Qath'i Zhanni dan Kemaslahatan: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
 
Baris 4: Baris 4:




Masdar F. Mas’udi, penulis buku “Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam”, boleh jadi teramat resah, bahkan mungkin sedikit geram atau sedang cemburu terhadap agamanya. Ia mungkin berpikir ; “Bagaimana mungkin, ajaran-ajaran Islam yang jelas-jelas adil dan menyebarkan misi kerahmatan semesta (“''rahmatan li al ‘alamin”)''  itu justeru melahirkan realitas sejarah kaum muslimin yang memprihatinkan dan menyedihkan". Untuk kurun waktu yang cukup panjang, kaum muslimin masih terus terpuruk sedemikian dalam pada berbagai aspek kehidupan; sosial, ekonomi dan politik. Dalam bahasa yang agak vulgar, kaum muslimin dalam periode sejarahnya yang cukup panjang terus berada dalam keadaan dan posisi tertindas, miskin, bodoh dan terbelakang. Kenyataan ini berlangsung di seluruh dunia muslim. Perhatian mereka dalam aspek-aspek yang berdimensi ritual-individual kelihatan lebih dominan ketimbang perhatian mereka terhadap aspek-aspek social. Pada sisi lain kesenjangan muncul secara lebih riil antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrowi. Salah satu contohnya adalah pandangan mereka tentang zakat yang jelas-jelas merupakan salah satu dari lima  pilar Islam itu. Mayoritas masyarakat muslim masih tetap memandang zakat bukanlah pajak. Keduanya berbeda secara diametrik: zakat untuk Tuhan dan pajak untuk negara. Ini menurut Masdar benar-benar realitas masyarakat sekularistik. Masdar juga mengatakan: “Sejak zakat dipisahkan dari pajak, sekularisme ''de facto'' dalam kehidupan umat Islam praktis terjadi”.  
 
Masdar F. Mas’udi, penulis buku “Agama Keadilan: Risalah Zakat (Pajak) dalam Islam”, boleh jadi teramat resah, bahkan mungkin sedikit geram atau sedang cemburu terhadap agamanya. Ia mungkin berpikir; “Bagaimana mungkin, ajaran-ajaran Islam yang jelas-jelas adil dan menyebarkan misi kerahmatan semesta (“''rahmatan li al ‘alamin”)''  itu justeru melahirkan realitas sejarah kaum muslimin yang memprihatinkan dan menyedihkan". Untuk kurun waktu yang cukup panjang, kaum muslimin masih terus terpuruk sedemikian dalam pada berbagai aspek kehidupan; sosial, ekonomi dan politik. Dalam bahasa yang agak vulgar, kaum muslimin dalam periode sejarahnya yang cukup panjang terus berada dalam keadaan dan posisi tertindas, miskin, bodoh dan terbelakang. Kenyataan ini berlangsung di seluruh dunia muslim. Perhatian mereka dalam aspek-aspek yang berdimensi ritual-individual kelihatan lebih dominan ketimbang perhatian mereka terhadap aspek-aspek social. Pada sisi lain kesenjangan muncul secara lebih riil antara kepentingan duniawi dan kepentingan ukhrowi. Salah satu contohnya adalah pandangan mereka tentang zakat yang jelas-jelas merupakan salah satu dari lima  pilar Islam itu. Mayoritas masyarakat muslim masih tetap memandang zakat bukanlah pajak. Keduanya berbeda secara diametrik: zakat untuk Tuhan dan pajak untuk negara. Ini menurut Masdar benar-benar realitas masyarakat sekularistik. Masdar juga mengatakan: “Sejak zakat dipisahkan dari pajak, sekularisme ''de facto'' dalam kehidupan umat Islam praktis terjadi”.  


Melalui buku ini, Masdar sedang berusaha mati-matian untuk dapat menjawab persoalan-persoalan di atas secara tuntas. Dia tidak ingin menyelesaikan persoalan tersebut secara partikularistik seperti yang umum dilakukan oleh orang. Masdar ingin melakukannya sebagai jalan bagi terwujudnya sebuah system sosial yang adil dan maslahat. Kajian dan pikiran-pikiran Masdar tentang Zakat melalui buku ini, dalam banyak pandangan dan komentar, dirasakan asing dan sangat berbeda dari kebanyakan orang.  Dalam sejumlah pertemuan dengan para kyai, pikiran Masdar dianggap kelewat batas. Masdar dianggap menerjang batas norma-norma sosial yang dipegang umat Islam, terutama masyarakat pesantren. Akan tetapi pikiran Masdar yang menurut saya sangat menarik,  menjadi tantangan kita semua. Sebaiknya kita membaca karya cendekia muda NU ini dengan jernih dan tuntas.  
Melalui buku ini, Masdar sedang berusaha mati-matian untuk dapat menjawab persoalan-persoalan di atas secara tuntas. Dia tidak ingin menyelesaikan persoalan tersebut secara partikularistik seperti yang umum dilakukan oleh orang. Masdar ingin melakukannya sebagai jalan bagi terwujudnya sebuah system sosial yang adil dan maslahat. Kajian dan pikiran-pikiran Masdar tentang Zakat melalui buku ini, dalam banyak pandangan dan komentar, dirasakan asing dan sangat berbeda dari kebanyakan orang.  Dalam sejumlah pertemuan dengan para kyai, pikiran Masdar dianggap kelewat batas. Masdar dianggap menerjang batas norma-norma sosial yang dipegang umat Islam, terutama masyarakat pesantren. Akan tetapi pikiran Masdar yang menurut saya sangat menarik,  menjadi tantangan kita semua. Sebaiknya kita membaca karya cendekia muda NU ini dengan jernih dan tuntas.  
Baris 10: Baris 11:
Saya ingin memberikan catatan pinggir atasnya. Bagi saya meskipun apa yang ditulis Masdar dalam buku ini lebih banyak menyoroti persoalan-persoalan zakat dalam hubungannya dengan pajak secara kasus per kasus, suatu pembahasan yang mendapat porsi perhatian para kritikus pemikirannya, tetapi saya kira Masdar justeru ingin lebih mendalam dari itu. Ia ingin mengungkapkan kegelisahannya yang mendalam atas wacana dan cara-cara berfikir sebagian besar masyarakat muslim. Masdar melangkah lebih jauh dari sekedar melakukan interpretasi-interpretasi baru atas kasus per kasus zakat, melainkan berusaha melakukan “rekonstruksi” (mungkin sebagian orang menyebutnya sebagai “dekonstruksi”) atas wacana paradigmatic dan metodologi yang dipedomani umat selama ini. Bagi saya landasan berfikir Masdar merupakan langkah strategis dan penting untuk dianalisis lebih jauh dan mendalam.
Saya ingin memberikan catatan pinggir atasnya. Bagi saya meskipun apa yang ditulis Masdar dalam buku ini lebih banyak menyoroti persoalan-persoalan zakat dalam hubungannya dengan pajak secara kasus per kasus, suatu pembahasan yang mendapat porsi perhatian para kritikus pemikirannya, tetapi saya kira Masdar justeru ingin lebih mendalam dari itu. Ia ingin mengungkapkan kegelisahannya yang mendalam atas wacana dan cara-cara berfikir sebagian besar masyarakat muslim. Masdar melangkah lebih jauh dari sekedar melakukan interpretasi-interpretasi baru atas kasus per kasus zakat, melainkan berusaha melakukan “rekonstruksi” (mungkin sebagian orang menyebutnya sebagai “dekonstruksi”) atas wacana paradigmatic dan metodologi yang dipedomani umat selama ini. Bagi saya landasan berfikir Masdar merupakan langkah strategis dan penting untuk dianalisis lebih jauh dan mendalam.


