Penyandang Disabilitas di Indonesia

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Meski sudah memiliki arah kebijakan inklusi, sampai saat ini Indonesia belum memiliki statistik yang akurat dan lengkap mengenai jumlah dan demografi penyandang disabilitas. Tanpa gambaran yang mendekati utuh tentang disabilitas, sulit bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan, program, sasaran, dan anggaran bagi penyandang disabilitas, yang mempengaruhi sulitnya menanggulangi kemiskinan melalui pembangunan inklusif. Sebagai acuan umum, WHO memperkirakan bahwa sekitar 15% dari total penduduk Indonesia mengalami disabilitas baik ringan maupun berat.

Meski beberapa sensus dan survei sudah mengikutsertakan pertanyaan seputar disabilitas, data yang diperoleh masih bervariasi satu sama lain. Sensus Penduduk 2010 menemukan bahwa 4.74% penduduk usia di atas 10 tahun mengalami kesulitan fungsional. Secara terperinci angka terbesar adalah kesulitan melihat (3,05%), kesulitan mendengar (1.58%), berjalan atau naik tangga (1.62%), mengingat atau konsentrasi (1.44%), dan mengurus diri sendiri (1.07%). Sementara PPLS 2011 mencatat terdapat 1.313.533 penyandang disabilitas di dalam rumah tangga 40 persen terbawah. Jumlah ini terdiri dari penyandang disabilitas netra, rungu wicara, tubuh, eks-penyakit kronis, retardasi mental, gangguan jiwa, dan fisik-dan-mental (ganda). Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018 menunjukan bahwa proporsi anak usia 5 – 17 tahun yang mengalami disabilitas sebanyak 3.3 % dan sebanyak 22 % proporsi orang dewasa usia 18 – 59 tahun yang mengalami disabilitas. Angka dari Riskesdas 2018 ini mendekati angka yang dikeluarkan oleh World Report on Disability 2011 yang memperkirakan 15 % penduduk di setiap negara mengalami disabilitas. Terbatasnya ketersediaan data tentang disabilitas di antaranya disebabkan oleh tiga hal, yaitu pergeseran pengelompokan dan pengertian disabilitas, keterbatasan definisi operasional yang digunakan, dan terbatasnya pemahaman masyarakat tentang disabilitas.

Hambatan pertama di dalam menentukan besaran penduduk yang mengalami disabilitas dikarenakan adanya perubahan definisi operasional tentang disabilitas yang digunakan di dalam survei-survei BPS yang bersifat proyektif dan menggunakan metode sampling.  Disabilitas yang semula digolongkan sebagai indikator kesehatan kini digolongkan sebagai indikator kesejahteraan sosial, sehingga data yang kini tersedia lebih bisa dipakai untuk kepentingan khusus program pengentasan kemiskinan dibandingkan memotret disabilitas di keseluruhan populasi. Kondisi ini di satu sisi menguntungkan di dalam proses analisis untuk melihat keterkaitan antara disabilitas dengan variabel data lainnya. Namun di sisi lain, terdapat kesulitan untuk menemukan angka pasti populasi penyandang disabilitas di Indonesia.

Hambatan kedua terkait ketersediaan data disabilitas yang ada disebabkan oleh keterbatasan instrumen pendataan yang tidak mampu menampilkan dengan baik prevalensi penyandang disabilitas mental, emosional, dan intelektual seperti autisme, ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), down syndrome, psikotik, dan berbagai disabilitas intelektual lainnya. Ketiga, konsep disabilitas sendiri masih dipahami berbeda-beda di masyarakat. Kondisi disabilitas seringkali dimaknai negatif sehingga keluarga enggan atau malu untuk menyebutkan anggota keluarganya yang mengalami disabilitas dan mungkin sekali seseorang mengalami kesulitan untuk mengidentifikasi dirinya sebagai penyandang disabilitas.

Disabilitas dan kemiskinan adalah dua hal yang saling mempengaruhi. Individu yang mengalami disabilitas akan mendapatkan stigma dan mengalami diskriminasi yang menghambat akses mereka ke layanan kesehatan, pendidikan baik, perlindungan sosial, dan kesempatan ekonomi. Tanpa akses ke layanan dasar dan penghidupan, individu dengan disabilitas rentan untuk jatuh ke dalam lingkaran kemiskinan. Sebaliknya, individu yang hidup dengan kemiskinan seringkali tidak mendapatkan perawatan yang layak sehingga beresiko lebih tinggi untuk mengalami disabilitas akibat sakit atau kecelakaan atau risiko kesehatan yang sebenarnya bisa dicegah.

Kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) pada tahun 2014 mengkonfirmasi hubungan disabilitas dan kemiskinan di Indonesia. Kajian tersebut menemukan bahwa angka kemiskinan keluarga yang memiliki anggota dengan disabilitas ringan 4% lebih tinggi dibandingkan keluarga tanpa anggota disabilitas. Perbandingan ini meningkat hingga 28% jika keluarga tersebut memiliki anggota dengan disabilitas berat. Keluarga dengan anggota keluarga disabilitas diperkirakan memiliki biaya hidup lebih tinggi antara 15-30% dibandingkan dengan rumah tangga tanpa anggota disabilitas. Biaya hidup tambahan tersebut meliputi biaya perawatan kesehatan, transportasi, dan pembelian alat bantu. Keluarga dengan anggota disabilitas juga cenderung memiliki pendapatan lebih rendah dibandingkan keluarga tanpa anggota disabilitas.

