pilihan yang ditetapkan sebenarnya adalah pengembangan kultur dan penciptaan budaya. Hal tersebut juga memperkuat kerja-kerja strategis Fahmina dalam mewacanakan Islam yang ramah perempuan dan adil gender. Ini semua dilakukan Fahmina dalam berbagai bentuk, baik sebagai isu utama maupun cross cutting issues, yaitu: kursus, pelatihan, belajar bersama, pengajian kitab, penciptaan lagu shalawat, penerbitan buku, media Warkah al-Basyar, dan Blakasuta, maupun penulisan di koran lokal dan nasional. Pendidikan tersebut juga ditujukan kepada dua kelompok sasaran: kelompok aktivis perempuan dan kelompok pendakwah agama, khususnya dari pesantren.
Untuk kelompok pertama, tujuan Fahmina adalah agar mereka memhami dan menggunakan Islam sebagai kekuatan teologis kerja-kerja pemberdayaan mereka. Dengan itu, Fahmina sendiri memperoleh manfaat besar berdasarkan pengalaman-pengalaman riil yang dihadapi perempuan, sebagai basis reinterpretasi terhadap tradisi intelektual pesantren. Sementara dengan kelompok kedua, tujuan Fahmina adalah agar mereka mengenali perspektif gender sebagai pemaknaan dan dakwah Islam yang ramah perempuan dan adil gender. Tentu saja, Fahmina pun memperoleh manfaat besar dari kelompok kedua ini dengan kekayaan tradisi intelektual yang mereka hadirkan di hadapan para aktivis Fahmina.
Untuk kelompok pertama, pada tahun 2004 Fahmina menyelenggarakan Kursus Islam dan Gender (Dawrah Fiqh Perempuan) yang dihadiri 28 orang aktivis dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk para aktivis dari generasi pertama, seperti Ibu Saparinah Sadli, Debra Yatim, Kamala Candrakirana, Taty Krisnawati, Ninuk Widyantoro, dan lain-lain. Dari pengalaman ini, Fahmina berhasil menerbitkan buku Dawrah Fiqh Perempuan, Modul Kursus Islam dan Gender. Dengan buku ini, Fahmina memfasilitasi para pelatih dari kepolisian Nanggroe Aceh Darussalam, aktivis perempuan Aceh, aktivis laki-laki Aceh, aktivis NGO dan kelompok pendamping komunitas Bangkalan Madura, Fahmina pernah memperoleh kehormatan untuk memfasilitasi aktivis perempuan muslim Moro di Davao City Philipina pada bulan Desember 2007, terkahir tahun 2011 fahmina memfasilitasi Kursus Islam dan Gender ini dihadiri oleh aktivis perempuan lintas agama, termasuk di dalamnya Julia Suryakusumah, feminis senior dan kolumnis di berbagai media massa, nasional dan internasional.
Buku Dawrah Fiqh Perempuan; Kursus Islam dan Gender sudah dicetak tiga edisi, lebih dari 4000 eksemplar, beredar di antara para aktivis dan lembaga-lembaga gerakan perempuan. Buku itu juga sudah diterbitkan ke dalam bahasa Inggris, berjumlah 2000 eksemplar dan beredar di antara berbagai NGO nasional, regional, dan internasional. Untuk kelompok kedua, Fahmina melakukan berbagai kursus, pelatihan, belajar bersama, pengajian kitab, ihtisab Ramadhan, penulisan di media dan penerbitan buku, dan yang lebih khusus adalah penerbitan kaset dan buku Shalawat Keadilan.
Sekalipun upaya yang kedua itu lebih sulit dan menghadapi berbagai tantangan, tetapi persinggungan dengan berbagai aktor pesantren yang memiliki kekayaan khazanah dan tradisi intelektual, ternyata banyak mengasah kemampuan dan keyakinan Fahmina. Dari sini ditancapkanlah bahwa Islam mendasarkan pada prinsip keadilan dalam segala hal, termasuk relasi laki-laki dan perempuan, tidak memperlakukan salah satu dengan zalim dan tidak menjadikannya sebagai objek kekerasan. Karena itu, segala sikap dan tindakan yang mengakibatkan kezaliman dan kekerasan terhadap perempuan, adalah berlawanan dengan Islam. Karena itu, Fahmina dengan berbagai kelompok perempuan lokal maupun nasional, bergerak mengupayakan terwujudnya tatanan sosial yang berkeadilan gender, tanpa ada kekerasan satu jenis kelamin terhadap yang lain, penindasan, diskriminasi, dan bentuk-bentuk kezaliman apapun.
