Iddah dan Ihdad: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
6.657 bita ditambahkan ,  25 September 2021 07.13
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 21: Baris 21:
Jika ditelusuri secara etimologis, kata ''‘iddah'' berasal dari kata kerja ''‘adda ya’uddu'' yang artinya kurang lebih ''al-ihshâ`'', hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.<ref>Baca Ibnu ‘Abidin, ''Hasyiyah'' ''Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Jilid III, hlm. 502. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabiy. ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah'', Mesir: Dar al-Kutub al-Hadtsah, 1968, hlm. 357. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily. ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII, hlmm. 624.</ref> Dari sudut bahasa, kata ''‘iddah'' biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya.
Jika ditelusuri secara etimologis, kata ''‘iddah'' berasal dari kata kerja ''‘adda ya’uddu'' yang artinya kurang lebih ''al-ihshâ`'', hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.<ref>Baca Ibnu ‘Abidin, ''Hasyiyah'' ''Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Jilid III, hlm. 502. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabiy. ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah'', Mesir: Dar al-Kutub al-Hadtsah, 1968, hlm. 357. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily. ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII, hlmm. 624.</ref> Dari sudut bahasa, kata ''‘iddah'' biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya.


Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ''‘iddah'' dengan berbagai ungkapan, antara lain[11]:
Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ''‘iddah'' dengan berbagai ungkapan, antara lain<ref>Zakaria al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' Beirut: Dar al-Fikr, 103. Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Khathib,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Juz IV. Baca juga, ''Hasyiyah al-Bujairimiy ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab,'' Beirut: Dar Shadr, Tanpa Tahun, Juz IV, hlm. 76. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah'', Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. IV, tahun 1403/1983, hlm. 277</ref>:




Baris 32: Baris 32:
''Kedua,'' perempuan yang ber''’iddah'' bukan karena ditinggal mati oleh suaminya (''ghayr al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ''). Ketentuan masa ''‘iddah''nya adalah: [1] sampai melahirkan, bila kehamilan dinisbatkan kepada ''shâhib al-‘iddah''; [2] tiga ''qurû`'', jika ia pernah menstruasi; [3] tiga bulan (''tsalatsat asyhur''), bila belum menstruasi atau sudah putus dari periode haid (''ya`isah'').
''Kedua,'' perempuan yang ber''’iddah'' bukan karena ditinggal mati oleh suaminya (''ghayr al-mutawaffâ ‘anhâ zawjuhâ''). Ketentuan masa ''‘iddah''nya adalah: [1] sampai melahirkan, bila kehamilan dinisbatkan kepada ''shâhib al-‘iddah''; [2] tiga ''qurû`'', jika ia pernah menstruasi; [3] tiga bulan (''tsalatsat asyhur''), bila belum menstruasi atau sudah putus dari periode haid (''ya`isah'').


Selanjutnya, yang menarik untuk mendapatkan fokus perhatian cukup dalam hubungan ini adalah fungsi ''‘iddah'', yaitu membersihkan diri dari pengaruh atau akibat hubungan perempuan bersangkutan dengan suami yang menceraikannya.[12] Statemen ini mengundang beberapa pertanyaan: apakah pembersihan diri tersebut dalam arti ''barâ`ah al-rahmi''? Jika ya, apakah ia satu-satunya alasan pokok atau ada alasan lain yang menyertainya? Jika hanya berkaitan dengan ''barâ`ah al-rahmi'' semata, tentu persoalan ini dapat diselesaikan dengan kecanggihan teknologi modern sekarang. Kalau tidak sekedar itu, lalu faktor apalagi yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan?
Selanjutnya, yang menarik untuk mendapatkan fokus perhatian cukup dalam hubungan ini adalah fungsi ''‘iddah'', yaitu membersihkan diri dari pengaruh atau akibat hubungan perempuan bersangkutan dengan suami yang menceraikannya.<ref>Lihat Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 103''.'' Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Kathib'', hlm. 35. al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 358.</ref> Statemen ini mengundang beberapa pertanyaan: apakah pembersihan diri tersebut dalam arti ''barâ`ah al-rahmi''? Jika ya, apakah ia satu-satunya alasan pokok atau ada alasan lain yang menyertainya? Jika hanya berkaitan dengan ''barâ`ah al-rahmi'' semata, tentu persoalan ini dapat diselesaikan dengan kecanggihan teknologi modern sekarang. Kalau tidak sekedar itu, lalu faktor apalagi yang harus diperhatikan dan dipertimbangkan?