Selain beban pengeluaran untuk penyandang disabilitas yang memberatkan, faktor lain adalah berkurangnya waktu produktif keluarga penyandang disabilitas karena harus merawat anggota keluarga yang mengalami disabilitas. Penyandang disabilitas juga sulit untuk mendapatkan bantuan kredit usaha. Selain itu penyandang disabilitas mengalami hambatan transportasi, infrastruktur, dan kurikulum sekolah yang tidak ramah disabilitas. Sementara di sektor kesehatan, jarak layanan yang jauh dan biaya perawatan rutin khusus disabilitas yang mahal menjadi hambatan utama. Berdasarkan kajian BAPPENAS dengan AIPJ, PUSKAPA, dan PEKKA pada tahun 2014, anak dengan orang tua yang mengalami disabilitas juga lima kali lebih besar kemungkinannya tidak memiliki akta kelahiran dibandingkan dengan anak yang memiliki orang tua bukan disabilitas.

Kondisi disabilitas juga menunjukkan keterpencilan akses. Menurut data SUSENAS 2012 prosentase penduduk yang mengalami disabilitas di daerah perdesaan (2.71%) lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (2.20%). Sementara data RISKESDAS 2013 menyebutkan bahwa angka prevalensi penduduk di atas 15 tahun yang mengalami disabilitas di pedesaan lebih besar yaitu 11.20 dibandingkan angka prevalensi di daerah perkotaan sebesar 10.80. Temuan tersebut dikonfirmasi oleh data dari Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 yang menyatakan bahwa populasi penyandang disabilitas di perdesaan lebih tinggi 6-16% dibandingkan dengan populasi penyandang disabilitas di perkotaan.

RPJMN 2015-2019 secara jelas menyebutkan inklusivitas penyandang disabilitas yang menyeluruh di seluruh aspek penghidupan adalah salah satu strategi bidang kebijakan sosial. Untuk mencapai inklusivitas ini, pemerintah menyusun empat strategi besar yaitu:

  1. Peningkatan advokasi terhadap peraturan dan kebijakan di tingkat pusat dan daerah untuk mendukung layanan publik dan program yang inklusif terhadap penyandang disabilitas
  2. Pengembangan kelengkapan sarana, mekanisme, dan peningkatan kapasitas tenaga pelayanan publik yang inklusif dan mampu memenuhi kebutuhan seluruh elemen penduduk termasuk penyandang disabilitas. Pelayanan publik yang dimaksud meliputi layanan pendidikan, kesehatan, kependudukan, informasi, sarana publik, perumahan, dan sanitasi.
  3. Pengembangan skema bantuan sosial dan jaminan sosial serta pengembangan ekonomi yang dirancang khusus untuk membantu penyandang disabilitas menanggulangi kerentanannya. Strategi ini juga meliputi kesetaraan akses penyandang disabilitas ke program penghidupan berkelanjutan yang layak sebagai bagian dari penanggulangan kemiskinan melalui pelatihan vokasi, peningkatan kesempatan kerja di sektor formal, pemberdayaan ekonomi, dan pemberian kredit usaha.
  4. Sosialisasi, edukasi, dan pengarusutamaan di tingkat masyarakat untuk mendukung sistem sosial dan lingkungan yang lebih ramah bagi penyandang disabilitas, termasuk juga mendorong masyarakat yang peduli penyandang disabilitas melalui pengembangan layanan dan rehabilitasi sosial berbasis masyarakat.

Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Melalui UU ini, negara menjamin kesetaraan kesempatan dengan memberikan peluang dan/atau menyediakan akses kepada penyandang disabilitas untuk menyalurkan potensi dalam segala aspek penyelenggaraan negara dan masyarakat. UU ini juga mengatur segala aspek kehidupan penyandang disabilitas dalam mewujudkan tatanan masyarakat yang inklusi atau ramah disabilitas dengan berazaskan partisipasi penuh penyandang disabilitas.

Dengan sifatnya yang multisektoral dan menekankan pada partisipasi masyarakat serta penyandang disabilitas, kehadiran UU Disabilitas tentunya memiliki arti yang sangat penting dalam mendorong penerapan empat strategi RPJMN 2015-2019 pada Bidang Kebijakan Sosial dalam rangka mendorong terwujudnya inklusivitas penyandang disabilitas dalam masyarakat.

Selanjutnya melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) 2015-2019, Pemerintah Indonesia mempertegas komitmennya untuk mengarusutamakan pendekatan inklusi dalam pembangunan nasional dengan menyertakan Rencana Aksi Nasional (RAN) Penyandang Disabilitas di dalam RANHAM tersebut. Terakhir, pada tahun 2015 BAPPENAS juga telah menerbitkan “Buku Pedoman Perencanaan dan Penganggaran yang Berpihak kepada Penyandang Disabilitas” untuk menjadi acuan berbagai kementerian, lembaga,  serta pemerintah daerah dalam merencanakan program dan menganggarkannya sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang inklusif.