Ulama Perempuan: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
(←Membuat halaman berisi 'Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”.  Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Ha...')
 
k (tambahan kriteria individu yang masuk katagori ulama perempuan)
 
(5 revisi antara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1: Baris 1:
Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”.  Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada tokoh atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari.  
Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”.  Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada [[tokoh]] atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari.  


Al-Qur’an menyebut kata “[[alim]]” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9: 105, 13: 9, 32: 6, 33: 92, 34: 3, 35: 38, 39: 46, 59: 22, 62: 8, 18: 64, dan 72: 26). Semuanya mengenai sifat Allah Swt, yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35: 28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah Swt. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ilmi”, atau orang yang berilmu. Yaitu dalam surat Ali Imran (3: 18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki konotasi yang sama dengan ulul ‘ilmi. Yakni “ulul Abshar”  (Q.S. al-Hasyr, 59: 2), “ulil al-Albab” (Q.S. Ali Imran, 3: 191), “Ahl al-Dzikr” (Q.s. al-Nahl, 16: 43), dan lain-lain.    
Al-Qur’an menyebut kata “alim” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9: 105, 13: 9, 32: 6, 33: 92, 34: 3, 35: 38, 39: 46, 59: 22, 62: 8, 18: 64, dan 72: 26). Semuanya mengenai sifat Allah Swt, yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35: 28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah Swt. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ilmi”, atau orang yang berilmu. Yaitu dalam surat Ali Imran (3: 18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki konotasi yang sama dengan ulul ‘ilmi. Yakni “ulul Abshar”  (Q.S. al-Hasyr, 59: 2), “ulil al-Albab” (Q.S. Ali Imran, 3: 191), “Ahl al-Dzikr” (Q.s. al-Nahl, 16: 43), dan lain-lain.    


Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, lebih menekankan pada perilaku ulama daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka.
Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, lebih menekankan pada perilaku ulama daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka.
Baris 9: Baris 9:
Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat).
Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat).


Kata “perempuan”, menurut hemat KUPI, bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial.  
Kata “perempuan”, menurut hemat [[KUPI]] (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat [[menstruasi]], hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Dengan definisi yang kedua, atau idiologis, maka siapapun bisa terlibat dalam kerja-kerja keberpihakan pada nasib perempuan dan berjuang melahirkan kehidupan yang bermartabat dan adil dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.  


Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki pespektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara yang kedua adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki pespektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara yang kedua adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Baris 15: Baris 15:
Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.  Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.  
Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.  Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.  


Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.  
Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.        


== Keadilan Hakiki ==
Dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu, melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur'an, Hadits, dan seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan perujukan pada realitas kehidupan yang dialami perempuan. Gerakan ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan, juga ada orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan.        
Salah satu prinsip Islam yang menjadi dasar utama adalah ajaran tauhid (mengesakan Allah Swt). Dengan prinsip ini, KUPI menenegaskan bahwa sikap dan pandangan keagamaan yang dihasilkan harus menjiwai keimanan bahwa “Tuhan itu hanya Allah Swt semata” dan menolak segala bentuk eskploitasi pada manusia dan alam atas  nama apapun. Selanjutnya, akar tauhid ini meniscayakan kesetaraan antar manusia, terutama laki-laki dan perempuan. Relasi antar mereka juga harus didasarkan pada prinsip kesalingan satu sama yang bermuara pada kemitraan dan kerjasama, bukan dominasi dan hegemoni yang berujung pada kekerasan dan penindasan.  


Sejarah para Rasul memperlihatkan bahwa ajaran Tauhid ini terkait langsung dengan perilaku memanusiakan manusia, sebab penuhanan pada selain Allah selalu melahirkan penistaan atas kemanusiaan. Tauhid yang dibawa Ibrahim AS melahirkan perlawanan terhadap penuhanan atas kekuasaan oleh Raja Namrud yang berakibat penistaan atas kemanusiaan rakyatnya. Ia bahkan membakar hidup-hidup Ibrahim AS meski kemudian tidak luka sama sekali. Tauhid yang diajarkan Musa AS juga melahirkan perlawanan terhadap penuhanan atas kekuasaan oleh Fir’aun yang berakibat penistaan atas kemanusiaan rakyatnya. Ia melakukan pembunuhan massal yang menyasar bayi laki-laki.


