12.023
suntingan
Baris 1: | Baris 1: | ||
''Penulis: Akhmad Sulaiman & Eri Nur Shofi'i'' | |||
'''Abstrak''' | '''Abstrak''' | ||
Perdebatan seputar kapabilitas ''maqāṣid'' dalam menghadapi tantangan modernitas merupakan sebuah diskusi akademik yang terus terjadi. Banyak [[tokoh]] telah memperbaharui bangunan ''maqāṣid'' klasik agar ia mampu menjawab isu-isu keniscayaan-keniscayaan baru yang dibawa oleh modernitas. Namun dalam kenyataannya, keniscayaan-keniscayaan modernitas ini ternyata tidak selamanya mengharuskan penggunaan bangunan ''maqāṣid'' baru. Hal ini salah satunya tergambarkan dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Konggres [[Ulama Perempuan]] Indonesia (KUPI) mengenai kewajiban pencegahan pernikahan anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana ''maqāṣid'' klasik sebagai dasar filosofis perumusan hukum mampu menghadapi tantangan modernitas seperti kewajiban pendidikan, penafian ekspolitasi anak dalam bekerja, dan kemiskinan. Penelitian ini menemukan bahwa memiliki kapabilitas bangunan ''maqāṣid'' klasik dalam menghadapi tuntutan-tuntutan modernitas dilakukan dengan reinterpretasi makna pelestarian agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Selain itu, prinsip-prinsip ''ijtihād maqāṣidī'' berupa perumusan hukum berdasarkan tujuannya, penyelarasan antara tujuan dan dalil universal dan dalil partikular, pertimbangan dampak yang ditimbulkan dari hukum, dan pendirian untuk menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan secara mutlak yang dilibatkan dalam mekanisme istinbat hukum turut memberikan signifikansi dalam upaya produksi fatwa/hukum yang responsif terhadap isu perkawinan anak yang bertentangan dengan keniscayaan-keniscayaan dunia modern. | Perdebatan seputar kapabilitas ''maqāṣid'' dalam menghadapi tantangan modernitas merupakan sebuah diskusi akademik yang terus terjadi. Banyak [[tokoh]] telah memperbaharui bangunan ''maqāṣid'' klasik agar ia mampu menjawab isu-isu keniscayaan-keniscayaan baru yang dibawa oleh modernitas. Namun dalam kenyataannya, keniscayaan-keniscayaan modernitas ini ternyata tidak selamanya mengharuskan penggunaan bangunan ''maqāṣid'' baru. Hal ini salah satunya tergambarkan dalam [[fatwa]] yang dikeluarkan oleh Konggres [[Ulama Perempuan]] Indonesia (KUPI) mengenai kewajiban pencegahan pernikahan anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana ''maqāṣid'' klasik sebagai dasar filosofis perumusan hukum mampu menghadapi tantangan modernitas seperti kewajiban pendidikan, penafian ekspolitasi anak dalam bekerja, dan kemiskinan. Penelitian ini menemukan bahwa memiliki kapabilitas bangunan ''maqāṣid'' klasik dalam menghadapi tuntutan-tuntutan modernitas dilakukan dengan reinterpretasi makna pelestarian agama, jiwa, akal, keturunan, harta, dan kehormatan. Selain itu, prinsip-prinsip ''ijtihād maqāṣidī'' berupa perumusan hukum berdasarkan tujuannya, penyelarasan antara tujuan dan dalil universal dan dalil partikular, pertimbangan dampak yang ditimbulkan dari hukum, dan pendirian untuk menarik kemaslahatan dan menolak kerusakan secara mutlak yang dilibatkan dalam mekanisme istinbat hukum turut memberikan signifikansi dalam upaya produksi fatwa/hukum yang responsif terhadap isu perkawinan anak yang bertentangan dengan keniscayaan-keniscayaan dunia modern. | ||
'''Kata Kunci:''' ''maqāṣid,'' ulama perempuan, perkawinan anak, [[KUPI]] | '''Kata Kunci:''' ''maqāṣid,'' ulama perempuan, perkawinan anak, [[KUPI]] |