Dalam hal terakhir ini, definisi kelompok Syafi’iyyah tentang ''‘iddah'' layak untuk diperhatikan[13];
Dalam hal terakhir ini, definisi kelompok Syafi’iyyah tentang ''‘iddah'' layak untuk diperhatikan<ref>Abdurrahman al-Jaziri, ''Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah'', Tanpa Tahun'','' hlm. 517. Bandingkan dengan Ibnu Qudamah al-Maqdisiy, ''al-Syarh al-Shaghir'': Juz II, hlm. 671. ''al-Qawanin al-Fiqhiyyah'', hlm. 235. Al-Syarbiniy, ''Mughniy al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’aniy Alfadl al-Minhaj'', Mesir: Dar al-Fikr, 1996, Juz III hlm. 384</ref>;




Baris 40: Baris 40:




Definisi tersebut mengisyaratkan ada tiga fungsi ''‘iddah'', yaitu ''barâ`ah al-rahim'' (membersihkan rahim), ''ta’abbud'' (pengabdian diri kepada Tuhan), dan bela sungkawa atas kematian suami (''tafajju’''). Sejalan dengan ini, Hanafiyah mengajukan sebuah definisi, sebagai berikut;[14]
Definisi tersebut mengisyaratkan ada tiga fungsi ''‘iddah'', yaitu ''barâ`ah al-rahim'' (membersihkan rahim), ''ta’abbud'' (pengabdian diri kepada Tuhan), dan bela sungkawa atas kematian suami (''tafajju’''). Sejalan dengan ini, Hanafiyah mengajukan sebuah definisi, sebagai berikut;<ref>Abdurrahman al-Jaziri, ''Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah.'' hlm. 513. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', hlm. 624. Baca juga al-Timirtasyi, ''al-Durr al-Mukhtar: Syarah Tanwir al-Abshar'', Mesir: Bolaqiyah, 1252 H., Juz II, hlm. 823</ref>
 




Baris 46: Baris 47:




Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas, dapat ditarik satu benang merah bahwa tidak mudah juga mematrik pengertian ''‘iddah'' dalam suatu ungkapan. Di samping itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat, dan fungsi ''‘iddah''. Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber''’iddah'' hanya dikenakan kepada perempuan tidak pada laki-laki.[15]
Berdasarkan uraian di atas, secara ringkas, dapat ditarik satu benang merah bahwa tidak mudah juga mematrik pengertian ''‘iddah'' dalam suatu ungkapan. Di samping itu, tampak pula bahwa terdapat beberapa sebab, akibat, dan fungsi ''‘iddah''. Akan tetapi, yang jelas kewajiban ber''’iddah'' hanya dikenakan kepada perempuan tidak pada laki-laki.<ref>Wahbah al-Zuhaily, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 626</ref>


Kecuali itu, para ulama sepakat bahwa perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalani ''‘iddah''. Konsensus ini didasarkan kepada al-Qur`an, al-Hadits, dan al-Ijma’.[16]
Kecuali itu, para ulama sepakat bahwa perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati, diwajibkan menjalani ''‘iddah''. Konsensus ini didasarkan kepada al-Qur`an, al-Hadits, dan al-Ijma’.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 625</ref>


''Pertama,'' dasar al-Qur`an menyebutkan; “Perempuan''-''perempuan ''yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`''” (al-Baqarah:228); “''Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah perempuan itu ber’iddah empat bulan sepuluh hari''” (al-Baqarah:234); “''Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid (menopause) di antara isteri-isterimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka addallah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil aktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya''” (al-Thalaq:4); dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan ''‘iddah'' ini.
''Pertama,'' dasar al-Qur`an menyebutkan; “Perempuan''-''perempuan ''yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru`''” (al-Baqarah:228); “''Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri, hendaklah perempuan itu ber’iddah empat bulan sepuluh hari''” (al-Baqarah:234); “''Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid (menopause) di antara isteri-isterimu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya), maka ‘iddah mereka addallah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang sudah haid. Sedangkan perempuan-perempuan yang hamil aktu ‘iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya''” (al-Thalaq:4); dan beberapa ayat lain yang berkaitan dengan ''‘iddah'' ini.
Baris 54: Baris 55:
''Kedua'', dasar hukum ''‘iddah'' dalam al-Hadits. Rasulullah SAW bersabda “''Tidak dihalalkan bagi seorang'' perempuan ''yang beriman kepada Allah dan hari kiamat melakukan ihdâd, kecuali bagi suaminya (yang wafat), yaitu selama empat bulan sepuluh hari'' (HR. al-Bukhari dan Muslim); Rasulullah kepada Fatimah ibn Qays “''Ber’iddahlah (jalanilah ‘iddah) kamu di rumah Ummi Maktum'' (HR. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Nasa’i dan Abu Dawud).
''Kedua'', dasar hukum ''‘iddah'' dalam al-Hadits. Rasulullah SAW bersabda “''Tidak dihalalkan bagi seorang'' perempuan ''yang beriman kepada Allah dan hari kiamat melakukan ihdâd, kecuali bagi suaminya (yang wafat), yaitu selama empat bulan sepuluh hari'' (HR. al-Bukhari dan Muslim); Rasulullah kepada Fatimah ibn Qays “''Ber’iddahlah (jalanilah ‘iddah) kamu di rumah Ummi Maktum'' (HR. Muslim, Ahmad ibn Hanbal, al-Nasa’i dan Abu Dawud).