Pemerintah Daerah (Pemda) Cirebon menyatakan komitmennya untuk menindaklanjuti Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Anti Trafiking yang disusun oleh Jaringan Masyarakat Anti Trafiking (Jimat) Cirebon. Komitmen itu dinyatakan langsung oleh Wakil Bupati (Wabup) Cirebon, Ason Sukasa, mewakili Bupati Cirebon yang berhalangan hadir dalam audiensi bersama Jimat, di ruang rapat Bupati Cirebon, pada kamis (27/08). Dalam audiensi yang difasilitasi Fahmina itu, dihadiri sejumlah LSM yang tergabung dalam Jimat, di antaranya Balqis, Bannati, Forum Warga Buruh Migran (FWBMI), Warga Siaga, serta dinas terkait seperti staf ahli, Kabag Hukum, Disdukcapil, Disnakertrans, BPMPD, Kesra, dan Kesbang Cirebon.
Dalam menjalankan programnya itu, Fahmina didanai oleh The Asia Foundation (TAF) dari 2004-2008, dan sekarang didanai sebagian oleh Organisasi Buruh Internasional. Program ini telah mencakup berbagai kegiatan, termasuk penelitian, advokasi kebijakan regional, mengembangkan langkah-langkah praktis untuk meningkatkan penegakan hukum, dan pelayanan korban dukungan dalam masyarakat, termasuk memfasilitasi pembentukan jaringan anti-perdagangan regional, dukungan langsung dan advokasi bagi para korban dan program pendidikan publik melalui sejumlah media. Di samping program besar, multidimensi di wilayah konstituten lokal, Fahmina juga terlibat dalam membentuk Forum Masyarakat Anti Trafiking (FORMAT) di Aceh, pasca tsunami dengan dukungan dari USAID.
Khusus untuk konteks lokal, pada tahun 2005, Jimat merancang Raperda Antri Trafiking dan mendesak Pemerintah Daerah (Pemda). Trafiking merupakan kejahatan manusia yang sungguh sangat biadab dan merampas kemerdekaan manusia. Trafiking juga sudah sangat terorganisir. Sehingga sudah seharusnya memperoleh respon, dukungan dan komitmen Pemda, salah satunya dengan mengesahkan Raperda perlindungan dan pencegahan trafiking menjadi Perda. Upaya Jimat mendesak Pemda untuk mengesahkan peraturan Daerah (Perda) yang melindungi korban perdagangan manusia (trafficking), sampai saat ini belum dilakukan Pemda Cirebon. Padahal di akhir tahun 2009 Pemda yang diwakili Wakil Bupati Cirebon, mengaku prihatin atas merajalelanya kejahatan perdagangan orang (trafficking)[18], terutama di Kabupaten Cirebon. Menurutnya, memberantas kejahatan trafficking merupakan perjuangan bersama. Pemda Cirebon juga berjanji akan menindaklanjuti, meski dalam kenyataannya belum ada perkembangan. Berdasarkan data yang dihimpun Jimat, sejak tahun 2002, tercatat 775 kasus trafiking di Kabupaten Cirebon. Jumlah tersebut bukan sekadar angka yang kecil, karena itu hanya angka yang terlaporkan, dan karenanya angka yang tidak terlaporkan lebih dari itu.
Trafiking merupakan masalah yang sangat nyata dalam komunitas yang mendukung program-program Fahmina. Di daerah-daerah lokal yang menjadi basis Fahmina, tingkat perdangan manusia sangat tinggi, terutama di daerah Cirebon dan Indramayu. Sedangkan bentuk-bentuk perdagangan manusia memang terjadi, dan sebagian besar kasus trafiking di daerah-daerah itu terkait dalam beberapa cara untuk migrasi tenaga kerja perempuan. Bahkan ini jadi fenomena sangat umum di wilayah ini—hingga 80% dari perempuan di beberapa desa menjadi buruh migran yang biasa disebut TKW (Silvey 2004; Azmi Al’ab dan Nuruzzaman 2004).
Memang banyak juga TKW yang memiliki pengalaman positif, atau setidaknya pengalaman tidak ada masalah besar selama kontrak mereka. Hanya saja, proporsi dari eksploitasi dan pelecehan pengalaman TKW-TKW itu, juga sangat signifikan. Misalnya, tenaga kerja terjebak pada prostitusi secara paksa, pemerasan, tindak kekerasan fisik (juga seksual dan psikologis), upah tidak dibayar, penipuan, jam kerja yang panjang tanpa alasan, dan kurungan di tempat kerja (Surtess 2003; Azmi Al’ab dan Nuruzzaman 2004). Dampak dari semuanya itu kepada korban sering berakibat sangat parah, terutama dalam kasus-kasus pelecehan seksual atau perdagangan seks, karena korban distigma oleh masyarakat mereka setelah mereka kembali (Azmi Al’ab dan Nuruzzaman 2004).