Untuk melakukan itu semua, Masdar pertama-tama mencoba menegaskan kembali paradigma lama yang pernah menjadi kerangka berfikir, terutama Al-Thufi, dan metodologi klasik yang sesungguhnya juga menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan para ulama, sampai hari ini. Yaitu Paradigma: ''“Idza shahhat al maslahah fahiya mazhabi''” : “apabila kemaslahatan (baca:tuntutan keadilan dan kesejahteraan bersama pada sesuatu) telah menjadi absah, itulah mazhabku”. Paradigma ini dihadapkannya dengan paradigma Imam Al-Syafi’i yang dikenal luas dan terus dipertahankan oleh para ahli Islam (Ulama) mainstream. Yaitu : ''“Idza shahha al hadits fahuwa mazhabi”'', (apabila hadits telah dipandang sahih, maka itulah mazhabku).<ref>Masdar F. Mas’udi, ''Agama Keadilan'', P3M, Jakarta, cet. III, 1993, hlm. 110.</ref> Walaupun, saya kira, Masdar tidak sengaja memperhadapkan kedua paradigma itu secara dikhotomis, akan tetapi kesan seperti itu tetap saja sangat menonjol hampir dalam seluruh kajian dalam bukunya itu. Dia tampak ingin sungguh-sungguh mengabaikan paradigma mainstream di atas dan mengembangkan paradigma kemaslahatan lebih luas sebagaimana yang dirintis oleh Najm al-Din al-Thufi dan diikuti oleh sejumlah pemikir Islam modern, semacam Syeikh Muhammad Thahir bin Asyur.  
Untuk melakukan itu semua, Masdar pertama-tama mencoba menegaskan kembali paradigma lama yang pernah menjadi kerangka berfikir, terutama Ath-Thufi, dan metodologi klasik yang sesungguhnya juga menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan para ulama, sampai hari ini. Yaitu Paradigma: ''“Idza shahhat al maslahah fahiya mazhabi''”: “apabila kemaslahatan (baca:tuntutan keadilan dan kesejahteraan bersama pada sesuatu) telah menjadi absah, itulah mazhabku”. Paradigma ini dihadapkannya dengan paradigma Imam Asy-Syafi’i yang dikenal luas dan terus dipertahankan oleh para ahli Islam (Ulama) mainstream. Yaitu: ''“Idza shahha al hadits fahuwa mazhabi”'', (apabila hadits telah dipandang sahih, maka itulah mazhabku).<ref>Masdar F. Mas’udi, ''Agama Keadilan'', P3M, Jakarta, cet. III, 1993, hlm. 110.</ref> Walaupun, saya kira, Masdar tidak sengaja memperhadapkan kedua paradigma itu secara dikhotomis, akan tetapi kesan seperti itu tetap saja sangat menonjol hampir dalam seluruh kajian dalam bukunya itu. Dia tampak ingin sungguh-sungguh mengabaikan paradigma mainstream di atas dan mengembangkan paradigma kemaslahatan lebih luas sebagaimana yang dirintis oleh Najm ad-Din ath-Thufi dan diikuti oleh sejumlah pemikir Islam modern, semacam Syeikh Muhammad Thahir bin Asyur.  


Dalam upayanya untuk tetap konsisten dengan paradigma kemaslahatan itu, pada bagian lain dalam buku ini atau dalam buku atau tulisan-tulisannya yang lain-lain, Masdar juga secara terang-terangan menggugat teori ''Qath’i-Zhanni'' atau ''Muhakamat-Mutasyabihat''.<ref>Seperti artikelnya "Kemaslahatan" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, dan Buku "“''Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan"'' terbiatan Mizan.</ref> Dalam pikiran Masdar rumusan konvensional atas terori ini menjadi tema paling krusial bagi upaya perubahan-perubahan atau penyelesaian-penyelesaian yang dihendaki dalam kerangka kemaslahatan social secara lebih luas. Karena itu, dalam pandangan Masdar, teori tersebut perlu dikritisi secara tajam, bahkan kalau perlu diruntuhkan.
Dalam upayanya untuk tetap konsisten dengan paradigma kemaslahatan itu, pada bagian lain dalam buku ini atau dalam buku atau tulisan-tulisannya yang lain-lain, Masdar juga secara terang-terangan menggugat teori ''Qath’i-Zhanni'' atau ''Muhakamat-Mutasyabihat''.<ref>Seperti artikelnya "Kemaslahatan" dalam Jurnal Ulumul Qur'an, dan Buku "“''Islam dan Hak-hak Reproduksi Perempuan"'' terbiatan Mizan.</ref> Dalam pikiran Masdar rumusan konvensional atas terori ini menjadi tema paling krusial bagi upaya perubahan-perubahan atau penyelesaian-penyelesaian yang dihendaki dalam kerangka kemaslahatan social secara lebih luas. Karena itu, dalam pandangan Masdar, teori tersebut perlu dikritisi secara tajam, bahkan kalau perlu diruntuhkan.
Baris 17: Baris 18:


== Kemaslahatan sebagai Prinsip Dasar Fiqh ==
== Kemaslahatan sebagai Prinsip Dasar Fiqh ==
Menghadapkan paradigma modernis (dalam istilah Masdar F. Mas’udi ; oto-praksis), dengan paradigma kaum tradisionalis (ortodoks), pada tataran konseptual sesungguhnya tidak pernah terjadi atau dikenal dalam sejarah pemikiran Islam. Tidak satupun pikiran atau pandangan kaum muslimin meragukan, apalagi menolak, bahwa Syari’at Islam hadir untuk menawarkan kebaikan, kemaslahatan, keadilan dan kesejahteraan manusia di muka bumi ini. Klaim idealisme ajaran dasar seperti ini bahkan sejatinya bukan hanya milik agama Islam dan kaum muslimin, melainkan juga milik seluruh agama-agama dan para pemikir kemanusiaan. Missi kenabian Muhammad saw. dan seluruh nabi-nabi yang pernah dilahirkan juga adalah missi kerahmatan, penyelamatan dan pembebasan umat manusia dari segala bentuk penindasan dan tirani manusia. Pendeknya kemaslahatan adalah dasar filisofis bagi ajaran agama-agama dan kemanusiaan.
Menghadapkan paradigma modernis (dalam istilah Masdar F. Mas’udi adalah oto-praksis), dengan paradigma kaum tradisionalis (ortodoks), pada tataran konseptual sesungguhnya tidak pernah terjadi atau dikenal dalam sejarah pemikiran Islam. Tidak satupun pikiran atau pandangan kaum muslimin meragukan, apalagi menolak, bahwa Syari’at Islam hadir untuk menawarkan kebaikan, kemaslahatan, keadilan dan kesejahteraan manusia di muka bumi ini. Klaim idealisme ajaran dasar seperti ini bahkan sejatinya bukan hanya milik agama Islam dan kaum muslimin, melainkan juga milik seluruh agama-agama dan para pemikir kemanusiaan. Missi kenabian Muhammad saw. dan seluruh nabi-nabi yang pernah dilahirkan juga adalah missi kerahmatan, penyelamatan dan pembebasan umat manusia dari segala bentuk penindasan dan tirani manusia. Pendeknya kemaslahatan adalah dasar filisofis bagi ajaran agama-agama dan kemanusiaan.