''Ketiga'', dalil ''‘iddah'' yang dilandaskan kepada ijma’. Berdasarkan ayat dan hadits di atas, ulama fikih sepakat (''ijmâ’'') bahwa perempuan muslimah yang telah bercerai dengan suaminya wajib menjalani masa ''‘iddah''.[17]
''Ketiga'', dalil ''‘iddah'' yang dilandaskan kepada ijma’. Berdasarkan ayat dan hadits di atas, ulama fikih sepakat (''ijmâ’'') bahwa perempuan muslimah yang telah bercerai dengan suaminya wajib menjalani masa ''‘iddah''.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 626. Lihat juga al-Bujairimiy, ''Hasyiyah al-Bujairimiy ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 76.</ref>


Dengan memperhatikan secara seksama ayat-ayat dan hadits tersebut, dapatlah ditarik satu konklusi bahwa ''‘iddah'' timbul sebagai akibat perceraian karena kematian dan talak. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang perceraian yang terjadi setelah ''wathi`'' syubhat, pernikahan ''fâsid'', dan zina. Golongan al-Dzahiri, misalnya, tidak mewajibkan ''‘iddah'' bagi perempuan yang dicerai secara ''fâsid'', walaupun sudah terjadi ''dukhûl,'' sebab tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Sedangkan golongan lainnya mewajibkan ''‘iddah'' bagi perempuan semacam itu. Bagi kelompok kedua ini, ''wathi` syubhat'' dan ''wathi`'' yang dilakukan dalam nikah yang ''fâsid'' adalah sama saja dengan ''wathi`'' dalam pernikahan yang sah dalam pokok soal; melihat kondisi rahim dan kandungannya dinisbatkan kepada lelaki yang menyetubuhinya.
Dengan memperhatikan secara seksama ayat-ayat dan hadits tersebut, dapatlah ditarik satu konklusi bahwa ''‘iddah'' timbul sebagai akibat perceraian karena kematian dan talak. Oleh karena itu, para ulama berbeda pendapat tentang perceraian yang terjadi setelah ''wathi`'' syubhat, pernikahan ''fâsid'', dan zina. Golongan al-Dzahiri, misalnya, tidak mewajibkan ''‘iddah'' bagi perempuan yang dicerai secara ''fâsid'', walaupun sudah terjadi ''dukhûl,'' sebab tidak ada dalilnya baik dalam al-Qur`an maupun al-Sunnah. Sedangkan golongan lainnya mewajibkan ''‘iddah'' bagi perempuan semacam itu. Bagi kelompok kedua ini, ''wathi` syubhat'' dan ''wathi`'' yang dilakukan dalam nikah yang ''fâsid'' adalah sama saja dengan ''wathi`'' dalam pernikahan yang sah dalam pokok soal; melihat kondisi rahim dan kandungannya dinisbatkan kepada lelaki yang menyetubuhinya.


Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan al-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber''’iddah'', dengan alasan bahwa kegunaan ''‘iddah'' adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka--tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah dan Hanabilah menetapkan adanya ''‘iddah'' bagi perempuan yang berzina.[18]
Namun, di kalangan ini pun terdapat perbedaan pendapat tentang perempuan yang berzina. Golongan Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan al-Tsauri menyatakan bahwa perempuan yang berzina tidak wajib ber''’iddah'', dengan alasan bahwa kegunaan ''‘iddah'' adalah untuk memelihara keturunan, sedangkan zina--dalam pandangan mereka--tidak menimbulkan hubungan nasab. Pendapat ini juga dianut oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan Umar bin al-Khattab. Sementara itu, Malikiyyah dan Hanabilah menetapkan adanya ''‘iddah'' bagi perempuan yang berzina.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 630. Lihat juga pada Abdul Wahhab, ''Hasyiyah al-Muqni’''. Juz III hlm. 286.</ref>


Agaknya, jika ''‘iddah'' dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber''’iddah''. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ''‘iddah'' tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ''‘iddah''. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ''‘iddah''. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ''‘iddah'' merupakan ijtihad ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar.
Agaknya, jika ''‘iddah'' dimaksudkan untuk untuk membersihkan rahim, dan ia merupakan satu-satunya cara untuk itu, maka perempuan yang dizinai semestinya harus ber''’iddah''. Kekacauan nasab akan semakin bertambah bila dalam hal ini ''‘iddah'' tidak diberlakukan. Namun, bila ada alat pembuktian yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa rahim perempuan tersebut bersih dari bibit yang akan tumbuh, maka dalam kasus ini alat tersebut dapat dimanfaatkan dan perempuan tersebut boleh tidak menjalani masa ''‘iddah''. Dengan kata lain, perempuan yang berzina tidak dapat bebas begitu saja untuk kawin dengan orang lain, tetapi ia juga tidak mutlak menunggu dalam suatu tenggang waktu tertentu sebagai masa ''‘iddah''. Dengan demikian, dalam kasus-kasus yang tidak secara tegas dikemukakan oleh al-Qur`an atau al-Sunnah, penetapan ''‘iddah'' merupakan ijtihad ulama. Oleh karena itu, peluang untuk terjadinya perbedaan pendapat cukup besar.
Baris 64: Baris 65:


=== Beberapa Ketentuan ''‘Iddah'' ===
=== Beberapa Ketentuan ''‘Iddah'' ===
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, masa ''‘iddah'' tidak selalu sama pada setiap perempuan. Al-Qur`an memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan bahwa masa ''‘iddah'' ditetapkan berdasarkan keadaan perempuan sewaktu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan atas proses perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Dari sini, dikenal tiga macam ''‘iddah''. Masing-masing adalah ''‘iddah bi al-aqra`, ‘iddah al-asyhur, ‘iddah bi wadl’i al-hamli''.[19] Uraian berikut dikemukakan berdasarkan atas perbedaan-perbedaan ini.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, masa ''‘iddah'' tidak selalu sama pada setiap perempuan. Al-Qur`an memberikan petunjuk dalam berbagai ungkapan yang menegaskan bahwa masa ''‘iddah'' ditetapkan berdasarkan keadaan perempuan sewaktu dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya dan juga berdasarkan atas proses perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup. Dari sini, dikenal tiga macam ''‘iddah''. Masing-masing adalah ''‘iddah bi al-aqra`, ‘iddah al-asyhur, ‘iddah bi wadl’i al-hamli''.<ref>Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 359.</ref> Uraian berikut dikemukakan berdasarkan atas perbedaan-perbedaan ini.


==== 1. Kondisi Perempuan Sebagai Sudut Pandang ====
==== 1. Kondisi Perempuan Sebagai Sudut Pandang ====
Baris 70: Baris 71:


===== a''. Qabl al-dukhûl'' atau ''ba’da al-dukhûl'' =====
===== a''. Qabl al-dukhûl'' atau ''ba’da al-dukhûl'' =====
Tinjauan pertama yang ada dalam paradigma al-Qur`an adalah apakah istri itu sudah digauli (''madzkhûl biha'') atau belum (''ghair madzkhûl biha''). Bagi istri yang ditalak--atau bercerai dengan suaminya--belum pernah terjadi ''wathi`'' (senggama), tidak ada ''‘iddah'' baginya. Artinya, istri tersebut setelah putus perkawinan bisa segera langsung mengadakan kontak nikah dengan laki-laki lain.[20]
Tinjauan pertama yang ada dalam paradigma al-Qur`an adalah apakah istri itu sudah digauli (''madzkhûl biha'') atau belum (''ghair madzkhûl biha''). Bagi istri yang ditalak--atau bercerai dengan suaminya--belum pernah terjadi ''wathi`'' (senggama), tidak ada ''‘iddah'' baginya. Artinya, istri tersebut setelah putus perkawinan bisa segera langsung mengadakan kontak nikah dengan laki-laki lain.<ref>Ibnu Qudamah, ''al-Muqni’ fiy Fiqh Imam al-Sunnah Ahamd ibn Hanbal al-Syaibaniy'', Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Haditsah, 1980, Juz III hlm. 268. Bandingkan dengan al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Juz XIII, hlm. 202. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthiy, ''al-Durr al-Mantsur fiy al-Tafsir al-Ma`tsur'', Beirut: Dar al-Fikr, 1988, Juz VI, hlm. 625; Baca juga Abi Ishaq al-Syairazi, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’i'', (Semarang: Thaha Putera), Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 142.</ref>


Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan: ''“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka kesenangan (mut’ah) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya'' (al-Ahzab; ''49'')''.''
Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan: ''“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka kesenangan (mut’ah) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik-baiknya'' (al-Ahzab; ''49'')''.''


Mayoritas ulama memahami ungkapan ‘''an tamassû'' dalam ayat di atas dengan makna ''al-dukhûl''[21]. Mereka sepakat bahwa ungkapan ''qabla ‘an tamassûhunna'' berarti ''qabla an tadzkhûlu biha.'' Bagi mereka, ayat ini cukup memberikan dugaan kuat bahwa perempuan yang ''ghayr al-madkhûl bihâ'' tidak perlu menjalani masa ''‘iddah''.[22] Dengan demikian, perempuan tersebut dibolehkan melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain selepas dari perceraian itu. Dan, sebaliknya, istri yang sudah digauli, baginya berlaku ketentuan iddah.
Mayoritas ulama memahami ungkapan ‘''an tamassû'' dalam ayat di atas dengan makna ''al-dukhûl''<ref>Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II Dar al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hlm. 66</ref>. Mereka sepakat bahwa ungkapan ''qabla ‘an tamassûhunna'' berarti ''qabla an tadzkhûlu biha.'' Bagi mereka, ayat ini cukup memberikan dugaan kuat bahwa perempuan yang ''ghayr al-madkhûl bihâ'' tidak perlu menjalani masa ''‘iddah''.<ref>Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II, hlm. 278</ref> Dengan demikian, perempuan tersebut dibolehkan melakukan akad perkawinan dengan laki-laki lain selepas dari perceraian itu. Dan, sebaliknya, istri yang sudah digauli, baginya berlaku ketentuan iddah.