Pertimbangan-pertimbangan demikian menjadi konsen Fahmina, karena prinsip kerja Fahmina adalah sebuah program harus dirancang dalam menanggapi hasil penelitian lapangan di masyarakat sebagai sasarannya. Oleh karena itu, pada tahun 2004, Fahmina melakukan penelitian dalam perdagangan dan isu-isu perempuan buruh migran di wilayah Cirebon jauh lebih besar (didokumentasikan dalam Azmi Al’ab dan Nuruzzaman 2004). Di samping itu, juga perlu mencari data tentang jumlah dan sifat kasus perdaganan, dan jenis permasalahan yang dihadapi oleh buruh migran dan korban perdagangan manusia. Untuk itu, para peneliti melakukan wawancara dengan anggota masyarakat dan tokoh agama setempat untuk menentukan sikap mereka terhadap perdagangan dan migrasi perempuan pekerja. Penelitian ini menemukan bahwa pada prinsipnya masyarakat menentang perdagangan manusia. Opsisi terhadap perdaganan manusia sering dinyatakan dalam nilai-nilai agama, dengan perintah Islam untuk mengakhiri perbudakan. Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa sering orang tidak mengakui kasus perdagangan atau ekploitasi buruh migran yang terkena anggota komunitas mereka sebagai kejahatan dan pelanggaran hak.
Bahwa pemimpin agama yang diwawancarai menegaskan bahwa Islam melarang perempuan untuk meninggalkan rumah tanpa diiringi dengan mahram-nya (relatif darah laki-laki), dan bahwa perempuan Muslim dilarang meninggalkan kewajiban mereka sebagai isteri dan ibu dengan migrasi untuk bekerja. Namun, banyak dari para pemimpin agama yang sama juga mengakui bahwa realitas ekonomi dan norma sosial yang tidak memungkinkan untuk mencegah perempuan menjadi TKW.
Fahmina menggunakan hasil penelitian tersebut untuk merancang program yang akan membangun nilai-nilai agama masyarakat dan keyakinan sebagaimana terungkap dalam penelitian. Di samping advokasi kebijakan regional, langkah-langkah praktis juga dilakukan untuk meningkatkakn penegakan hukum dan layanan perlindundungan korban, dan serangkaian pembicaraan anti-perdagangan disiarkan melalui jaringan stasiun radio komunitas. Program Fahmina ini termasuk menyebarkan pendapat keagamaan tentang isu-isu yang berkaitan dengan perdagangan manusia melalui Warkah al-Basyar, salalh satu media Fahmina. Artikel-artikel yang dicetak dalam Warkah al-Basyar juga dijadikan acuan dalam penerbitan buku Fiqh Anti Trafficking yang dicetak Fahmina tahun 2006 (Abdul Kodir et.al, 2006)
Buku Fiqh Anti Trafficking tersebut berisi analisis mendalam isu-isu yang berkaitan dengan perdagangan manusia dari perspektif Islam. Buku ini mencakup bab tentang tanggungjawab negara untuk melindungi warga negaranya, dan prinsip-prinsip dasar hubungan manusia menurut Islam, termasuk bagian tentang “Menghormati Martabat Manusia”, “Hubungan antara orangtua dan anak”, “Hubungan antara suami dan istri” dan “Hubungan antara majikan dan karyawan”. Kasus-kasus kehidupan nyata tersebut kemudian dilihat dari perspektif agama. Dalam buku itu Fahmina juga memberikan pendapat keagamaan, didukung oleh kutipan dari Al-Qur’an, Hadis dan karya ulama Islam terkenal, yang mendukung hak perempuan untuk bekerja dan meninggalkan rumah mereka, dan menjelaskan kewajiban umat Islam untuk memberikan perlindungan bagi korban perkosaan.
Dalam buku tersebut juga dibahas isu-isu hukum dan moral perspektif Islam seputar hak perempuan untuk menggugurkan kehamilan yang terjadi sebagai akibat dari perkosaan; menyajikan argumen teologis yang menunjukan bahwa menjual anak-anak menjadi buruh terikat, atau memaksa seseorang untuk menjadi pekerja seks komersial, hukumnya adalah haram (dilarang oleh Islam). Dalam semua kasus, buku ini tidak hanya menyajikan argumen keagamaan, tetapi juga hukum yang relevan, tindakan dan perjanjian internasional dimana Indonesia adalah salah satu penandatangannya, sehingga menghubungkan perspektif agama dengan instrumen-instrumen internasional.
Program Anti Trafiking Fahmina memberikan perspektif alternatif pada kritik yang menyatakan bahwa prioritas LSM ditentukan oleh donor; dan kritik atas perkembangan trend LSM Internasional yang dapat menarik diri dari isu-isu lokal dan missi organisasi mereka sendiri. Program Anti Trafiking justru sebaliknya, dan dirancang untuk melibatkan masyarakat dengan menggunakan pendekatan yang dibangun atas dasar nilai-nilai moral keagamaan dan kerangka masalah perdagangan manusia dalam “wacana populer” moralitas agama. Dengan mengambil keuntungan dari peluang pendanaan yang tersedia untuk pekerjaan Anti Trafiking, Fahmina telah mampu menjalankan program yang menciptakan wacana alam komunitas pendukung di berbagai isu keadilan sosial, seperti perempuuan dan hak-hak anak, kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak, hak pekerja, dan tanggung jawab negara terhadap warga negaranya.
