Kalimat Penutup Menteri Agama RI Drs. H. Lukman Hakim Saifuddin

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Assalamu’alaikum wr.wb.

Bismillah, walhamdulillah, walhamdulillah, tsumma alhamdulillah, wa ash-shalaatu wassalaam ‘alaa Rasuulillah sayyidinaa Muhammad ibni ‘Abdillah wa ‘ala aalihi wa ash-shahbihi wa mawwaalah, wa laa haula wa laa quwwata illaa billaah.

Yang saya muliakan para ‘alim, para ‘ulama, para masyayikh, yang hadir di tengah-tengah kita pada sore hari ini, wa bil khusus kepada KH. Husein Muhammad. Yang saya hormati Hj. Masthuroh Hannah, Ibu Nyai Masriah Amva, para Nyai, tentu mohon maaf tidak bisa saya sebutkan satu persatu, seluruh peserta konferensi atau Kongres Ulama Perempuan Indonesia, hadirin sekalian yang berbahagia.

Sejujurnya, saya merasa kongres ini luar biasa. Tidak hanya substansi yang dikaji, yang tadi sama kita simak bersama, hasil dan rekomendasi yang dilahirkan dari kongres ini, tapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah prosesnya, karena saya mendengar, saya banyak menerima laporan, ini sepenuhnya inisiatif dari masyarakat, dari kaum perempuan itu sendiri, lalu kemudian mereka berupaya untuk membuat suatu kongres ulama perempuan yang untuk pertama kalinya di dunia diselenggarakan di Cirebon ini. Oleh karenanya, sebagai Menteri Agama, saya ingin menghaturkan terimakasih yang tiada terhingga, apresiasi yang setinggi-tingginya kepada semua pihak, kepada penggagas, para inisiator, para pemrakarsa, dan tentu seluruh panitia-panitia yang ada di hadapan kita semua ini, dan semua peserta yang telah melahirkan rumusan yang mudah-mudahan akan meningkatkan tidak hanya kaum perempuan itu sendiri tapi peradaban kita di Indonesia dan di dunia ini. Setidaknya saya mencatat tiga hal makna strategis dari Kongres Perempuan Indonesia kali ini:

Pertama adalah kongres ini telah berhasil memperjuangkan keadilan melalui kesadaran peran dan relasi hubungan laki-laki dan perempuan. Ini adalah isu yang senantiasa dan bahkan menurut hemat saya, ke depan, saat ini dan ke depan, mungkin memiliki tingkat urgensi dan relevansi yang semakin tinggi. Jadi memperjuangkan keadilan melalui kesadaran peran dan relasi perempuan dan laki-laki, dan terkadang bahkan sering kali ayat-ayat suci, karena satu dan lain hal karena pemahaman kita yang tentu terbatas, langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi aspek ini, dan karenanya kongres ini memiliki peran yang sangat penting untuk bagaimana keadilan relasi ini senantiasa terus diperjuangkan.

Yang kedua, dalam kacamata saya tentu yang terbatas, kongres ini juga telah mampu melakukan tidak hanya rekognisi, pengakuan, tapi juga revitalisasi terhadap peran ulama-ulama perempuan sejak zaman Siti ‘Aisyah istri Rasulullah, sampai terus di Indonesia ini. Jadi pengakuan, juga revitalisasi terhadap peran-peran ulama perempuan kita, dan, yang tidak kalah pentingnya, adalah membangun jaringan karena dengan—tadi saya sangat terkesima—peserta dari Banjarmasin, dari Batam, dari seluruh wilayah Nusantara, sehingga jaringan ulama perempuan ini, dengan kongres ini bisa terbangun dan bisa terus dikembangkan.

Dan yang ketiga dalam kacamata saya, bahwa kongres ini telah berhasil meneguhkan sekaligus menegaskan bahwa moderasi Islam itu harus senantiasa kita kedepankan. Islam yang moderat, Islam yang rahmatan lil ‘alamin, Islam yang tidak menyudutkan posisi kedudukan perempuan, Islam yang menebarkan kemaslahatan bagi sesama. Dan sekali lagi, isu ini semakin relevan, dan ulama perempuan telah mengambil posisinya yang amat strategis melalui kongres ini dengan menghadirkan isu-isu moderasi Islam, sehingga peradaban dunia di mana nilai-nilai Islam diharapkan bisa memberikan kontribusi dan sumbangsihnya tetap mampu kita jaga, kita pelihara, kita rawat bersama dan kita kembangkan di masa-masa mendatang.

Sebelum saya mengakhiri sambutan ini, ada dua hal yang saya ingin sampaikan, respon terhadap rekomendasi [[[KUPI]] yang dibacakan] tadi, pertama terkait dengan regulasi Undang-Undang Perkawinan kita. Judicial review yang pernah diajukan, ternyata ditolak oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu keinginan kita untuk mengubah regulasi batasan minimal perempuan usia 16 tahun menjadi 18 tahun, itu ternyata oleh Mahkamah Konstitusi ditolak. Dan setelah saya mencoba mencari tahu ke sejumlah hakim konstitusi yang mengutus judicial review itu saya mendapat jawaban bahwa, ya karena ini, menurut mereka, tentu kita bisa setuju atau tidak, menurut mereka karena ini menjadi kewenangan legislatif, jadi bukan judicial, bukan, karena kuatir ketika itu dipenuhi, 18 tahun dipatok oleh Mahkamah Konstitusi, maka ketika ada kebutuhan meningkatkan lagi usia itu menjadi 19 mungkin, 20, 21 dan seterusnya, tidak akan bisa dilakukan lagi. Mereka mengatakan, biarlah ini menjadi kewenangan para legislator kita untuk melakukan review. Jadi pendekatannya bukan judicial review tapi legislative review. Oleh karenanya, karena pemerintah juga punya hak untuk melakukan legislative review, tidak hanya DPR saja, maka saya, secepatnya nanti akan berkomunikasi dengan menteri negara, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, untuk melakukan review ini, dan mohon kongres perempuan bisa memberikan rumusan yang lebih kongkrit, karena ini kan, tentu tidak harga mati 18 tahun, ada istisna’ tadi, istilahnya tadi itu. Dalam kasus-kasus tertentu itu juga harus diakomodasi karena hal-hal yang menuntut seperti itu.

Yang kedua, tentang Ma’had Ali. Kami tentu Kementerian Agama membuka diri untuk adanya Ma’had Ali khusus perempuan dalam upaya memperbanyak ulama-ulama perempuan kita. Saat ini sudah ada 13 Ma’had Ali, salah satunya di Babakan Ciwaringin juga, yaitu Ma’had Ali yang khusus takhashush tentang ushulul fiqh, dan kalau kemudian perempuan secara khusus juga memerlukan hal itu, tentu dengan senang hati kami membuka diri untuk mempersiapkan. Tidak hanya kurikulumnya, tapi segala sesuatu terkait dengan pendirian Ma’had Ali. Demikian yang ingin saya sampaikan, sekali lagi saya mengucapkan selamat, mudah-mudahan kongres ini betul-betul membawa kemanfaatan dan kemaslahatan bagi kita semua.

Wabillahi taufiq wal hidayah, wallahul muwafiq ila akwamith thariq,

wassalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakutuh.


Cirebon, 27 April 2017