Draft Tulisan Satu: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
96 bita dihapus ,  31 Maret 2022 04.50
tidak ada ringkasan suntingan
Tag: VisualEditor Dikembalikan
Baris 66: Baris 66:
Pada Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan dijelaskan peran suami dan isteri sebagai berikut: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Peran keduanya kemudian dirinci dalam pasal 34 ayat 1-3 sebagai berikut:
Pada Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan dijelaskan peran suami dan isteri sebagai berikut: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.” Peran keduanya kemudian dirinci dalam pasal 34 ayat 1-3 sebagai berikut:


1.  Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.  
# Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.  
 
# Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.  
2.  Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya.  
# Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.   
 
3.  Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya, masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.   


Undang-undang Perkawinan tersebut oleh [[tokoh]]-tokoh Muslim dianggap kurang mewakili aspirasi mereka sepenuhnya sehingga disusunlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang khusus mengatur dan menjadi rujukan utama perkawinan di kalangan masyarakat Muslim.  KHI mengatur secara lebih rinci peran suami-isteri dalam Bab XII tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri pada Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pada Pasal 79 Ayat 1 sebagai berikut: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”  
Undang-undang Perkawinan tersebut oleh [[tokoh]]-tokoh Muslim dianggap kurang mewakili aspirasi mereka sepenuhnya sehingga disusunlah Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang khusus mengatur dan menjadi rujukan utama perkawinan di kalangan masyarakat Muslim.  KHI mengatur secara lebih rinci peran suami-isteri dalam Bab XII tentang Hak dan Kewajiban Suami Isteri pada Bagian Kedua tentang Kedudukan Suami Isteri pada Pasal 79 Ayat 1 sebagai berikut: “Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.”  


Peran suami dlam KHI secara lebih rinci dijelaskan pada Bagian Ketiga tentang Kewajiban Suami Pasal 80 sebagai berikut:
Peran suami dalam KHI secara lebih rinci dijelaskan pada Bagian Ketiga tentang Kewajiban Suami Pasal 80 sebagai berikut:


1.   Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
1.   Suami adalah pembimbing terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.
Baris 98: Baris 96:
Sementara peran isteri dalam KHI dirinci di Bagian Keenam tentang Kewajiban Isteri Pasal 83 yang hanya memuat dua pasal sebagai berikut:  
Sementara peran isteri dalam KHI dirinci di Bagian Keenam tentang Kewajiban Isteri Pasal 83 yang hanya memuat dua pasal sebagai berikut:  


1.  Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
# Kewajiban utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam.
 
# Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
2.  Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.


Berbeda dengan aturan kewajiban suami, kewajiban isteri langsung disertai dengan Pasal 84 tentang konsekuensi pelanggaran kewajiban sebagai berikut:
Berbeda dengan aturan kewajiban suami, kewajiban isteri langsung disertai dengan Pasal 84 tentang konsekuensi pelanggaran kewajiban sebagai berikut:


1.  Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
# Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah
 
# Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
2.  Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
# Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz.
 
# Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.
3.  Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz.
 
4.  Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.


Didukung oleh UU Perkawinan dan KHI, peran gender dalam keluarga atas dasar ''qiwamah'' dan ''wilayah'' semakin kokoh dibakukan dan mewarnai pola keluarga di Indonesia. Pembakuan peran gender dalam tafsir agama maupun negara tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:
Didukung oleh UU Perkawinan dan KHI, peran gender dalam keluarga atas dasar ''qiwamah'' dan ''wilayah'' semakin kokoh dibakukan dan mewarnai pola keluarga di Indonesia. Pembakuan peran gender dalam tafsir agama maupun negara tersebut didasarkan pada asumsi-asumsi sebagai berikut:


1.  Laki-laki selalu lebih kuat daripada perempuan, baik secara fisik, ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun secara spiritual dan lainnya sehingga layak berfungsi sebagai kepala keluarga.
# Laki-laki selalu lebih kuat daripada perempuan, baik secara fisik, ekonomi, sosial, politik, budaya, maupun secara spiritual dan lainnya sehingga layak berfungsi sebagai kepala keluarga.
 
