Cadar: Perbedaan revisi
(Isi konten utama) |
|||
(Satu revisi antara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan) | |||
Baris 25: | Baris 25: | ||
Perdebatan mengenai hukum penggunaan cadar memiliki keterkaitan dengan persoalan batas aurat bagi perempuan. Pendapat yang menyebutkan bahwa wajah bukan aurat maka tidak wajib menggunakan cadar. Sementara bagi pendapat yang menyebutkan bahwa wajah dan telapak tangan sebagai aurat maka pasti bagi pengikutnya pendapat ini mengatakan pengunaan cadar hukumnya wajib. Maka tidak ada taklif untuk menggunakan cadar karena dalil yang dipakai sebagai dasar kewajibannya masih ''debatable''.<ref>Abdul Aziz, “Perempuan Bercadar: Antara Budaya dan Syari’ah”, ''Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam'', Vol. 10, No. 1, (September 2018), hlm. 196-211.</ref> | Perdebatan mengenai hukum penggunaan cadar memiliki keterkaitan dengan persoalan batas aurat bagi perempuan. Pendapat yang menyebutkan bahwa wajah bukan aurat maka tidak wajib menggunakan cadar. Sementara bagi pendapat yang menyebutkan bahwa wajah dan telapak tangan sebagai aurat maka pasti bagi pengikutnya pendapat ini mengatakan pengunaan cadar hukumnya wajib. Maka tidak ada taklif untuk menggunakan cadar karena dalil yang dipakai sebagai dasar kewajibannya masih ''debatable''.<ref>Abdul Aziz, “Perempuan Bercadar: Antara Budaya dan Syari’ah”, ''Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam'', Vol. 10, No. 1, (September 2018), hlm. 196-211.</ref> | ||
H. Faqihuddin Abdul | H. [[Faqihuddin Abdul Kodir]] yang juga merupakan [[tokoh]] penting [[KUPI]] menyatakan bahwa mendefinisikan kebolehan dan ketidakbolehan cadar ataupun jilbab akan berbeda dari waktu ke waktu serta tempat karena ia lebih dekat dengan persoalan budaya daripada ketentuan agama. Dalam analisis tertentu, ia dianggap ini sebagai identitas sosial, dimana perempuan merdeka tidak ingin disamakan dengan perempuan budak yang biasa lalu lalang, pergi ke pasar membantu majikan, bekerja di ladang, dan memberi pelayanan rumah tangga. Menurutnya dalam pembahasan [[fiqh]] pun menutup aurat hanya ada di bab syarat sembahyang, tidak pada bab pakaian atau perhiasan. Beliau juga beralasan keumuman dari penentuan hukum atas cadar yang juga terkait erat dengan khimar dan hijab seringkali membuat berbagai larangan juga pengekangan perempuan dari kehidupan. | ||
Hadis tentang cadar, atau ''niqab'' yang menutup muka. Teksnya, Nabi melarang perempuan memakai ''niqab'' pada saat ihram haji (Sahih al-Bukhari, ''Kitab Jaza as-Sayd,'' no. 1838). Lalu interpretasinya, karena ''niqab'' dilarang pada masa ihram haji, maka ia biasa dipakai perempuan pada masa Nabi. Seperti memakai pakaian berjahit dan parfum. Itu dilarang saat ihram haji. Artinya, niqab/cadar biasa dipakai perempuan di luar haji. Karena biasa dipakai di luar haji oleh perempuan masa Nabi, maka wajib dipakai oleh perempuan lain, mengikuti kebiasaan para perempuan masa Nabi tersebut. Ini logika yang mewajibkan cadar. Tetapi apakah memakai pakaian berjahit, menggunakan parfum, dan memakai tutup kepala bagi laki-laki juga wajib di luar haji? Karena ini semua juga dilarang masa ihram haji. Demikian pertanyaan orang-orang yang tidak menganggap cadar sebagai wajib. Kita terjebak pada persoalan mengatur bahkan, menyudutkan perempuan padahal, subtansi dari dianjurkannya menutup aurat adalah menyangkut keharusan mawas diri dan menjaga diri. Bagi yang menarik sebaiknya mawas diri dan bagi yang