Secara umum, proram Fahmina lebih dari sekadar isu perempuan, tetapi juga isu Hak Asasi Manusia (HAM), pluralisme, demokrasi, dan otonomi komunitas. Yang khas dan unik dari Fahmina adalah semua isu-isu didekati dan dibaca dari perspektif Islam dan kesetaraan-keadilan gender.
Capaian, Strategi, dan Jaringan
Capaian
Sejak didirakn sampai tahun 2010, Fahmina telah melakukan beberapa program dan kegiatan yang berkontribusi pada perubahan, baik di tingkat komunitas maupun kebijakan publik, khususnya yang berdampak pada terbukanya akses masyarakat terhadap hak-haknya. Di antara yang telah dilakukan Fahmina adalah:
1). Pendidikan publik dan pembangunan kesadaran masyarakat atas hak dasarnya sebagai warga negara, haknya sebagai manusia, dan haknya sebagai perempuan. Upaya ini dilakukan dalam bentuk, di antaranya:
· Pendirian 10 Radio Komunitas di Wilayah III Cirebon, meliputi Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan.
· Bulletin al-Basyar yang terbit sejak tahun 2001 hingga sekarang, memuat isu-isu keislaman yang dikaitkan dengan isu gender, demokrasi, HAM, trafficking, dan pluralisme, yang disebar ke seluruh wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, dan Situbondo.
· Bulletin Blakasuta yang telah terbit sejak Desember 2003 hingga sekarang, berisi sebagai informasi tentang isu demokrasi, pluralisme, HAM, komunitas, pemberdayaan, ekonomi, pendidikan kritis, kesetaraan dan keadilan gender dan sebagainya.
· Penerbitan jurnal ilmiah Fiqh Raykat dan buku hasil kajian Islam dan Gender, Islam dan Demokrasi, dan Islam dan Pluralisme.
2. Peningkatan kesadaran masyarakat pesantren, khususnya di wilayah Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan, Jawa Timur, dan Naggroe Aceh Darussalam, melalui pelatihan, lokakarya, forum diskusi, mujalasah ulama, halaqah, penyebaran bulletin Al-Basyar dan Blakasuta, dan lain sebagainya.
3. Adanya kebijakan publik yang telah mempengaruhi pemenuhan hak-hak masyarakat, di antaranya:
· Advokasi, pendampingan dan capacity building untuk pedagang kaki lima (PKL) yang sering menjadi sasaran razia pemerintah setempat. Pada tahun 2006, Fahmina telah berhasil mengajukan anggaran untuk pemberdayaan ekonomi PKL melalui Pemerintah Provinsi Jawa Barat senilai dua milyar rupiah.
· Fahmina telah mendorong pemerintah di lima daerah (Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Kuningan, dan Kab. Majalengka) Jawa Barat untuk memenuhi kewajiban negara akan hak warga untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikan dasar gratis. Salah satu keberhasilannya saat ini di Indramayu adalah pemerintah telah menganggarkan dana kesehatan dan pendidikan lebih dari 20% dari APBD.
· Fahmina mendesak pemerintah daerah Indramayu untuk menyusun regulasi yang dapat melindungi warganya dari tindak kekerasan dan kejahatan, terutama yang menimpa buruh migran dan perempuan. Hasil dari intervensi ini adalah lahirnya Perda no. 14 tahun 2005 tentang Pencegahan dan Pelarangan Trafficking untuk Eksploitasi Seksual Komersial Anak di Indramayu.
4. Publikasi melalui website Fahmina (www.fahmina.or.id), untuk menyosialisasikan wacana kritis Fahmina, gerakan Fahmina, Islam Cirebon, dan berbagai informasi Islam dan gender lainnya dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Inggris.
5. Pendirian perguruan tinggi Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) di Cirebon. ISIF dengan izin operasional dari Ditjen Pendidikan Islam, Departemen Agama RI melalui SK nomor DJ.I/405/2008 saat ini membuka 6 jurusan dari 3 fakultas, yaitu Fakultas Tarbiyah (Jurusan Pendidikan Agama Islam), Fakultas Syariah (Jurusan Ahwal Syakhshiyyah atau Hukum Keluarga, dan Ekonomi Perbankan Islam), dan Fakultas Ushuluddin (Jurusan Tafsir Hadits, Pemikiran Islam, dan Tasawuf).
6. Pembentukan jaringan dan koordinasi kekuatan civil society untuk mendapatkan capaian program yang maksimal, di antaranya:
· Bergabung dalam Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) untuk melakukan kerja-kerja pendidikan demokrasi bagi pemilih pemula dan monitoring terhadap proses pelaksanaan pemilihan, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah.
· Bergabung dalam Jaringan Persaudaraan Sejati (JPS) yang bekerja untuk mengadvokasi kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak pada kebebasan dan keragaman agama. Dalam konteks ini, kebijakan yang diadvokasi adalah RUU KUB (Kerukunan Umat Beragama) pada tahun 2004.