Secara sepintas terlihat bahwa persoalan ''‘iddah'' dengan segala bentuk dan macamnya hanya dipautkan dengan perempuan ''al-madkhûl bihâ''. Jika diamati secara jeli, dalam kondisi tertentu, persoalan ''dukhûl'' tampaknya tidak mutlak menjadi patokan.
Secara sepintas terlihat bahwa persoalan ''‘iddah'' dengan segala bentuk dan macamnya hanya dipautkan dengan perempuan ''al-madkhûl bihâ''. Jika diamati secara jeli, dalam kondisi tertentu, persoalan ''dukhûl'' tampaknya tidak mutlak menjadi patokan.


Dari beberapa perbincangan para ulama tentang ''‘iddah'', setidaknya satu terma yang sering mereka gunakan, yaitu ''khalwat''. Menurut jumhur ulama, ''khalwat'' yang belum tentu terjadi ''dukhûl'', sudah mengharuskan adanya ''‘iddah''. Pendapat jumhur ini didasarkan pada Hadits riwayat Ahmad dan Atsram dari Zurarah ibn Awfa bahwa ''al-Khulafâ` al-Râsyidûn'' pernah memutuskan suatu kasus: “seseorang yang menutup pintu kemudian menurunkan tabir, maka bagi yang laki-laki berwajiban membayar ''mahr'' dan bagi yang perempuan berkewajiban untuk ber''’iddah''”. Berbeda dengan jumhur, Malikiyyah mewajibkan adanya ''‘iddah'' jika terjadi ''khalwat.'' Sebab, menurutnya, di dalam ''khalwat'' diduga keras terjadi persetubuhan (''wiqâ’''). Namun, menurut ''qawl jadîd'', ''khalwat'' yang tidak sampai kepada terjadinya persetubuhan (''al-khalwat al-mujarradah ‘an al-wath`i''), tidak mewajibkan adanya ''‘iddah''.[23]
Dari beberapa perbincangan para ulama tentang ''‘iddah'', setidaknya satu terma yang sering mereka gunakan, yaitu ''khalwat''. Menurut jumhur ulama, ''khalwat'' yang belum tentu terjadi ''dukhûl'', sudah mengharuskan adanya ''‘iddah''. Pendapat jumhur ini didasarkan pada Hadits riwayat Ahmad dan Atsram dari Zurarah ibn Awfa bahwa ''al-Khulafâ` al-Râsyidûn'' pernah memutuskan suatu kasus: “seseorang yang menutup pintu kemudian menurunkan tabir, maka bagi yang laki-laki berwajiban membayar ''mahr'' dan bagi yang perempuan berkewajiban untuk ber''’iddah''”. Berbeda dengan jumhur, Malikiyyah mewajibkan adanya ''‘iddah'' jika terjadi ''khalwat.'' Sebab, menurutnya, di dalam ''khalwat'' diduga keras terjadi persetubuhan (''wiqâ’''). Namun, menurut ''qawl jadîd'', ''khalwat'' yang tidak sampai kepada terjadinya persetubuhan (''al-khalwat al-mujarradah ‘an al-wath`i''), tidak mewajibkan adanya ''‘iddah''.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 628-629.</ref>


Yang harus dipersoalkan adalah, apakah ungkapan ''qabla ‘an tamassûhunna'' memang hanya berarti ''dukhûl'' dalam arti sebenarnya, yaitu hubungan biologis antara dua insan berlainan jenis, atau bermakna lainnya. Setidaknya, hal ini merupakan suatu persoalan yang perlu direnungkan oleh para ''ushuli''. Sebab, kalau ''‘iddah'' juga berkaitan dengan masalah psikologis, di samping rahim, maka sepantasnyalah seorang perempuan yang sudah menjalin hubungan batin dan kasih sayang dengan seorang pria tidak merasa langsung bebas dari suami yang karena sesuatu hal mungkin belum sempat menggaulinya. Terdesak oleh keadaan, mereka harus berpisah. Sudah pasti, ikatan psikologis di antara mereka tidak mungkin lindap begitu saja. Berdasarkan analisis ini, agaknya kata ''al-mass'' dalam ayat di atas juga meliputi makna lain, di samping makna ''dukhûl'' ''haqîqî''.
Yang harus dipersoalkan adalah, apakah ungkapan ''qabla ‘an tamassûhunna'' memang hanya berarti ''dukhûl'' dalam arti sebenarnya, yaitu hubungan biologis antara dua insan berlainan jenis, atau bermakna lainnya. Setidaknya, hal ini merupakan suatu persoalan yang perlu direnungkan oleh para ''ushuli''. Sebab, kalau ''‘iddah'' juga berkaitan dengan masalah psikologis, di samping rahim, maka sepantasnyalah seorang perempuan yang sudah menjalin hubungan batin dan kasih sayang dengan seorang pria tidak merasa langsung bebas dari suami yang karena sesuatu hal mungkin belum sempat menggaulinya. Terdesak oleh keadaan, mereka harus berpisah. Sudah pasti, ikatan psikologis di antara mereka tidak mungkin lindap begitu saja. Berdasarkan analisis ini, agaknya kata ''al-mass'' dalam ayat di atas juga meliputi makna lain, di samping makna ''dukhûl'' ''haqîqî''.


