Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 75: Baris 75:
Puisi-puisi di atas menggambarkan dengan jelas fakta perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam awal. Pusat-pusat peradaban Islam, paling tidak di tiga tempat: Damaskus, Baghdad dan Andalusia, memperlihatkan posisi, peran dan aktifitas, kaum perempuan Islam. Betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikia dan intelektual, profesional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki. Fakta-fakta historis ini dengan sendirinya telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas dan moralitas laki-laki. Islam memang hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan: membebaskan penindasan, diskriminasi dan kebodohan. Islam mendukung perwujudan kehidupan yang setara berkeadilan dan berilmu pengetahuan untuk semua manusia: laki-laki dan perempuan.
Puisi-puisi di atas menggambarkan dengan jelas fakta perempuan Islam di atas panggung sejarah Islam awal. Pusat-pusat peradaban Islam, paling tidak di tiga tempat: Damaskus, Baghdad dan Andalusia, memperlihatkan posisi, peran dan aktifitas, kaum perempuan Islam. Betapa banyak perempuan yang menjadi ulama, cendikia dan intelektual, profesional dengan beragam keahlian dan dengan kapasitas intelektual yang relatif sama dengan bahkan sebagian mengungguli ulama laki-laki. Fakta-fakta historis ini dengan sendirinya telah menggugat anggapan banyak orang bahwa akal, intelektualitas dan moralitas perempuan lebih rendah dari akal, intelektualitas dan moralitas laki-laki. Islam memang hadir untuk sebuah cita-cita kemanusiaan: membebaskan penindasan, diskriminasi dan kebodohan. Islam mendukung perwujudan kehidupan yang setara berkeadilan dan berilmu pengetahuan untuk semua manusia: laki-laki dan perempuan.


Nama-nama perempuan ulama/intelektual/cendikia, perjalanan hidup dan karya-karya mereka terekam dalam banyak buku-buku klasik Islam. Ibnu Hajar, ahli hadits terkemuka dalam bukunya: ''“Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah”'', menyebut 500 perempuan ahli hadits. Imam Nawawi, ahli hadits terkemuka menulis nama-nama mereka dalam bukunya ''“Tahzib al-Asma wa al-Rijal”'', Khalid al-Baghdadi dalam ''“Tarikh Baghdad”'', Ibn Sa’d dalam ''“Al-Thabaqat”'' dan al-Sakhawi dalam ''“al-Dhaw al-Lami’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’”'' dan lain-lain. Imam al-Dzahabi, ahli hadits masyhur, penulis buku ''“Mizan al-I’tidal”,''  menyebut 4000 Rijal Hadits, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ia selanjutnya mengatakan:
Nama-nama perempuan ulama/intelektual/cendikia, perjalanan hidup dan karya-karya mereka terekam dalam banyak buku-buku klasik Islam. Ibnu Hajar, ahli [[hadits]] terkemuka dalam bukunya: ''“Al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah”'', menyebut 500 perempuan ahli hadits. Imam Nawawi, ahli hadits terkemuka menulis nama-nama mereka dalam bukunya ''“Tahzib al-Asma wa al-Rijal”'', Khalid al-Baghdadi dalam ''“Tarikh Baghdad”'', Ibn Sa’d dalam ''“Al-Thabaqat”'' dan al-Sakhawi dalam ''“al-Dhaw al-Lami’ li Ahli al-Qarn al-Tasi’”'' dan lain-lain. Imam al-Dzahabi, ahli hadits masyhur, penulis buku ''“Mizan al-I’tidal”,''  menyebut 4000 Rijal Hadits, terdiri dari laki-laki dan perempuan. Ia selanjutnya mengatakan:


مَا عَلِمْتُ مِنَ النِّسَاءِ مَنْ اتُّهِمَتْ وَلَا مَنْ تُرِكَ حَدِيثُهَا
مَا عَلِمْتُ مِنَ النِّسَاءِ مَنْ اتُّهِمَتْ وَلَا مَنْ تُرِكَ حَدِيثُهَا
Baris 107: Baris 107:
Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai ''“A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah”'' (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam ''“Siyar A’lam al-Nubala”'' (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebutkan, murid-murid Aisyah ada 299 orang. 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid, 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)  
Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai ''“A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah”'' (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam ''“Siyar A’lam al-Nubala”'' (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebutkan, murid-murid Aisyah ada 299 orang. 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid, 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)  


Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Beberapa di antaranya adalah Sayyyidah Nafisah (w. 208 H), cicit Nabi. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman (''Nafisah al-‘Ilm''), pemberani, sekaligus ''‘abidah zahidah'' (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’I dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ''“''ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqh besar”:   
Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Beberapa di antaranya adalah Sayyyidah Nafisah (w. 208 H), cicit Nabi. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman (''Nafisah al-‘Ilm''), pemberani, sekaligus ''‘abidah zahidah'' (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’I dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ''“''ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli [[fiqh]] besar”:   


اَكْثَرُ الْعُلَمآءِ جُلُوساً اِلَيْهَا وَأَخْذاً عَنْهَا فِى وَقْتِ الَّذِى بَلَغَ فِيهِ مِنَ الْاِمَامَةِ فِى الْفِقْهِ مَكَاناً عَظِيماً.  
اَكْثَرُ الْعُلَمآءِ جُلُوساً اِلَيْهَا وَأَخْذاً عَنْهَا فِى وَقْتِ الَّذِى بَلَغَ فِيهِ مِنَ الْاِمَامَةِ فِى الْفِقْهِ مَكَاناً عَظِيماً.  
Baris 123: Baris 123:
Ibnu Asakir, sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “''Hafizh al-Ummah''” adalah murid/mahasiswa dari banyak ulama, delapan puluh lebih di antaranya adalah perempuan.   Syuhdah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah ulama besar, antara lain Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Keduanya ahli hadits terkemuka. Ummu Habibah al-Ashbihani, adalah salah seorang guru dari al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bin ‘Ala al-Din al Samarqandi adalah ''faqihah jalilah'', ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’”.  
Ibnu Asakir, sejarawan Damaskus terkemuka dan bergelar “''Hafizh al-Ummah''” adalah murid/mahasiswa dari banyak ulama, delapan puluh lebih di antaranya adalah perempuan.   Syuhdah bin al-Abri, perempuan ulama, guru sejumlah ulama besar, antara lain Ibn al-Jauzi dan Ibn Qudamah al-Hanbali. Keduanya ahli hadits terkemuka. Ummu Habibah al-Ashbihani, adalah salah seorang guru dari al-Hafiz Ibn Mundzir. Fathimah bin ‘Ala al-Din al Samarqandi adalah ''faqihah jalilah'', ahli fiqh besar, suami Syeikh Ala al-Kasani, penulis buku “Al-Badai’ al-Shanai’”.  


Tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam dan mujtahid besar adalah Ibn Hazm dari Andalusia. Pengetahuannya diperoleh pertama-tama dari kaum perempuan. Dari mereka ia belajar membaca al-Qur’an sekaligus mengafalnya, menulis, dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar. Dalam bukunya “''Thauq al-Hamamah''” (Kalung Merpati), ia menceritakan:
Tokoh cemerlang lain dalam dunia keilmuan Islam dan mujtahid besar adalah Ibn Hazm dari Andalusia. Pengetahuannya diperoleh pertama-tama dari kaum perempuan. Dari mereka ia belajar membaca [[al-Qur’an]] sekaligus mengafalnya, menulis, dan memperoleh sejumlah ilmu pengetahuan dasar. Dalam bukunya “''Thauq al-Hamamah''” (Kalung Merpati), ia menceritakan:


لَقَدْ شَاهَدْتُ النِّسَاءَ وَعَلِمْتُ مِنْ اَسْرَارِهِنَّ مَا لَا يَكَادُ يَعْلَمُهُ غَيْرِى لاَنِّى رُبِّيتُ فِى حُجُورِهِنَّ وَنَشَأْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَلَمْ أَعْرِفْ غَيْرَهُنَّ وَلَا جَالَسْتُ الرِّجَالَ اِلَّا وَأَنَا فِى حَدِّ الشَّبَابِ وَحِينَ تَفِيلُ وَجْهِى . وَهُنَّ عَلَّمْنَنِى الْقُرآنَ وَرَوَيْنَنِى كَثِيراً مِنَ الْاَشْعَارِ وَدَرَّبْنَنِى فَى الْخَطِّ "
لَقَدْ شَاهَدْتُ النِّسَاءَ وَعَلِمْتُ مِنْ اَسْرَارِهِنَّ مَا لَا يَكَادُ يَعْلَمُهُ غَيْرِى لاَنِّى رُبِّيتُ فِى حُجُورِهِنَّ وَنَشَأْتُ بَيْنَ أَيْدِيهِنَّ وَلَمْ أَعْرِفْ غَيْرَهُنَّ وَلَا جَالَسْتُ الرِّجَالَ اِلَّا وَأَنَا فِى حَدِّ الشَّبَابِ وَحِينَ تَفِيلُ وَجْهِى . وَهُنَّ عَلَّمْنَنِى الْقُرآنَ وَرَوَيْنَنِى كَثِيراً مِنَ الْاَشْعَارِ وَدَرَّبْنَنِى فَى الْخَطِّ "
Baris 130: Baris 130:
“Aku sering menyaksikan para perempuan dan aku mengetahui banyak isi hati mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajari aku Al-Qur’an, puisi-puisi dan kaligrafi”.
“Aku sering menyaksikan para perempuan dan aku mengetahui banyak isi hati mereka, karena aku dididik di pangkuan mereka. Aku tumbuh besar di tangan mereka. Aku tak mengenal laki-laki kecuali setelah aku menjadi dewasa. Para perempuanlah yang mengajari aku Al-Qur’an, puisi-puisi dan kaligrafi”.


Ada pula Khadijah bint Sahnun. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah perempuan ulama. Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “''al-Syifa''”, menulis dalam bukunya: “''Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik''”: “Khadijah bint Sahnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi social-kemanusiaan”. Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas melainkan juga kepribadian yang luhur: rendah hati, santun, pemurah dan religious. Popularitasnya sebagai perempuan ulama sangat menonjol.   Ayahnya, Sahnun, seorang hakim Mahkamah Agung, selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan.   
Ada pula Khadijah bint Sahnun. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah perempuan ulama. Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “''al-Syifa''”, menulis dalam bukunya: “''Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik''”: “Khadijah bint Sahnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi [[fatwa]] keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi social-kemanusiaan”. Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas melainkan juga kepribadian yang luhur: rendah hati, santun, pemurah dan religious. Popularitasnya sebagai perempuan ulama sangat menonjol.   Ayahnya, Sahnun, seorang hakim Mahkamah Agung, selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan.   


=== Perempuan-perempuan Termarginalkan Dari Panggung Sejarah ===
=== Perempuan-perempuan Termarginalkan Dari Panggung Sejarah ===
Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.  Sayangnya, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Perempuan-perempuan Islam tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat).  
Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.  Sayangnya, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Perempuan-perempuan Islam tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "[[fitnah]]" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat).  


Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: ''“Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah”'' mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argumen prinsip ''“Sadd al-Dzari’ah”'' (menutup pintu kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dipandang mereka dapat menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral. Ini dua kata sakti yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya, “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik secara terstruktur, sistemik dan massif.
Dr. Muhammad al-Habasy, sarjana Suriah, dalam bukunya: ''“Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah”'' mengatakan bahwa peminggiran kaum perempuan itu didasarkan pada argumen prinsip ''“Sadd al-Dzari’ah”'' (menutup pintu kerusakan). Keikutsertaan atau keterlibatan kaum perempuan dalam dunia pendidikan dan ilmu pengetahuan, baik sebagai pelajar maupun guru, dipandang mereka dapat menimbulkan “fitnah” dan “inhiraf” (penyimpangan) moral. Ini dua kata sakti yang membelenggu aktualisasi diri kaum perempuan. Jargonnya, “Demi melindungi” dan “Menjaga Kesucian Moral”. Dunia sepertinya telah kehilangan cara bagaimana “Melindungi tanpa Membatasi”. Tindakan selanjutnya adalah “membuat aturan-aturan yang membatasi gerak tubuh perempuan di ruang-ruang sosial, budaya dan politik secara terstruktur, sistemik dan massif.
Baris 180: Baris 180:
Cirebon, 25 April 2017
Cirebon, 25 April 2017


''*Dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam [[Kongres Ulama Perempuan]] Indonesia (KUPI), di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy, Babakan Ciwaingin, Cirebon, 25-27 April 2017.''
''*Dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam [[Kongres Ulama Perempuan]] Indonesia ([[KUPI]]), di Pondok Pesantren [[Kebon Jambu Al-Islamy]], Babakan Ciwaingin, Cirebon, 25-27 April 2017.''




'''Penulis: KH. Husein Muhammad'''
'''Penulis: KH. [[Husein Muhammad]]'''


''(Ketua Yayasan [[Fahmina]], Anggota SC KUPI)''
''(Ketua Yayasan [[Fahmina]], Anggota SC KUPI)''
[[Category:Diskursus]]
[[Category:Diskursus]]
[[Category:Sejarah Keulamaan Perempuan]]

Menu navigasi