Tauhid yang dibawa oleh Rasul Luth AS melahirkan perlawanan atas penistaan manusia oleh kaum Sodom akibat penuhanan pada seks yang melahirkan kekerasan seksual pada sejenis. Demikian pula tauhid yang dibawa Muhammad SAW melahirkan perlawanan atas penistaan manusia akibat penuhanan pada harta yang mendorong perbudakan manusia melalui perang dan sistem rente (riba). Dalam pergulatan ini, para Rasul berada di sisi kelompok yang dilemahkan secara struktural(Mustadl’afin) dan berhadapan langsung dengan al-Mala’ (pembesar kaum), yaitu hartawan, penguasa politik, tokoh masyarakat, adat, bahkan tokoh agama, yang sombong dan dengan kuasanya melakukanpenistaan atas manusia (al-Mustakbirin).


Iman atas keesaan Allah Swt mendorong para Rasul dan kaumnya untuk melakukan perbaikan pada tingkat individu (kesalehan personal), maupun pada tingkat struktur (kesalehan sosial). Keimanan tidak hanya memperbaiki hubungan seseorang dengan Allah atau dengan orang lain secara individual, melainkan juga mendorong terjadinya perbaikan struktur politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lainnya. Inilah iman yang menjadi cahaya peradaban manusia.


 Salah satu tindakan penistaan atas kemanusiaan yang mendapat perhatian cukup besar pada masa Rasul Muhammad Saw adalah penistaan terhadap perempuan. Masyarakat Arab Jahiliyah menganut sistem Patriarki (al-abawi)  yang sangat kuat. Sistem ini menempatkan lelaki sebagai pemegang otoritas utama, sentral, dan kadang tunggal. Sementara perempuan dipinggirkan, diperlakukan tidak penting, bahkandianggap tidak ada. Masyarakat Arab Jahiliyah ketika itu meragukan bahwa perempuan adalah manusia, bisa beribadah, mendapat pahala, masuk surga, dan ruhnya kekal sehingga bisa dimintai pertanggungjawaban sebagaimana laki-laki. Keraguan ini dijawab tegas oleh al-Qur’an bahwa perempuan adalah manusia (QS. al-Hujurat, 49: 13), bisa beribadah dan memperoleh pahala (QS. an-Nahl, 16: 97), bisa masuk surga (QS.  an-Nisa, 4: 124), dan memiliki ruh kekal yang dimintai pertanggungajwaban oleh Allah Swt. (QS. al-An’am, 6: 94).
'''Penulis: KH. [[Husein Muhammad]]'''


Dalam sistem patriarki (al-abawi), kemanusiaan perempuan wajib mendapatkan penegasan atas dasar iman. Pertama, perempuan bukanlah hamba laki-laki sebab keduanya sama-sama hanya hamba Allah (QS. adz-Dzariyat, 51: 56); dan perempuan tidak berada di bawah laki-laki untuk selalu diperintah sebab keduanya sama-sama pemimpin (khalifah) di muka bumi (QS. al-Ahzab, 33:72) dan saling menjadi penjaga (auliya’) atas lainnya sehingga harus kerjasama (QS. at-Taubah, 9: 71). Kedua, perempuan tidak berasal dari laki-laki seakan jadi makhluk kelas dua, sebab keduanya Allah ciptakan dari bahan dan proses yang sama(QS. al-Mu’minun, 23: 12-14). Ketiga, bukan jenis kelamin melainkan ketaqwaan yang menjadi ukuran kemuliaanmanusia di sisi Allah (QS. al-Hujurat, 49: 13),
'''Editor: [[Faqihuddin Abdul Kodir]]'''


