Perempuan Ulama Di Atas Panggung Sejarah: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 102: Baris 102:
Sukainah bint al-Husain (w. 735 M), cicit Nabi adalah tokoh perempuan ulama terkemuka pada zamannya. Pemikirannya cemerlang, budi pekertinya indah, penyair besar, guru penyair Arab tekemuka, Jarir al-Tamimy dan Farazdaq. Ayahnya, Imam Husain bin Ali, menyebut putri tercintanya ini: “''Amma Sukainah fa Ghalibun ‘alaiha al-Istighraq ma’a Allah''” (hari-harinya sering berkontempelasi). Ia sering memberikan kuliah umum di hadapan publik laki-laki dan perempuan, termasuk para ulama, di masjid Umawi. Ia dikenal juga sebagai tokoh kebudayaan. Rumahnya dijadikan sebagai pusat aktifitas para budayawan dan para penyair.   
Sukainah bint al-Husain (w. 735 M), cicit Nabi adalah tokoh perempuan ulama terkemuka pada zamannya. Pemikirannya cemerlang, budi pekertinya indah, penyair besar, guru penyair Arab tekemuka, Jarir al-Tamimy dan Farazdaq. Ayahnya, Imam Husain bin Ali, menyebut putri tercintanya ini: “''Amma Sukainah fa Ghalibun ‘alaiha al-Istighraq ma’a Allah''” (hari-harinya sering berkontempelasi). Ia sering memberikan kuliah umum di hadapan publik laki-laki dan perempuan, termasuk para ulama, di masjid Umawi. Ia dikenal juga sebagai tokoh kebudayaan. Rumahnya dijadikan sebagai pusat aktifitas para budayawan dan para penyair.   


== '''Ulama Besar Laki-laki Murid Perempuan Ulama''' ==
=== '''Ulama Besar Laki-laki Murid Perempuan Ulama''' ===
Sejarah orang-orang besar adalah sejarah perempuan-perempuan. Mereka dilahirkan dan dididik oleh seorang perempuan. Sebagian para perempuan itu adalah ulama. Keulamaan perempuan dan peran mereka sebagai guru para ulama laki-laki telah hadir sejak awal sejarah Islam. Sebagian mereka menjadi guru para sahabat laki-laki. Antara lain:
Sejarah orang-orang besar adalah sejarah perempuan-perempuan. Mereka dilahirkan dan dididik oleh seorang perempuan. Sebagian para perempuan itu adalah ulama. Keulamaan perempuan dan peran mereka sebagai guru para ulama laki-laki telah hadir sejak awal sejarah Islam. Sebagian mereka menjadi guru para sahabat laki-laki. Antara lain:


Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai ''“A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah”'' (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam ''“Siyar A’lam al-Nubala”'' (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebutkan, murid-murid Aisyah ada 299 orang. 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid, 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)  
Aisyah bint Abu Bakar. Ia disebut sebagai ''“A’lam al-Nas wa Afqah al-Nas wa Ahsan al-Nas Ra’yan fi al-‘Ammah”'' (orang paling pandai, paling faqih dan paling baik di antara semua orang). Al-Dzahabi dalam ''“Siyar A’lam al-Nubala”'' (riwayat hidup ulama-ulama cerdas) mengatakan: “tidak kurang dari 160 sahabat laki-laki mengaji pada Siti Aisyah”. Sebagian ahli hadits lain menyebutkan, murid-murid Aisyah ada 299 orang. 67 perempuan dan 232 laki-laki. Umm Salamah binti Abi Umayyah mengajar 101 orang, 23 perempuan dan 78 laki-laki. Hafshah binti Umar: 20 murid, 3 perempuan dan 17 laki-laki. Hujaimiyah al-Washabiyyah: 22 murid laki-laki. Ramlaha bint Abi Sufyan: 21 murid, 3 perempuan dan 18 laki-laki. Fatimah binti Qais: 11 murid laki-laki. (Muhammad al-Habasy, Al-Mar’ah Baina al-Syari’ah wa al-Hayah, hlm. 16)  


Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Beberapa di antaranya adalah Sayyyidah Nafisah (w. 208 H), cicit Nabi. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman (''Nafisah al-‘Ilm''), pemberani, sekaligus ''‘abidah zahidah'' (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’I dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ''“''ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqh besar”:  
Pada periode berikutnya sejarah mencatat nama-nama perempuan ulama yang cemerlang. Beberapa di antaranya adalah Sayyyidah Nafisah (w. 208 H), cicit Nabi. Namanya dikenal sebagai perempuan cerdas, sumber pengetahuan keislaman (''Nafisah al-‘Ilm''), pemberani, sekaligus ''‘abidah zahidah'' (tekun menjalani ritual dan asketis). Sebagian orang bahkan mengkategorikannya sebagai Waliyullah perempuan dengan sejumlah keramat. Ia adalah guru Imam al-Syafi’I dan kemudian Imam ahmad bin Hanbal. Imam al-Syafi’i adalah ''“''ulama yang paling sering bersamanya dan mengaji kepadanya, padahal ia seorang ahli fiqh besar”:


اَكْثَرُ الْعُلَمآءِ جُلُوساً اِلَيْهَا وَأَخْذاً عَنْهَا فِى وَقْتِ الَّذِى بَلَغَ فِيهِ مِنَ الْاِمَامَةِ فِى الْفِقْهِ مَكَاناً عَظِيماً.  
اَكْثَرُ الْعُلَمآءِ جُلُوساً اِلَيْهَا وَأَخْذاً عَنْهَا فِى وَقْتِ الَّذِى بَلَغَ فِيهِ مِنَ الْاِمَامَةِ فِى الْفِقْهِ مَكَاناً عَظِيماً.  


 
“Ia (al-Syafi’i) adalah orang yang paling sering bersama-sama dia, mengaji kepadanya, justeru pada puncak karirnya sebagai ahli hukum terkemuka dan memiliki kedudukan terhormat”.  
 
“Ia (al-Syafi’i) adalah orang yang paling sering bersama-sama dia, mengaji kepadanya, justeru pada puncak karirnya sebagai ahli hukum terkemuka dan memiliki kedudukan terhormat”.


Bahkan disebutkan:  
Bahkan disebutkan:  
Baris 134: Baris 132:
Ada pula Khadijah bint Sahnun. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah perempuan ulama. Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “''al-Syifa''”, menulis dalam bukunya: “''Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik''”: “Khadijah bint Sahnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi social-kemanusiaan”. Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas melainkan juga kepribadian yang luhur: rendah hati, santun, pemurah dan religious. Popularitasnya sebagai perempuan ulama sangat menonjol.   Ayahnya, Sahnun, seorang hakim Mahkamah Agung, selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan.   
Ada pula Khadijah bint Sahnun. Nama lengkapnya Khadijah bint al-Imam Abd al-Salam Sahnun bin Sa’id al-Tanukhi. Lahir di Qairawan, Tunisia, tahun 160 H. Ia adalah perempuan ulama. Al-Imam al-Qadhi ‘Iyadh (w. 1149 M), penulis kitab “''al-Syifa''”, menulis dalam bukunya: “''Tartib al-Muluk wa Tartib al-Masalik fi Ma’rifah A’lam Madzhab Malik''”: “Khadijah bint Sahnun adalah perempuan ulama, cendikia, cerdas dan pribadi yang indah. Pengetahuan agamanya sangat luas, bahkan mengungguli kebanyakan ulama laki-laki. Ia memberi fatwa keagamaan dan melakukan advokasi-advokasi social-kemanusiaan”. Khadijah, bukan hanya memeroleh pengetahuan keagamaan yang luas melainkan juga kepribadian yang luhur: rendah hati, santun, pemurah dan religious. Popularitasnya sebagai perempuan ulama sangat menonjol.   Ayahnya, Sahnun, seorang hakim Mahkamah Agung, selalu meminta pertimbangan dan pendapat putrinya yang cerdas itu, sebelum ia mengetukkan palu di pengadilan.   


== '''Perempuan-perempuan termarginalkan dari panggung Sejarah''' ==
=== '''Perempuan-perempuan Termarginalkan Dari Panggung Sejarah''' ===
Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.  Sayangnya, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Perempuan-perempuan Islam tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat).  
Demikianlah beberapa saja ulama besar yang belajar dan berguru kepada para perempuan ulama.  Sayangnya, sejarah kaum muslimin sesudah itu, memasukkan kembali kaum perempuan ke dalam kerangkeng-kerangkeng rumahnya. Aktivitas intelektual dibatasi, kerja-kerja sosial-politik-kebudayaan mereka dipasung. Perempuan-perempuan Islam tenggelam dalam timbunan pergumulan sejarah. Mereka dilupakan dan dipinggirkan (al-muhammasyat) dari dialektika social-kebudayaan-politik. Sistem sosial patriarkhis kembali begitu dominan. Konon itu dilakukan atas nama kasih sayang, perlindungan dan penghormatan terhadap perempuan. Dengan kata lain, sikap dan tindakan tersebut dilakukan agar mereka tidak menjadi sumber "fitnah" (kekacauan sosial atau mengganggu ketertiban masyarakat).  


