12.023
suntingan
k (Agus Munawir memindahkan halaman Hukum ‘Iddah dan Ihdâd ke Iddah dan Ihdad tanpa membuat pengalihan) |
|||
Baris 1: | Baris 1: | ||
Sebagai agama pembebas, sedari awal Islam telah mengusung satu tugas suci, yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan umat manusia. Islam datang membawa serta pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Misi pokok al-Qur`an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial lainnya.<ref>Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur`an (49:13), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.</ref> Semua watak diskriminatif yang berkembang subur dalam masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu senantiasa secara bertahap dieliminasi dan ditolak. | Sebagai agama pembebas, sedari awal Islam telah mengusung satu tugas suci, yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan umat manusia. Islam datang membawa serta pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Misi pokok al-Qur`an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial lainnya.<ref>Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur`an (49:13), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.</ref> Semua watak diskriminatif yang berkembang subur dalam masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu senantiasa secara bertahap dieliminasi dan ditolak. | ||
Baris 11: | Baris 10: | ||
Bahkan, kemitraan dalam hubungan suami isteri dinyatakan al-Qur`an sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. berfirman (2:187), “Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”. Lebih jauh dari itu, hubungan pernikahan merupakan hubungan cinta-kasih antara dua insan yang berlainan jenis. Dengan logika ini, dapat dipahami bahwa maskawin pernikahan (''mahar, shaduqah'')<ref>Al-Qur`an tidak menggunakan kata ''mahar'' melainkan kata ''shaduqah'' bagi ''“''maskawin” perempuan. Secara generik, ''shaduqah'' yang berasal dari kata ''shadaqa'' berarti kejujuran, ketulusan, dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh, dan bukan untuk mempertunjukkan status sosial atau finansial seseorang. Lihat Louis Ma’luf, ''al-Munjid fiy al-Lughat wa al-A’lam,'' Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 419-420. Dengan ini akan terlihat bahwa menurut konsep Islam, calon suami harus membayar kepada calon istri sejumlah nilai materi tertentu sebagai tanda cinta, kesungguhan, dan ketulusannya. Kata lain yang juga dipakai untuk kata maskawin ini adalah ''nihlah.'' Menurut al-Raghib, ''nihlah'' berarti sesuatu yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, melainkan karena dorongan cinta dan penghormatan. Lihat Al-Ishfahaniy Al-Raghib, ''Mu’jam Mufradat Alfadzh al-Qur`an,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 485.</ref> merupakan simbol adanya cinta kasih itu. Allah SWT. berfirman (4:4), “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. | Bahkan, kemitraan dalam hubungan suami isteri dinyatakan al-Qur`an sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. berfirman (2:187), “Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”. Lebih jauh dari itu, hubungan pernikahan merupakan hubungan cinta-kasih antara dua insan yang berlainan jenis. Dengan logika ini, dapat dipahami bahwa maskawin pernikahan (''mahar, shaduqah'')<ref>Al-Qur`an tidak menggunakan kata ''mahar'' melainkan kata ''shaduqah'' bagi ''“''maskawin” perempuan. Secara generik, ''shaduqah'' yang berasal dari kata ''shadaqa'' berarti kejujuran, ketulusan, dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh, dan bukan untuk mempertunjukkan status sosial atau finansial seseorang. Lihat Louis Ma’luf, ''al-Munjid fiy al-Lughat wa al-A’lam,'' Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 419-420. Dengan ini akan terlihat bahwa menurut konsep Islam, calon suami harus membayar kepada calon istri sejumlah nilai materi tertentu sebagai tanda cinta, kesungguhan, dan ketulusannya. Kata lain yang juga dipakai untuk kata maskawin ini adalah ''nihlah.'' Menurut al-Raghib, ''nihlah'' berarti sesuatu yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, melainkan karena dorongan cinta dan penghormatan. Lihat Al-Ishfahaniy Al-Raghib, ''Mu’jam Mufradat Alfadzh al-Qur`an,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 485.</ref> merupakan simbol adanya cinta kasih itu. Allah SWT. berfirman (4:4), “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. | ||
Bukti lain dari marginalisasi dan dehumanisasi perempuan oleh masyarakat Arab pra-Islam adalah munculnya suatu tradisi yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca-kematian sang suami.<ref>Memang terdapat kontroversi tentang apakah pada masa jahiliyah ada masa ''‘iddah'' setelah terjadi perceraian. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ada, dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Mereka yang berpendapat terakhir mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah dicerai di mana ia dalam keadaan hamil, bisa langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, dan melahirkan di rumah suaminya yang baru tersebut. Sedangkan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suaminya yang baru, walaupun ia hamil karena suaminya terdahulu. Menurut mereka, Islamlah yang menetapkan adanya ''‘iddah.'' Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' (Terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf), Yogyakarta: LSPPA, 1997</ref> Misalnya, masyarakat Arab pra-Islam telah secara sadis menerapkan apa yang dikenal dengan ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' (atau ''hidad'').<ref>Syah Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', (Beirut: Dar Ihya` al-Ulum), Tanpa Tahun, Jilid II, hlm. 377.