mudah tertarik baiknya juga menjaga diri. | Hadis tentang cadar, atau ''niqab'' yang menutup muka. Teksnya, Nabi melarang perempuan memakai ''niqab'' pada saat ihram haji (Sahih al-Bukhari, ''Kitab Jaza as-Sayd,'' no. 1838). Lalu interpretasinya, karena ''niqab'' dilarang pada masa ihram haji, maka ia biasa dipakai perempuan pada masa Nabi. Seperti memakai pakaian berjahit dan parfum. Itu dilarang saat ihram haji. Artinya, niqab/cadar biasa dipakai perempuan di luar haji. Karena biasa dipakai di luar haji oleh perempuan masa Nabi, maka wajib dipakai oleh perempuan lain, mengikuti kebiasaan para perempuan masa Nabi tersebut. Ini logika yang mewajibkan cadar. Tetapi apakah memakai pakaian berjahit, menggunakan parfum, dan memakai tutup kepala bagi laki-laki juga wajib di luar haji? Karena ini semua juga dilarang masa ihram haji. Demikian pertanyaan orang-orang yang tidak menganggap cadar sebagai wajib. Kita terjebak pada persoalan mengatur bahkan, menyudutkan perempuan padahal, subtansi dari dianjurkannya menutup aurat adalah menyangkut keharusan mawas diri dan menjaga diri. Bagi yang menarik sebaiknya mawas diri dan bagi yang mudah tertarik baiknya juga menjaga diri. | ||
Baris 31: | Baris 31: | ||
Oleh: Noor Ishmah | Oleh: Noor Ishmah | ||
== Footnote: == | |||
[[Kategori:Konsep Kunci]] | [[Kategori:Konsep Kunci]] |
Revisi terkini pada 21 Januari 2022 15.58
Keberadaan cadar sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari asal muasal kesejarahan yang mendorong penggunaan cadar di berbagai komunitas dunia. Menurut Quraish Shihab pilihan perempuan Muslimah dalam berpakaian termasuk bercadar dapat saja dimaknai sebagai upaya melindungi keindahan, menaati kewajiban, pilihan rasional, atau menutupi keaiban namun, cadar disinyalir lebih erat terkait dengan pilihan untuk menutupi aurat Muslimah.
Sejarah penggunaan cadar telah terjadi jauh sebelum kedatangan Islam. Secara singkat penggunaan penutup kepala telah ada dalam komunitas Yahudi dan Syari’at Talmud yang menetapkan jika perempuan keluar rumah tanpa kerudung maka, suaminya boleh menalaknya tanpa membayar mahar. Dalam rangkaian sejarah yang lain pada masa Zardasyt perempuan memiliki kedudukan mulia, keluar dengan penuh kebebasan dan wajah terbuka akan tetapi, setelah masa Darius posisi perempuan jatuh. Secara undang-undang mereka dilarang keluar rumah saat haid dan hal ini menjadi sebuah kebiasaan sehingga, perempuan terpandang akan takut keluar rumah kecuali dengan hijab dan kerudung. Pada tahun 97 H, mereka mulai menyembunyikan wajah mereka dengan cadar dan menjelma sebagai kebiasaan yang tumbuh subur.[1]
Kembali pada cadar dan relasinya pada aurat, Jumhur ulama mengatakan bahwa dibedakan antara lelaki Islam dengan perempuan Islam mengenai batasan aurat karena keduanya adalah bagian yang saling berpengaruh terhadap pembahasan interaksi antara keduanya. Para fuqaha’ pada umumnya mendefinisikan aurat dengan mengkaitkan pada busana/pakaian muslim/muslimah di saat shalat. Tetapi ada beberapa fuqaha’ terkhusus membahas aurat pada bagian terpisah.
Hampir semua ulama sepakat bahwa aurat laki-laki adalah antara pusar dan lutut. Sama halnya aurat laki-laki dalam keadaan shalat. Sehingga laki-laki wajib menggunakan pakaian yang bisa menutupi hal tersebut. Dan bagi orang lain haram hukumnya melihat auratnya ketika terbuka. Namaun menurut Imam Malik paha laki-laki tidak termasuk aurat. Maka oleh karena ini, laki-laki boleh menggunakan celana pendek di tempat umum.
