Draft Tulisan Satu: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
3.397 bita ditambahkan ,  20 Januari 2022 02.48
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 674: Baris 674:
''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.''
''Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.''


Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai sesama makhluk, mereka adalah sama. Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan manusia perlu untuk saling mengetahui dan mengenali hak masing-masing sebagai sesama makhluk dengan baik. Keutamaan dan kemulyaan mereka ditentukan oleh ketaqwaannya pada Allah dan keselamatan hatinya.<ref>Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf ats-Tsa’alabi, ''Al-Jawahir al-Hasan fi Tafsir al-Qur’an'' (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbuat, T.Th), jilid 4, h. 192.</ref> Ayat ini merupakan kritik sosial pada cara pandang masyarakat Arab yang membanggakan jenis kelamin laki-laki daripada perempuan, bangsa Arab daripada bangsa lainnya, dan suku Quraisy daripada suku lainnya.
Ats-Tsa’alabi menjelaskan bahwa maksud ayat tersebut adalah sebagai sesama makhluk, mereka adalah sama. Perbedaan-perbedaan tersebut menyebabkan manusia perlu untuk saling mengetahui dan mengenali hak masing-masing sebagai sesama makhluk dengan baik. Keutamaan dan kemulyaan mereka ditentukan oleh ketaqwaannya pada Allah dan keselamatan hatinya.<ref>Abdurrahman bin Muhammad bin Makhluf ats-Tsa’alabi, ''Al-Jawahir al-Hasan fi [[Tafsir Al-Qur’an|Tafsir al-Qur’an]]'' (Beirut: Muassasah al-A’lami li al-Mathbuat, T.Th), jilid 4, h. 192.</ref> Ayat ini merupakan kritik sosial pada cara pandang masyarakat Arab yang membanggakan jenis kelamin laki-laki daripada perempuan, bangsa Arab daripada bangsa lainnya, dan suku Quraisy daripada suku lainnya.


Di surat at-Taubah/9;71, Allah menegaskan satu prinsip kesetaraan di ruang publik di mana laki-laki dan perempuan mu’min adalah setara karena mereka mempunyai fun''gsi sebagai penolong (auliya dari kata wali).''
Di surat at-Taubah/9;71, Allah menegaskan satu prinsip kesetaraan di ruang publik di mana laki-laki dan perempuan mu’min adalah setara karena mereka mempunyai fun''gsi sebagai penolong (auliya dari kata wali).''
Baris 757: Baris 757:
2.   Kerelaan kedua belah pihak ''(ridlo)'' (Qs. 2:232).<ref>Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Terjemahan Qs. Al-Baqarah/2:232). Hubungan atas dasar saling rela juga di singgung dalam Qs. An-Nisa/4:24.</ref> Ayat ini menegaskan bahwa tidak boleh ada unsur paksaan di dalam berumah tangga.  
2.   Kerelaan kedua belah pihak ''(ridlo)'' (Qs. 2:232).<ref>Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang makruf. Itulah yang dinasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Terjemahan Qs. Al-Baqarah/2:232). Hubungan atas dasar saling rela juga di singgung dalam Qs. An-Nisa/4:24.</ref> Ayat ini menegaskan bahwa tidak boleh ada unsur paksaan di dalam berumah tangga.  


3.   Menghindari sikap saling menyulitkan (QS. 2:233).[51] Laki-laki dan perempuan baik sebagai suami-isteri maupun ornagtua-anak tidak boleh menyulitkan satu sama lain.  
3.   Menghindari sikap saling menyulitkan (QS. 2:233).<ref>Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan juga seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Terjemahan Qs. Al-Barqarah/2:233).</ref>Laki-laki dan perempuan baik sebagai suami-isteri maupun ornagtua-anak tidak boleh menyulitkan satu sama lain.  


4.   Cara-cara yang layak atau pantas ''(ma’ruf)'' (QS. 2:180, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 240, 241, QS. 4:19, 25, QS. 65:2, 6),[52] dan cara yang lebih baik ''(ihsan)'' (QS. 2:229, QS. 6:151).[53] Laki-laki dan perempuan tidak dapat mengambil keputusan dalam keluarga yang hanya menguntungkan dirinya baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.  
4.   Cara-cara yang layak atau pantas ''(ma’ruf)'' (QS. 2:180, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 240, 241, QS. 4:19, 25, QS. 65:2, 6),<ref>Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.(Terjemahan an-Nisa/4:19)</ref> dan cara yang lebih baik ''(ihsan)'' (QS. 2:229, QS. 6:151).<ref>Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik (ihsan) (Terjemahan Qs.al-Baqarah/2:229)</ref> Laki-laki dan perempuan tidak dapat mengambil keputusan dalam keluarga yang hanya menguntungkan dirinya baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.  


