Pentingnya Menyediakan Fasilitas Masjid yang Aksesibel bagi Penyandang Disabilitas

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Masjid merupakan pusat ibadah bagi seluruh umat Islam tanpa kecuali. Nash-nash agama yang menjelaskan keutamaan masjid sangat banyak dan merupakan pengetahuan umum. Namun, orang dengan kebutuhan khusus seringkali disulitkan oleh bentuk bangunan dan ketersediaan fasilitas yang didesain tanpa memedulikan kebutuhan para penyandang disabilitas.

Di antara kesulitan-kesulitan yang mereka alami dalam menyempurnakan hak beribadah mereka di masjid sebagai berikut:

  • Pertama, tangga masjid dibangun terlalu tinggi dan tanpa jalan khusus bagi pengguna kursi roda sehingga menyulitkan mereka untuk masuk ke area masjid.
  • Kedua, kolam air cuci dari toilet dan tempat wudu menuju masjid bagian dalam. Kolam tersebut dibuat bertujuan untuk menghindari adanya najis masuk ke dalam masjid. Namun, desain kolam kebanyakan sangat tidak ramah disabilitas.
  • Ketiga, toilet yang terlalu sempit sehingga menyulitkan akses masuk pengguna kursi roda.
  • Keempat, ketidaktersediaan pegangan di tembok (handrail).
  • Kelima, ketidaktersediaan pelayanan yang memungkinkan mereka mengerti materi pendidikan atau nasihat agama yang diberikan dalam bentuk kajian atau khotbah di masjid khususnya bagi penyandang disabilitas rungu.

Berbagai kesulitan tersebut merupakan alasan utama bagi banyak penyandang disabilitas untuk meninggalkan ibadah di masjid atau datang ke majelis ilmu.

Hal tersebut dikarenakan struktur bangunan dan jenis fasilitas tanpa disadari justru sangat merugikan atau menyulitkan mereka untuk mendapatkan hak sebagaimana mestinya.

Akibatnya, penyandang disabilitas secara alami akan terdiskriminasi dan terpinggirkan, sebab minimnya akses ke ruang publik dan kurangnya informasi ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh kekurangan yang bukan merupakan kesalahan mereka.

Padahal, berbagai kesulitan tersebut bisa diatasi dengan penyediaan fasilitas publik yang ramah disabilitas. Hanya saja pemerintah, tokoh masyarakat, atau pihak berwenang lainnya (takmir masjid dan pengurus musala) sering kali tidak peka terhadap keberadaan penyandang disabilitas dan kebutuhan-kebutuhan mereka sehingga fasilitas yang dimaksud masih langka.

Padahal, Islam merupakan agama yang menebar rahmat dan keadilan bagi semua umatnya tanpa terkecuali.

Sebenarnya, pemerintah Indonesia telah mengupayakan pemenuhan dan perlindungan penyandang disabilitas melalui berbagai kebijakan, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Keberadaan Undang-undang (UU) tersebut selaras dengan pandangan Islam yang memang mewajibkan agar pemangku kebijakan publik (pemerintah dan non-pemerintah) untuk mengeluarkan peraturan yang mengharuskan tersedianya fasilitas peribadatan yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Kepala negara bertanggung jawab atas warga negaranya. Rasulullah SAW bersabda:

“Kewajiban negara menyediakan segala menjadi kebutuhan warga negaranya dengan memberdayakan seluruh potensi dan melibatkan peran serta masyarakat yang ada.”

Intinya mereka harus diperlakukan secara adil, manusiawi, dan bermartabat di bawah undang-undang seperti yang tersebut:

“Para ulama berkata: Pemimpin (negara) adalah pengayom yang mendapat amanat yang berkewajiban mewujudkan kebaikan bagi jabatannya dan bagi orang-orang yang dipimpinnya. Di dalam hadishadis itu ada penjelasan bahwa setiap orang yang memimpin orang lain maka ia dituntut untuk adil dalam kepemimpinannya dan dituntut untuk mewujudkan kemaslahatan mereka dalam urusan agama dan dunianya”.

Islam menegaskan bahwa ketika pemerintah sudah mengeluarkan aturan, seperti halnya Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas tersebut, maka seluruh rakyat wajib untuk mematuhinya. Sayyid Ba'alawi Al-Hadrami menjelaskan:

“Wajib patuh kepada Imam dalam setiap hal yang menjadi kewenangannya... Kesimpulannya adalah wajib menaati Imam dalam perintahnya secara dhohir dan batin dalam hal yang tidak haram atau makruh, maka yang asalnya wajib menjadi lebih kuat kewajibannya sedangkan yang asalnya sunnah berubah menjadi wajib. Begitu juga yang mubah menjadi wajib apabila didalamnya ada kemaslahatan.”

Selaras dengan itu, dalam kitab Nihatuz Zain disebutkan bahwa jika negara telah mewajibkan meskipun itu hal yang mubah menurut syariat, maka itu tidak lagi sekedar mubah (boleh), namun telah berubah menjadi wajib.

“Jika pemimpin mewajibkan sesuatu yang wajib, maka sesuatu itu bertambah wajib. Jika mewajibkan sesuatu yang sunnah maka menjadi wajib. Dan jika mewajibkan sesuatu yang boleh (jaiz),maka jika ada kemaslahatan umum padanya seperti larangan merokok, maka menjadi wajib juga”.

Dalam sisi yang berbeda, meskipun dengan segala keterbatasan yang ada, sampai batas tertentu para penyandang disabilitas tetap diwajibkan menjalankan takālif al-syar’iyyah (tuntutan beribadah). []