</ref> Yakni, suatu kondisi di mana kaum perempuan yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama setahun penuh.<ref>Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Juz V, hlm. 247.</ref> Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya. Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan yang ber-''ihdâd'' tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya, dan seandainya ia keluar ruangan dengan segera burung-burung gagak akan menyergapnya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Naifnya, tradisi ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki.<ref>Lihat al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Kairo: 1969, Juz II, hlm. 194. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah'', Makalah tidak diterbitkan, disampaikan dalam seminar tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997.</ref> | Bukti lain dari marginalisasi dan dehumanisasi perempuan oleh masyarakat Arab pra-Islam adalah munculnya suatu [[tradisi]] yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca-kematian sang suami.<ref>Memang terdapat kontroversi tentang apakah pada masa jahiliyah ada masa ''‘iddah'' setelah terjadi perceraian. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ada, dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Mereka yang berpendapat terakhir mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah dicerai di mana ia dalam keadaan hamil, bisa langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, dan melahirkan di rumah suaminya yang baru tersebut. Sedangkan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suaminya yang baru, walaupun ia hamil karena suaminya terdahulu. Menurut mereka, Islamlah yang menetapkan adanya ''‘iddah.'' Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' (Terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf), Yogyakarta: LSPPA, 1997</ref> Misalnya, masyarakat Arab pra-Islam telah secara sadis menerapkan apa yang dikenal dengan ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' (atau ''hidad'').<ref>Syah Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', (Beirut: Dar Ihya` al-Ulum), Tanpa Tahun, Jilid II, hlm. 377.</ref> Yakni, suatu kondisi di mana kaum perempuan yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama setahun penuh.<ref>Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Juz V, hlm. 247.</ref> Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya. Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan yang ber-''ihdâd'' tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya, dan seandainya ia keluar ruangan dengan segera burung-burung gagak akan menyergapnya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Naifnya, tradisi ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki.<ref>Lihat al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Kairo: 1969, Juz II, hlm. 194. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah'', Makalah tidak diterbitkan, disampaikan dalam seminar tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997.</ref> | ||
Menghadapi model tradisi seperti ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan. Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis-moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan ''‘iddah''. Yaitu, suatu masa menunggu bagi seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu. | Menghadapi model tradisi seperti ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan. Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis-moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan ''‘iddah''. Yaitu, suatu masa menunggu bagi seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu. | ||
Karena terbatasnya ruang yang tersedia, maka tulisan ini hendak memfokuskan diri pada bahasan diseputar ''iddah'' dan ''ihdâd.'' Dalam pembahasannya nanti, terlebih dahulu akan dikemukakan landasan normatif-doktrinal, termasuk perbincangan ''fuqahâ`'' seputar ''‘iddah'' dan ''ihdâd'', baru kemudian disusul bahasan tentang problem etika, sosiologi kontemporer, dan sains modern yang dihadapinya. Bidikan ini terasa penting untuk menghindari munculnya pemahaman Islam (fiqh) yang hanya berorientasi pada dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan secara matang mengenai tepat atau tidaknya konsep fiqh tersebut untuk diterapkan pada tingkat praksis di lapangan. | Karena terbatasnya ruang yang tersedia, maka tulisan ini hendak memfokuskan diri pada bahasan diseputar ''iddah'' dan ''ihdâd.'' Dalam pembahasannya nanti, terlebih dahulu akan dikemukakan landasan normatif-doktrinal, termasuk perbincangan ''fuqahâ`'' seputar ''‘iddah'' dan ''ihdâd'', baru kemudian disusul bahasan tentang problem etika, sosiologi kontemporer, dan sains modern yang dihadapinya. Bidikan ini terasa penting untuk menghindari munculnya pemahaman Islam ([[fiqh]]) yang hanya berorientasi pada dirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan secara matang mengenai tepat atau tidaknya konsep fiqh tersebut untuk diterapkan pada tingkat praksis di lapangan. | ||
Baris 61: | Baris 60: | ||
Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan al-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber''’iddah'', dengan alasan bahwa kegunaan ''‘iddah'' adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka--tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah dan Hanabilah menetapkan adanya ''‘iddah'' bagi perempuan yang berzina.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 630. Lihat juga pada Abdul Wahhab, ''Hasyiyah al-Muqni’''. Juz III hlm. 286.</ref> | Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan al-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber''’iddah'', dengan alasan bahwa kegunaan ''‘iddah'' adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka--tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah dan Hanabilah menetapkan adanya ''‘iddah'' bagi perempuan yang berzina.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 630. Lihat juga pada Abdul Wahhab, ''Hasyiyah al-Muqni’''. Juz III hlm. 286.</ref> | ||
