Lina Helwaty
Lina Helwaty adalah santri, alumni, pengajar, sekaligus keluarga Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah, Amuntai, Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Ia menamatkan studi menengahnya di pesantren yang dulu juga menjadi tempat belajar kedua orang tuanya itu sebelum kemudian bertolak ke Mesir untuk mendalami pengetahuan agamanya di Universitas Al-Azhar, Kairo, tepatnya di Fakultas Ushuluddin dalam jurusan Ilmu Hadis. Saat ini, ia menjalani aktivitasnya sebagai guru Alquran Hadis di Madarasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Hulu Sungai Tengah (HST).
Lina mengenal Kongres Ulama Perempuan indonesia (KUPI) melalui seorang aktivis yang berkiprah di Yogyakarta, Enik Maslahah. Sosok ini kemudian berpindah ke Amuntai dan mengenalkan KUPI kepadanya. Ia mengajaknya untuk hadir di KUPI mewakili Hulu Sungai Utara. Ia pun hadir karena berbagai bahasan di KUPI baginya sangat menarik mengingat relevansinya dan kesesuaiannya dengan isu-isu yang berkembang di lingkungannya.
Riwayat Hidup
Lina lahir di Madinatul Munawwarah, 5 Oktober 1983. Saat itu, ayahnya tengah studi di kota suci itu dan ibunya turut membersamai. Setahun setelah kelahirannya, keluarganya kembali ke tanah air. Dari Madinah pulang ke Amuntai, di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Di Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah, ia tidak hanya mengaji, tetapi juga bersekolah di Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah Keagamaan. Keberangkatannya ke Mesir sempat tertunda gegara ia hanya lolos sebagai peserta cadangan. Tak patah arang, ia mendaftar lagi di tahun berikutnya. Bukan hanya diterima, studinya juga ditanggung penuh oleh Kementerian Agama.
Lina saat ini sehari-hari beraktivitas di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Hulu Sungai Tengah (HST) sebagai guru Alquran Hadis. Butuh waktu lebih dari satu jam dengan berkendara mobil untuk sampai ke madrasah tersebut dari rumahnya di Hulu Sungai Utara. Paling tidak, saban hari, ia mengendarai mobilnya sejauh 80 km pergi pulang dari rumah ke madrasah. Hal itu ia jalani sejak tahun 2019 setelah diangkat sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan di madrasah tersebut. Bolak-balik sejauh itu dijalani karena masih ada keluarga di rumah yang perlu tangan dinginnya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya.
Sebelumnya, ia hanya mengajar di Pondok almamaternya itu sejak kepulangannya dari Mesir pada tahun 2008 sampai Maret 2019. Meskipun kini sudah memiliki aktivitas di luar pondok, ia tetap menyempatkan waktunya untuk mengabdikan diri di almamaternya itu. Ia mengisi kegiatan malam di asrama putri untuk mengajar Fiqih Perempuan.
Selain tentu karena memang Lina sendiri juga bagian dari keluarga Rasyidiyah Khalidiyah. Suaminya adalah cucu dari pendiri pesantren tersebut, yaitu TGH Abdul Rasyid. Sang Pendiri mulanya membuka halaqah pengajian sepulang dari Al-Azhar Mesir setelah 10 tahun di sana. Karena santrinya semakin banyak, kemudian ia membangun sistem modern berbasis kelas pada tahun 1922. Saat ini, pesantren tersebut telah genap berusia satu abad.
Lina merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Suaminya adalah Sekretaris Yayasan Rasyidiyah Khalidiyah sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Rasyidiyah Khalidiyah.
Adapun ayahnya berasal dari Amuntai. Alumni Jamiah Islamiyah Madinah. Pulang tahun 1985, ia langsung mengabdikan diri di Pondok Pesantren Rasyidiyah Khalidiyah. Hal yang sama juga dilakukan Lina sepulang dari Al-Azhar. Ibunya juga sempat studi di pesantren yang sama, hanya saja tidak sampai tuntas mengingat jaraknya yang cukup jauh. Namun kemudian, ia berjodoh dengan ayahnya dan diboyong ke Madinah sampai lahir Lina.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Lina mulai mengenal KUPI dari seorang aktivis Yogyakarta yang berpindah ke Amuntai, yaitu Enik Maslahah. Ia pun diajaknya untuk hadir pada KUPI 2 di Jawa Tengah untuk mewakili Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.
Ajakan terhadapnya tentu bukanlah sesuatu yang kebetulan. Sebab, Lina bukan sekadar guru di MAN atau pengajar di pesantren, melainkan juga pengisi ceramah. Jika abahnya berhalangan, Lina hadir mengisi pengajian di Majelis Ta’lim Yayasan Raudlatul Jinan, sebuah majelis Tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, yang digelar saban minggu. "Kadang, saya juga mengisi menggantikan Abah. Saya juga mengisi keagamaan ceramah di beberapa kegiatan hari besar pengajian ibu-ibu," katanya.