Berbeda dengan laki-laki, aurat perempuan hubungannya dengan laki-laki yang bukan mahram ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan sebagian Syafi’iyah berpendapat aurat perempuan yang harus ditutupi adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.[2]
Sedangkan Imam Hambali mempunyai pandangan yang lebih ketat dan sangat menjaga, bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk kedua telapak tangan. Sehingga yang boleh terlihat pada sisi perempuan hanya bagian wajah bahkan mata saja. Meskipun terjadi perbedaan dalam menentukan batas aurat bagi perempuan, tetapi para fuqaha’ telah sepakat bahwa menutup aurat hukumnya fardhu. Sehingga orang yang tidak menutup aurat ketika solat maka solatnya menjadi tidak sah, dan ketika ke luar rumah membuka aurat maka ia akan berdosa.[3]
Cadar merupakan versi lanjutan dari penggunaan jilbab, dalam studi tafsir Islam sendiri dalil-dalil yang mengatur mengenai wajib atau tidaknya penggunaan cadar masih diperdebatkan. Namun satu hak pasti, penggunaan cadar membawa konsekuensi penolakan lebih besar dari jilbab. Selain persoalan stigma yang dilekatkan pada perempuan bercadar yakni aliran Islam fundamental yang erat juga kaitannya dengan terorisme, cadar kini juga menghadapi penolakan teknis terutama yang berkaitan dengan pelayanan publik.[4]
Secara istilah cadar berasal dari bahasa Persi ‘chadar’ yang berarti ‘tenda’. Dalam istilah Iran, cadar adalah pakaian yang menutup seluruh anggota badan wanita dari kepala sampai ujung jari kakinya. Masyarakat India, Pakistan, dan Bangladesh menyebutnya ‘purbadah’, Adapun wanita Badui di Mesir dan kawasan Teluk menyebutnya ‘Burqu’ (yang menutup wajah secara khusus).[5]
Dalam bahasa Inggris, istilah ‘veil’ biasa dipakai untuk merujuk pada penutup tradisional kepala, wajah (mata, hidung, atau mulut), atau tubuh perempuan di Timur Tengah dan Asia Selatan. Makna leksikal yang dukandung kata ini adalah ‘penutu’, dalam arti ‘menutupi’ atau ‘menyembunyikan’, atau ‘menyamarkan’.[6]
Sementara cadar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah kain penutup kepala atau muka. Cadar dalam bahasa Arab disebut niqob, yang berarti pakain wanita yang menutup wajah. Dengan demikian, cadar dapat dipahami sebagai pakaian perempuan yang menutup bagain kepala dan wajah, sehingga yang terlihat hanya kedua mata saja.[7]
Secara historis-sosiologis, cadar, jilbab, dan hijab syari lainnya tidak bisa dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh tidak hanya semata menyandung identitas fisik, namun juga identitas sosial dan bahkan menciptakan batasan-batasan sosial tertentu. Pada masa awal Islam, penggunaan jilbab dan cadar tidak hanya menunjukkan identitas sebagai perempuan muslim, namun juga menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka atau budak.ab, dan hijab syari lainnya tidak bisa dilepaskan dari wacana tubuh sebagai identitas sosial. Tubuh tidak hanya semata menyandung identitas fisik, namun juga identitas sosial dan bahkan menciptakan batasan-batasan sosial tertentu. Pada masa awal Islam, penggunaan jilbab dan cadar tidak hanya menunjukkan identitas sebagai perempuan muslim, namun juga menunjukkan identitasnya sebagai perempuan merdeka atau budak.[8]
Perdebatan mengenai hukum penggunaan cadar memiliki keterkaitan dengan persoalan batas aurat bagi perempuan. Pendapat yang menyebutkan bahwa wajah bukan aurat maka tidak wajib menggunakan cadar. Sementara bagi pendapat yang menyebutkan bahwa wajah dan telapak tangan sebagai aurat maka pasti bagi pengikutnya pendapat ini mengatakan pengunaan cadar hukumnya wajib. Maka tidak ada taklif untuk menggunakan cadar karena dalil yang dipakai sebagai dasar kewajibannya masih debatable.[9]
H. Faqihuddin Abdul Kodir yang juga merupakan tokoh penting KUPI menyatakan bahwa mendefinisikan kebolehan dan ketidakbolehan cadar ataupun jilbab akan berbeda dari waktu ke waktu serta tempat karena ia lebih dekat dengan persoalan budaya daripada ketentuan agama. Dalam analisis tertentu, ia dianggap ini sebagai identitas sosial, dimana perempuan merdeka tidak ingin disamakan dengan perempuan budak yang biasa lalu lalang, pergi ke pasar membantu majikan, bekerja di ladang, dan memberi pelayanan rumah tangga. Menurutnya dalam pembahasan fiqh pun menutup aurat hanya ada di bab syarat sembahyang, tidak pada bab pakaian atau perhiasan. Beliau juga beralasan keumuman dari penentuan hukum atas cadar yang juga terkait erat dengan khimar dan hijab seringkali membuat berbagai larangan juga pengekangan perempuan dari kehidupan.
