Mubassyirah Bakry: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
 
Baris 10: Baris 10:
== Tokoh dan Keulamaan Perempuan ==
== Tokoh dan Keulamaan Perempuan ==
Dalam kegiatan dakwah, Mubassyirah berpegang pada dua ayat di dalam QS. Ashshaff ayat. 2-3:
Dalam kegiatan dakwah, Mubassyirah berpegang pada dua ayat di dalam QS. Ashshaff ayat. 2-3:


<big>يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ</big>
<big>يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ</big>

Revisi terkini pada 20 November 2021 04.24

Hj. Mubassyirah Bakry, M.PdI
Mubassyirah Bakry.jpeg
Tempat, Tgl. LahirMakassar, 17 Desember 1978
Aktivitas Utama
  • Dosen Institut Agama Islam Negeri Palopo, Pembina Pondok Pesantren
Karya Utama
  • “Konsep Al Nafs dalam Filsafat Islam”

Mubassyirah Bakry lahir di Makassar pada tanggal 17 Desember 1978 dari pasangan KH. Muhammad Bakri Kadir dan Hj. Nurlaila Thaha. Ia adalah staf pengajar Bahasa Arab di Institut Agama Islam Negeri Palopo. Selain itu, ia memaksimalkan aktivitas dakwahnya melalui kegiatan pembinaan pondok pesantren Nahdlatul Ulum di Maros dan Pondok Pesantren Modern Datok Sulaiman Palopo, dan aktivitas keorganisasian bersama Muslimat NU dan Ikatan Cendekiawan Alumni Timur Tengah (ICATT).

Istri dari Rukman AR Said ini terhubung dengan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) melalui keterlibatannya dalam kegiatan-kegiatan Rahima yang berfokus pada isu-isu perempuan. Ia mendapatkan rekomendasi dari pihak pesantren Nahdlatul Ulum di daerah Maros, salah satunya untuk mengikuti lokalatih yang dilaksanakan di Pondok Pesantren Al-Ittihad, Cianjur, Jawa Barat, pada tanggal 20-26 Februari 2005. Pengalaman dan pengetahuan yang diperoleh melalui kegiatan-kegiatan Rahima tersebut memberinya semangat untuk terus bergerak dan tetap konsisten menyebarkan ilmu, terutama bagi kelompok ibu-ibu serta santriwati.

Riwayat Hidup

Mubassyirah adalah penimba ilmu yang tekun. Materi dakwah yang ia sampaikan merupakan hasil dari pendidikan panjang yang ia jalani. Pengembaraan ilmunya dimulai semenjak ia masuk sekolah dasar di SD Islam Datok Ribandang, Makassar yang ia tamatkan pada tahun 1991. Setelah itu, ia melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Galesong Baru, Makassar selama tiga tahun. Sedangkan jenjang SMA atau setara Aliyah, ia selesaikan di Pondok Pesantren Madinah Makassar dari tahun 1994 hingga 1997.

Pada program sarjana, Mubassyirah menekuni ilmu Komunikasi Penyiaran Islam di Universitas Islam Makassar yang ia selesaikan pada tahun 2006. Waktu itu ia sudah dikaruniai anak. Namun, kondisi tersebut tidak membuatnya surut untuk kembali duduk di bangku kuliah. Ia lalu mengambil program magister pada program studi yang berbeda. Untuk S2, ia memilih jurusan pendidikan Bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar yang berhasil ia tuntaskan pada tahun 2011. Prestasinya meraih gelar pendidikan di tengah banyak kesibukan patut diapresiasi, terlebih sebagai ibu dari enam orang anak, ia dapat membagi waktu dengan baik.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Dalam kegiatan dakwah, Mubassyirah berpegang pada dua ayat di dalam QS. Ashshaff ayat. 2-3:


يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لِمَ تَقُوْلُوْنَ مَا لَا تَفْعَلُوْنَ


كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللّٰهِ اَنْ تَقُوْلُوْا مَا لَا تَفْعَلُوْنَ


Artinya: wahai orang-orang yang beriman! Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? (Itu) sangatlah dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.

Oleh karena itu, Mubassyirah memaksimalkan cakupan dakwahnya di lingkungan terdekat di mana ia tinggal. Terlebih dalam situasi pandemi seperti sekarang, ia mencoba untuk fokus menyebarkan nilai-nilai dalam ajaran Islam kepada orang-orang terdekat yang masih dalam jangkauan wilayahnya.

Selain melakukan pembinaan pondok pesantren di Maros dan Palopo, Mubassyirah aktif berorganisasi di Muslimat NU dan Ikatan Cendekiawan Alumni Timur Tengah (ICATT). Karena tumbuh besar di lingkungan Nahdlatul Ulama, sejak dini ia sudah familiar dengan gerakan dakwah akar rumput. Dalam perkembangannya, organisasi yang ia bina telah banyak melakukan kegiatan pemberdayaan, baik bagi santri, mahasiswa, maupun masyarakat umum, baik melalui majelis ilmu maupun kegiatan sosial lainnya, termasuk lewat forum silaturahmi.