Berbagai macam pembahasan di KUPI baginya sangat menarik dan kontekstual sesuai dengan apa yang terjadi di lingkungannya, khususnya soal pembahasan sampah. Sebab, Kalimantan terkenal dengan pulau seribu sungai, banyak penduduknya itu tinggal mendekati sungai. Sungai menjadi sentra kehidupan bagi mereka, bukan hanya menjadi sumber konsumsi untuk makan, minum, dan mandi, tetapi tidak lepas juga dari tempat pembuangan akhir, tak terkecuali sampah.
Masalah lingkungan di Bumi Borneo tidak sebatas itu. Pertambangan batu bara, semen, dan lainnya yang merajalela melahirkan lubang-lubang yang menganga, sedangkan hutan dibiarkan semakin langka. Maka tak terelakkan, tempat tinggalnya yang berada di bagian bawah menjadi destinasi terakhir bagi air. Banjirlah sudah.
Mengenai permasalahan banjir, Lina melihat hal yang sangat sulit diurai, yaitu soal pertambangan yang begitu merusak alamnya. Namun, ia masih meyakini ada upaya lain untuk terus digencarkan dalam mencegah banjir, yaitu melalaui penanganan sampah yang baik dan penanaman pohon secara berkelanjutan. Edukasi kepada masyarakat menjadi satu hal wajib.
Hal lain yang sangat erat kaitannya dengan lingkungannya adalah pernikahan dini. Pendidikan dan ekonomi yang serba kekurangan menjadi pemicu utama maraknya pernikahan dini di sana. Jadi, jika perempuan sudah beranjak 16 atau 17 tahun, orang tuanya langsung mencarikan jodoh untuknya. Tentu saja tingginya angka pernikahan dini itu sejalan dengan tingginya angka perceraian. Hal ini terjadi di wilayah hutan. Sebagian besar dari mereka bekerja sebagai buruh karet. Ada juga yang jual ikan di pinggir-pinggir jalan. Mereka menikahkan anaknya yang baru menuntaskan pendidikannya di tingkat sekolah dasar. Namun, anaknya tersebut tetap mengikuti ibunya untuk berjualan ikan di pinggir-pinggir jalan guna menambah pundi-pundi ekonomi. Hal itu tentu saja karena usianya yang masih belia.
Pesantren yang menjadi salah satu tempat pengabdiannya tidak hadir secara eksklusif dengan biaya yang melangit. Biaya yang murah sebetulnya bisa menjadi alternatif pendidikan bagi orang-orang yang memiliki latar belakang ekonomi yang pas-pasan. Bahkan, bagi orang-orang yang tinggal di Amuntai, pesantrennya membuka diri untuk dijangkau dengan pulang-pergi.
Selama ini, Lina menyampaikan ceramah tidak mengambil atau membicarakan masalah itu. Sebab, rata-rata jamaahnya di majelis taklim adalah ibu-ibu dan nenek-nenek, bukan para remaja. Jika mengajar di MAN, ia dapat memasukkan konsep-konsep eduwiyata tentang lingkungan dan moderasi.
Penghargaan / Prestasi
Saat masih di bangku aliyah, Lina pernah meraih juara 3 nasional Pospenas kaligrafi cabang hiasan mushaf tahun 2001 di Mahad Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Ia mewakili Kalimantan Selatan.
Sebelum berangkat ke Mesir, ia juga mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) pada cabang perlombaan yang sama, yaitu kaligrafi hiasan mushaf. Dalam ajang itu, Lina meraih juara dua tingkat provinsi Kalimantan Selatan.
Keterampilannya dalam menulis khat kaligrafi yang diperoleh dari pondoknya, Rasyidiyah Khalidiyah. Pesantren tersebut memang menyediakan pembelajaran kaligrafi bagi santri-santrinya.
Ia juga pernah mengikuti MTQ Korpri di Padang, Sumatra Barat dalam cabang tahfiz Surat Al-Baqarah mewakili Kalimantan Selatan. Namun, ia belum ditakdirkan masuk final.
Di Mesir, ia aktif dalam organisasi Wihdah, organisasi induk keputrian persatuan pelajar dan mahasiswa Indonesia (PPMI) khusus perempuan di Mesir. Lina tercatat sebagai koordinator minat dan bakat, 2005-2006. Saat ini, Lina juga aktif dalam keanggotaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hulu Sungai Utara, Amuntai Tengah, di bidang perempuan.
Penulis | : | Syakir |
Editor | : | |
Reviewer | : |