Agaknya, jika ''‘iddah'' dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber''’iddah''. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ''‘iddah'' tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ''‘iddah''. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ''‘iddah''. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ''‘iddah'' merupakan ijtihad ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar. | Agaknya, jika ''‘iddah'' dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber''’iddah''. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ''‘iddah'' tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ''‘iddah''. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ''‘iddah''. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ''‘iddah'' merupakan [[ijtihad]] ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar. | ||
Baris 148: | Baris 147: | ||
Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan ''ihdâd'' dengan cara menjauhi hal-hal berikut: [1] memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab Syafi’i; [2] memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih; [3] memakai pakaian yang berbau wangi; [4] memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak, misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk mempercantik diri; [5] memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa perempuan yang sedang melakukan ''ihdâd'' tidak boleh melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi; [6] meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian maupun tidak mengandung wewangian; [7] memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap tidak dibenarkan; [8] mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i dan Ahmad ibn Hanbal.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 662. Bandingkan dengan Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 293. Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 134-136. Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107. Hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan-larangan yang mesti dijauhi oleh perempuan yang menjalani ''ihdâd'' dapat diketemukan dalam al-Syawkaniy, ''Nayl al-Awthâr'', (Mesir: Dar al-Kutub, 1993), Juz VI hlm. 296</ref> | Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan ''ihdâd'' dengan cara menjauhi hal-hal berikut: [1] memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab Syafi’i; [2] memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih; [3] memakai pakaian yang berbau wangi; [4] memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak, misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk mempercantik diri; [5] memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa perempuan yang sedang melakukan ''ihdâd'' tidak boleh melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi; [6] meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian maupun tidak mengandung wewangian; [7] memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap tidak dibenarkan; [8] mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i dan Ahmad ibn Hanbal.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 662. Bandingkan dengan Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 293. Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 134-136. Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107. Hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan-larangan yang mesti dijauhi oleh perempuan yang menjalani ''ihdâd'' dapat diketemukan dalam al-Syawkaniy, ''Nayl al-Awthâr'', (Mesir: Dar al-Kutub, 1993), Juz VI hlm. 296</ref> | ||
Di samping itu, larangan lain dalam ''ihdâd'' adalah larangan untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah. Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT pada Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 tersebut di atas. | Di samping itu, larangan lain dalam ''ihdâd'' adalah larangan untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari [[nafkah]]. Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT pada Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 tersebut di atas. | ||
Adanya perbedaan pendapat ulama mengenai tata cara melakukan ''ihdâd'' di atas, seperti tentang jenis dan warna pakaian yang boleh dipakai perempuan berkabung, disebabkan karena adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang dapat dianggap mempercantik diri dan menjadi daya tarik perempuan. Hadits-hadits yang ada hanya menyebutkan hal-hal yang dipandang dapat mempercantik diri pada masa Rasulullah SAW. Sesungguhnya, hal ini berkaitan erat dengan penilaian dan adat istiadat (''‘uruf'') yang berkembang pada setiap masyarakat. | Adanya perbedaan pendapat ulama mengenai tata cara melakukan ''ihdâd'' di atas, seperti tentang jenis dan warna pakaian yang boleh dipakai perempuan berkabung, disebabkan karena adanya perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang dapat dianggap mempercantik diri dan menjadi daya tarik perempuan. Hadits-hadits yang ada hanya menyebutkan hal-hal yang dipandang dapat mempercantik diri pada masa Rasulullah SAW. Sesungguhnya, hal ini berkaitan erat dengan penilaian dan adat istiadat (''‘uruf'') yang berkembang pada setiap masyarakat. | ||
Baris 221: | Baris 220: | ||
== Referensi == | == Referensi == | ||
<references /> | |||
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]] |