Para pemikir hukum Islam, sejak generasi pertama; generasi sahabat Nabi, generasi empat mazhab ; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, sampai generasi para pemikir fiqh post mazhabisme, meski dalam catatan sejarah pemikiran dan kebudayaan Islam dianggap sebagai zaman stagnasi, zaman kemunduran, dengan [[tokoh]]-tokohnya semacam Abu Hamid al Ghazali (505 H/1111 M), Fakhr al Din al Razi (w. 606 H), Izz al Din bin Abd al Salam (w. 660 H), Syihab al Din al Qarafi (w. 685 H), Najm al Din al Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu al Qayyim al Jauziyah (w. 751 H) sampai Muhammad bin al Thahir bin Asyur (w. 1393 H/1973 M), seluruhnya menyepakati kemaslahatan sebagai basis sekaligus tujuan utama dari hukum-hukum Islam.  
Para pemikir hukum Islam, sejak generasi pertama; generasi sahabat Nabi, generasi empat mazhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, sampai generasi para pemikir fiqh post mazhabisme, meski dalam catatan sejarah pemikiran dan kebudayaan Islam dianggap sebagai zaman stagnasi, zaman kemunduran, dengan [[tokoh]]-tokohnya semacam Abu Hamid al-Ghazali (505 H/1111 M), Fakhr ad-Din ar-Razi (w. 606 H), Izz ad-Din bin Abd as-Salam (w. 660 H), Syihab ad-Din al Qarafi (w. 685 H), Najm ad-Din ath-Thufi (w. 716 H), Ibnu Taimiyah (w. 728 H), Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) sampai Muhammad bin al-Thahir bin Asyur (w. 1393 H/1973 M), seluruhnya menyepakati kemaslahatan sebagai basis sekaligus tujuan utama dari hukum-hukum Islam.  


Ahli fiqh besar, Al-Amidy mengatakan :
Ahli fiqh besar, Al-Amidy mengatakan:


أن أئمة الفقه مجمعة على ان أحكام الله لا تخلو من حكمة ومقصود" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/411).
أن أئمة الفقه مجمعة على ان أحكام الله لا تخلو من حكمة ومقصود" (الاحكام فى اصول الاحكام, 3/411).


Izz al Din bin Abd al Salam bergelar ''Sulthan al Ulama'' bermazhab Syafi’i juga mengikuti pandangan al Ghazali tersebut. Katanya :  
Izz al Din bin Abd al Salam bergelar ''Sulthan al Ulama'' bermazhab Syafi’i juga mengikuti pandangan al Ghazali tersebut. Katanya:  


"التكاليف كلها راجعة الى مصالح  العباد فى دنياهم وأخراهم. والله غني عن عبادة الكل لا تنفعه طاعة الطائعين ولا تضره معصية العاصين..."(قواعد الاحكام فى مصالح الانام,  2/73).
"التكاليف كلها راجعة الى مصالح  العباد فى دنياهم وأخراهم. والله غني عن عبادة الكل لا تنفعه طاعة الطائعين ولا تضره معصية العاصين..."(قواعد الاحكام فى مصالح الانام,  2/73).
Baris 31: Baris 32:
''“Semua hukum berpulang kepada kemasalahatan hamba-hamba Allah di dunia dan di akhirat. Tuhan tidak membutuhkan pengabdian mereka. Ketaatan mereka tidak memberi-Nya manfaat, dan kedurhakaan mereka tidak merugikan-Nya”''
''“Semua hukum berpulang kepada kemasalahatan hamba-hamba Allah di dunia dan di akhirat. Tuhan tidak membutuhkan pengabdian mereka. Ketaatan mereka tidak memberi-Nya manfaat, dan kedurhakaan mereka tidak merugikan-Nya”''


Ia juga mengatakan :
Ia juga mengatakan:


" كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل".(قواعد الاحكام ج 2 ص 121).
" كل تصرف تقاعد عن تحصيل مقصوده فهو باطل".(قواعد الاحكام ج 2 ص 121).
Baris 39: Baris 40:
''“Syari’at sepenuhnya adalah kemaslahatan, baik melalui cara-cara menolak segala hal yang merusak maupun mengupayakan hal-hal yang membawa kepada kemaslahatan”.''<ref>Izz al Din, ''Qawa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam'', Dar al Jiil, Beirut, vol. I, hlm. 11.</ref>  
''“Syari’at sepenuhnya adalah kemaslahatan, baik melalui cara-cara menolak segala hal yang merusak maupun mengupayakan hal-hal yang membawa kepada kemaslahatan”.''<ref>Izz al Din, ''Qawa’id al Ahkam fi Mashalih al Anam'', Dar al Jiil, Beirut, vol. I, hlm. 11.</ref>  


Apakah yang dimaksud dengan kemaslahatan?. Imam Al Ghazali  secara elaboratif menjelaskan tujuan ini ketika ia mengatakan :  
Apakah yang dimaksud dengan kemaslahatan?. Imam Al Ghazali  secara elaboratif menjelaskan tujuan ini ketika ia mengatakan:  


قال الامام الغزالى : اما المصلحة فهى عبارة فى الاصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة, ولسنا نعنى به ذلك. فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق فى تحصيل مقاصدهم لكنا نعنى بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع  ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو ان يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم. فكل ما يتضمن حفظ هذه الاصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه الاصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة".( المستصفى, 1 ص 286-287).
اما المصلحة فهى عبارة فى الاصل عن جلب منفعة أو دفع مضرة, ولسنا نعنى به ذلك. فإن جلب المنفعة ودفع المضرة مقاصد الخلق وصلاح الخلق فى تحصيل مقاصدهم لكنا نعنى بالمصلحة المحافظة على مقصود الشرع  ومقصود الشرع من الخلق خمسة وهو ان يحفظ عليهم دينهم ونفسهم وعقلهم ونسلهم ومالهم. فكل ما يتضمن حفظ هذه الاصول الخمسة فهو مصلحة وكل ما يفوت هذه الاصول فهو مفسدة ودفعها مصلحة".( المستصفى, 1 ص 286-287).