5.   Tidak pamrih ''(nihlah)'' (QS. 4:4)[54]. Laki-laki maupun perempuan tidak bisa memperlakukan pihak lain sebagai pelayan karena kontribusi ekonomi yang dilakukannya pada keluarga baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.  
5.   Tidak pamrih ''(nihlah)'' (QS. 4:4)<ref>Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (Terjemahan Qs. An-Nisa/4:4)</ref>. Laki-laki maupun perempuan tidak bisa memperlakukan pihak lain sebagai pelayan karena kontribusi ekonomi yang dilakukannya pada keluarga baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.  


6.   Memberi ruang untuk berpendapat ''(musyawarah)'' (QS. 2:233).[55] Laki-laki dan perempuan tidak dapat bersikap sewenang-wenang baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.  
6.   Memberi ruang untuk berpendapat ''(musyawarah)'' (QS. 2:233).<ref>Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.(Terjemahan Qs. al-Baqarah/2:233)</ref> Laki-laki dan perempuan tidak dapat bersikap sewenang-wenang baik dalam relasi suami-isteri maupun orangtua-anak.  


7.   Mengusahakan perdamain jika berkonflik ''(ishlah)'' (QS. 2:228, QS. 4:35, 128).[56] Masalah salam keluarga dBerikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.ibicarakan secara baik-baik, bukan diputuskan dengan cara-cara kekerasan.  
7.   Mengusahakan perdamain jika berkonflik ''(ishlah)'' (QS. 2:228, QS. 4:35, 128).<ref>dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah. (Terjemahan Qs. Al-Baqarah/2:228)</ref> Masalah salam keluarga dBerikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.ibicarakan secara baik-baik, bukan diputuskan dengan cara-cara kekerasan.  


Prinsip-prinsip relasi di atas secara umum melandasi aturan-aturan al-Qur’an tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga baik sebagai suami-isteri maupun orangtua-anak pada masa turunnya al-Qur’an. Tentu saja cara pandang dan prinsip-prinsip pernikahan di atas memerlukan contoh kongkrit ketika diterapkan dalam konteks spesifik masyarakat Arab masa itu dengan berbagai kondisi khususnya. Jika tidak, maka prinsip-prinsip al-Qur’an tinggal prinsip dan tidak memberikan pengaruh apapun dalam kehidupan masyarakat setempat.
Prinsip-prinsip relasi di atas secara umum melandasi aturan-aturan al-Qur’an tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam keluarga baik sebagai suami-isteri maupun orangtua-anak pada masa turunnya al-Qur’an. Tentu saja cara pandang dan prinsip-prinsip pernikahan di atas memerlukan contoh kongkrit ketika diterapkan dalam konteks spesifik masyarakat Arab masa itu dengan berbagai kondisi khususnya. Jika tidak, maka prinsip-prinsip al-Qur’an tinggal prinsip dan tidak memberikan pengaruh apapun dalam kehidupan masyarakat setempat.
Baris 879: Baris 879:
Secara faktual ketika itu wilayah publik didominasi oleh laki-laki. Mereka pada umumnya menguasai atau setidaknya lebih mudah mengakses sumber-sumber ekonomi yang bertebaran di ruang publik daripada perempuan. Khadijah Ra isteri Rasulullah Saw merupakan pengecualian yang sangat sedikit dari kondisi umum yang ada pada masa itu. Dalam konteks keluarga, hal ini berarti bahwa laki-laki baik sebagai ayah maupun suami secara ekonomi pada umumnya lebih kuat daripada perempuan. Oleh karenanya sangat realistis jika kemudian laki-laki sebagai suami diberi tanggungjawab untuk menafkahi isterinya sebagaimana dijelaskan dalam Qs. an-Nisa/4:34.  
Secara faktual ketika itu wilayah publik didominasi oleh laki-laki. Mereka pada umumnya menguasai atau setidaknya lebih mudah mengakses sumber-sumber ekonomi yang bertebaran di ruang publik daripada perempuan. Khadijah Ra isteri Rasulullah Saw merupakan pengecualian yang sangat sedikit dari kondisi umum yang ada pada masa itu. Dalam konteks keluarga, hal ini berarti bahwa laki-laki baik sebagai ayah maupun suami secara ekonomi pada umumnya lebih kuat daripada perempuan. Oleh karenanya sangat realistis jika kemudian laki-laki sebagai suami diberi tanggungjawab untuk menafkahi isterinya sebagaimana dijelaskan dalam Qs. an-Nisa/4:34.  