Deklarasi kemanusiaan perempuan ini diiringi dengan perubahan-perubahan radikal atas kehidupan perempuan. Misalnya larangan menjadikan perempuan sebagai hadiah, jaminan hutang, mahar, dan warisan; pembatasan talak yang boleh kembali (thalaq ruj’i) dari tak terbatas menjadi hanya dua kali (QS. an-Nisa, 4: 229) dan poligami dari tak terbatas menjadi maksimal empat (QS. an-Nisa, 4: 3); pengenalan nilai baru seperti perkawinan sebagai janji kokoh (mitasaqan ghalidla, QS. an-Nisa, 4: 21), suami-istri sebagai pasangan (zawaj, ar-Rum/ QS. ar-Rum, 30:21), sikap saling memperlakukan pasangan dengan baik (mu’asyarah bil-Ma’ruf, QS. an-Nisa, 4:19), dan bersama dalam menyelesaikan masalah (musyawarah, QS. al-Baqarah, 2: 233); serta masih banyak lainnya. Islam bahkan menegaskan bahwa memperlakukan laki-laki dan perempuan secara setara adalah bagian dari keimanan kepada Allah (QS. at-Taubah, 9: 71) dan perlakuan baik seorang suami pada istrinya sebagai bagian dari ketaqwaan kepada Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.
“Bertaqwalah kalian kepada Allah dalam memperlakukan para istri karena sesungguhnya kalian meminang mereka dengan amanah Allah dan menghalalkan vagina mereka dengan kalimat Allah.” (HR. Bukhari Muslim).
Melihat bertubi-tubinya ajaran Islam yang memanusiakan perempuan ini, sahabat Umar bin Khattab sampai memberikan kesaksian tentang perubahan cara pandang atas perempuan yang terjadi pada dirinya dan masyarakat ketika itu: “Demi Allah, kami pada masa Jahiliyah tidak memperhitungkan perempuan sama sekali hingga firman Allah turun menyebut-nyebut nama mereka dan menegaskan bahwa mereka mempunyai bagian yang tidak bisa kami ganggu.” (HR. Muslim).
Perubahan besar-besaran atas posisi dan peran perempuan dalam sejarah kedatangan Islam memperlihatkan dua strategi. Pertama, upaya perubahan yang langsung menuju Sasaran Akhir. Misalnya, penghapusan total atas tradisi penguburan bayi perempuan hidup-hidup (QS. an-Nahl, 16: 58-59), kebiasaan mewariskan perempuan (QS. an-Nisa, 4: 19), perkawinan sedarah (QS. an-Nisa, 4: 23), dan atas pemaksaan pelacuran pada perempuan (QS. an-Nur, 24: 33). Kedua, upaya perubahan yang dijalankan sebagai proses yang bertahap melalui Sasaran Antara. Misalnya, terkait poligami (QS. an-Nisa, 4: 3), semula laki-laki bisa mengawini perempuan dalam jumlah tak terbatas pada saat yang sama (1:tak terbatas), kemudian dibatasi 4 (1:4), lalu 3 (1:3), lalu 2 (1:2) kemudian diperintahkan untuk monogami (1:1).
Demikian pula tentang waris bagi perempuan (Qs. an-Nisa/4:11), semula perempuan tidak mendapatkan bagian waris bahkan diwariskan (1:0), lalu bisa memperoleh separuh dari laki-laki misalnya sebagai anak (1:2) dan bisa pula sama, yaitu ketika menjadi ibu dari anak yang meninggalkan cucu ketika wafat di mana bagian warisnya sama persis dengan bapak (1:1). Hal yang sama terjadi pada nilai kesaksian perempuan (QS. al-Baqarah, 2: 282, an-Nur, 24: 6-9), semula tidak diperhitungkan sama sekali (1:0), kemudian diperhitungkan setengah dari laki-laki dalam hutang piutang (1:1/2), lalu sama persis dalam sumpah Li’an (1:1).
Pemerintah Indonesia menjadikan kesetaraan hakiki laki-laki dan perempuan dalam perkawinan, waris, dan kesaksian sebagai spirit dalam aturan perundang-undangan terkait. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinyatakan bahwa pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri dan perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal  3 ayat 1). Kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam Tahun 1991 dinyatakan bahwa para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya (Pasal 183). Lalu dalam Undang-undang No. 7 Tahun 1989 yang diperbaharui oleh Undang-undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, tidak menyebutkan jenis kelamin laki-laki sebagai syarat calon Hakim Agama (Pasal 13) sehingga perempuan di Indonesia bisa menjadi Hakim Agama sampai sekarang, bahkan menjadi Ketua Pengadilan Agama.