''“Kemaslahatan pada dasarnya adalah upaya-upaya yang membawa kebaikan dan menolak keburukan. Tetapi dalam hal ini bukan ini yang saya maksudkan. Sebab itu adalah tujuan dan kepatutan manusia dalam kehidupannya. Yang saya maksudkan dengan kemaslahatan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap tujuan agama (Tuhan) atas ciptaan-Nya, dan ini ada lima. Yaitu perlindungan terhadap agama/keyakinan, jiwa (hak hidup), akal, keturunan dan hartabenda. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan dan setiap hal yang menegasikannya adalah kemafsadatan, kerusakan dan kekacauan. Menghindarkan kerusakan merupakan kemaslahatan”.''<ref>Al Ghazali, ''Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul,'' Dar Ihya al Turats al Arabi, Beirut, vol. I, hlm. 281.</ref>  
''“Kemaslahatan pada dasarnya adalah upaya-upaya yang membawa kebaikan dan menolak keburukan. Tetapi dalam hal ini bukan ini yang saya maksudkan. Sebab itu adalah tujuan dan kepatutan manusia dalam kehidupannya. Yang saya maksudkan dengan kemaslahatan dalam hal ini adalah perlindungan terhadap tujuan agama (Tuhan) atas ciptaan-Nya, dan ini ada lima. Yaitu perlindungan terhadap agama/keyakinan, jiwa (hak hidup), akal, keturunan dan hartabenda. Setiap hal yang mengandung perlindungan terhadap lima hal ini adalah kemaslahatan dan setiap hal yang menegasikannya adalah kemafsadatan, kerusakan dan kekacauan. Menghindarkan kerusakan merupakan kemaslahatan”.''<ref>Al Ghazali, ''Al Mustashfa min ‘Ilm al Ushul,'' Dar Ihya al Turats al Arabi, Beirut, vol. I, hlm. 281.</ref>  


Sementara, Ibnu al Qayyim al Jauziyah, murid utama Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai tokoh pemikir salafi/ortodoks dan bermazhab Hanbali, secara lebih tegas dan luas menyatakan :  
Sementara, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah, murid utama Ibnu Taimiyah yang dikenal sebagai tokoh pemikir salafi/ortodoks dan bermazhab Hanbali, secara lebih tegas dan luas menyatakan:  


قال ابن قيم الجوزية : "الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد. وهى عدل كلها ومصالح كلها ورحمة كلها وحكمة كلها. فكل مسألة خرجت عن العدل الى الجور وعن المصلحة الى المفسدة وعن الرحمة الى ضدها وعن اللحكمة الى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت اليها بالتأويل. ( أعلام الموقعين عن رب العالمين , ص 3).
"الشريعة مبناها وأساسها على الحكم ومصالح العباد. وهى عدل كلها ومصالح كلها ورحمة كلها وحكمة كلها. فكل مسألة خرجت عن العدل الى الجور وعن المصلحة الى المفسدة وعن الرحمة الى ضدها وعن اللحكمة الى العبث فليست من الشريعة وإن أدخلت اليها بالتأويل. ( أعلام الموقعين عن رب العالمين , ص 3).


“Syari’at Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia kini dan nanti. Ia sepenuhnya adil, sepenuhnya rahmat, sepenuhnya maslahat, dan sepenuhnya bijak. Setiap persoalan yang telah menyimpang dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari maslahat menjadi mafsadat (rusak) dan dari bijak menjadi kesia-siaan, maka bukanlah bagian dari syari’ah (hukum agama), walaupun dilakukan upaya-upaya intelektual”.<ref>Ibnu al Qayyim, ''I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin'', Mathabi’ al Islam, Kairo, 1980, vol. III, hal. 3.</ref>  
“Syari’at Islam dibangun di atas landasan kebijaksanaan dan kemaslahatan manusia kini dan nanti. Ia sepenuhnya adil, sepenuhnya rahmat, sepenuhnya maslahat, dan sepenuhnya bijak. Setiap persoalan yang telah menyimpang dari keadilan kepada kezaliman, dari rahmat menjadi laknat, dari maslahat menjadi mafsadat (rusak) dan dari bijak menjadi kesia-siaan, maka bukanlah bagian dari syari’ah (hukum agama), walaupun dilakukan upaya-upaya intelektual”.<ref>Ibnu al Qayyim, ''I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin'', Mathabi’ al Islam, Kairo, 1980, vol. III, hal. 3.</ref>  


Apa yang disampaikan di atas adalah beberapa saja dari pandangan para teoritisi fiqh mengenainya. Tetapi Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis ''Tafsir Al Tahrir wa al Tanwir'', dengan tetap  menyetujui perspektif di atas, mengemukakan pandangannya yang saya kira sangat menarik. Ia mengatakan:  
Apa yang disampaikan di atas adalah beberapa saja dari pandangan para teoritisi fiqh mengenainya. Tetapi Ibnu Asyur, pemikir Islam kontemporer dan penulis ''Tafsir At-Tahrir wa at-Tanwir'', dengan tetap  menyetujui perspektif di atas, mengemukakan pandangannya yang saya kira sangat menarik. Ia mengatakan:  


شريعة الاسلام جاءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل اى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة  لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة لكن الآخرة جعلها جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية تهدف فى مقام الاول الى ضبط نظام العالم الدنيوى (إسماعيل حسنى .نظرية الشريعة عند ابن عاشور , ص 281)
شريعة الاسلام جاءت لما فيه صلاح البشر فى العاجل والآجل اى فى حاضر الامور وعواقبها وليس المراد بالآجل أمور الآخرة  لان الشرائع لا تحدد للناس سيرهم فى الآخرة لكن الآخرة جعلها جزآء على الاحوال التى كانوا عليها فى الدنيا. لما كانت شريعة الاسلام ضابطة للسلوك الدنيوى فان المصلحة التى جاءت لتحقيقها لا يمكن ان تكون الا دنيوية تهدف فى مقام الاول الى ضبط نظام العالم الدنيوى (إسماعيل حسنى .نظرية الشريعة عند ابن عاشور , ص 281)
Baris 57: Baris 58:
''“Syari’ah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia hari ini dan nanti. Yang dimaksud “nanti” adalah akibat-akibatnya. Ia tidak berarti di akhirat (kehidupan sesudah kematian). Hal ini karena Syari’at tidak mengatur perjalanan hidup mereka di akhirat, tetapi akhirat menjadi tempat pertanggungjawaban manusia atas kehidupan mereka di dunia. Manakala syari’at Islam mengatur tingkah laku manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan hanyalah berlaku di dunia”.''<ref>Ismail al Hasani, ''Nazhariyat al Maqashid ‘ind al Imam Muhammad Thahair ibn ‘Asyur'', al Ma’had al ‘Alami li al Fikr al Islami, Virginia, USA, cet. I, 1995, hal. 281.</ref>
''“Syari’ah Islam dihadirkan untuk kemaslahatan manusia di dunia hari ini dan nanti. Yang dimaksud “nanti” adalah akibat-akibatnya. Ia tidak berarti di akhirat (kehidupan sesudah kematian). Hal ini karena Syari’at tidak mengatur perjalanan hidup mereka di akhirat, tetapi akhirat menjadi tempat pertanggungjawaban manusia atas kehidupan mereka di dunia. Manakala syari’at Islam mengatur tingkah laku manusia di dunia, maka kemaslahatan yang harus diwujudkan hanyalah berlaku di dunia”.''<ref>Ismail al Hasani, ''Nazhariyat al Maqashid ‘ind al Imam Muhammad Thahair ibn ‘Asyur'', al Ma’had al ‘Alami li al Fikr al Islami, Virginia, USA, cet. I, 1995, hal. 281.</ref>