Penunjukan suami sebagai penanggungjawab atas isteri sama sekali tidak didasarkan pada pandangan bahwa laki-laki secara hakiki lebih utama atas perempuan, melainkan karena secara sosial mereka mungkin mengemban peran sebagai penannggungjawab keluarga. Menarik sekali melihat opini para mufasir tentang mengapa laki-laki ditunjuk sebagai penanggungjawab isteri, bukan sebaliknya. Menurut Ibnu Abbas, kelebihan lelaki atas perempuan disebabkan lelaki dikaruniai kelebihan akal dan mereka dilebihkan atas perempuan dalam memperoleh bagian ''ghanimah''.[57] Sementara itu Az-Zamakhsyari mengemukakan bahwa kelebihan lelaki itu karena pada umumnya mereka memiliki kelebihan penalaran (''al-‘aql''), tekad yang kuat (''al-hazm''), kekuatan (''al-quwwah'') dan keberanian (''al-furusiyah wal-ramy'').[58]
Penunjukan suami sebagai penanggungjawab atas isteri sama sekali tidak didasarkan pada pandangan bahwa laki-laki secara hakiki lebih utama atas perempuan, melainkan karena secara sosial mereka mungkin mengemban peran sebagai penannggungjawab keluarga. Menarik sekali melihat opini para mufasir tentang mengapa laki-laki ditunjuk sebagai penanggungjawab isteri, bukan sebaliknya. Menurut Ibnu Abbas, kelebihan lelaki atas perempuan disebabkan lelaki dikaruniai kelebihan akal dan mereka dilebihkan atas perempuan dalam memperoleh bagian ''ghanimah''.<ref>Ibnu Abbas, ''Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas'', Penyunting Abu Tahir Ibnu Ya’qub al-Fairuzabadi (Beirut: Darul Fikr, t.th.), h. 68</ref> Sementara itu Az-Zamakhsyari mengemukakan bahwa kelebihan lelaki itu karena pada umumnya mereka memiliki kelebihan penalaran (''al-‘aql''), tekad yang kuat (''al-hazm''), kekuatan (''al-quwwah'') dan keberanian (''al-furusiyah wal-ramy'').<ref>Al-Zamakhsyari, ''al-Kasysyaf'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), j.1, h. 523-524</ref>


Penafsiran mufasir tentu dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya. Pada masa Ibnu Abbas maupun Az-Zamakhsyari, kesetaraan antara lelaki dan perempuan secara potensial dan praktek belum terbukti secara meyakinkan dalam sejarah, padahal penafsiran siapa pun akan dihalangi batas-batas baik berupa tradisi kepercayaan maupun fakta empirisnya. Oleh karena itu, sangat ganjil bila saat itu menekankan ''equality,'' sama ganjilnya dengan menekankan ''superiority'' lelaki atas perempuan pada masa modern ini. Apa yang dipahami sebagai kelebihan hakiki laki-laki dan merupakan pemberian langsung dari Allah ternyata dapat dimiliki oleh perempuan. Tidak sedikit perempuan saat ini yang mampu menjadi juara kelas dan menempuh gelar akademik tertinggi dalam dunia pendidikan sehingga memiliki penalaraan yang lebih tajam daripada umumnya laki-laki. Perempuan mungkin tidak memperoleh ghanimah sebagaimana laki-laki modern juga sudah tidak mendapatkannya, tetapi secara ekonomi banyak perempuan yang mampu mendapatkan penghasilan melebihi laki-laki termasuk suaminya sendiri.
Penafsiran mufasir tentu dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya. Pada masa Ibnu Abbas maupun Az-Zamakhsyari, kesetaraan antara lelaki dan perempuan secara potensial dan praktek belum terbukti secara meyakinkan dalam sejarah, padahal penafsiran siapa pun akan dihalangi batas-batas baik berupa tradisi kepercayaan maupun fakta empirisnya. Oleh karena itu, sangat ganjil bila saat itu menekankan ''equality,'' sama ganjilnya dengan menekankan ''superiority'' lelaki atas perempuan pada masa modern ini. Apa yang dipahami sebagai kelebihan hakiki laki-laki dan merupakan pemberian langsung dari Allah ternyata dapat dimiliki oleh perempuan. Tidak sedikit perempuan saat ini yang mampu menjadi juara kelas dan menempuh gelar akademik tertinggi dalam dunia pendidikan sehingga memiliki penalaraan yang lebih tajam daripada umumnya laki-laki. Perempuan mungkin tidak memperoleh ghanimah sebagaimana laki-laki modern juga sudah tidak mendapatkannya, tetapi secara ekonomi banyak perempuan yang mampu mendapatkan penghasilan melebihi laki-laki termasuk suaminya sendiri.
Baris 920: Baris 920:
# Apakah perempuan bisa menikahkan    perempuan lainnya?  
# Apakah perempuan bisa menikahkan    perempuan lainnya?  