# Laki-laki selalu memiliki harta lebih banyak daripada isteri sehingga suami diwajibkan menafkahi isterinya.
2.  Laki-laki selalu memiliki harta lebih banyak daripada isteri sehingga suami diwajibkan menafkahi isterinya.
# Setiap keluarga selalu mempunyai laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.
 
3.  Setiap keluarga selalu mempunyai laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.


Sayangnya dalam realitas tidak semua asumsi tersebut benar adanya. Agama dan negara sama-sama memandang bahwa nafkah adalah kewajiban laki-laki yang berarti menjadi hak bagi perempuan baik sebagai anak, isteri, maupun ibu. Dalam realitasnya banyak pasangan isteri yang mempunyai kelebihan atas suami baik secara fisik, sosial, bahkan agama. Tidak sedikit isteri yang berasal dari keluarga kaya dan suami sebaliknya, atau isteri mempunyai karir bagus sementara suami tidak beruntung mendapatkan karir yang sepadan. Banyak juga pasangan suami isteri yang sama-sama bekerja sepanjang hari namun kebutuhan sandang, pangan, dan papan belum mampu dipenuhi dengan baik. Hal ini berarti bahwa banyak perempuan sesungguhnya memberikan konstribusi signifikan pada ekonomi keluarga bahkan menjadi pencari nafkah tunggal keluarga.
Sayangnya dalam realitas tidak semua asumsi tersebut benar adanya. Agama dan negara sama-sama memandang bahwa nafkah adalah kewajiban laki-laki yang berarti menjadi hak bagi perempuan baik sebagai anak, isteri, maupun ibu. Dalam realitasnya banyak pasangan isteri yang mempunyai kelebihan atas suami baik secara fisik, sosial, bahkan agama. Tidak sedikit isteri yang berasal dari keluarga kaya dan suami sebaliknya, atau isteri mempunyai karir bagus sementara suami tidak beruntung mendapatkan karir yang sepadan. Banyak juga pasangan suami isteri yang sama-sama bekerja sepanjang hari namun kebutuhan sandang, pangan, dan papan belum mampu dipenuhi dengan baik. Hal ini berarti bahwa banyak perempuan sesungguhnya memberikan konstribusi signifikan pada ekonomi keluarga bahkan menjadi pencari nafkah tunggal keluarga.
Baris 179: Baris 171:
Menurut bahasa nikah berarti penyatuan, hubungan badan, atau percampuran. Menurut al-Fara’ sebagaimana dikutip dalam ''al-Jami’ fi Fqih an-Nisa'' mengatakan bahwa ''an-nukh'' berarti kemaluan.<ref>Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah, ''Fiqh Wanita,'' penerjemah  M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), h. 396. </ref> Makna etimologi ini sangat mewarnai pengertian nikah secara terminologi yang diungkapkan oleh para ulama Fiqh sebagai berikut:
Menurut bahasa nikah berarti penyatuan, hubungan badan, atau percampuran. Menurut al-Fara’ sebagaimana dikutip dalam ''al-Jami’ fi Fqih an-Nisa'' mengatakan bahwa ''an-nukh'' berarti kemaluan.<ref>Syeikh Kamil Muhammad Uwaidah, ''Fiqh Wanita,'' penerjemah  M. Abdul Ghoffar E.M (Jakarta: Pustaka al-Kautsar), h. 396. </ref> Makna etimologi ini sangat mewarnai pengertian nikah secara terminologi yang diungkapkan oleh para ulama Fiqh sebagai berikut:


1.  Madzhab Hanafiyah; nikah adalah sebuah akad yang menyebabkan diperbolehkannya seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan secara sengaja.<ref>Ibn ‘Abidin, ''Radd al-Mukhtar al-Dar al-Mukhtar'', Beirut: Dar al-Fikr. 1992, 3/3. </ref>
# Madzhab Hanafiyah; nikah adalah sebuah akad yang menyebabkan diperbolehkannya seorang laki-laki bersenang-senang dengan perempuan secara sengaja.<ref>Ibn ‘Abidin, ''Radd al-Mukhtar al-Dar al-Mukhtar'', Beirut: Dar al-Fikr. 1992, 3/3. </ref>
 