Asumsi di atas dapat dicarikan rasionalitasnya, jika dilihat dalam ketentuan lain. Misalnya, dalam syari’at ditegaskan bahwa jika istri yang belum pernah disetubuhi ditinggal mati suaminya, maka ia harus ber''’iddah'' seperti ''‘iddah''nya orang yang sudah disetubuhi. Allah SWT. berfirman dalam surat ''al-Baqarah'': 234. (...''Dan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sedangkan mereka meninggalkan istri, maka hendaklah mereka (istri-istri) menahan diri selama empat bulan sepuluh hari'').[24] Ayat ini termasuk ''lafadz'' yang mutlak; mencakup istri yang sudah di''dukhûl'' dan belum di''dukhûl'', masih kecil dan dewasa, bahkan istri yang sudah menopause. Menurut Wahbah al-Zuhaily, kewajiban ber''’iddah'' bagi istri atas kematian suaminya, sekalipun belum pernah disetubuhi, adalah untuk menyempurnakan dan menghargai hak suami yang meninggal dunia.[25]
Asumsi di atas dapat dicarikan rasionalitasnya, jika dilihat dalam ketentuan lain. Misalnya, dalam syari’at ditegaskan bahwa jika istri yang belum pernah disetubuhi ditinggal mati suaminya, maka ia harus ber''’iddah'' seperti ''‘iddah''nya orang yang sudah disetubuhi. Allah SWT. berfirman dalam surat ''al-Baqarah'': 234. (...''Dan orang-orang yang telah meninggal di antara kamu sedangkan mereka meninggalkan istri, maka hendaklah mereka (istri-istri) menahan diri selama empat bulan sepuluh hari'').<ref>Hikmah batas waktu itu ialah karena dalam masa inilah sempurnanya janin dari peniupan roh sesudah 120 hari. Menurut jumhur ulama, ''mu’taddah'' tersebut tidak boleh (''la'' yahill) nikah dengan laki-laki lain, kecuali sudah masuk hari yang kesebelasnya.</ref> Ayat ini termasuk ''lafadz'' yang mutlak; mencakup istri yang sudah di''dukhûl'' dan belum di''dukhûl'', masih kecil dan dewasa, bahkan istri yang sudah menopause. Menurut Wahbah al-Zuhaily, kewajiban ber''’iddah'' bagi istri atas kematian suaminya, sekalipun belum pernah disetubuhi, adalah untuk menyempurnakan dan menghargai hak suami yang meninggal dunia.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 628</ref>




===== b''.'' Dalam Keadaan ''Hayd'' atau Suci =====
===== b''.'' Dalam Keadaan ''Hayd'' atau Suci =====
Dengan tegas, al-Qur`an menyatakan bahwa perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan haid, ia dapat menjadikan masa-masa haid sebagai patokan waktu. Sedangkan ''‘iddah''nya adalah tiga ''qurû`''[26]. Ketentuan ini berdasar kepada firman Allah SWT Surat ''al-Baqarah'' ayat 228: “''Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menunggu itu, jika mereka menghendaki rekonsiliasi (ishlah). Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.''”
Dengan tegas, al-Qur`an menyatakan bahwa perempuan yang dicerai suaminya dalam keadaan haid, ia dapat menjadikan masa-masa haid sebagai patokan waktu. Sedangkan ''‘iddah''nya adalah tiga ''qurû''<ref>Sebagian ulama memahami arti ''qurû`'' dengan masa suci. Di antara mereka adalah Malik, Syafi’i, jumhur penduduk Madinah, Abu Tsaur, dan Jama’ah. Di kalangan sahabat pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar, Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa ''qurû`'' berarti haid. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, al-Tsawry, al-Awza’i, Ibnu Abi Layla dan lainnya. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dianut oleh Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari. Di samping itu, ada pula yang memahami ''qurû`'' dalam pengertian perpindahan dari masa suci ke masa haid. Menurut Ali Hasballah, pendapat ini juga dianut oleh Syafi’i, Malik, dan Dzahiriyyah. Baca Ibnu Rusyd, ''Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid,'' Juz II'','' hlm. 67 dan juga Ali Hasballah. 1968. ''Al-Furqah baina al-Zawjayn wa mâ Yata’allaqu bihâ min al-’iddah wa al-Nasab'', (Mesir: Dar al-Fikr,) hlm. 188.</ref>. Ketentuan ini berdasar kepada firman Allah SWT Surat ''al-Baqarah'' ayat 228: “''Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali qurû`. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menunggu itu, jika mereka menghendaki rekonsiliasi (ishlah). Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.''”
 