Ibnu Asyur dalam hal ini memang berbeda dari pandangan mayoritas ulama. Pandangan pemikir muslim generasi Muhammad Abduh ini menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan social kemasyarakatan (''majal al mu’amalat al madaniyah''), termasuk di dalamnya soal ekonomi, kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Rumusan tersebut tampaknya sengaja dikemukakan Ibnu Asyur, dalam rangka menegaskan perlunya kaum muslimin memberikan appresiasi dan porsi yang lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial, kebangsaan dan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan individual. Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian dan intensitas kaum muslimin terhadap urusan syari’ah individual begitu dominan dan intens, sementara mereka kurang responsip terhadap urusan-urusan publik-politik. Refleksi ini juga dikemukakan oleh ahli fiqh kontemporer, Yusuf al Qardhawi. Ia mengatakan: “rumusan-rumusan para ahli ushul fiqh tentang ''maqashid al syari’ah'' dan kemaslahatan memperlihatkan betapa tingginya perhatian mereka terhadap soal-soal pengabdian personal, sementara terhadap soal-soal kemasyarakatan dan keumatan (''al-mujtama’ wa al-ummah'') perhatian mereka sungguh belum cukup memadai”.<ref>''Ibid'', hal. 296.</ref>
Ibnu Asyur dalam hal ini memang berbeda dari pandangan mayoritas ulama. Pandangan pemikir muslim generasi Muhammad Abduh ini menimbulkan implikasi penting terutama dalam kaitannya dengan bidang-bidang kehidupan social kemasyarakatan (''majal al-mu’amalat al-madaniyah''), termasuk di dalamnya soal ekonomi, kebudayaan, politik dan ilmu pengetahuan. Rumusan tersebut tampaknya sengaja dikemukakan Ibnu Asyur, dalam rangka menegaskan perlunya kaum muslimin memberikan appresiasi dan porsi yang lebih besar terhadap persoalan-persoalan sosial, kebangsaan dan kemanusiaan daripada persoalan-persoalan individual. Ibnu Asyur merasakan bahwa selama kurun waktu yang panjang, perhatian dan intensitas kaum muslimin terhadap urusan syari’ah individual begitu dominan dan intens, sementara mereka kurang responsip terhadap urusan-urusan publik-politik. Refleksi ini juga dikemukakan oleh ahli fiqh kontemporer, Yusuf al Qardhawi. Ia mengatakan: “rumusan-rumusan para ahli ushul fiqh tentang ''maqashid asy-syari’ah'' dan kemaslahatan memperlihatkan betapa tingginya perhatian mereka terhadap soal-soal pengabdian personal, sementara terhadap soal-soal kemasyarakatan dan keumatan (''al-mujtama’ wa al-ummah'') perhatian mereka sungguh belum cukup memadai”.<ref>''Ibid'', hal. 296.</ref>


Pandangan Ibnu Asyur ini juga tampak berbeda dibandingkan dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Kecenderungan mereka pada aspek-aspek ibadah ritual, kezuhudan dan eskatologis jauh lebih memperoleh perhatian utama. Sehingga dalam pandangan mereka seorang yang rajin shalat malam, sering puasa atau zikir dipandang lebih saleh daripada lainnya. Hal inilah yang diyakini banyak pemikir modern yang menyebabkan kaum muslimin mengalami kemunduran dalam bidang social, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktanya, telah cukup lama dunia muslim tidak menghasilkan produk-produk pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat disumbangkan kepada dunia kemanusiaan.
Pandangan Ibnu Asyur ini juga tampak berbeda dibandingkan dengan pandangan masyarakat pada umumnya. Kecenderungan mereka pada aspek-aspek ibadah ritual, kezuhudan dan eskatologis jauh lebih memperoleh perhatian utama. Sehingga dalam pandangan mereka seorang yang rajin shalat malam, sering puasa atau zikir dipandang lebih saleh daripada lainnya. Hal inilah yang diyakini banyak pemikir modern yang menyebabkan kaum muslimin mengalami kemunduran dalam bidang social, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi. Faktanya, telah cukup lama dunia muslim tidak menghasilkan produk-produk pemikiran, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat disumbangkan kepada dunia kemanusiaan.


Lebih jauh, tujuan-tujuan Syari’at (Maqashid al-Syari’ah) sebagaimana dirumuskan dengan singkat oleh Imam al-Ghazali di atas, pada dasarnya adalah butir-butir pokok perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Dapat dikatakan bahwa “Maqashid al-Syari’ah” sejatinya adalah prinsip-prinsip Hak-hakAsasi Manusia dalam Islam. Pada akhir hayat Nabi, hal ini sudah disampaikan dalam pidatonya di Arafat yang terkenal itu. Ia merupakan wasiatnya kepada seluruh umat manusia. Katanya :  
Lebih jauh, tujuan-tujuan Syari’at (Maqashid asy-Syari’ah) sebagaimana dirumuskan dengan singkat oleh Imam al-Ghazali di atas, pada dasarnya adalah butir-butir pokok perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia. Dapat dikatakan bahwa “Maqashid asy-Syari’ah” sejatinya adalah prinsip-prinsip Hak-hakAsasi Manusia dalam Islam. Pada akhir hayat Nabi, hal ini sudah disampaikan dalam pidatonya di Arafat yang terkenal itu. Ia merupakan wasiatnya kepada seluruh umat manusia. Katanya:  


يا ايها الناس ان دماءكم واموالكم واعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا وشهركم هذا وفى بلدكم هذا  
يا ايها الناس ان دماءكم واموالكم واعراضكم حرام عليكم كحرمة يومكم هذا وشهركم هذا وفى بلدكم هذا  
Baris 67: Baris 68:
''“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu adalah suci,sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini dan di tempat ini”. Dalam konteks modern ia dapat disamakan dengan “hak hidup, hak property dan hak atas kehormatan diri (dignity)”.'' Ini adalah prinsip-prinsip utama dalam Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia.  
''“Sesungguhnya darahmu, hartamu dan kehormatanmu adalah suci,sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini dan di tempat ini”. Dalam konteks modern ia dapat disamakan dengan “hak hidup, hak property dan hak atas kehormatan diri (dignity)”.'' Ini adalah prinsip-prinsip utama dalam Deklarasi Umum Hak-hak Asasi Manusia.  


