Mahram/muhrim
Salah satu masalah yang selalu menarik dikaji adalah konsep mahram. Islam sangat mengistimewakan kaum perempuan, di mana sejarah telah mencatat bagaimana perempuan ditindas, dihina, ditelantarkan, diperlakukan secara semena-mena dan tidak layak pada masa jahiliyah. Dengan hadirnya Islam dan Nabi Muhammad saw. derajat dan martabat wanita terangkat serta dipandang mulia oleh Islam.
Hukum Islam mengharuskan perempuan yang akan berpergian jauh ditemani atau didampingi keluarganya. Begitupun hal yang berimplikasi pada kehidupan sosial seperti melaksankan haji dan bermuamalah di ranah publik. Persoalan tersebut dikenal dalam hukum Islam dengan konsep mahram.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna mahram “mah-ram” pertama orang (perempuan atau laki-laki) yang masih termasuk sanak saudara dekat karena keturunan, sesusuan, atau hubungan perkawinan sehingga tidak boleh menikah diantaranya. Kedua, orang laki-laki yang dianggap dapat melindungi wanita yang akan melakukan ibadah haji (suami, anak laki-laki dan sebagainya).[1]
Menurut Imam Ibn Qudamah dalam kitab al-Mughni pada karya tulis Muhammad Maimun dengan judul “Pendamping Travelling: Kajian Antropologi Sosial tentang Mahram”, mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selam-lamanya dengan sebab nasab, persusuan, dan pernikahan. Lebih lanjut, mahram perempuan adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selamanya karena sebab nasab, seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab yang lain seperti saudara sepersususan (radla’ah), ayah ataupun anak tiri.[2]
Pendapat tersebut di atas diperjelas dalam al-qur’an surat an-Nisa ayat 23 yang mengkategorikan mahram bagi laki dan bagi perempuan ada posisi sebaliknya adalah:
1. Ibu;
2. Anak perempuan;
3. Saudara perempuan bapak;
4. Saudara-saudara ibu yang perempuan;
5. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang laki-laki;
6. Anak-anak perempuan dari saudara-saudara yang perempuan;
7. Ibu-ibu yang menyusui kamu;
8. Saudara perempuan yang sepersusuan;
9. Ibu-ibu istrumu (mertua);
10. Anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari sitri yang telah kamu campuri;
11. Istri-istri anak kandungmu (menantu); dan
12. Menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.
Dalam Islam, mahram terdiri dari dua bagian yaitu mahram mu’abbad dan ghairu mu’abbad. Mahram mu’abbad ialah orang-orang yang tidak boleh dinikahi untuk selamanya, diantaranya mahram karena hubungan keturunan, mahram karena hubungan pernikahan, dan mahram karena penyusuan. Adapun mahram ghairu mu’abbad ialah orang-orang yang tidak boleh dinikahi selama waktu tertentu dan dalam keadaan tertentu, dalam arti larangan untuk dinikahi untuk sementara waktu. Jika aspek larangan tersebut berubah, maka larangan tersebut hilang dan halal unuk dinikahi. Salah satu larangan terhadap mahram ghairu mu’abbad adalah larangan mengawini dua saudara dalam satu masa, yakni pernikahan suami memiliki lebih dari seorang istri yang bersaudara kandung.[3]
Lebih lanjut mengenai konsep mahram, para ulama fikih melarang perempuan untuk melakukan perjalanan sendirian di atas jarak tempuh tiga hari tiga malam, atau 20 farsakh, atau sekitar 100 km. Artinya, yang diharamkan bukan asal perjalanan, tetapi perjalanan dengan jarak tempuh tertentu. Apabila kita lebih mencermati dalil-dalil yang berkaitan dengan konsep mahram, al-Qur’an tidak menjelaskan secara terperinci mengenai konsep mahram bagi perempuan dalam perjalanannya. Sementara konsep mahram bagi perempuan yang ditekankan oleh Nabi Muhammad saw yaitu pentingnya sistem keamanan untuk perempuan, bukan pelarangan bagi perempuan untuk berpergian. Hal tersebut diperkuat oleh Dr. Yusuf Qaradlawi dengan suatu hadis “Akan datang suatu masa, di mana keamanan merambah seluruh negara, sehingga seorang perempuan melakukan perjalanan dari Mekkah ke San’a (sebuah kota di Yaman) tanpa merasa takut kecuali kepada Allah”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep mahram di dalam al-Qur’an meskipun mulanya berkaitan dengan konsep munakahat di mana dilarang menikahi para mahram, namun kemudian konsep tersebut juga berkaitan dengan perlindungan dan keselamatan bagi kaum perempuan ketika harus berada di ranah publik. Sehingga kemungkinan terjadinya sesuatu yang buruk terhadap perempuan juga bisa dihindari dengan kehadiran mahramnya.[4]
KH. Muhyidin Abdussomad menyatakan hadis yang mewajibkan mahram kepada perempuan ketika dia bepergian karena memang pada zaman jahiliah dulu situasi sangat tidak aman bagi perempuan. Situasi dan kondisi ketika itu tidak cukup aman bagi seorang perempuan untuk berjalan sendirian. Alat transportasi dan letak geografis yang sulit, ditambah dengan belum terbangunnya tatanan hukum yang dapat menjamin keamanan setiap warga.
Namun, jika dibandingkan untuk saat ini, dimana kondisi sosiologis dan geografis serta sistem pemerintahan yang terbentuk sudah dapat memberi rasa aman kepada seorang perempuan untuk keluar rumah tanpa khawatir terhadap keselamatannya, maka kewajiban adanya mahram bagi perempuan nampaknya bisa gugur. Karena hukum bisa berubah mengikuti kondisi kekinian. Di setiap wilayah sudah ada petugas keamanan yang akan memberikan perlindungan kepada masyarakat. Karena itu, perempuan diperkenankan beraktivitas di luar rumah sekalipun tanpa ada yang mendampinginya. Kecuali daerahdaerah tertentu yang masih rawan, seperti di daerah konflik, maka seorang perempuan harus ditemani oleh mahramnya atau orang yang dapat dipercaya kalau mereka melakukan perjalanan.
Oleh: Noor Ishmah
Footnote:
- ↑ Kamus Besar Bahasa Indonesia
- ↑ Muhammad Maimun, “PENDAMPING TRAVELLING: Kajian Antropologi Sosial tentang Mahram”, Musãwa, Vol. 9, No. 1, (Januari 2010), hlm. 119-151.
- ↑ Muhammad Maimun, “PENDAMPING TRAVELLING: Kajian Antropologi Sosial tentang Mahram”, Musãwa, Vol. 9, No. 1, (Januari 2010), hlm. 119-151.
- ↑ Abdul Mustaqim, “KONSEP MAHRAM DALAM AL-QUR’AN (Implikasi Bagi Mobilitas Kaum Perempuan di Ranah Publik), Musãwa, Vol. 9, No. 1, (Januari 2010), hlm. 1-18.