· Bergabung dalam jaringan pemantauan pluralisme yang dibentuk pada tahun 2005 untuk menangani kasus kekerasan atas nama agama. Jaringan ini juga memantau kebijakan pemerintah yang tidak mencerminkan keberpihakan pada pluralitas budaya, etnis, dan agama.
· Memfasilitasi pendirian jaringan antaragama di Kabupaten dan Kota Cirebon yang tergabung dalam Forum Sabtuan, sejak tahun 2000 hingga sekarang.
· Memfasilitasi pendirian Jaringan Masyarakat Anti Trafficking (JIMAT) dan mendampingi Satuan Tugas Anti Trafficking (SANTRI), dua jaringan yang dibentuk atas keprihatinan berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, dan buruh yang terjadi di Wilayah Cirebon. Jaringan ini terbuka sebagai tindak lanjut dari training yang dilakukan Fahmina sejak tahun 2005.
· Untuk wilayah Aceh, pada tahun 2007 Fahmina memfasilitasi terbentuknya Forum Masyrakat Anti Trafficking (FORMAT) Aceh. Secara umum, forum ini bergerak untuk menyosialisasikan dan melakukan pemberdayaan perempuan dengan perspektif gender. Sementara secara khusus, forum ini memberikan layanan konseling terhadap korban kekerasan terutama perempuan dan anak, seperti akibat KDRT dan Trafficking di Aceh.
· Memfasilitasi pendirian Jaringan Kerja untuk Pemantauan dan Advokasi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (JAKER PAKB2) di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007.
Strategi
Secara prinsip, seluruh program Fahmina diorientasikan kepada tiga ranah: sosial-intelektual, yakni program diarahkan pada produksi wacana keagamaan kritis dan penguatan teologi pembebasan sebagai basis gerakan sosial; sosial-budaya, yakni program diarahkan pada pengembangan kultur masyarakat yang berorientasi pada perubahan sosial untuk keadilan sosial; dan sosial-politik, yakni program diarahkan pada pengorganisasian berbagai kelompok masyarakat agar mandiri, berdaya, dan mampu menciptakan kebijakan publik yang adil.
Prinsip-prinsip itu diterapkan dalam gerakan dengan menggunakan berbagai strategi, yaitu: pengkajian dan penelitian yang berorientasi pada transformasi sosial; pendidikan yang berorientasi pada pembentukan agen perubahan sosial dan penciptaan komunitas intelektual kritis yang bermartabat; produksi hasil kajian dan kerya intelektual bermazhab kritis; fasilitasi tumbuhnya kelompok-kelompok kritis-strategis yang memperjuangkan keadilan sosial, demokratisasi, dan tegaknya HAM; dan advokasi kebijakan publik agar berpihak kepada masyarakat yang tertindas demi keadilan sosial.
Media juga digunakan secara intens oleh Fahmina dalam berbagai gerakannya, yaitu media elektronik (website www.fahmina.or.id, facebook, milist dan lain-lain), media cetak (Majalah Blakasuta, Majalah Tanasul, Warkah al-Basyar, Jurnal Fikih Rakyat, Buku, Tabloid, Poster, Kalender, Leaflet, dan lain-lain), media audio (kaset, talkshow radio, dan lain-lain), media seni budaya (pertunjukan Kanjeng Sunan, dan lain-lain).
Jaringan
Dengan berbagai kerja, upaya, komitmen, dan terus menerus untuk bisa hadir di tengah-tengah masyarakat, Fahmina merasa penting membangun dan menggandeng banyak jaringan. Jaringan-jaringan ini ada yang jangkauannya nasional, lokal, internasional dan juga ada yang berasal dari perguruan tinggi. Semua adalah mitra kerja Fahmina yang jumlahnya sudah cukup banyak, sebagaimana dalam daftar jaringan berikut:
Lembaga-lembaga Jaringan Fahmina Nasional
- Rahima, Jakarta
- Depag RI, Jakarta
- Desantara, Jakarta
- Madia, Jakarta
- Puan Amal Hayati, Jakarta
- PPIM UIN, Jakarta
- The Wahid Institute, Jakarta
- PP. Lakpesdam NU, Jakarta
- PP. Fatayat NU, Jakarta
- Lab. Sosiologi UI, Jakarta
- YKP, Jakarta
- LP3ES, Jakarta
- ICRP, Jakarta
- KBR 68 H, Jakarta
- VHR (Voice of Human Right) , Jakarta
- Paramadina, Jakarta
- LIPI, Jakarta
- Komnas HAM, Jakarta
- Komnas Perempuan, Jakarta