Mubassyirah memiliki minat dan fokus kajian pada Filsafat Islam. Dalam konteks sejarah Islam di Nusantara, menurutnya, tasawuf bukanlah fenomena baru dan asing. Sejak awal pesatnya perkembangan Islam dan perlembagaannya pada abad ke-13-15 M, komunitas-komunitas Islam yang awal telah mengenal tasawuf sebagai bangunan spiritualitas Islam yang kaya dengan kearifan dan amalan-amalan yang dapat menuntun para penuntut ilmu suluk menuju pemahaman yang mendalam tentang tauhid. Namun sayangnya, ia berpendapat bahwa dinamika keilmuan ini tidak banyak menorehkan catatan terkait kiprah ulama perempuan, utamanya yang menekuni dunia atau kajian tasawuf.

Penyebabnya sendiri meliputi banyak faktor, termasuk berkaitan dengan istilah ulama biasanya identik dengan laki-laki. Namun, ia menekankan bahwa perempuan juga bisa disebut sebagai ulama karena perempuan juga bisa menjadi seorang yang alim, mempunyai kapasitas keilmuan yang mumpuni tentang agama, menunjukkan sikap yang progresif untuk memperjuangkan kaumnya, dan memperoleh pengakuan dari masyarakat luas baik di tingkat lokal maupun nasional terkait kiprahnya dalam pembaharuan pendidikan bagi perempuan.

Mubassyirah berpendapat bahwa perempuan juga dapat berkiprah di ranah publik dan social, di samping menjalankan tanggung jawab sebagai istri dan ibu di ranah domestik bekerja sama dengan sang suami dan ayah. Kiprah perempuan ini dapat dijadikan landasan bahwa perempuan juga dapat memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki, termasuk kesempatan menjadi pemimpin.

Selama berkiprah di dunia akademik, Mubassyirah banyak menuliskan pemikiran-pemikiranya, terutama dalam bidang filsafat dan tasawuf. Beberapa di antara karya tersebut bahkan dijadikan rujukan di kalangan civitas akademika di berbagai perguruan tinggi. Salah satunya artikel jurnal berjudul, “Konsep Al Nafs dalam Filsafat Islam” yang diterbitkan oleh Jurnal Al-Asas, Jurnal Ilmiah Dasar Ilmu Keislaman yang terbit pada tahun 2020. Karya ini membahas tentang jiwa sebagai salah satu rahasia Tuhan yang ada pada diri manusia. Ia melakukan kajian kritis terhadap pemikiran Islam tentang jiwa (al-nafs) dalam filsafat Islam.

Pembahasan tentang jiwa ini berfokus pada pengertian jiwa dan hubungannya dengan ruh, konsepsi Al-Quran tentang jiwa, dan pandangan para filosof Muslim tentang jiwa. Salah satu yang ia kupas berhubungan dengan pemaknaan al-nafs. Kata al-nafs kadang diartikan dengan ruh, dan tidak dengan sebaliknya, ini menunjukkan bahwa hakikat al-nafs (jiwa) berasal dari ruh. Ruh adalah inti dan jiwa adalah bagian dari ruh. Menurut filosof muslim, jiwa adalah substansi rohani sebagai form bagi jasad. hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, di mana keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa. Jiwa tetap hidup kekal dan akan merasakan siksaan atau penderitaan.

Karya lain dari dosen IAIN Palopo ini berjudul “Maqamat, Ahwal dan Konsep Mahabbah Ilahiyah Rabi‘Ah Al-‘Adawiyah (Suatu Kajian Tasawuf). Tulisan ini membahas tasawuf dan asal-usul perkembangannya, berikut masalah maqamat dan ahwal. Kemudian diikuti dengan pembahasan tentang Rabi’ah al-Adawiyah berserta konsep mahabbah Ilahiyah-nya. Dalam menulis karya yang terbit pada tahun 2018 ini, Mubassyirah mengakui sulitnya merumuskan pengertian tasawuf dengan perbedaan persepsi di kalangan ulama. Namun demikian, menurutya, pada hakikatnya tasawuf merupakan kesadaran spiritual seseorang sebagai makhluk yang bertuhan yang selanjutnya mendorong manusia untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan tujuan meraih kenikmatan spiritual. Maqamat dalam tasawuf bertingkat-tingkat dan tidak disepakati kronologi dan sistimatikanya. Tetapi menurut al-Thusi, yang paling banyak digunakan oleh sufi adalah; taubat, zuhud, wara’, sabar, tawakal, dan ridha. Akan tetapi, ada beberapa sufi yang berpendapat, bahwa sesudah ridha masih ada maqam yang lebih tinggi, yaitu ma’rifat, mahabbah, dan ittihad. Salah satu di antara maqamat itu, yaitu al-hubb atau al-mahabbah, diperkenal-populerkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah.

Karya-Karya

  • “Konsep Al Nafs dalam Filsafat Islam”. Jurnal Al-Asas, Jurnal Ilmiah Dasar Ilmu Keislaman, 2020.
  • “Maqamat, Ahwal Dan Konsep Mahabbah Ilahiyah Rabi‘Ah Al-‘Adawiyah (Suatu Kajian Tasawuf)”. (2018).

Daftar Bacaan Lanjutan


Penulis : Hasna A. Fadhilah
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir