12.023
suntingan
k (Agus Munawir memindahkan halaman WACANA TAFSIR ULAMA PEREMPUAN INDONESIA (STUDI PEMIKIRAN BADRIYAH FAYUMI) ke Wacana Tafsir Ulama Perempuan Indonesia (Studi Pemikiran Badriyah Fayumi)) |
|||
Baris 1: | Baris 1: | ||
''Penulis: Enok Ghosiyah, M.Ag'' | |||
'''Abstrak''' | '''Abstrak''' | ||
Kesimpulan penelitian ini adalah: perspektif ulama perempuan, pemikiran [[Badriyah Fayumi]] berusaha merekontruksi penafsiran Al-Qur’an dengan pendekatan feminis. Wacana tafsir ulama perempuan bertujuan untuk mengetahui metodologi penafsiran Badriyah Fayumi. Sebab Badriyah merupakan salah satu ulama, mufassir dan pemikir kesetaraan dan moderasi atau [[tokoh]] feminis yang sedang terlibat pembaharuan tafsir yang mengusung isu gerakan perubahan sosial berbasis teologis, mempromosikan toleransi dan moderasi, kesetaraaan dan keadilan gender. Dengan metode historis-kontekstual, Badriyah meluruskan wacana yang tidak tersentuh akal klasik dan modern yang kemudian dapat dilihat dari beberapa penafsirannya bertema perempuan dalam keluarga maupun di ranah publik. | Kesimpulan penelitian ini adalah: perspektif ulama perempuan, pemikiran [[Badriyah Fayumi]] berusaha merekontruksi penafsiran [[Al-Qur’an]] dengan pendekatan feminis. Wacana tafsir ulama perempuan bertujuan untuk mengetahui metodologi penafsiran Badriyah Fayumi. Sebab Badriyah merupakan salah satu ulama, mufassir dan pemikir kesetaraan dan moderasi atau [[tokoh]] feminis yang sedang terlibat pembaharuan tafsir yang mengusung isu gerakan perubahan sosial berbasis teologis, mempromosikan toleransi dan moderasi, kesetaraaan dan keadilan gender. Dengan metode historis-kontekstual, Badriyah meluruskan wacana yang tidak tersentuh akal klasik dan modern yang kemudian dapat dilihat dari beberapa penafsirannya bertema perempuan dalam keluarga maupun di ranah publik. | ||
Kesimpulan penelitian ini memiliki kesamaan pendapat dengan Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, Asghar Ali Engineer dan [[Husein Muhammad]], yang menegaskan bahwa penafsiran dengan paradigma ideologi patriarki, memberi kontribusi terhadap peminggiran kaum perempuan dan secara tidak sadar kurang mengakomodir kepentingan kaum perempuan sehingga produk tafsir klasik terasa masih mencerminkan bias-bias patriarki. Sementara itu, temuan penelitian ini berbeda dengan pendapat beberapa tokoh, seperti Al-Zamakhsyari, Muhammad Nawawi al-Bantani, Muhammad Thahir bin Asyur, yang berkeyakinan bahwa laki-laki lebih unggul dari pada perempuan secara fitrah maupun ''syari’iyyah'' bahkan perbedaan ini dinilai sebagai ''al-Mazaya al-Jibilliyyah'' (keistimewaan natural). | Kesimpulan penelitian ini memiliki kesamaan pendapat dengan Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, Asghar Ali Engineer dan [[Husein Muhammad]], yang menegaskan bahwa penafsiran dengan paradigma ideologi patriarki, memberi kontribusi terhadap peminggiran kaum perempuan dan secara tidak sadar kurang mengakomodir kepentingan kaum perempuan sehingga produk tafsir klasik terasa masih mencerminkan bias-bias patriarki. Sementara itu, temuan penelitian ini berbeda dengan pendapat beberapa tokoh, seperti Al-Zamakhsyari, Muhammad Nawawi al-Bantani, Muhammad Thahir bin Asyur, yang berkeyakinan bahwa laki-laki lebih unggul dari pada perempuan secara fitrah maupun ''syari’iyyah'' bahkan perbedaan ini dinilai sebagai ''al-Mazaya al-Jibilliyyah'' (keistimewaan natural). |