== Makna Idza Shahha al-Hadits fahuwa Mazdhabi ==
== Makna Idza Shahha al-Hadits fahuwa Madzhabi ==
Melalui penjelasan serba singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa persoalan kemaslahatan sebagai basis keputusan-keputusan hukum Islam secara konseptual sama sekali tidak memiliki signifikansi untuk diperdebatkan. Seluruh ulama dan kaum muslimin sepakat mengenai hal ini. Oleh sebab itu, ketika Imam al Syafi’i mengemukakan paradigma : ''“Idzaa Shahha al Hadits fahuwa mazhabi”'' (apabila hadits telah sahih, maka itulah pendapatku) tidak harus serta merta difahami bahwa dia adalah orang yang anti kemaslahatan. Kalimat tersebut juga tidak harus dan hanya dimaknai secara tekstual, sebagaimana yang banyak dikesankan banyak orang selama ini. Saya tentu berharap Masdar tidak terbawa arus umum dalam memaknai ucapan  al Syafi’i itu. Dengan kata lain Masdar tidak terbawa oleh pengertian orang pada umumnya bahwa apabila kita menemukan hadits yang sahih, maka kita harus menerimanya dan menggunakannya sebagai dalil hukum begitu saja sebagaimana makna yang tersuratnya atau harfiyahnya, hanya karena semata-mata ia hadits sahih.  Hal yang sama juga berlaku ketika menanggapi ucapan Muhammad Abduh misalnya bahwa “kita harus kembali kepada al Qur-an dan al Sunnah”. Dalam banyak kenyataan kata-kata ini seringkali dimaknai bahwa kita harus kembali kepada apa yang tersurat dalam al Qur-an dan apa yang pernah dilakukan oleh nabi saw, ketika beliau hidup. Sulit sekali kita dapat membayangkan jika kita sekarang harus hidup persis seperti zaman Nabi saw. dahulu kala, 15 abad yang lampau. Kesulitan yang sama juga terjadi ketika orang dipandang ''bid’ah,''  (menyimpang dan sesat) dan nantinya masuk neraka hanya karena dia melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi saw.
Melalui penjelasan serba singkat di atas dapatlah disimpulkan bahwa persoalan kemaslahatan sebagai basis keputusan-keputusan hukum Islam secara konseptual sama sekali tidak memiliki signifikansi untuk diperdebatkan. Seluruh ulama dan kaum muslimin sepakat mengenai hal ini. Oleh sebab itu, ketika Imam al Syafi’i mengemukakan paradigma: ''“Idza Shahha al-Hadits fahuwa madzhabi”'' (apabila hadits telah sahih, maka itulah pendapatku) tidak harus serta merta difahami bahwa dia adalah orang yang anti kemaslahatan. Kalimat tersebut juga tidak harus dan hanya dimaknai secara tekstual, sebagaimana yang banyak dikesankan banyak orang selama ini. Saya tentu berharap Masdar tidak terbawa arus umum dalam memaknai ucapan  asy-Syafi’i itu. Dengan kata lain Masdar tidak terbawa oleh pengertian orang pada umumnya bahwa apabila kita menemukan hadits yang sahih, maka kita harus menerimanya dan menggunakannya sebagai dalil hukum begitu saja sebagaimana makna yang tersuratnya atau harfiyahnya, hanya karena semata-mata ia hadits sahih.  Hal yang sama juga berlaku ketika menanggapi ucapan Muhammad Abduh misalnya bahwa “kita harus kembali kepada al-Qur'an dan as-Sunnah”. Dalam banyak kenyataan kata-kata ini seringkali dimaknai bahwa kita harus kembali kepada apa yang tersurat dalam al-Qur'an dan apa yang pernah dilakukan oleh nabi saw, ketika beliau hidup. Sulit sekali kita dapat membayangkan jika kita sekarang harus hidup persis seperti zaman Nabi saw. dahulu kala, 15 abad yang lampau. Kesulitan yang sama juga terjadi ketika orang dipandang ''bid’ah,''  (menyimpang dan sesat) dan nantinya masuk neraka hanya karena dia melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh nabi saw.
 
 
Kembali kepada ucapan al Syafi’i di atas. Imam Muhammad bin Idris Al Syafi’i  (150-204 H/767-820 M) sebenarnya bukanlah orang pertama yang menyatakan pandangan paradigmatik ini. Abu Hanifah al Nu’man (80-150 H/699-767 M), pendiri mazhab Hanafi, meskipun dengan bahasa (''ibarah'') yang sedikit berbeda, tetapi secara substantif ia juga menggunakan paradigma ini dalam keputusan-keputusan fiqhnya. Ia mengatakan : “Jika ada hadits dari Nabi saw. tidak boleh kita berpaling ke yang lain. Kita harus mengambilnya”. Atau : “Jika ada hadits nabi, kita wajib menerimanya tanpa reserve ''(‘ala al ra’s wa al ‘ain)”''.8 Al Umdah Muhammad Abidin al Dimasyqi dalam ''“Syarh Uqud Rasm al Mufti''” mengatakan : ''“faqad shahha ‘an Abi Hanifah annahu qaal : ‘Izda shahha al hadits fahuwa mazhabi’'' (informasi yang valid dari Abu Hanifah, menyebutkan bahwa dia mengatakan : ‘jika ada hadits yang sahih, maka itulah pendapatku’.9 Imam Malik bin Anas (93-197 H/712-795 M), pendiri mazhab Maliki, juga mengatakan hal yang sama. Katanya : “Aku manusia yang bisa salah dan bisa benar. Lihatlah pandanganku. Jika sesuai dengan al Kitab (al Qur-an) dan al Sunnah (hadits), maka ambillah, dan apabila tidak, tinggalkan pandanganku”.10 Ibnu Abd al Barr dan al Sya’rani, keduanya bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa hal itu juga menjadi pendirian para imam mazhab empat yang lain.11
 
 
Membaca pikiran-pikiran Imam al Syafi’i (dan para imam mazhab yang lain) dalam fiqhnya, akan nampak jelas bahwa ia tidak selalu mengambil hadits sahih dalam pengertiannya yang literal. Al Syafi’i memang menjadikan hadits sahih sebagai dasar argumen hukum ''(Hujjah Syar’iyyah)'', akan tetapi ia tidak dengan serta-merta menerimanya begitu saja sebagaimana apa adanya, skripturalis, harfiyah. Soalnya ia juga melakukan analisis secara kritis terhadap hadits sahih tersebut, karena sejumlah persoalan yang terkait di dalamnya. Dalam terminology para ahli hadits, kesahihan sebuah hadits dipakai sebagai ''hujjah'' (argumen), karena ia memiliki kwalitas sumber yang dapat dipercaya. Walaupun demikian ia tidak selalu dapat difahami maksud dan tujuannya sebagaimana yang tersurat. Dari sisi ini, hadits betapapun memiliki kualifikasi sumber yang valid, mengandung sejumlah kemungkinan yang dapat dianalisis, seperti halnya dengan teks-teks al Qur-an sendiri. Al Qur’an dan Hadits Nabi kini telah menjadi sumber-sumber tertulis yang secara niscaya memerlukan interpretasi dan penjelasan-penjelasan. Beberapa kemungkinan penjelasan itu sebagaimana selalu dikemukakan dalam buku-buku ushul fiqh atau ulum al tafsir (ulum al Qur-an), antara lain, apakah kata yang digunakannya adalah ''‘am, mutlaq, musytarak, makhshus, muawwal'' atau ''mansukh'' dan sebagainya. Pembacaan atas teks hadits juga tidak bisa mengabaikan aspek pertimbangan [[tradisi]] atau konteks sosial yang menyertainya. Pada sisi lain Imam Al Syafi’i pasti tidak dapat membiarkan sebuah hadits sahih berbicara sendiri tanpa mengkaitkannya dengan hadits-hadits yang lain atau dengan teks-teks al Qur-an bahkan dengan visi besar (maqashid al syari’ah) kitab suci tersebut, apalagi ketika ia melihat ada kontradiksi dengan makna literal hadits sahih yang lain. Di luar itu para ahli hadits  juga menyampaikan bahwa hadits sahih dapat dilihat dari sisi jumlah perawinya. Dari aspek ini mereka membaginya menjadi ''mutawatir'' dan ''Ahad''. Untuk yang pertama (''mutawatir'') mereka menempatkannya pada posisi paling autentik, valid dan kredible. Validitas transmisi hadits mutawatir ini sama dengan transmisi al Qur-an. Ini karena ia disampaikan oleh banyak orang generasi demi generasi dan tak terputus. Antara satu orang di antara mereka dengan yang lain menurut kebiasaan tidak mungkin melakukan konspirasi untuk mendustakannya. Keadaan seperti ini menjadikan hadits mutawattir memiliki kekuatan referensi yang sangat kuat dan bahkan pasti, tidak diragukan. Sementara untuk katagori kedua, yaitu hadits Ahad. Ini adalah hadits yang diriwayatkan dengan mata rantai tunggal atau terbatas. Hadits dengaan katagori ini oleh mayoritas para ulama ahli hadits dipandang memiliki kwalifikasi ''zhanni'' (interpretable). Mereka mengatakan : ''“Yajib al ‘amal bihi wa yufid al Zhan”'' (wajib diterima dan mengandung makna yang dapat ditafsirkan)”.12 Dan hampir semua ahli fiqh sependapat bahwa fiqh hanya dapat bergerak pada wilayah sumber-sumber interpretatif baik diambil dari al Qur-an maupun hadits. Menurut banyak pendapat para ahli hadits,  hadits dengan kriteria ''“ahad”'' jumlahnya jauh lebih besar daripada hadits ''“mutawattir”.'' Dari kenyataan ini kita barangkali dapat mengambil sikap untuk melihat hadits bukan semata-mata pada kwalifikasi ''“sanad”'', tetapi juga analisi kritis terhadap ''“matn”''nya.
 


