Ulama Perempuan: Perbedaan revisi
(←Membuat halaman berisi 'Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”. Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Ha...') |
Faqihuddin (bicara | kontrib) k (tambahan kriteria individu yang masuk katagori ulama perempuan) |
||
(5 revisi antara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”. Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada tokoh atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari. | Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”. Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada [[tokoh]] atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari. | ||
Al-Qur’an menyebut kata | Al-Qur’an menyebut kata “alim” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9: 105, 13: 9, 32: 6, 33: 92, 34: 3, 35: 38, 39: 46, 59: 22, 62: 8, 18: 64, dan 72: 26). Semuanya mengenai sifat Allah Swt, yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35: 28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah Swt. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ilmi”, atau orang yang berilmu. Yaitu dalam surat Ali Imran (3: 18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki konotasi yang sama dengan ulul ‘ilmi. Yakni “ulul Abshar” (Q.S. al-Hasyr, 59: 2), “ulil al-Albab” (Q.S. Ali Imran, 3: 191), “Ahl al-Dzikr” (Q.s. al-Nahl, 16: 43), dan lain-lain. | ||
Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, lebih menekankan pada perilaku ulama daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka. | Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, lebih menekankan pada perilaku ulama daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka. | ||
Baris 9: | Baris 9: | ||
Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat). | Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat). | ||
Kata “perempuan”, menurut hemat KUPI, bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. | Kata “perempuan”, menurut hemat [[KUPI]] (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat [[menstruasi]], hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Dengan definisi yang kedua, atau idiologis, maka siapapun bisa terlibat dalam kerja-kerja keberpihakan pada nasib perempuan dan berjuang melahirkan kehidupan yang bermartabat dan adil dalam relasi antara laki-laki dan perempuan. | ||
Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki pespektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara yang kedua adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab. | Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki pespektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara yang kedua adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab. | ||
Baris 15: | Baris 15: | ||
Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan. | Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan. | ||
Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab. | Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab. | ||
Dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu, melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur'an, Hadits, dan seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan perujukan pada realitas kehidupan yang dialami perempuan. Gerakan ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan, juga ada orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan. | |||
'''Penulis: KH. [[Husein Muhammad]]''' | |||
'''Editor: [[Faqihuddin Abdul Kodir]]''' | |||
[[Kategori:Konsep Kunci]] | [[Kategori:Konsep Kunci]] |
Revisi terkini pada 13 Oktober 2021 23.07
Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”. Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada tokoh atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Al-Qur’an menyebut kata “alim” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9: 105, 13: 9, 32: 6, 33: 92, 34: 3, 35: 38, 39: 46, 59: 22, 62: 8, 18: 64, dan 72: 26). Semuanya mengenai sifat Allah Swt, yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35: 28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah Swt. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ilmi”, atau orang yang berilmu. Yaitu dalam surat Ali Imran (3: 18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki konotasi yang sama dengan ulul ‘ilmi. Yakni “ulul Abshar” (Q.S. al-Hasyr, 59: 2), “ulil al-Albab” (Q.S. Ali Imran, 3: 191), “Ahl al-Dzikr” (Q.s. al-Nahl, 16: 43), dan lain-lain.
Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, lebih menekankan pada perilaku ulama daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka.
Berangkat dari sumber-sumber teks di atas, menurut hemat kami, “ulama” adalah orang yang berilmu mendalam, yang dengannya memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), mengamalkan, menyampaikan, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat).
Kata “perempuan”, menurut hemat KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Dengan definisi yang kedua, atau idiologis, maka siapapun bisa terlibat dalam kerja-kerja keberpihakan pada nasib perempuan dan berjuang melahirkan kehidupan yang bermartabat dan adil dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.
Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki pespektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara yang kedua adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab. Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.
Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu, melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur'an, Hadits, dan seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan perujukan pada realitas kehidupan yang dialami perempuan. Gerakan ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan, juga ada orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan.
Penulis: KH. Husein Muhammad
Editor: Faqihuddin Abdul Kodir