Artinya, Indonesia memandang monogami sebagai bentuk perkawinan ideal, tetap memberi peluang bagi pembagian waris yang sama antara perempuan dan laki-laki, dan menerapkan nilai yang yang sama bagi saksi, bahkan hakim, perempuan dan laki-laki. Penegasan kesetaraan hakiki ini, yang dalam al-Qur’an diperkenalkan melalui Sasaran Antara, hanya mungkin tercapai dalam sebuah Negara-Bangsa yang demokratis. Sementara sistem Negara Khilafah sebagaimana diusung oleh beberapa kelompok Muslim saat ini (bukan Khilafah pada masa Khulafaur Rasyidin) mempunyai kecenderungan besar memperlakukan “Sasaran Antara” sebagai “Sasaran Akhir” sehingga hasilnya justru bertentangan dengan Amanah Kerasulan untuk sepenuhnya memanusiakan perempuan. Kesetaraan hakiki juga secara subsatntif harus mengusung keadilan hakiki bagi perempuan.
Perbedaan mendasar Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan dari perspektif lainnya bertumpu dari cara pandang dan penyikapan terhadap perbedaan biologis antara perempuan dan laki-laki, dan fakta ketimpangan kuasa dalam relasi perempuan dan laki-laki. Dalam sistem patriarki (al-abawi), kekhususan organ, fungsi, dan masa reproduksi perempuan -yang membuat mereka menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui- dijadikan alasan untuk merendahkan perempuan sehingga berakibat pada  perlakuan tidak adil dan peminggiran perempuan secara menyejarah. Ketidakadilan yang dialami perempuan semata-mata karena keperempuanannya ini muncul dalam lima bentuk, yaitu peminggiran atau marjinalisasi, penomorduaan atau subordinasi, cap buruk, pembebanan secara berlebihan, maupun kekerasan verbal, fisik, psikis, seksual, ekonomi, dan wujud lainnya.
Islam memandang bahwa organ, fungsi, dan masa reproduksi perempuan adalah sesuatu yang mulia sehingga perlu diapresiasi, dan bahwa ketidakadilan bagi perempuan semata-mata karena keperempuanannya adalah zalim. Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan menegaskan bahwa kondisi khas perempuan perlu mendapatkan perhatian khusus dalam memahami Nash Agama maupun Realitas Kehidupan. Tanpa perhatian khusus pada kekhasan perempuan ini, maka ajaran agama mempunyai potensi besar dijadikan legitimasi untuk justru menyalahkan perempuan korban atas ketidakadilan yang dialaminya dan mengakibatkan perempuan jadi korban untuk kesekian kalinya.
Islam memberikan contoh bagaimana menempatkan laki-laki dan perempuan secara setara dan adil. Sebagai Muslim, perempuan dan laki-laki sama-sama memiliki Lima Rukun Islam, yaitu syahadat, shalat, zakat, puasa di bulan Ramadlan, dan haji bagi yang mampu. Keduanya sama-sama diperintahkan untuk melakukan kebaikan dan dilarang melakukan keburukan. Islam juga memberikan perhatian khusus pada kondisi khas perempuan secara biologis. Misalnya perempuan digugurkan kewajiban shalatnya selama menstruasi tanpa harus menggantinya, dan diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadlan dengan menggantinya di hari lain selama hamil atau menyusui. Islam juga memberikan perhatian khusus pada realitas sosial perempuan.
