Draft Tulisan Satu: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
25 bita ditambahkan ,  31 Maret 2022 04.31
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 33: Baris 33:


Sayangnya relasi gender yang terbangun dalam bahasa maupun budaya Arab sangat bias. Tentu ini merefleksikan pengalaman masyarakat Arab dalam memperlakukan perempuan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kebencian masyarakat Arab terhadap perempuan itu paling tinggi dibandingkan dengan kebencian pada lainnya.<ref>Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah, al-Harani, ''Al-Nubuwwat,'' (Mesir: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1386), jilid 1, h. 240.</ref> Al-Qur’an mengisyaratkan kebencian tersebut dalam surat an-Nahl/19:58-59 sebagai berikut:
Sayangnya relasi gender yang terbangun dalam bahasa maupun budaya Arab sangat bias. Tentu ini merefleksikan pengalaman masyarakat Arab dalam memperlakukan perempuan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kebencian masyarakat Arab terhadap perempuan itu paling tinggi dibandingkan dengan kebencian pada lainnya.<ref>Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah, al-Harani, ''Al-Nubuwwat,'' (Mesir: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1386), jilid 1, h. 240.</ref> Al-Qur’an mengisyaratkan kebencian tersebut dalam surat an-Nahl/19:58-59 sebagai berikut:


<big>وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ  يَتَوَارَى مِنَ لْقَوْمِ  مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ</big>  
<big>وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ  يَتَوَارَى مِنَ لْقَوْمِ  مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ</big>  
Baris 1.000: Baris 1.002:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahai ayat ini yang kemudian berimplikasi pada apakah seorang perempuan itu harus mempunyai wali ketika menikah atau dia bisa menikahkan dirinya. Pada umumnya para ulama mengatakan bahwa ayat di atas melarang para wali untuk menghalangi perempuan yang telah habis masa iddahnuya dalam thalaq tiga untuk kembali menikahi mantan suaminya. Pengertian ini memberikan makna bahwa wali dilarang mencegah anak perempuan yang sudah menikah yang kemudian disimpulkan jika wali dilarang mencegah pernikahan perempuan yang sudah janda, maka wali boleh mencegah pernikahan anak perempuan yang masih gadis. Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut ini:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahai ayat ini yang kemudian berimplikasi pada apakah seorang perempuan itu harus mempunyai wali ketika menikah atau dia bisa menikahkan dirinya. Pada umumnya para ulama mengatakan bahwa ayat di atas melarang para wali untuk menghalangi perempuan yang telah habis masa iddahnuya dalam thalaq tiga untuk kembali menikahi mantan suaminya. Pengertian ini memberikan makna bahwa wali dilarang mencegah anak perempuan yang sudah menikah yang kemudian disimpulkan jika wali dilarang mencegah pernikahan perempuan yang sudah janda, maka wali boleh mencegah pernikahan anak perempuan yang masih gadis. Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut ini:


''Diriwayatkan dari Mi’qal ibn Yasar bahwa sebelumnya saudara perempuan Mi’qal adalah istri Abu al-Bidah kemudian ia menceraikannya dan membiarkannya sampai habis masa iddahnya. Kemudian Abu al-Bidah menyesal dan melamar mantan istrinya yang memang masih menginginkan suaminya kembali, tetapi Mi’qal menolak menikahkan saudara perempuannya itu dan berkata: “Haram bagi saya melihat wajahmu lagi jika kamu menikah dengan Abu al-Bidah. Kemudian turunlah ayat ini. Muqatil berkata: Rasulullah memanggil Mi’qal dan bersabda: “Jika kamu beriman maka janganlah kamu melarang saudara perempuanmu menikah dengan Abu al-Bidah”. Mi’qal menjawab: “Saya beriman kepada Allah”. Kemudian Mi’qal pun menikahkan saudara perempuannya itu dengan Abu al-Bidah”.''<ref>Lihat Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili Abu Ja’far ath-Thabari, ''Jami’ al-Bayan fi Tawil al-Qur’an'' (t.t.:Muassasah ar-Risalah, 2000), j. 5, h. 17, Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir,''Tafsir al-Qur’an al-Adzim'' (t.t.: Darun Thoyyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi, 1999), j.1, h.631.</ref>
''Diriwayatkan dari Mi’qal ibn Yasar bahwa sebelumnya saudara perempuan Mi’qal adalah istri Abu al-Bidah kemudian ia menceraikannya dan membiarkannya sampai habis masa iddahnya. Kemudian Abu al-Bidah menyesal dan melamar mantan istrinya yang memang masih menginginkan suaminya kembali, tetapi Mi’qal menolak menikahkan saudara perempuannya itu dan berkata: “Haram bagi saya melihat wajahmu lagi jika kamu menikah dengan Abu al-Bidah. Kemudian turunlah ayat ini. Muqatil berkata: Rasulullah memanggil Mi’qal dan bersabda: “Jika kamu beriman maka janganlah kamu melarang saudara perempuanmu menikah dengan Abu al-Bidah”. Mi’qal menjawab: “Saya beriman kepada Allah”. Kemudian Mi’qal pun menikahkan saudara perempuannya itu dengan Abu al-Bidah”.''<ref>Lihat Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili Abu Ja’far ath-Thabari, ''Jami’ al-Bayan fi Tawil al-Qur’an'' (t.t.:Muassasah ar-Risalah, 2000), j. 5, h. 17, Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir,''[[Tafsir Al-Qur’an|Tafsir al-Qur’an]] al-Adzim'' (t.t.: Darun Thoyyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi, 1999), j.1, h.631.</ref>


Memaknai larangan mencegah tersebut ditujukan pada wali, menurut ar-Razi mengandung kerancuan kalimat karena yang subjek yang menceraikan dalam kalimat syarat adalah suami, sehingga subyek yang mencegah dalam jawaban seharusnya juga suami. Ayat tersebut seharusnya dipahami sebagaimana berikut: jika kalian (para suami) menceraikan istrimu kemudian dia telah melewati masa iddahnya, maka janganlah kalian (para suami, bukan wali sebagaimana pemaknaan sebelumnya) menghalang-halangi dia (mantan isteri) untuk menikah dengan laki-laki lain. Ayat ini dengan demikian tidak ada hubungannya dengan wali dan perempuan dapat menikahkah dirinya sendiri sebagaimana istilah yang digunakan ayat ini, yaitu ''an yankihna'' (menikahi bukan dinikahkan).<ref>Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husein at-Taimi ar-Razi yang dikenal atau yang lebih dikenal dengan Fakhrudin ar-Razi menjelaskan panjang soal ini dan memandang bahwa larangan menghalangi tersebut ditujukan kepada suami, bukan wali dalam ''Mafatih al-Ghaib,'' pada penafsiran Qs. al-Baqarah/2:232.</ref>  
Memaknai larangan mencegah tersebut ditujukan pada wali, menurut ar-Razi mengandung kerancuan kalimat karena yang subjek yang menceraikan dalam kalimat syarat adalah suami, sehingga subyek yang mencegah dalam jawaban seharusnya juga suami. Ayat tersebut seharusnya dipahami sebagaimana berikut: jika kalian (para suami) menceraikan istrimu kemudian dia telah melewati masa iddahnya, maka janganlah kalian (para suami, bukan wali sebagaimana pemaknaan sebelumnya) menghalang-halangi dia (mantan isteri) untuk menikah dengan laki-laki lain. Ayat ini dengan demikian tidak ada hubungannya dengan wali dan perempuan dapat menikahkah dirinya sendiri sebagaimana istilah yang digunakan ayat ini, yaitu ''an yankihna'' (menikahi bukan dinikahkan).<ref>Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husein at-Taimi ar-Razi yang dikenal atau yang lebih dikenal dengan Fakhrudin ar-Razi menjelaskan panjang soal ini dan memandang bahwa larangan menghalangi tersebut ditujukan kepada suami, bukan wali dalam ''Mafatih al-Ghaib,'' pada penafsiran Qs. al-Baqarah/2:232.</ref>  

Menu navigasi