- Kapal Perempuan, Jakarta
- SBMI, Jakarta
- Kalyanamitra, Jakarta
- LLBH Apik, Jakarta
- ICIP, Jakarta
- Migrant Care, Jakarta
- P3M, Jakarta
- STT, Jakarta
- LKAJ, Jakarta
- KPP (Kementerian Pemberdayaan Perempuan)
- JRK (Jaringan Radio Komunitas), Jawa Barat
- Sapa Institute, Bandung
- LBH, Bandung
- PBHI, Bandung
- GKP, Bandung
- Jakatarub, Bandung
- Pemprov Jawa Barat
- JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)
- Pusham UII, Yogyakarta
- USC Satunama, Yogyakarta
- Syarikat Indonesia, Yogyakarta
- LkiS, Yogyakarta
- CRI (Combine Resource Institution) , Yogyakarta
- PKBI, Yogyakarta
- PSW UIN, Yogyakarta
- Puskadiabuma UIN, Yogyakarta
- Percik, Salatiga
- Pusham Unair, Surabaya
- Pusdakota, Surabaya
- Ma’had Aly PP. Sukorejo, Situbondo
- Madani, Aceh
- Himpunan Ulama Dayah Aceh (Huda), Aceh
- Flower, Aceh
- RPUK (Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan), Aceh
- Mispi, Aceh
- Format, Aceh
- Aceh Institute, Aceh
- Kanwil Depag, Nanggroe Aceh Darussalam
- Rabithah Thaliban Aceh (RTA), Aceh
- Manikaya, Bali
- LAPAR, Makasar
- LK3, Banjarmasin
Lembaga-lembaga Jaringan Fahmina Lokal
- Pemkot, Cirebon
- Pemkab, Cirebon
- Kandepag, Cirebon
- PGI
- WCC Mawar Balqis
- Bannati
- FWBMI
- FKBMI
- Puan As-Sakinah
- Pemkab Indramayu
- Mimi Research
- Dewan Kesenian Cirebon
- Dewan Kesenian Indramayu
- Polres Cirebon
- Polresta Kota Cirebon
- Polres Indramayu
- Polres Majalengka
- Polres Kuningan
- Bilik Indramayu
- Radio Komunitas Asjap Institute
- Radio Komunitas Qlan FM
- Radio Komunitas AJ FM
- Radio Komunitas Bhuana FM, Kab. Cirebon
- Radio Komunitas Best FM, Kab. Cirebon
- Radio Komunitas BBC FM, Kab. Cirebon
- Radio Komunitas Baina FM, Kunigan
- Radio Komunitas Bonbar FM, Kota Cirebon
- Radio Komunitas Bilik FM
- Radio Komunitas AIN FM
- Radio Komunitas Caraka FM
- Radio Komunitas Cirebon FM
- Radio RRI Cirebon
- Radio Komunitas Palem FM
- Yayasan Khatulistiwa
- PCNU Kab. Cirebon
- PCNU Kota Cirebon
- Lakpesdam NU Cirebon
- GP. Anshor Cirebon
- PC. Fatayat NU Cirebon
- PC. Muslimat NU Cirebon
- Aisyiah Cirebon
- Nasyiatul Aisyiah (NA) Cirebon
- IPPNU Cirebon
- IPNU Cirebon
- PMII Cirebon
- HMI Cirebon
- IMM Cirebon
- 109. Pesantren Arjawinangun, Kab. Cirebon
- Pesantren Babakan Ciwaringin, Kab. Cirebon
- Pesantren Kempek, Kab. Cirebon
- Pesantren Winong, Kab. Cirebon
- Pesantren Susukan, Kab. Cirebon
- Pesantren Tegalgubug, Kab. Cirebon
- Pesantren Balerante, Kab. Cirebon
- Pesantren Kaliwadas, Kab. Cirebon
- Pesantren Bode Lor, Kab. Cirebon
- Pesantren Buntet, Kab. Cirebon
- Pesantren Gedongan, Kab. Cirebon
- Pesantren Panggangsari Losari, Kab. Cirebon
- Pesantren Al-Mizan, Majalengka
- Pesantren Cisambeng, Majalengka
- Pesantren Cadangpinggan, Indramayu
- Pesanten As-Sakinah, Indramayu
Lembaga-lembaga Jaringan Fahmina Perguruan Tinggi
- UI Jakarta
- Unpad Bandung
- UIN Bandung
- Universitas Padjajaran Bandung
- UIN Jakarta
- UIN Yogyakarta
- UII Yogyakarta
- Pusham UII Yogyakarta
- USC Satunama, Yogyakarta
- UNAIR Surabaya
- STAIN Cirebon
- STAI Cirebon
- ISIF Cirebon
- STAIMA Cirebon
- STID Cirebon
- Akbid Negeri Cirebon
- Akper Muhammadiyah Cirebon
- IAIN Ar-Raniry Aceh
Lembaga-lembaga Jaringan Fahmina Internasional
- The Asia Foundation
- The Ford Foundation
- The Partnership
- TIFA Foundation
- AVI (Australian Volunter International)
- AUSAID
- NZ Aid
- USAID
- Danida
- Global Fund for Women
- Oxfam UK
- British Council
- UNDP
- Sisters in Islam, Malaysia
- AMAN
- HIVOS
- MNH (Maternal Neonatal Health)
- Banchte Secha, Bangladesh
- MLAA Dhaka Bangladesh
- Equitas (International Human Rights Education), Canada
- Mama Global
Referensi
[1] Husein Muhammad saat itu adalah kiai pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan PTIQ Jakarta, dan al-Azhar Mesir, kader P3M Jakarta dan PP Lakpesdam Jakarta.