Misalnya penegasan bahwa Allah tidak menyalahkan, bahkan mengampuni, seorang budak perempuan yang tidak punya daya untuk menolak dilacurkan padahal ia ingin menjaga kesuciannya (QS. an-Nur, 24: 33); pertimbangan posisi lemah perempuan sebagai istri dalam kasus Dhiharsehingga laki-laki sebagai suami diwajibkan membayar kafarat atau denda (QS. al-Mujadilah, 58: 3); kepastian adanya bagian waris untuk perempuan menyikapi tradisi monopoli waris oleh laki-laki (QS. an-Nisa, 4: 11); kepastian pengakuan terhadap nilai kesaksian perempuan yang sebelumnya diamputasi total oleh laki-laki (QS. al-Baqarah, 2: 282 dan an-Nur, 24: 6-9).
Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan mempunyai empat prinsip dasar. Pertama, memandang proses turunnya al-Qur’an secara berangsur dan bertahap (tadrij)  sebagai hidayah (petunjuk) tentang pentingnya dialog antara Nash Agama dengan Realitas Kehidupan. Sikap arif diperlukan dalam merespon Realitas Kehidupan yang beragam ini dengan mempertimbangkan kesiapan masyarakat dalam melakukan perubahan sosial. Penerapan ajaran Islam yang berstatus sebagai Sasaran Antara harus tetap disikapi sebagai sesuatu yang sementara sambil mempersiapkan kondisi yang memungkinkan tercapainya Sasaran Akhir ajaran Islam.
Kedua, mempertimbangkan pengalaman nyata perempuan sekaligus sebagai individu, umat Islam, warga negara Indonesia, dan warga dunia dalam memahami Nash Agama dan Realitas Kehidupan. Faktanya, selama lebih dari 1400 tahun sejak Rasulullah SAW wafat, telah terjadi perubahan sosial yang sangat signifikan, termasuk perubahan peran dan posisi perempuan dalam segala aspek kehidupan.
Ketiga, menempatkan nilai-nilai keislaman secara tidak terlepas dari nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan. Ajaran Islam tidak diperbolehkan menjadi justifikasi atas tindakan tidak manusiawi dan perpecahan bangsa.
Keempat, memperhatikan perlunya membangun secara sekaligus kesalehan individual dan struktural.
Kelima, memastikan metode apa pun yang digunakan dalam memahami Nash Agama dan Realitas Kehidupan mesti memperhatikan kondisi khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial yang berbeda dari laki-laki.
Dengan menggunakan Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan, setiap Ulama Perempuan dapat mengemban Amanah Kerasulan untuk membangun dan menjalankan tradisi keimanan yang terjalin berkelindan dengan kesalehan individual dan kesalehan stuktural guna mewujudkan keadilan hakiki Islam bagi perempuan di berbagai aspek kehidupan, yaitu keimanan pada Allah Yang Maha Esa (Tauhid) yang juga mendorong bersikap baik pada perempuan baik sebagai anak, istri, maupun ibu, dan mendorong masyarakat untuk menerapkan struktur politik, ekonomi, sosial,  budaya, pengelolaan alam, dan struktur lainnya yang menjamin perempuan diperlakukan secara manusiawi. Penerapan Perspektif ini dapat dilihat dari cara Ulama Perempuan merespon Nash Agama dan Realitas Kehidupan dalam isu kekerasan seksual, perkawinan anak, dan perusakan alam dalam konteks ketimpangan relasi sebagaimana dijabarkan dalam Hasil Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia.
Perspektif Keadilan Hakiki bagi Perempuan digunakan tidak hanya terbatas pada Nash Agama dan Realitas Kehidupan yang terkait dengan perempuan secara khusus melainkan pada pemahaman Nash Agama dan Realitas kehidupan secara umum di mana perempuan pasti menjadi bagian tak terpisahkan darinya. Misalnya dalam memahami persoalan keluarga, masyarakat, negara, dan alam. Perspektif keadilan hakiki bagi perempuan menjadi bagian tak terpisahkan dari perspektif keadilan secara umum. Oleh karenanya, perspektif ini pada prinsipnya tetap menerapkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan secara umum, tanpa mengabaikan keadilan yang mempertimbagkan kondisi khusus perempuan secara biologis dan sosial.
[[Kategori:Konsep Kunci]]
[[Kategori:Konsep Kunci]]

