Shulhah Syarifah
Shulhah Syarifah | |
---|---|
Tempat, Tgl. Lahir | Sumenep, 27 Agustus 1978 |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Shulhah Syarifah, Perempuan Berkalung Keberanian dari Sumenep. Shulhah Syarifah, lahir di Sumenep 27 agustus 1978. Shulhah, sapaan akrabnya merupakan pengasuh dari Yayasan ponpes Darul Ulum Desa Lenteng Barat, Kec. Lenteng Kab. Sumenep yang memiliki santri dari PAUD-Madrasah Aliyah dari berbagai rentang usia dan latar belakang, selain ada santri mukim juga ada santri non mukim seperti santri diniyyah. Selain itu ia juga aktif diberbagai aktifitas dan organisasi kemasyarakatan seperti Majlis Ta’lim, Fatayat NU, Forum Dai’yah Fatayat NU, Lembaga Dakwah NU, Muslimat Thoriqoh Mu’tabaroh An Nahdliyyah. Saat ini beliau merupakan ibu dari tiga orang anak yaitu Fathiyah As Shofiyah, Qiladah Ad Durriysh, Mohammad Fathur Robith Sa’die.
Riwayat Hidup
Terlahir sebagai anak pertama dari dua bersaudara, Shulhah mengenyam pendidikan yang sedari dini kental dengan keIslaman. Mengawali dari MI Darul Ulum Lenteng Sumenep, kemudian melanjutkan MTs di yayasan yang sama. Lantas ketika ia hendak melanjutkan pendidikan tingkat Aliyah justru disini ada tantangannya tersendiri. Tantangan tersebut datang dari kakeknya sendiri dimana sang kakek melarang untuk lanjut pendidikan diluar Madura. Sedangkan Shulhah memiliki tekad yang kuat untuk belajar di luar Madura, hingga minta restu dengan mengungkapkan “jika saya gak diluar madura, saya nggak mau mondok”. Alhasil Shulhah berhasil mendapat restu untuk belajar di MA Bahrul Ulum Tambakberas Jombang. Tidak hanya sampai disitu, Shulhah kemudian melanjutkan semangat memperdalam keilmuannya dengan menjadi mahasiswa di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. sama seperti kisah saat hendak mondok di Tambakberas, Shulhah juga saat itu mendapat tentangan dari kakeknya. Alasannya di kampungnya juga masih belum ada perempuan yang berpendidikan hingga sarjana. Shulhah merupakan perempuan pertama yang menempuh Pendidikan hingga sarjana. Disinilah Shulhah mengenal PMII dan mengenal dunia feminisme dengan mengikuti forum-forum diskusi. Tidak puas dengan gelar sarjananya, Shulhah kemudian melanjutkan studi magisternya di STAI Qomaruddin Bungah Gresik.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Sosok Shulhah mungkin memiliki perbedaan yang cukup signifikan dari sosok perempuan lainnya. Shulhah memiliki proses hebatnya tersendiri saat menyelami keulamaan perempuannya. Shulhah memang aktif dibeberapa organisasi kemasasyarakata seperti Majlis Ta’lim, Fatayat NU, Forum Dai’yah Fatayat NU, Lembaga Dakwah NU, Muslimat Thoriqoh Mu’tabaroh An Nahdliyyah. Namun prosesnya mengenal feminisme ia temukan dari fatayat NU dan di Rahima. Akan tetapi proses memperkenalkan kesetaraan gender dilingkungannya memiliki tantangan tersendiri. Mendengar kata gender cukup ditakuti di lingkungannya dimana budaya patriarki yang melekat sangat kuat. Proses perjuangannya memperkenalkan kesetaraan gender dimulai dari lingkungan pesantren seperti saat itu di Madura perempuan tidak boleh melakukan sholat ied, tapi Shulhah mencoba untuk melobby ayahnya dengan menceritakan pengalamannya selama mondok di Tambakberas. Tak selang lama abahnya akhirnya mengumumkan di masjid agar perempuan untuk mengikuti sholat ied. Contoh lainnya dimana abahnya juga membolehkan dirinya untuk berbicara didepan umum, di hadapan para laki-laki. Seiring berjalannya waktu abahnya menaruh kepercayaan kepada Shulhah untuk membantu dan mewakili beliau di forum-forum public.
Proses terjun di masyarakat bermula dari tahun 2000 dengan dukungan suami yaitu Jufri. Dari proses ini pun, ketika abahnya meninggal dunia dan kepengurusan pesantren diamanahkan kepada Shulhah bersama suami. Selama ini pun dalam mengurus pesantren suaminya tidak menjadi pemeran tunggal melainkan juga mengajaknya untuk musyawarah dalam mengambil keputusan. Akan tetapi tahun 2021 sang suami dipanggil Allah SWT. Firasat akan ditinggal oleh sang suami sudah Shulhah rasakan 3 bulan sebelum suaminya meninggal dunia, sang suami sudah berpesan agar adiknya juga ikut bergabung mengurus pondok pesantren. Kemudian adiknya bersama suaminya siap mengasuh di pondok pesantren putra, sedangkan Shulhah yang mengurus pondok pesantren putri. Sejak juli 2021 Shulhah memulai semua sendiri dan sempat mengalami down karena ditinggal suami dan ummi (ibu). Alhamdulillah puji syukur dengan relasi-relasi yang positif Shulhah bisa bangkit dengan satu tekad bahwa perjuangan itu tidak pernah berhenti apapun kondisinya, ia harus menjalani ini meskipun sendiri. Kesendirian ini bukanlah hambatan baginya untuk terus mengabdi, bahkan ia semakin tertantang untuk tetap eksis dengan cara harus mencari kawan untuk diajak sharing baik dari relasi organisasi maupun lainnya.
Saat ini Shulhah sedang menggagas program pesantren ramah anak, dimana tahapan yang sudah dilakukan adalah sosialisasi terkait larangan bullying, pencegahan kekerasan terhadap anak. Bahkan sudah dibentuk ruang aman dengan cara menugaskan kakak asuh di setiap kamar, yang notabennya kakak asuh ini merupakan alumni yang tidak melanjutkan lagi pendidikannya. Saat ini juga telah dikembangkan forum anak yang sudah bermitra dengan dinas sosial dan instansi lainnya. Selain itu juga ada tim penggerak prestasi yang mengakomodir anak-anak untuk mengasah bakatnya dan passionnya.
Keterlibatan dengan KUPI
Perihal keterlibatan kupi, Shulhah sudah mengikuti dari KUPI I di Cirebon saat itu. Ia menyadari bahwa forum KUPI ini merupakan berkumpulnya kader perempuan yang hebat dan kuat baik nasional dan internasional. Pertemuan di KUPI ini sangat memberikan banyak dampak positif baginya, sekalipun ia tidak merekamnya dalam tulisan tapi dengan nilai-nilai, prinsip, dan poin idealisme yang ia dapatkan mampu menumbuhkan pandangannya bagaimana menjadi leader baik untuk diri sendiri maupun lingkungan masyarakat. Harapan kedepan terkait KUPI ini bisa membangkitkan penyadaran tentang keberadaan perempuan yang sudah ada sejak zaman Rasulullah. Seperti di lingkungan pesantren peran Bu Nyai sangat krusial tidak hanya dalam hal mendidik santri, melainkan juga dalam hal manajemen keuangan, program dan lainnya. Sehingga perempuan harus bisa menggeluti domestic maupun public dengan mengedepankan pembagian peran agar tidak double burden.
Penulis | : | Salwa Nida |
Editor | : | |
Reviewer | : |