Kebanyakan orang yang kita lihat selama ini ketika membaca sebuah hadits, lebih banyak melihat hadits dari sisi ''“sanad”'' (mata rantai/transmisi) semata. Aspek “matan” (isi) seringkali terabaikan. Padahal “matn” amat perlu mendapatkan perhatian secara kritis. Bagaimana jika ia ternyata bertentangan, misalnya, dengan aspek rasionalitasnya (tidak masuk akal), atau ketika ia dipandang berlebih-lebihan yang juga sulit diterima nalar, atau mengemukakan makna yang sangat fantastik, atau bahkan bertentangan dengan teks al Qur-an. Adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Ibnu al Jauzi seperti disebutkan Jalal al Din al Suyuthi dalam bukunya yang terkenal “Tadrib al Rawi”. Katanya :
Kembali kepada ucapan asy-Syafi’i di atas. Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i  (150-204 H/767-820 M) sebenarnya bukanlah orang pertama yang menyatakan pandangan paradigmatik ini. Abu Hanifah al Nu’man (80-150 H/699-767 M), pendiri mazhab Hanafi, meskipun dengan bahasa (''ibarah'') yang sedikit berbeda, tetapi secara substantif ia juga menggunakan paradigma ini dalam keputusan-keputusan fiqhnya. Ia mengatakan: “Jika ada hadits dari Nabi saw. tidak boleh kita berpaling ke yang lain. Kita harus mengambilnya”. Atau: “Jika ada hadits nabi, kita wajib menerimanya tanpa reserve ''(‘ala ar-ra’s wa al-‘ain)”''.8 Al-Umdah Muhammad Abidin ad-Dimasyqi dalam ''“Syarh Uqud Rasm al-Mufti''” mengatakan: ''“faqad shahha ‘an Abi Hanifah annahu qaal: ‘Izda shahha al hadits fahuwa mazhabi’'' (informasi yang valid dari Abu Hanifah, menyebutkan bahwa dia mengatakan: ‘jika ada hadits yang sahih, maka itulah pendapatku’.9 Imam Malik bin Anas (93-197 H/712-795 M), pendiri mazhab Maliki, juga mengatakan hal yang sama. Katanya: “Aku manusia yang bisa salah dan bisa benar. Lihatlah pandanganku. Jika sesuai dengan al-Kitab (al-Qur'an) dan as-Sunnah (hadits), maka ambillah, dan apabila tidak, tinggalkan pandanganku”.10 Ibnu Abd al Barr dan asy-Sya’rani, keduanya bermazhab Syafi’i, mengatakan bahwa hal itu juga menjadi pendirian para imam mazhab empat yang lain.11


Membaca pikiran-pikiran Imam asy-Syafi’i (dan para imam mazhab yang lain) dalam fiqhnya, akan nampak jelas bahwa ia tidak selalu mengambil hadits sahih dalam pengertiannya yang literal. Asy-Syafi’i memang menjadikan hadits sahih sebagai dasar argumen hukum ''(Hujjah Syar’iyyah)'', akan tetapi ia tidak dengan serta-merta menerimanya begitu saja sebagaimana apa adanya, skripturalis, harfiyah. Soalnya ia juga melakukan analisis secara kritis terhadap hadits sahih tersebut, karena sejumlah persoalan yang terkait di dalamnya. Dalam terminologi para ahli hadits, kesahihan sebuah hadits dipakai sebagai ''hujjah'' (argumen), karena ia memiliki kwalitas sumber yang dapat dipercaya. Walaupun demikian ia tidak selalu dapat difahami maksud dan tujuannya sebagaimana yang tersurat. Dari sisi ini, hadits betapapun memiliki kualifikasi sumber yang valid, mengandung sejumlah kemungkinan yang dapat dianalisis, seperti halnya dengan teks-teks al-Qur'an sendiri. Al-Qur’an dan Hadits Nabi kini telah menjadi sumber-sumber tertulis yang secara niscaya memerlukan interpretasi dan penjelasan-penjelasan. Beberapa kemungkinan penjelasan itu sebagaimana selalu dikemukakan dalam buku-buku ushul fiqh atau ulum al tafsir (ulum al-Qur'an), antara lain, apakah kata yang digunakannya adalah ''‘am, mutlaq, musytarak, makhshus, muawwal'' atau ''mansukh'' dan sebagainya. Pembacaan atas teks hadits juga tidak bisa mengabaikan aspek pertimbangan [[tradisi]] atau konteks sosial yang menyertainya. 