[2] Affandi Mochtar saat itu adalah anak KH. Mochtar PP Babakan Ciwaringin Cirebon, lulusan S1 STAIN Cirebon dan S2 McGill University, sedang mengikuti program S3 di IAIN Jakarta.
[3] Marzuki Wahid saat itu adalah anak Ketua PC Lakpesdam NU Kab. Cirebon, mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, alumni PP Babakan Ciwaringin Cirebon dan PP Krapyak Yogyakarta, lulusan S1 IAIN Yogyakarta, sedang S2 di IAIN Jakarta.
[4] Faqihuddin Abd. Kodir saat itu adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan S1 Universitas Damaskus Syiria, dan baru menyelesaikan S2 di Islam Antara Bangsa Kualalumpur Malaysia.
[5] Awalnya empat pendiri Fahmina tersebut menyepakati nama “Fahmindo” untuk menyebut lembaga yang didirikannya itu. “Fahmindo” adalah padatan dari “fahm” (bahasa Arab) yang berarti perspektif, dan “indo” adalah singkatan dari “Indonesia”. Sehingga Fahmindo berarti “perspektif Indonesia tentang masalah-masalah kemanusiaan” atau “perspektif kita tentang keindonesiaan”. Saat itu Fahmindo sudah terdaftar di Akta Notaris Atiyah Djahari, SH Cirebon dengan no. 20 tanggal 31 Juli 2000. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kemudian nama “Fahmindo” diubah menjadi “Fahmina”. Fahmina adalah padatan dari “fahm” dan “ina” dengan makna yang kurang lebih sama, kecuali “indo” (singkatan Indonesia) diubah menjadi “ina” (singkatan internasional untuk negara Indonesia). Fahmina juga bisa berarti “pemahaman kita” atau “perspektif kita” tentang realitas sosial, kemanusiaan atau masalah-masalah sosial keagamaan untuk transformasi sosial. Nama lembaga Fahmina juga sudah terdaftar di Notaris Idris Abas, SH No. 1 tanggal 3 Januari 2003. Pada tahun 2007, badan hukum Fahmina menjadi Yayasan Fahmina, dengan SK Menhukam No. 8 tanggal 10 Agustus 2007.
[6] Klub Kajian Bildung (KKB) dimotori oleh Affandi Mochtar dan Marzuki Wahid. Aktif dalam KKB ini adalah Suwendi, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Yahya, Mushoffa Basyir, dll. Selain melakukan serangkaian halaqah di berbagai pesantren, KKB juga melakukan rihlah ilmiah (academical journey) ke berbagai kantong-kantong gerakan, misalnya ke CSIS Jakarta, ICMI Jakarta, PBNU Jakarta, STF Driyarkara, LkiS Yogyakarta. Adapun ke person, KKB melakukan rihlah ilmiah kepada Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Romo Mangunwijaya Yogyakarta, Prof. Dr. Mochtar Mas’oed (Intelektual Muslim kritis UGM Yogyakarta), dll.
[7] Ketua PC Lakpesdam NU pertama di Cirebon adalah Marzuki Wahid, diangkat oleh PCNU Kab. Cirebon.
[8] Pengasuh PP Khatulistiwa Kempek Cirebon.
[9] Pengasuh PP Nadwatul Ummah Buntet Cirebon.
[10] Pengasuh PP Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon.
[11] Pengasuh PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.
[12] JILLI dibentuk oleh Affandi Mochtar, berpusat di PP Ikhwanul Muslimin Babakan Ciwaringin Cirebon. Aktif dalam JILLI adalah Marzuki Wahid, Dudung Abd. Hakim, Saefullah, Ade Asep Syarifuddin, dll.
[13] Diambil dari website resmi Fahmina-institute, yaitu www.fahmina.or.id
[14] Hasil notulensi rencan strategi (Renstra) Fahmina-institute Cirebon, digelar di Hotel Tryas pada Senin, 4 Januari 2010
[15] Hasil penelitian Joanne McMillan tentang Fahmina, “Issues and Dynamics in Partnership between Development Donors and Progressive Islamic NGOs in Indonesia”, 2010.
[16] Faqihuddin Abdul Kodir, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Nakha’i, KH. Husein Muhammad, Marzuki Wahid, Fiqh Anti Trafiking (Cirebon: Fahmina-institute, 2006)
[17] Lies Marcoes Natsir, dalam pengantar buku Fiqh Anti Trafiking. Lihat Ibid.
