Konsep Maslahat dalam Penyusunan Aturan Perundangan di Indonesia Studi Komparasi antara Al-Ghazali, al-Syatibi dan KUPI: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
(←Membuat halaman berisi ''''Penulis: Mayadina Rohmi Musfiroh, Alfa Syahriar''' '''Abstract''' Maslaha is one of  the important indicator in the formulation of legislation in Islamic law....')
 
 
Baris 1: Baris 1:
'''Penulis: Mayadina Rohmi Musfiroh, Alfa Syahriar'''
''Penulis: Mayadina Rohmi Musfiroh, Alfa Syahriar''
 




Baris 15: Baris 16:
Maslahah merupakan salah satu indikator penting dalam perumusan peraturan perundang-undangan dalam hukum Islam. Lebih dari itu, maslahah dipahami sebagai ruh yang menjiwai aturan perundangan yang dihasilkan oleh [[lembaga]]-lembaga yang memiliki otoritas legislasi hukum. Sementara itu, konsep maslahah yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam berbeda satu sama lain meskipun memiliki titik persamaan. Teori maslahah yang selama ini digunakan masih dianggap netral gender. Padahal dalam konteks saat ini, perumusan undang-undang harus mengintegrasikan perspektif gender yang memberikan porsi yang setara antara manfaat laki-laki dan perempuan. Tanpa memasukkan perspektif pengalaman perempuan, maka akan menghasilkan keputusan hukum yang bias dan tidak adil bagi kemanusiaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan konsep kemaslahatan Imam Al-Ghazali, Ash-Syatibi, dan KUPI serta menemukan konsep maslahah yang relevan dengan konteks kekinian dalam pembentukan Hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, pengambilan data melalui studi literatur, serta analisis data deskriptif komparatif.
Maslahah merupakan salah satu indikator penting dalam perumusan peraturan perundang-undangan dalam hukum Islam. Lebih dari itu, maslahah dipahami sebagai ruh yang menjiwai aturan perundangan yang dihasilkan oleh [[lembaga]]-lembaga yang memiliki otoritas legislasi hukum. Sementara itu, konsep maslahah yang dikembangkan oleh para ahli hukum Islam berbeda satu sama lain meskipun memiliki titik persamaan. Teori maslahah yang selama ini digunakan masih dianggap netral gender. Padahal dalam konteks saat ini, perumusan undang-undang harus mengintegrasikan perspektif gender yang memberikan porsi yang setara antara manfaat laki-laki dan perempuan. Tanpa memasukkan perspektif pengalaman perempuan, maka akan menghasilkan keputusan hukum yang bias dan tidak adil bagi kemanusiaan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan konsep kemaslahatan Imam Al-Ghazali, Ash-Syatibi, dan KUPI serta menemukan konsep maslahah yang relevan dengan konteks kekinian dalam pembentukan Hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, pengambilan data melalui studi literatur, serta analisis data deskriptif komparatif.


Temuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep maslahah yang telah dirumuskan oleh para ulama sebelumnya, belum mengintegrasikan pengalaman perempuan sebagai subjek aktif. KUPI melengkapi batasan kemaslahatan yang telah disusun oleh ulama sebelumnya dengan mencantumkan ''affirmative benefit'' bagi perempuan. Namun, pengintegrasian pengalaman perempuan dalam merumuskan maslahah seringkali bersifat kontekstual daripada universal karena perbedaan situasi, kondisi, budaya dan budaya yang beragam. Temuan ini menyiratkan bahwa pihak-pihak yang berwenang dalam merancang undang-undang di Indonesia perlu mempertimbangkan aspek-aspek kemanfaatan dalam pembuatan undang-undang dengan memasukkan maslahah afirmatif bagi perempuan. Terutama terkait dengan hukum keluarga Islam. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia agar merevisi berbagai peraturan yang membawa maslahah yang lebih afirmatif kepada perempuan dan keluarganya.
Temuan utama dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsep maslahah yang telah dirumuskan oleh para ulama sebelumnya, belum mengintegrasikan pengalaman perempuan sebagai subjek aktif. KUPI melengkapi batasan kemaslahatan yang telah disusun oleh ulama sebelumnya dengan mencantumkan ''affirmative benefit'' bagi perempuan. Namun, pengintegrasian pengalaman perempuan dalam merumuskan maslahah seringkali bersifat kontekstual daripada universal karena perbedaan situasi, kondisi, budaya dan budaya yang beragam. Temuan ini menyiratkan bahwa pihak-pihak yang berwenang dalam merancang undang-undang di Indonesia perlu mempertimbangkan aspek-aspek kemanfaatan dalam pembuatan undang-undang dengan memasukkan maslahah afirmatif bagi perempuan. Terutama terkait dengan [[Hukum Keluarga|hukum keluarga]] Islam. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali agenda pembaruan hukum Islam di Indonesia agar merevisi berbagai peraturan yang membawa maslahah yang lebih afirmatif kepada perempuan dan keluarganya.


'''Kata kunci:''' Maslahah, Pembuatan Hukum, KUPI.
'''Kata kunci:''' Maslahah, Pembuatan Hukum, KUPI.

Menu navigasi