Hadis tentang cadar, atau niqab yang menutup muka. Teksnya, Nabi melarang perempuan memakai niqab pada saat ihram haji (Sahih al-Bukhari, Kitab Jaza as-Sayd, no. 1838). Lalu interpretasinya, karena niqab dilarang pada masa ihram haji, maka ia biasa dipakai perempuan pada masa Nabi. Seperti memakai pakaian berjahit dan parfum. Itu dilarang saat ihram haji. Artinya, niqab/cadar biasa dipakai perempuan di luar haji. Karena biasa dipakai di luar haji oleh perempuan masa Nabi, maka wajib dipakai oleh perempuan lain, mengikuti kebiasaan para perempuan masa Nabi tersebut. Ini logika yang mewajibkan cadar. Tetapi apakah memakai pakaian berjahit, menggunakan parfum, dan memakai tutup kepala bagi laki-laki juga wajib di luar haji? Karena ini semua juga dilarang masa ihram haji. Demikian pertanyaan orang-orang yang tidak menganggap cadar sebagai wajib. Kita terjebak pada persoalan mengatur bahkan, menyudutkan perempuan padahal, subtansi dari dianjurkannya menutup aurat adalah menyangkut keharusan mawas diri dan menjaga diri. Bagi yang menarik sebaiknya mawas diri dan bagi yang mudah tertarik baiknya juga menjaga diri.
Oleh: Noor Ishmah
Footnote:
- ↑ Murtadha Muthahhari, Cadar Tuhan: Duduk Perkara Hijab Perempuan (Citra, 2012), 21–25.
- ↑ Abdul Aziz, “Perempuan Bercadar: Antara Budaya dan Syari’ah”, Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, (September 2018), hlm. 196-211.
- ↑ Rahmi Ekawati, “Cadar dalam Perspektif Syariah dan Budaya”, Skripsi, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, 2018, hlm. 21.
- ↑ Lisa Aisyiah Rasyid, “Problemanika Hukum Cadar Dalam Islam: Sebuah Tinjauan Normatif-Historis”, Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah IAIN Manado, Vol. 16, No. 1, ( 2018), hlm. 74-92.
- ↑ Muh. Sudirman, “CADAR BAGI WANITA MUSLIMAH (Suatu Kajian Perspektif Sejarah)”, DIKTU: Jurnal Syariah dan Hukum, Vol. 17, No. 1, (Juli 2919), hal. 49-64.
- ↑ Lintang Latri, “Cadar, Media, dan Identitas Perempuan Muslim”, TOPIK UTAMA, hlm. 29-37.
- ↑ Hanifach Ali, “Cadar dalam Perspektif Etika Islam”, Skripsi, Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Reden Intan Lampung, 2019, hlm. 29.
- ↑ Ibid, hlm. 31-32.
- ↑ Abdul Aziz, “Perempuan Bercadar: Antara Budaya dan Syari’ah”, Jurnal Darussalam: Jurnal Pendidikan, Komunikasi dan Pemikiran Hukum Islam, Vol. 10, No. 1, (September 2018), hlm. 196-211.