Tentu ulama Fiqh mempunyai pendapat yang beragam sesuai dengan dalil yang berbeda-beda atau berdasarkan dalil yang sama dengan penafsiran yang berbeda.Terkait dengan persetujuan atau kerelaan dalam nikah, berikut adalah pendapat para fuqoha.[59]
Tentu ulama Fiqh mempunyai pendapat yang beragam sesuai dengan dalil yang berbeda-beda atau berdasarkan dalil yang sama dengan penafsiran yang berbeda.Terkait dengan persetujuan atau kerelaan dalam nikah, berikut adalah pendapat para fuqoha.<ref>Abu Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' penerjemahImam Ghazali dan Achmad Zaidun (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), j. 2, h. 398-407.</ref>


{| class="wikitable"
{| class="wikitable"
Baris 991: Baris 991:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahai ayat ini yang kemudian berimplikasi pada apakah seorang perempuan itu harus mempunyai wali ketika menikah atau dia bisa menikahkan dirinya. Pada umumnya para ulama mengatakan bahwa ayat di atas melarang para wali untuk menghalangi perempuan yang telah habis masa iddahnuya dalam thalaq tiga untuk kembali menikahi mantan suaminya. Pengertian ini memberikan makna bahwa wali dilarang mencegah anak perempuan yang sudah menikah yang kemudian disimpulkan jika wali dilarang mencegah pernikahan perempuan yang sudah janda, maka wali boleh mencegah pernikahan anak perempuan yang masih gadis. Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut ini:
Para ulama berbeda pendapat dalam memahai ayat ini yang kemudian berimplikasi pada apakah seorang perempuan itu harus mempunyai wali ketika menikah atau dia bisa menikahkan dirinya. Pada umumnya para ulama mengatakan bahwa ayat di atas melarang para wali untuk menghalangi perempuan yang telah habis masa iddahnuya dalam thalaq tiga untuk kembali menikahi mantan suaminya. Pengertian ini memberikan makna bahwa wali dilarang mencegah anak perempuan yang sudah menikah yang kemudian disimpulkan jika wali dilarang mencegah pernikahan perempuan yang sudah janda, maka wali boleh mencegah pernikahan anak perempuan yang masih gadis. Pendapat ini didasarkan pada hadis berikut ini:


''Diriwayatkan dari Mi’qal ibn Yasar bahwa sebelumnya saudara perempuan Mi’qal adalah istri Abu al-Bidah kemudian ia menceraikannya dan membiarkannya sampai habis masa iddahnya. Kemudian Abu al-Bidah menyesal dan melamar mantan istrinya yang memang masih menginginkan suaminya kembali, tetapi Mi’qal menolak menikahkan saudara perempuannya itu dan berkata: “Haram bagi saya melihat wajahmu lagi jika kamu menikah dengan Abu al-Bidah. Kemudian turunlah ayat ini. Muqatil berkata: Rasulullah memanggil Mi’qal dan bersabda: “Jika kamu beriman maka janganlah kamu melarang saudara perempuanmu menikah dengan Abu al-Bidah”. Mi’qal menjawab: “Saya beriman kepada Allah”. Kemudian Mi’qal pun menikahkan saudara perempuannya itu dengan Abu al-Bidah”.'''[60]'''''
''Diriwayatkan dari Mi’qal ibn Yasar bahwa sebelumnya saudara perempuan Mi’qal adalah istri Abu al-Bidah kemudian ia menceraikannya dan membiarkannya sampai habis masa iddahnya. Kemudian Abu al-Bidah menyesal dan melamar mantan istrinya yang memang masih menginginkan suaminya kembali, tetapi Mi’qal menolak menikahkan saudara perempuannya itu dan berkata: “Haram bagi saya melihat wajahmu lagi jika kamu menikah dengan Abu al-Bidah. Kemudian turunlah ayat ini. Muqatil berkata: Rasulullah memanggil Mi’qal dan bersabda: “Jika kamu beriman maka janganlah kamu melarang saudara perempuanmu menikah dengan Abu al-Bidah”. Mi’qal menjawab: “Saya beriman kepada Allah”. Kemudian Mi’qal pun menikahkan saudara perempuannya itu dengan Abu al-Bidah”.''<ref>Lihat Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib al-Amili Abu Ja’far ath-Thabari, ''Jami’ al-Bayan fi Tawil al-Qur’an'' (t.t.:Muassasah ar-Risalah, 2000), j. 5, h. 17, Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir,''Tafsir al-Qur’an al-Adzim'' (t.t.: Darun Thoyyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi, 1999), j.1, h.631.</ref>


Memaknai larangan mencegah tersebut ditujukan pada wali, menurut ar-Razi mengandung kerancuan kalimat karena yang subjek yang menceraikan dalam kalimat syarat adalah suami, sehingga subyek yang mencegah dalam jawaban seharusnya juga suami. Ayat tersebut seharusnya dipahami sebagaimana berikut: jika kalian (para suami) menceraikan istrimu kemudian dia telah melewati masa iddahnya, maka janganlah kalian (para suami, bukan wali sebagaimana pemaknaan sebelumnya) menghalang-halangi dia (mantan isteri) untuk menikah dengan laki-laki lain. Ayat ini dengan demikian tidak ada hubungannya dengan wali dan perempuan dapat menikahkah dirinya sendiri sebagaimana istilah yang digunakan ayat ini, yaitu ''an yankihna'' (menikahi bukan dinikahkan).[61]
Memaknai larangan mencegah tersebut ditujukan pada wali, menurut ar-Razi mengandung kerancuan kalimat karena yang subjek yang menceraikan dalam kalimat syarat adalah suami, sehingga subyek yang mencegah dalam jawaban seharusnya juga suami. Ayat tersebut seharusnya dipahami sebagaimana berikut: jika kalian (para suami) menceraikan istrimu kemudian dia telah melewati masa iddahnya, maka janganlah kalian (para suami, bukan wali sebagaimana pemaknaan sebelumnya) menghalang-halangi dia (mantan isteri) untuk menikah dengan laki-laki lain. Ayat ini dengan demikian tidak ada hubungannya dengan wali dan perempuan dapat menikahkah dirinya sendiri sebagaimana istilah yang digunakan ayat ini, yaitu ''an yankihna'' (menikahi bukan dinikahkan).<ref>Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husein at-Taimi ar-Razi yang dikenal atau yang lebih dikenal dengan Fakhrudin ar-Razi menjelaskan panjang soal ini dan memandang bahwa larangan menghalangi tersebut ditujukan kepada suami, bukan wali dalam ''Mafatih al-Ghaib,'' pada penafsiran Qs. al-Baqarah/2:232.</ref>


Sebetulnya ada banyak hadis yang mendukung pemaknaan ar-Razi. Beberapa di antaranya adalah hadis berikut ini:
Sebetulnya ada banyak hadis yang mendukung pemaknaan ar-Razi. Beberapa di antaranya adalah hadis berikut ini:
Baris 1.005: Baris 1.005:
Dalam riwayat lain bahkan Rasulullah Saw menyerahkan pada perempuan atas keputusan ayah yang menikahkan dirinya secara sepihak.
Dalam riwayat lain bahkan Rasulullah Saw menyerahkan pada perempuan atas keputusan ayah yang menikahkan dirinya secara sepihak.