Selanjutnya, bagi perempuan yang tidak haid, baik karena masih kecil (belum ''baligh'') maupun akibat sudah menopause<ref>Para ulama berbeda pendapat tentang batas umur terjadinya menopause (putus haid). Sebagian berkata 50 tahun dan sebagian yang lain 60 tahun. Dan memang antara perempuan yang satu dengan yang lain berlainan. Ibnu Taymiyyah menyatakan bahwa umur putus haid itu berbeda antara seorang perempuan dengan perempuan yang lain. Tidak ada batas umur yang disepakati oleh perempuan. Baca Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' hlm. 147. Bandingkan dengan Zakaria al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 104. Lebih lanjut al-Fakhr al-Raziy menegaskan, jika seorang perempuan ragu apakah ia sudah sampai kepada masa menopause atau tidak, maka ia dapat menentukan antara usia 60 tahun dan 55 tahun, sehingga darah yang keluar dari vaginanya dapat ditentukan sebagai darah haid atau istihadlah. Lihat al-Fakhr al-Rziy, ''Tafsîr al-Fakhr al-Râziy'', Beirut: Dar al-Fikr, 1985, Juz 29, hlm. 35.</ref>, masa ''‘iddah''nya adalah tiga bulan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “''Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddahnya maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid'' (al-Thalaq: 4).


Selanjutnya, bagi perempuan yang tidak haid, baik karena masih kecil (belum ''baligh'') maupun akibat sudah menopause[27], masa ''‘iddah''nya adalah tiga bulan. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah SWT: “''Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu tentang masa ‘iddahnya maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu pula perempuan-perempuan yang tidak haid'' (al-Thalaq: 4).
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya ''‘iddah'' dihitung dengan ''qurû`''. Akan tetapi, bagi perempuan yang belum baligh (''lam yahidlna'') dan yang sudah memasuki masa menopause (''al-ya`isat''), perhitungan ''qurû`'' tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh karena itu, al-Qur`an memberikan petunjuk agar perhitungan dilakukan dengan menghitung hari, yaitu tiga bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tiga ''quru`'' itu sama dengan tiga bulan.<ref>Fatima Mernissi, seorang pemikir Muslim dari Maroko, menyatakan bahwa masa ‘i''ddah'' merupakan hukuman paling keras bagi semua wanita yang baru diceraikan, terutama bagi wanita yang telah memasuki usia menopause yang memiliki banyak kekurangan karena telah berusia menengah, dalam tatanan masyarakat di mana usia muda sangat digemari. Lihat Fatima Mernissi, ''Beyond the Veil: Seks dan Kekuasaan,'' Surabaya: al-Fikr, 1997, hlm. 135.</ref>


Ayat di atas mengisyaratkan bahwa pada dasarnya ''‘iddah'' dihitung dengan ''qurû`''. Akan tetapi, bagi perempuan yang belum baligh (''lam yahidlna'') dan yang sudah memasuki masa menopause (''al-ya`isat''), perhitungan ''qurû`'' tidak mungkin lagi dilakukan. Oleh karena itu, al-Qur`an memberikan petunjuk agar perhitungan dilakukan dengan menghitung hari, yaitu tiga bulan. Hal ini menunjukkan bahwa tiga ''quru`'' itu sama dengan tiga bulan.[28]


===== c''.'' Dalam Keadaan Hamil atau Tidak Hamil =====
===== c''.'' Dalam Keadaan Hamil atau Tidak Hamil =====
Pokok soal ketiga yang dapat dijadikan standar penetapan ''‘iddah'' bagi seorang istri adalah apakah ia hamil atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan jika perceraian terjadi sewaktu perempuan berada dalam keadaan hamil, maka ''‘iddah''nya sampai melahirkan anaknya. Ketentuan ini secara ''nashshy'' (tekstual) ditunjukkan al-Qur`an dalam ayat 4 Surat al-Thalaq: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan”''.''[29]
Pokok soal ketiga yang dapat dijadikan standar penetapan ''‘iddah'' bagi seorang istri adalah apakah ia hamil atau tidak. Dalam hal ini, al-Qur`an mengatakan jika perceraian terjadi sewaktu perempuan berada dalam keadaan hamil, maka ''‘iddah''nya sampai melahirkan anaknya. Ketentuan ini secara ''nashshy'' (tekstual) ditunjukkan al-Qur`an dalam ayat 4 Surat al-Thalaq: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu ‘iddahnya adalah sampai mereka melahirkan”''.''<ref>Ayat ini menunjukkan bahwa sekiranya ia hamil dengan anak kembar, maka ''‘iddah''nya belum habis sebelum anak kembarnya lehir semua. Begitu juga, perempuan yang keguguran ''‘iddah''nya adalah sesudah melahirkan pula. Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II hlm. 148. Berkaitan dengan ''iddah'' hamil ini dapat dibaca pada, Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah,'' hlm. 378-379.</ref>