# Madzhab Malikiyah; nikah adalah akad yang menghalalkan untuk bersenang-senang dengan perempuan yang bukan mahram, bukan seorang Majusi dan bukan budak dari ahli kitab dengan menggunakan shighah tertentu.<ref>Al-Shawi al-Maliki, ''Hasyiyah al-Shawi’ala al-Syarh al-Shagir li al-Dardiri'', Kairo: Dar al-Ma’arif, tt., 2/322-324.</ref>
2.  Madzhab Malikiyah; nikah adalah akad yang menghalalkan untuk bersenang-senang dengan perempuan yang bukan mahram, bukan seorang Majusi dan bukan budak dari ahli kitab dengan menggunakan shighah tertentu.<ref>Al-Shawi al-Maliki, ''Hasyiyah al-Shawi’ala al-Syarh al-Shagir li al-Dardiri'', Kairo: Dar al-Ma’arif, tt., 2/322-324.</ref>
# Syafi’iyah: Nikah adalah akad yang mengandung diperbolehkannya melakukan senggama dengan menggunakan lafal “inkah”, “tazwij” atau terjemahnya.<ref>Syams al-Din al-Syarbini al-Syafi’i, ''Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfadz al-Minhaj'', Beirut: Dar al-kutum al-ilmiyah, 1994, 4/200.</ref>
 
# Hanabilah; nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diungkapkan dengan menggunakan lafal “nikah” atau “tazwij” atau terjemahnya.<ref>Manshur al-Bahuti al-Hanbali, ''Kasyaf al-Qina’ ‘an Matan al-Iqna''’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., 5/5.</ref>
3.  Syafi’iyah: Nikah adalah akad yang mengandung diperbolehkannya melakukan senggama dengan menggunakan lafal “inkah”, “tazwij” atau terjemahnya.<ref>Syams al-Din al-Syarbini al-Syafi’i, ''Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfadz al-Minhaj'', Beirut: Dar al-kutum al-ilmiyah, 1994, 4/200.</ref>
 
4.  Hanabilah; nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diungkapkan dengan menggunakan lafal “nikah” atau “tazwij” atau terjemahnya.<ref>Manshur al-Bahuti al-Hanbali, ''Kasyaf al-Qina’ ‘an Matan al-Iqna''’, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt., 5/5.</ref>


Ada dua paradigma yang berkembang di kalangan fiqh dalam melihat pernikahan, yaitu sebagai akad pembolehan ''(aqd al-ibahah)'' yakni pembolehan laki-laki dan perempuan berhubungan seksual, dan akad pemilikan ''aqd at-tamlik)'' yakni akad yang menyebabkan laki-laki memiliki perempuan, baik kepemilikan dalam arti sesungguhnya maupun kepemilikan dalam arti hak guna, baik seluruh tubuh perempuan maupun alat kelaminnya. Paradigma tersebut dan juga definisi-definisi di atas terutama pertama hingga ketiga menjelaskan secara eksplisit bahwa inti pernikahan adalah hubungan seksual.
Ada dua paradigma yang berkembang di kalangan fiqh dalam melihat pernikahan, yaitu sebagai akad pembolehan ''(aqd al-ibahah)'' yakni pembolehan laki-laki dan perempuan berhubungan seksual, dan akad pemilikan ''aqd at-tamlik)'' yakni akad yang menyebabkan laki-laki memiliki perempuan, baik kepemilikan dalam arti sesungguhnya maupun kepemilikan dalam arti hak guna, baik seluruh tubuh perempuan maupun alat kelaminnya. Paradigma tersebut dan juga definisi-definisi di atas terutama pertama hingga ketiga menjelaskan secara eksplisit bahwa inti pernikahan adalah hubungan seksual.
Baris 205: Baris 194:
Pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga di atas menjadi pra asumsi yang mendasari perumusan hak dan kewajiban keduanya. Menurut Syekh Nawawi Banten dalam kitab ''Uqud al-Lujain'' yang menjadi rujukan utama di pesantren-pesantren, kewajiban suami yang berarti hak bagi isteri adalah sebagai berikut:
Pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam keluarga di atas menjadi pra asumsi yang mendasari perumusan hak dan kewajiban keduanya. Menurut Syekh Nawawi Banten dalam kitab ''Uqud al-Lujain'' yang menjadi rujukan utama di pesantren-pesantren, kewajiban suami yang berarti hak bagi isteri adalah sebagai berikut:


1.   Memberikan sandang pangan
# Memberikan sandang pangan
 
# Tidak memukul wajah
2.   Tidak memukul wajah
# Tidak menjelek-jelekkan dengan memperdengarkan hal yang dibencinya, seperti ucapan ”Semoga Allah menjelekkan kamu”
 
# Tidak melakukan pisah ranjang kecuali di dalam rumah. Adapun menghindari bicara hukumnya haram kecuali karena alasan yang dibenarkan.<ref>Muhammad bin Umar Nawawi, ''Syarah Uqud al-Lujain fi Bayani Huquqi az-Zaujain'' (Jakarta; FK3, t.th), h. 23.</ref>
3.   Tidak menjelek-jelekkan dengan memperdengarkan hal yang dibencinya, seperti ucapan ”Semoga Allah menjelekkan kamu”
 
4.   Tidak melakukan pisah ranjang kecuali di dalam rumah. Adapun menghindari bicara hukumnya haram kecuali karena alasan yang dibenarkan.<ref>Muhammad bin Umar Nawawi, ''Syarah Uqud al-Lujain fi Bayani Huquqi az-Zaujain'' (Jakarta; FK3, t.th), h. 23.</ref>


Adapun kewajiban isteri yang berarti menjadi hak suami adalah sebagai berikut:
Adapun kewajiban isteri yang berarti menjadi hak suami adalah sebagai berikut:


1.   Apabila suami memerlukan diri istrinya sekalipun sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak.
# Apabila suami memerlukan diri istrinya sekalipun sedang berada di atas punggung onta, maka ia tidak boleh menolak.
 
# Istri tidak boleh memberikan apa saja dari rumah suaminya jika tidak mendapatka izinnya. Kalau isteri memberikan sesuatu tanpa izin suami, maka si isteri mendapatkan dosa sedangkan suami mendapatkan pahala.
2.   Istri tidak boleh memberikan apa saja dari rumah suaminya jika tidak mendapatka izinnya. Kalau isteri memberikan sesuatu tanpa izin suami, maka si isteri mendapatkan dosa sedangkan suami mendapatkan pahala.
# Isteri tidak boleh berpuasa sunnah jika tidak mendapatkan izin dari suaminya. Jika tetap melaksanakannya, ia hanya merasakan lapar dan dahaga, sedangkan puasanya tidak diterima oleh Allah.
 
# Jika isteri keluar rumah tanpa izin suaminya, maka ia akan mendapatkan laknat para malaikat hingga kembali ke rumahnya dan bertaubat.<ref>Nawawi, ''Syarah Uqud al-Lujain,'' h. 49-51.</ref>
3.   Isteri tidak boleh berpuasa sunnah jika tidak mendapatkan izin dari suaminya. Jika tetap melaksanakannya, ia hanya merasakan lapar dan dahaga, sedangkan puasanya tidak diterima oleh Allah.
 
4.   Jika isteri keluar rumah tanpa izin suaminya, maka ia akan mendapatkan laknat para malaikat hingga kembali ke rumahnya dan bertaubat.<ref>Nawawi, ''Syarah Uqud al-Lujain,'' h. 49-51.</ref>


Perbedaan antara hak dan kewajiban suami isteri di atas memperlihatkan perbedaan peran gender dalam keluarga. Dalam kajian Fiqh, perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dan perempuan telah dimulai pra-nikah bahkan sejak seorang anak manusia dilahirkan, selama menikah, hingga pasca cerai baik hidup maupun mati sebagai berikut:
Perbedaan antara hak dan kewajiban suami isteri di atas memperlihatkan perbedaan peran gender dalam keluarga. Dalam kajian Fiqh, perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dan perempuan telah dimulai pra-nikah bahkan sejak seorang anak manusia dilahirkan, selama menikah, hingga pasca cerai baik hidup maupun mati sebagai berikut:

Menu navigasi