Pernikahan untuk Kesejahteraan Rumah Tangga: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 43: Baris 43:




Menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, bisa wajib, bisa makruh dan bisa haram. Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan; bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah, yang jika tidak dilakukan ia bisa terjerumus pada perzinahan. Tetapi juga bisa haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap isteri, baik dalam hal nafkah lahir maupun batin. Menjadi sunnah jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, maka hukumnya justru menjadi makruh. (lihat: ''Fath al-Bari'', X/138-139).
Menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, bisa wajib, bisa makruh dan bisa haram. Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan; bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah, yang jika tidak dilakukan ia bisa terjerumus pada perzinahan. Tetapi juga bisa haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap isteri, baik dalam hal [[nafkah]] lahir maupun batin. Menjadi sunnah jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, maka hukumnya justru menjadi makruh. (lihat: ''Fath al-Bari'', X/138-139).




Baris 89: Baris 89:


{{DEFAULTSORT:Akad_Nikah_Sebagai_Kontrak_Kesepakatan_Membangun_Kesejahteraan_Rumah_Tangga}}
{{DEFAULTSORT:Akad_Nikah_Sebagai_Kontrak_Kesepakatan_Membangun_Kesejahteraan_Rumah_Tangga}}
[[Kategori:Hukum Keluarga]]
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]

Menu navigasi