[18] Dikutip dari http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/747-pemda-cireboon-komitmen-tindaklanjuti-raperda-anti-trafiking.html
- ↑ Husein Muhammad saat itu adalah kiai pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan PTIQ Jakarta, dan al-Azhar Mesir, kader P3M Jakarta dan PP Lakpesdam Jakarta.
- ↑ Affandi Mochtar saat itu adalah anak KH. Mochtar PP Babakan Ciwaringin Cirebon, lulusan S1 STAIN Cirebon dan S2 McGill University, sedang mengikuti program S3 di IAIN Jakarta.
- ↑ Marzuki Wahid saat itu adalah anak Ketua PC Lakpesdam NU Kab. Cirebon, mantan Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta, alumni PP Babakan Ciwaringin Cirebon dan PP Krapyak Yogyakarta, lulusan S1 IAIN Yogyakarta, sedang S2 di IAIN Jakarta.
- ↑ Faqihuddin Abd. Kodir saat itu adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, lulusan S1 Universitas Damaskus Syiria, dan baru menyelesaikan S2 di Islam Antara Bangsa Kualalumpur Malaysia.
- ↑ Awalnya empat pendiri Fahmina tersebut menyepakati nama “Fahmindo” untuk menyebut lembaga yang didirikannya itu. “Fahmindo” adalah padatan dari “fahm” (bahasa Arab) yang berarti perspektif, dan “indo” adalah singkatan dari “Indonesia”. Sehingga Fahmindo berarti “perspektif Indonesia tentang masalah-masalah kemanusiaan” atau “perspektif kita tentang keindonesiaan”. Saat itu Fahmindo sudah terdaftar di Akta Notaris Atiyah Djahari, SH Cirebon dengan no. 20 tanggal 31 Juli 2000. Namun, dengan berbagai pertimbangan, kemudian nama “Fahmindo” diubah menjadi “Fahmina”. Fahmina adalah padatan dari “fahm” dan “ina” dengan makna yang kurang lebih sama, kecuali “indo” (singkatan Indonesia) diubah menjadi “ina” (singkatan internasional untuk negara Indonesia). Fahmina juga bisa berarti “pemahaman kita” atau “perspektif kita” tentang realitas sosial, kemanusiaan atau masalah-masalah sosial keagamaan untuk transformasi sosial. Nama lembaga Fahmina juga sudah terdaftar di Notaris Idris Abas, SH No. 1 tanggal 3 Januari 2003. Pada tahun 2007, badan hukum Fahmina menjadi Yayasan Fahmina, dengan SK Menhukam No. 8 tanggal 10 Agustus 2007.
- ↑ Klub Kajian Bildung (KKB) dimotori oleh Affandi Mochtar dan Marzuki Wahid. Aktif dalam KKB ini adalah Suwendi, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Yahya, Mushoffa Basyir, dll. Selain melakukan serangkaian halaqah di berbagai pesantren, KKB juga melakukan rihlah ilmiah (academical journey) ke berbagai kantong-kantong gerakan, misalnya ke CSIS Jakarta, ICMI Jakarta, PBNU Jakarta, STF Driyarkara, LkiS Yogyakarta. Adapun ke person, KKB melakukan rihlah ilmiah kepada Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), Romo Mangunwijaya Yogyakarta, Prof. Dr. Mochtar Mas’oed (Intelektual Muslim kritis UGM Yogyakarta), dll.
- ↑ Ketua PC Lakpesdam NU pertama di Cirebon adalah Marzuki Wahid, diangkat oleh PCNU Kab. Cirebon.
- ↑ Pengasuh PP Khatulistiwa Kempek Cirebon.
- ↑ Pengasuh PP Nadwatul Ummah Buntet Cirebon.
- ↑ Pengasuh PP Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon.
- ↑ Pengasuh PP Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon.
- ↑ JILLI dibentuk oleh Affandi Mochtar, berpusat di PP Ikhwanul Muslimin Babakan Ciwaringin Cirebon. Aktif dalam JILLI adalah Marzuki Wahid, Dudung Abd. Hakim, Saefullah, Ade Asep Syarifuddin, dll.
- ↑ Diambil dari website resmi Fahmina-institute, yaitu www.fahmina.or.id
- ↑ Hasil notulensi rencan strategi (Renstra) Fahmina-institute Cirebon, digelar di Hotel Tryas pada Senin, 4 Januari 2010
- ↑ Hasil penelitian Joanne McMillan tentang Fahmina, “Issues and Dynamics in Partnership between Development Donors and Progressive Islamic NGOs in Indonesia”, 2010.
- ↑ Faqihuddin Abdul Kodir, Abd. Moqsith Ghazali, Imam Nakha’i, KH. Husein Muhammad, Marzuki Wahid, Fiqh Anti Trafiking (Cirebon: Fahmina-institute, 2006)
- ↑ Lies Marcoes Natsir, dalam pengantar buku Fiqh Anti Trafiking. Lihat Ibid.
- ↑ Dikutip dari http://fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/747-pemda-cireboon-komitmen-tindaklanjuti-raperda-anti-trafiking.html