Pandangan Fikih terhadap Istinja’ bagi Penyandang Disabilitas

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Di antara syarat utama melakukan ibadah adalah harus suci dari najis. Hal ini menjadi pengetahuan umum umat Islam. Namun kemudian timbullah pertanyaan dari penyandang disabilitas yang membuatnya sulit untuk beristinja’ (bersuci dari buang air) dengan sempurna. Bagaimanakah cara penyandang disabilitas yang mengalami kesulitan untuk beristinja’ secara sempurna ini agar tetap sah untuk beribadah?

Dalam kitab fikih diterangkan bahwa dia dapat beristinja’ dengan cara meminta bantuan pasangan halalnya (suami atau istri). Namun jika tidak ada orang tersebut, maka dengan cara apapun yang memungkinkan. Kalaupun tidak sempurna sebab tidak ada pasangannya, maka ia boleh tetap melanjutkan salat sesuai pendapat dalam Mazhab Hanafi dan Maliki. Dalam Mazhab Hanafi, bila seseorang tidak mampu untuk menghilangkan najis di tubuhnya dan salat dengan cara itu, maka salatnya sah dan tak perlu mengulang lagi meskipun terdapat orang lain yang dapat membantunya. Adapun dalam Mazhab Maliki, menghilangkan najis merupakan kesunnahan dan bukan kewajiban sehingga tidak masalah meskipun salat membawa najis, namun disarankan untuk mengulang salatnya kembali apabila sudah memungkinkan untuk bersuci secara sempurna.

Dalam kitab Rād al-Mukhtār, salah satu rujukan utama Mazhab Hanafi, disebutkan:

فِ التََّارْخَانيَِّة: الرجَُّلُ المَْرِيضُ إذَا لمَْ تكَُنْ لَُ امْرأََةٌ وَلَا أَمَةٌ وَلَُ ابْنٌ أَوْ أَخٌ وَهُوَ لَا يَقْدِرُ عََ الوُْضُوءِ قَالَ يوَُضِّئُهُ ابْنُهُ أَوْ أَخُوهُ غَيْرَ الِاسْتنِْجَاءِ؛ فَإنِهَُّ لَا يَمَسُّ فَرجَْهُ وَيسَْقُطُ عَنْهُ وَالمَْرْأَةُ المَْرِيضَةُ إذَا لمَْ يكَُنْ لهََا زَوْجٌ وَِهَِ لَا تَقْدِرُ عََ الوُْضُوءِ وَلهََا بنِْتٌ أَوْ أُخْتٌ توَُضِّئُهَا وَيسَْقُطُ عَنْهَا الِاسْتنِْجَاءُ. اه. وَلَا يَْفَ أَنَّ هَذَا الفَّْصِيلَ يَْريِ فيِمَنْ شَلتَّْ يدََاهُ؛ لِأنَهَُّ فِ حُكْمِ المَْرِيضِ

“Dalam kitab Tatarkhaniyah disebutkan: Seorang laki-laki yang sakit yang tidak punya istri atau budak perempuan tetapi mempunyai anak laki-laki atau saudara laki-laki sedangkan dia sendiri tidak mampu untuk wudhu, maka anak dan saudaranya itu boleh membantunya berwudhu tetapi tidak boleh membantunya istinja’ sebab mereka tidak boleh memegang kemaluannya. Istinja’ itu sendiri gugur kewajibannya dari lelaki tersebut. Seorang perempuan yang sakit yang tidak mempunyai suami sedang dia tidak mampu untuk berwudhu tetapi dia mempunyai anak perempuan atau saudara perempuan, maka mereka boleh membantunya berwudu dan ia gugur kewajibannya untuk istinja’. Dan, sudah jelas bahwa perincian ini juga berlaku bagi orang yang terpotong kedua tangannya sebab dia sama hukumnya dengan orang sakit”.

Dalam kitab Bughyat al-Musytarsyidīn yang beraliran Syafi’iyyah, seperti mazhab yang diikuti oleh mayoritas muslimin Indonesia, disebutkan

keterangan sebagaimana berikut:

فائدة : يَِبُ عََ المَْرِيْضِ أَنْ يؤَُدِّيَ الصَْلوََاتِ الَْمْسَ مَعَ كَمَالِ شُُوْطِهَا وأََرْكَنهَِا وَاجْتنَِابُ مُبْطِلَاتهَِا حَسْبَ قُدْرَتهِِ وَإمِْكَنهِِۗ فَإنِْ كَثَُ ضََرُهُ وَاشْتَدَّ مَرَضُهُ وخََشَِ ترَْكَ الصَلَاةِ رَأْساً فَلَا بأَْسَ بتَِقْليِْدِ أَبِي حَنيِْفَةَ وَمَالِكٍِ وَإنِْ فَقُدَتْ بَعْضَ الشُُْوْطِ عِنْدَناَ. وَحَاصِلُ مَا ذَكَرهَُ الشَّْيْخُ مَُمَّدُ بْنُ خَاتمٍِ فِ رسَِالَِهِِ فِ صَلَاةِ المَْرِيْضِ أَنَّ مَذْهَبَ أَبِي حَنيِْفَةَ أَنَّ المَْرِيْضَ إذَِا عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ برِأَْسِهِ جَازَ لَُ ترَْكُ الصَّلَاةِ فَإنِْ شَفَ بَعْدَ مُضِِّ يوَْمٍ فَلَا قَضَاءَ عَليَْهِ وَإذَِا عَجَزَ عَنِ الشُُْوْطِ بنَِفْسِهِ وَقَدَرَ عَليَْهَا بغَِيْرِهِ فَظَاهِرُ المَْذْهَبِ وَهُوَ قوْلُ الصَْاحِبيَِْ لزَُوْمُ ذَلِكَِ إلَِا إنِْ لَقَِتْهُ مَشَقَّةٌ بفِِعْلِ الْغَيْرِ أَوْ كَنتَْ النجََّاسَةُ تَْرُجُ مِنْهَ دَائمِاً وَقَالَ أَبوُْ حَنيِْفَةُ : لَا يُفْتَضَُ عَليَْهِ مُطْلقَاً لِأنََّ المُْكَفََ عِنْدَهُ لَا يُعَدُّ قَادِرًا بقُِدْرَةِ غَيْرهِِ وَعَليَْهِ لوَْ تَيَمَّمَ الْعَاجِزُ عَنِ الوُْضُوْءِ بنَِفْسِهِ أَوْ صَلَّ بنَِجَاسَةٍ أَوْ إلِىَ غَيْرِ الْقِبْلةَِ مَعَ وجُُوْدِ مَنْ يسَْتَعِيُْ بهِِ وَلمَْ يأَْمُرْهُ صَحَّتْ وأََمَّا مَالِكٌِ فَمُقْتَضَ مَذْهَبهِِ وجُُوْبُ الْإِيْمَاءِ باِلطَرْفٍ أَوْ بإِجِْرَاءِ الْأرَْكَنِ عََ الْقَلْبِ وَالمُْعْتَمَدُ مِنْ مَذْهَبهِِ أَنَّ طَهَارَةَ الُْبُثِ مِنَ الثَْوْبِ وَالَْدَنِ وَالِمَِكَنِ سَنَةٌ فَيُعِيْدُ اسِْتحِْبَاباً مَنْ صَلَ عاَلماًِ قَادِرًا عََ إزَِالَِهَِا وَمُقَابلِةَُ الوْجُُوْبِ مَعَ الْعِلْمِ وَالقُدْرَةِ وَإلَِّا فَمُسْتَحَبٌّ مَا دَامَ الوَْقْتُ فَقَطْ وأََمَّا طَهَارَةُ الَْدَثِ فَإنِْ عَجَزَ عَنِ اسْتعِْمَالِ المَْاءِ ِلَِوْفِ حُدُوْثِ مَرَضٍ أَوْ زِيَادَتهِِ أَوْ تأَْخِيْرِ برََءٍ جَازَ الْيََمُّمُ وَلَا قَضَاءَعَليَْهِ وَكَذَا لوَْ عَدِمَ مَنْ يُنَاوَلُُ المَْاءَ وَلوَْ بأِجُْرَةٍ وَإنِْ عَجَزِ عَنِ المَْاءِ وَالصَعِيْدِ لعَِدَمِهِمَا أَوْ عَدِمَ الْقَدْرَةَ عََ اسْتعِْمالِهِِمَا بنَِفْسِهِ وَغَيْرِهِ سَقَطَتْ عَنْهُ الصَّلَاةُ وَلَا قَضَاءَ اه.

Wajib bagi orang sakit untuk melakukan lima salat wajib beserta seluruh syarat dan rukunnya serta menjauhi semua hal yang membatalkannya sesuai kemampuan dan kesempatannya. Apabila banyak kesulitannya dan sakitnya parah dan dikhawatirkan untuk meninggalkan salat sama sekali, maka tak mengapa baginya untuk mengikuti mazhab Abu Hanifah dan Malik meskipun beberapa syarat tersebut tidak sempurna menurut  mazhab kita (Syafi'iyyah).

Kesimpulan dari apa yang dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Khatib dalam risalahnya tentang salatnya orang yang sakit adalah: Mazhab Abu Hanifah menyatakan:

Apabila orang yang sakit tidak mampu untuk menggerakkan kepalanya maka ia boleh untuk meninggalkan salat.

Apabila ia sudah sembuh setelah melewati satu hari maka ia tidak perlu mengganti salat itu.

Apabila ia tidak mampu  untuk menjalankan syarat-syaratnya sendirian tetapi mampu apabila dibantu orang lain maka menurut pendapat yang kuat dalam mazhab, dia wajib meminta bantuan tersebut kecuali apabila ia mengalami kesulitan bila dibantu orang lain atau karena najisnya terus-menerus keluar.

Imam Abu Hanifah berkata: "Ia tidak wajib secara mutlak untuk meminta bantuan tersebut karena seorang mukallaf tidak bisa disebut mampu apabila kemampuannya dengan cara dibantu orang lain. orang tersebut apabila bertayamum sebab tidak mampu untuk berwudhu sendiri atau salat dengan najis atau salat  tidak menghadap kiblat padahal ada orang yang dapat membantunya tetapi ia tidak meminta bantuan, maka sah salatnya.

Adapun Imam Malik maka ketentuan mataharinya adalah wajib menggerakkan ujung kepalanya saja atau menjalankan rukun-rukun salat dalam hati. Adapun pendapat yang kuat dalam mazhabnya menyebutkan bahwa suci dari najis di badan, pakaian dan tempat adalah sunnah dan disunatkan bagi orang yang tahu keberadaan najis tersebut dan mampu untuk menghilangkannya agar mengulangi salat.

Namun harus diperhatikan agar keringanan di atas dilakukan hanya oleh penyandang disabilitas yang kesulitan untuk bersuci dengan sempurna, bukan mereka yang menganggap enteng masalah ini dan mengambil yang mudahmudah saja. Allah Maha Mengetahui mana hambanya yang layak mendapat keringanan dan mana yang tidak.