Ketetapan ''‘iddah'' bagi perempuan dalam keadaan ini begitu tegas dan jelas. Ketentuan ini tidak memandang jumlah hari. Mungkin saja ''‘iddah'' perempuan seperti ini berlangsung selama 9 bulan atau lebih. Akan tetapi, juga mungkin hanya sesaat karena begitu ia dicerai oleh suaminya lantas ia melahirkan.
Ketetapan ''‘iddah'' bagi perempuan dalam keadaan ini begitu tegas dan jelas. Ketentuan ini tidak memandang jumlah hari. Mungkin saja ''‘iddah'' perempuan seperti ini berlangsung selama 9 bulan atau lebih. Akan tetapi, juga mungkin hanya sesaat karena begitu ia dicerai oleh suaminya lantas ia melahirkan.
Baris 103: Baris 106:
Firman Allah pada ayat 234 Surat ''al-Baqarah'', seperti dikemukakan sebelumnya, mengatakan bahwa masa ‘''iddah'' perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Ini berarti bahwa ''‘iddah'' perempuan yang cerai karena ditalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga ''qurû`'' bagi mereka yang berada dalam masa haid, dan tiga bulan bagi mereka yang belum ''baligh'' atau sudah menopause.
Firman Allah pada ayat 234 Surat ''al-Baqarah'', seperti dikemukakan sebelumnya, mengatakan bahwa masa ‘''iddah'' perempuan yang ditinggal mati suaminya adalah 4 bulan 10 hari. Ini berarti bahwa ''‘iddah'' perempuan yang cerai karena ditalak suaminya (cerai hidup) lebih pendek dari cerai mati, yaitu tiga ''qurû`'' bagi mereka yang berada dalam masa haid, dan tiga bulan bagi mereka yang belum ''baligh'' atau sudah menopause.


Tidak jelas, mengapa al-Qur`an tidak menyebutkan alasan tentang lebih panjangnya masa ''‘iddah'' perempuan akibat kematian suaminya daripada ditalak.[30] Akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai masa berkabung bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Seandainya dikaitkan dengan ''barâ`ah al-rahim'' tentu ''‘iddah''nya akan sama dengan perempuan yang dicerai dalam kondisi yang masih memungkinkan hamil, yaitu tiga ''qurû`''. Demikian pula, ''‘iddah'' dalam keadaan ini bukanlah masa untuk berfikir bagi kemungkinan terjadinya ''ruju’'' antara suami dan istri.
Tidak jelas, mengapa al-Qur`an tidak menyebutkan alasan tentang lebih panjangnya masa ''‘iddah'' perempuan akibat kematian suaminya daripada ditalak.<ref>Dalam perspektif ''ushul al-fiqh'', ''nash'' yang dinyatakan dalam bentuk angka adalah ''qath’iyyat,'' yang tidak bisa diambil ''mafhum mukhalafah''nya. ''Dus'', batasan hari ini (atau bulan) praktis tidak bisa diturunkan dan dinaikkan. Ia tidak bisa ditelusuri ''illat'' hukumnya. ''Mujtahid'' hanya mampu menangkap hikmahnya. Berkaitan dengan konsep hikmah ini, Waliyullah al-Dihlawiy mengajukan dua bentuk hikmah dalam penetapan empat bulan sepuluh hari ini. ''Pertama'', karena ditiupkannya ruh ke dalam janin tidak kurang dari 4 bulan. Ditambahkan 10 hari, karena padamasa itulah mulai munculnya gerakan-gerakan pada janin. ''Kedua'', masa 4 bulan 10 hari adalah separuh dari masa kehamilan. Dalam masa ini, kehamilan perempuan sudah mulai tampak dengan jelas. Baca Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', hlm. 379.</ref> Akan tetapi, para ulama memahaminya sebagai masa berkabung bagi perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya. Seandainya dikaitkan dengan ''barâ`ah al-rahim'' tentu ''‘iddah''nya akan sama dengan perempuan yang dicerai dalam kondisi yang masih memungkinkan hamil, yaitu tiga ''qurû`''. Demikian pula, ''‘iddah'' dalam keadaan ini bukanlah masa untuk berfikir bagi kemungkinan terjadinya ''ruju’'' antara suami dan istri.


Kalau keadaannya memang demikian, maka sesungguhnya ''‘iddah'' juga berhubungan dengan masalah etika gender [''gender ethics'']. Yang dimaksud bahwa dengan iddah seorang perempuan harus merasakan duka dengan kematian mendiang suaminya. Konsisten dengan landasan etis ini, para ulama menetapkan kewajiban ''hidâd'' atas perempuan.
Kalau keadaannya memang demikian, maka sesungguhnya ''‘iddah'' juga berhubungan dengan masalah etika gender [''gender ethics'']. Yang dimaksud bahwa dengan iddah seorang perempuan harus merasakan duka dengan kematian mendiang suaminya. Konsisten dengan landasan etis ini, para ulama menetapkan kewajiban ''hidâd'' atas perempuan.
Baris 210: Baris 213:


== Referensi ==
== Referensi ==
ref

Menu navigasi