Revisi terkini pada 13 Oktober 2021 23.07

Ulama Perempuan adalah kata majemuk. Terdiri dari dua kata: “ulama” dan “perempuan”.  Kata “ulama” sudah disebutkan dalam al-Qur’an dan beberapa teks Hadis. Secara bahasa, kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang tahu atau sangat berilmu. Tanpa batasan disiplin ilmu tertentu. Ia juga tidak terbatas pada gender tertentu. Secara sosial, terminologi ulama sering dilekatkan kepada tokoh atau pemuka agama yang bisa memahami sumber-sumber Islam secara baik, berperilaku mulia, dan membimbing umat dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Al-Qur’an menyebut kata “alim” (bentuk tunggal) sebanyak 13 kali (9: 105, 13: 9, 32: 6, 33: 92, 34: 3, 35: 38, 39: 46, 59: 22, 62: 8, 18: 64, dan 72: 26). Semuanya mengenai sifat Allah Swt, yang Maha Tahu dalam segala hal, baik yang terlihat maupun gaib. Sementara kata “ulama” sendiri hanya disebut sekali dalam Surat Fathir (35: 28). Ayat ini berbicara mengenai karakter dasar “ulama” yang harusnya berintegritas tinggi karena hanya takut pada Allah Swt. Kata lain yang masih dari akar yang sama adalah “ulul ilmi”, atau orang yang berilmu. Yaitu dalam surat Ali Imran (3: 18), mengenai tugas utama ulama untuk menegakkan keadilan. Al-Qur’an juga menyebut beberapa kata lain yang memiliki konotasi yang sama dengan ulul ‘ilmi. Yakni “ulul Abshar”  (Q.S. al-Hasyr, 59: 2), “ulil al-Albab” (Q.S. Ali Imran, 3: 191), “Ahl al-Dzikr” (Q.s. al-Nahl, 16: 43), dan lain-lain.  

Dalam Hadis, kata “ulama” secara tekstual disebut sebagai pewaris para Nabi, yang hanya mewarisi pengetahuan, bukan harta sama sekali (Sunan Abu Dawud, no. Hadits: 3643). Dengan tugas utama membimbing umat ke jalan yang benar, “ulama” dikontraskan dengan “juhhal”, atau mereka yang bodoh, sesat dan menyesatkan (Sahih Bukhari, no. Hadits: 100). Baik al-Qur’an maupun Hadis, lebih menekankan pada perilaku ulama daripada jenis ilmu yang harus dikuasai mereka.

Berangkat dari sumber-sumber teks di atas, menurut hemat kami, “ulama” adalah orang yang berilmu mendalam, yang dengannya memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), mengamalkan, menyampaikan, menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Definisi di atas terinspirasi dari pernyataan Habib Abdullah al-Haddad (w. 1132 H/1720 M) dalam Al-Nashaih Al-Diniyah, bahwa ilmu seorang ulama itu harus mengantarkannya pada semua perilaku mulia (akhlaq mahmudah) dan perbuatan baik yang bermanfaat (a’mal shalihah). Yang dimaksud ilmu mendalam di sini, merujuk pada pembahasan ijtihad oleh asy-Syatibi (w. 798 H/1388 M) dalam al-Muwafaqat, adalah ilmu tentang teks-teks agama (an-nushush asy-syar’iyyah), prinsip dan cita-cita dasar hukum agama (maqashid asy-syar’iyyah), dan realitas sosial yang dihadapi (waqa’i al-hayat).