''Aisyah Ra menuturkan, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah Saw datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan  dan mengembalikan persoalan itu kepada anak perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan: “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”'' (HR. An-Nasai).[62]
''Aisyah Ra menuturkan, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah Saw datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan  dan mengembalikan persoalan itu kepada anak perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan: “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”'' (HR. An-Nasai).<ref>Lihat an-Nasai,  ''Jami’ al-Ushûl,'' no. hadis: 8974, j.12, h.142.</ref>


Hadis lain yang  juga menarik namun jarang diungkap padahal diriwayatkan oleh banyak imam hadis seperti Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, adalah hadis tentang perempuan bernama Khansa bin Khidam yang dipaksa nikah oleh orang tuanya. Dalam kasus ini Nabi juga mengembalikan keputusan itu kepada perempuan, bukan kepada orangtuanya apakah pernikahan tersebut mau diteruskan atau dibatalkan. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa Ra sebagai berikut.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya yaitu Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah.[63]
Hadis lain yang  juga menarik namun jarang diungkap padahal diriwayatkan oleh banyak imam hadis seperti Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, adalah hadis tentang perempuan bernama Khansa bin Khidam yang dipaksa nikah oleh orang tuanya. Dalam kasus ini Nabi juga mengembalikan keputusan itu kepada perempuan, bukan kepada orangtuanya apakah pernikahan tersebut mau diteruskan atau dibatalkan. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa Ra sebagai berikut.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki”. Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya yaitu Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah.<ref>Lihat: az-Zayla’i, Nashb ar-Râyah Takhrîj Ahâdîts al-Hidâyah, , j. 3, h. 237.</ref>


Lagi-lagi hadis tersebut diabaikan antara lain dalam pengambilan keputusan hukum tentang perselisihan seorang gadis dengan wali mujbirnya dalam menunjuk pemuda yang mengawininya di mana pilihan ayah lebih didahulukan daripada pilihan anak perempuannya.[64] Adapun rujukan utama yang gunakan adalah kutipan dalam kitab ''I’anah ath-Tholibin'' Juz III sebagai berikut:  
Lagi-lagi hadis tersebut diabaikan antara lain dalam pengambilan keputusan hukum tentang perselisihan seorang gadis dengan wali mujbirnya dalam menunjuk pemuda yang mengawininya di mana pilihan ayah lebih didahulukan daripada pilihan anak perempuannya.<ref>Tim PW LTN NU Jatim, ''Ahkamul Fuqoha Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004)'' (Surabaya: Khalista, 2007), h. 95-96</ref> Adapun rujukan utama yang gunakan adalah kutipan dalam kitab ''I’anah ath-Tholibin'' Juz III sebagai berikut:  


''Seorang hakim tidak boleh mengawinkan jika wali mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan hasil pilihannya sendiri, sedangkan ayah sudah memiliki lelaki lain yang juga kufu (sepandan)'' ''walaupun laki-laki pilihan ayahnya kesepadanannya lebih rendah dibandingkan pilihan putrinya. Yakni jika si putri menentukan laki-laki yang sepadan sedangkan si ayah juga menentukan laki-laki yang sepadan, maka dia ayah tidak termasuk adlil (tidak setuju pernikahan putrinya) sehingga hakim tidak boleh mengawinkannya karena hak perwaliannya tetap berada di pihak ayah, yang demikian itu, karena penilaian ayah di atas penilaian putrinya sehingga pilihannya dianggap lebih layak daripada laki-laki pilihan putrinya.''
''Seorang hakim tidak boleh mengawinkan jika wali mujbir (ayah) tidak setuju mengawinkan putrinya dengan laki-laki yang sepadan hasil pilihannya sendiri, sedangkan ayah sudah memiliki lelaki lain yang juga kufu (sepandan)'' ''walaupun laki-laki pilihan ayahnya kesepadanannya lebih rendah dibandingkan pilihan putrinya. Yakni jika si putri menentukan laki-laki yang sepadan sedangkan si ayah juga menentukan laki-laki yang sepadan, maka dia ayah tidak termasuk adlil (tidak setuju pernikahan putrinya) sehingga hakim tidak boleh mengawinkannya karena hak perwaliannya tetap berada di pihak ayah, yang demikian itu, karena penilaian ayah di atas penilaian putrinya sehingga pilihannya dianggap lebih layak daripada laki-laki pilihan putrinya.''

Menu navigasi