ما احسن قول القائل : " اذا رأيت الحديث يباين المعقول او يخالف المنقول او يناقض الاصول فاعلم انه موضوع ". قال ومعنى مناقضته للاصول : ان يكون خارجا عن دواوين الاسلام من المسانيد والكتب المشهورة .(انظر : تدريب الراوى فى شرح تقريب النووى لجلال الدين السيوطى ج 1 ص 277 ).
Pada sisi lain Imam Asy-Syafi’i pasti tidak dapat membiarkan sebuah hadits sahih berbicara sendiri tanpa mengkaitkannya dengan hadits-hadits yang lain atau dengan teks-teks al-Qur'an bahkan dengan visi besar (maqashid al syari’ah) kitab suci tersebut, apalagi ketika ia melihat ada kontradiksi dengan makna literal hadits sahih yang lain. Di luar itu para ahli hadits  juga menyampaikan bahwa hadits sahih dapat dilihat dari sisi jumlah perawinya. Dari aspek ini mereka membaginya menjadi ''mutawatir'' dan ''Ahad''. Untuk yang pertama (''mutawatir'') mereka menempatkannya pada posisi paling autentik, valid dan kredibel. Validitas transmisi hadits mutawatir ini sama dengan transmisi al-Qur'an. Ini karena ia disampaikan oleh banyak orang generasi demi generasi dan tak terputus. Antara satu orang di antara mereka dengan yang lain menurut kebiasaan tidak mungkin melakukan konspirasi untuk mendustakannya. Keadaan seperti ini menjadikan hadits mutawattir memiliki kekuatan referensi yang sangat kuat dan bahkan pasti, tidak diragukan. Sementara untuk katagori kedua, yaitu hadits Ahad. Ini adalah hadits yang diriwayatkan dengan mata rantai tunggal atau terbatas. Hadits dengaan katagori ini oleh mayoritas para ulama ahli hadits dipandang memiliki kwalifikasi ''zhanni'' (interpretable). Mereka mengatakan: ''“Yajib al-'amal bihi wa yufid azh-Zhan”'' (wajib diterima dan mengandung makna yang dapat ditafsirkan)”.12 Dan hampir semua ahli fiqh sependapat bahwa fiqh hanya dapat bergerak pada wilayah sumber-sumber interpretatif baik diambil dari al Qur-an maupun hadits. Menurut banyak pendapat para ahli hadits,  hadits dengan kriteria ''“ahad”'' jumlahnya jauh lebih besar daripada hadits ''“mutawattir”.'' Dari kenyataan ini kita barangkali dapat mengambil sikap untuk melihat hadits bukan semata-mata pada kwalifikasi ''“sanad”'', tetapi juga analisi kritis terhadap ''“matn”''nya.  


Kebanyakan orang yang kita lihat selama ini ketika membaca sebuah hadits, lebih banyak melihat hadits dari sisi ''“sanad”'' (mata rantai/transmisi) semata. Aspek “matan” (isi) seringkali terabaikan. Padahal “matn” amat perlu mendapatkan perhatian secara kritis. Bagaimana jika ia ternyata bertentangan, misalnya, dengan aspek rasionalitasnya (tidak masuk akal), atau ketika ia dipandang berlebih-lebihan yang juga sulit diterima nalar, atau mengemukakan makna yang sangat fantastik, atau bahkan bertentangan dengan teks al-Qur'an. Adalah menarik untuk mengemukakan pandangan Ibnu al-Jauzi seperti disebutkan Jalal ad-Din als-Suyuthi dalam bukunya yang terkenal “''Tadrib ar-Rawi''”. Katanya:




“Betapa bagusnya ucapan orang :’jika anda melihat hadits bertentangan dengan akal (''al ma’qul''), atau berlainan dengan teks (''al'' ''manqul'') atau berlawanan dengan buku-buku hadits standar (''al ushul''), maka ketahuilah bahwa ia sebenarnya hadits ''maudhu’'' (palsu).13
ما احسن قول القائل: " اذا رأيت الحديث يباين المعقول او يخالف المنقول او يناقض الاصول فاعلم انه موضوع ". قال ومعنى مناقضته للاصول: ان يكون خارجا عن دواوين الاسلام من المسانيد والكتب المشهورة .(انظر: تدريب الراوى فى شرح تقريب النووى لجلال الدين السيوطى ج 1 ص 277 ).


"Betapa bagusnya ucapan orang:’jika anda melihat hadits bertentangan dengan akal (''al-ma’qul''), atau berlainan dengan teks (''al-manqul'') atau berlawanan dengan buku-buku hadits standar (''al-ushul''), maka ketahuilah bahwa ia sebenarnya hadits ''maudhu’'' (palsu).13


Kitab al-Jami’ al-Shahih karya Imam Al-Bukhari dalam pandangan seluruh ulama mazhab Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), dipandang sebagai sumber otentik dan valid kedua sesudah al-Qur’an. Demikian juga Shahih Muslim. Mereka mengatakan kitab al-Bukhari dan Muslim tersebut sebagai “Talaqqathu al-Ummah bi al-Qabul”, diterima secara mutlak. Pembacaan atas kitab tersebut dengan cermat telah memunculkan sejumlah pertanyaan : Apakah seluruh matan hadits yang terdapat di dalamnya tidak mengandung problematika serius?. Ada sejumlah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang tampaknya sesuai dengan realitas dan logika rasional, bila ia dimaknai secara apa adanya. Beberapa contoh dapat dikemukakan :
Kitab al-Jami’ al-Shahih karya Imam Al-Bukhari dalam pandangan seluruh ulama mazhab Sunni (Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah), dipandang sebagai sumber otentik dan valid kedua sesudah al-Qur’an. Demikian juga Shahih Muslim. Mereka mengatakan kitab al-Bukhari dan Muslim tersebut sebagai “''Talaqqathu al-Ummah bi al-Qabul''”, diterima secara mutlak. Pembacaan atas kitab tersebut dengan cermat telah memunculkan sejumlah pertanyaan: Apakah seluruh matan hadits yang terdapat di dalamnya tidak mengandung problematika serius?. Ada sejumlah hadits dalam Shahih Bukhari dan Muslim yang tampaknya sesuai dengan realitas dan logika rasional, bila ia dimaknai secara apa adanya. Beberapa contoh dapat dikemukakan:




Baris 288: Baris 285:


[9] Mengenai perlunya mempertimbangkan aspek tradisi audiens, menurut Ibnu al Qayyim al Jauziyah, sebenarnya sudah difatwakan oleh para ulama dahulu : “Anda tidak boleh terpaku pada teks-teks yang dikutip atau yang terdapat dalam kitab-kitab sepanjang hidup anda. Jika seseorang dari luar daerah datang kepada anda untuk meminta fatwa hukum, maka jangan anda perlakukan dia menurut tradisi anda, tetapi anda perlu lebih dulu menanyakan kepadanya tradisi daerahnya. Sesudah itu baru anda putuskan berdasarkan (analisis terhadap) tradisinya, dan bukan berdasarkan tradisi anda sendiri, dan bukan pula berdasarkan kutipan-kutipan kitab anda. Jika anda tetap menggunakan tradisi anda dan kitab-kitab tersebut, maka anda telah sesat dan tidak mengerti tujuan dan maksud para ulama Islam dan pikiran generasi muslim awal (al salaf). (lihat : ''I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin'', III, hlm. 78).  
[9] Mengenai perlunya mempertimbangkan aspek tradisi audiens, menurut Ibnu al Qayyim al Jauziyah, sebenarnya sudah difatwakan oleh para ulama dahulu : “Anda tidak boleh terpaku pada teks-teks yang dikutip atau yang terdapat dalam kitab-kitab sepanjang hidup anda. Jika seseorang dari luar daerah datang kepada anda untuk meminta fatwa hukum, maka jangan anda perlakukan dia menurut tradisi anda, tetapi anda perlu lebih dulu menanyakan kepadanya tradisi daerahnya. Sesudah itu baru anda putuskan berdasarkan (analisis terhadap) tradisinya, dan bukan berdasarkan tradisi anda sendiri, dan bukan pula berdasarkan kutipan-kutipan kitab anda. Jika anda tetap menggunakan tradisi anda dan kitab-kitab tersebut, maka anda telah sesat dan tidak mengerti tujuan dan maksud para ulama Islam dan pikiran generasi muslim awal (al salaf). (lihat : ''I’lam al Muwaqqi’in ‘an Rabb al ‘Alamin'', III, hlm. 78).  
<references />
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
Trusted, Pengurus
77

suntingan

Menu navigasi