Kata “perempuan”, menurut hemat KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia), bisa memiliki dua pemaknaan, biologis dan idiologis. Pemaknaan dari sisi biologis, seperti yang didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yaitu orang yang memiliki puki (kemaluan perempuan), dapat menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui. Secara idiologis, perempuan di sini bisa berarti perspektif, kesadaran, dan gerakan keberpihakan pada perempuan untuk mewujudkan keadilan relasi dengan laki-laki, baik dalam kehidupan keluarga maupun sosial. Dengan definisi yang kedua, atau idiologis, maka siapapun bisa terlibat dalam kerja-kerja keberpihakan pada nasib perempuan dan berjuang melahirkan kehidupan yang bermartabat dan adil dalam relasi antara laki-laki dan perempuan.

Dua pemaknaan ini digunakan untuk membedakan kata “perempuan ulama” dari “ulama perempuan”. Yang pertama adalah semua orang yang berjenis kelamin perempuan yang memiliki kapasitas keulamaan, baik yang memiliki pespektif keadilan gender maupun yang belum. Sementara yang kedua adalah semua ulama, baik laki-laki maupun perempuan yang memiliki dan mengamalkan perspektif keadilan gender. Ulama perempuan bekerja, secara intelektual maupun praktikal, mengintegrasikan perspektif keadilan gender dengan sumber-sumber keislaman dalam merespons realitas kehidupan dalam rangka menegakkan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Pemaknaan “Ulama Perempuan” ini menyiratkan sebuah proses yang berkesinambungan dan terus menerus untuk menegaskan dan memastikan, bahwa kiprah ulama, dengan ilmu yang dimilikinya, adalah untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab.  Pemaknaan ini meniscayakan pelibatan perempuan sebagai subyek maupun penerima manfaat dalam semua kiprah keulamaan. Dalam proses panjang ini, identifikasi dan apresiasi terhadap perempuan-perempuan ulama sejak masa awal Islam sampai saat sekarang ini adalah menjadi sebuah keniscayaan untuk menegaskan eksistensi dan legitimasi keulamaan perempuan.

Dalam perspektif KUPI, “ulama perempuan” merupakan orang-orang yang berilmu mendalam, baik perempuan maupun laki-laki, yang memiliki rasa takut kepada Allah (berintegritas), berkepribadian mulia (akhlaq karimah), menegakkan keadilan, dan memberikan kemaslahatan pada semesta (rahmatan lil ‘alamin). Takut atau takwa kepada Allah Swt tidak hanya untuk urusan laki-laki tetapi juga untuk urusan perempuan. Tidak juga hanya dalam urusan publik, tetapi juga dalam urusan keluarga. Begitupun berakhlak mulia, menegakkan keadilan dan memberikan kemaslahatan, tidak hanya dalam hal-hal yang menyangkut laki-laki, tetapi juga sama persis dalam hal yang berkaitan dengan perempuan. Sehingga tercipta relasi kesalingan yang harmonis antara laki-laki dan perempuan, dan tanpa kekerasan dalam rangka mewujudkan cita-cita kemanusiaan yang adil dan beradab.

Dalam pengamalan dan pengalaman KUPI, istilah ulama perempuan bukan sebutan untuk individu-individu, melainkan gerakan kolektif untuk mewujudkan keilmuan Islam yang bersumber dari al-Qur'an, Hadits, dan seluruh khazanah keislaman dengan meniscayakan perujukan pada realitas kehidupan yang dialami perempuan. Gerakan ini terdiri dari individu-individu dan lembaga-lembaga yang memiliki visi dan misi keadilan relasi laki-laki dan perempuan. Dalam gerakan KUPI ini, ada individu yang memiliki latar-belakang kajian keislaman yang kuat dan atau kajian ilmu-ilmu sosial yang relevan, juga ada orang-orang yang bergerak pada kerja-kerja lapangan untuk pemberdayaan dan advokasi isu-isu perempuan.



Penulis: KH. Husein Muhammad

Editor: Faqihuddin Abdul Kodir