Baris 141: Baris 139:
Pandangan ini muncul menyusul kehancuran peradaban kaum muslimin akibat serbuan tentara Mongol ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tahun 1256 M. Kehancuran di wilayah kekuasan Islam ini diikuti oleh kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M.  Akan tetapi sejumlah peneliti berpendapat bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahun secara khusus, sesungguhnya lebih disebabkan oleh kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir serta hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan. Proses sejarah peradaban berlangsung stagnan, beku. Yang terjadi adalah pengulang-ulangan yang terus menerus, dan peniruan. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Marjinalisasi dan subordinasi menjadi massif dan terstruktur. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, sekitar 6 abad.  
Pandangan ini muncul menyusul kehancuran peradaban kaum muslimin akibat serbuan tentara Mongol ke wilayah-wilayah kekuasaan Islam, tahun 1256 M. Kehancuran di wilayah kekuasan Islam ini diikuti oleh kehancuran peradaban Islam di Andalusia tahun 1492 M.  Akan tetapi sejumlah peneliti berpendapat bahwa peminggiran kaum perempuan dari ruang publik dan dalam dunia ilmu pengetahun secara khusus, sesungguhnya lebih disebabkan oleh kebijakan negara untuk pembekuan aktivitas intelektual dan kebebasan berpikir serta hilangnya kritisisme terhadap kekuasaan. Proses sejarah peradaban berlangsung stagnan, beku. Yang terjadi adalah pengulang-ulangan yang terus menerus, dan peniruan. Kritik-kritik atas pikiran terlarang dan dipandang kriminal. Marjinalisasi dan subordinasi menjadi massif dan terstruktur. Keadaan ini berlangsung selama berabad-abad, sekitar 6 abad.  


== '''Fajar Baru: Ulama Perempuan Hari ini''' ==
=== '''Fajar Baru: Ulama Perempuan Hari ini''' ===
Sejak awal abad 20 sampai hari ini kita menyaksikan upaya-upaya baru yang menggugat keterpinggiran perempuan. Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M) adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam sekaligus tokoh yang mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan. Ia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Ia menuliskan gagasan dan kritik-kritik ini dalam bukunya yang terkenal ; ''“Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris”'' dan ''“al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”''.  Tokoh inilah yang kemudian memengaruhi pikiran para cendikiawan muslim progresif sesudahnya, antara lain Muhammad Abduh. Tetapi tokoh paling menonjol dan controversial dalam isu-isu perempuan adalah Qasim Amin. Tahun 1899, ia menulis bukunya yang terkenal; ''“Tahrir al-Mar’ah”'' (pembebasan perempuan), dan “''al-Mar’ah al-Jadiddah''” (Perempuan Baru).  
Sejak awal abad 20 sampai hari ini kita menyaksikan upaya-upaya baru yang menggugat keterpinggiran perempuan. Rifa’ah Rafi’ al-Thahthawi (1801-1873 M) adalah orang pertama yang membawa pembaruan pemikiran Islam sekaligus tokoh yang mengkritik pandangan-pandangan konservatif yang merendahkan dan memarjinalkan kaum perempuan. Ia mengkampanyekan kesetaraan dan keadilan gender serta menyerukan dibukanya akses pendidikan yang sama bagi kaum perempuan. Ia menuliskan gagasan dan kritik-kritik ini dalam bukunya yang terkenal ; ''“Takhlish al-Ibriz fi Talkish Paris”'' dan ''“al-Mursyid al-Amin li al-Banat wa al-Banin”''.  Tokoh inilah yang kemudian memengaruhi pikiran para cendikiawan muslim progresif sesudahnya, antara lain Muhammad Abduh. Tetapi tokoh paling menonjol dan controversial dalam isu-isu perempuan adalah Qasim Amin. Tahun 1899, ia menulis bukunya yang terkenal; ''“Tahrir al-Mar’ah”'' (pembebasan perempuan), dan “''al-Mar’ah al-Jadiddah''” (Perempuan Baru).  


Baris 161: Baris 159:
Nazhirah sering terlibat dalam debat dan polemik dengan sejumlah ulama besar Univeersitas Islam tertua di dunia, Al-Azhar, mengenai isu-isu perempuan yang diperlakukan secara diskriminatif (tidak adil). Kritik Nazhirah dalam buku ini cukup tajam, mengena, bahkan dapat dipandang sebagai mendekonstruksi pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama dari universitas Islam terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang berani dan membuat  perseteruan dengan kaum ulama melalui argumen-argumen keagamaan yang sama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda, dank arena itu juga menghasilkan produk pemikiran yang berbeda. Kajian Nazhirah mengenai topik yang dibicarakannya dilakukan dengan menganalisis secara langsung dari sumber otoritatif Islam; Al Qur-an dan hadits nabi saw. sambil melakukan studi komparasi dengan kitab-kitab Tafsir klasik seperti tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari dan lain-lain. Dia juga menguasai kitab-kitab fiqh dan pendapat-pendapat ulama mazhab fiqh yang selalu menjadi rujukan fatwa keagamaan. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak diragukan lagi. Selain itu dia mengajak para ulama untuk melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial budaya dan politik.   
Nazhirah sering terlibat dalam debat dan polemik dengan sejumlah ulama besar Univeersitas Islam tertua di dunia, Al-Azhar, mengenai isu-isu perempuan yang diperlakukan secara diskriminatif (tidak adil). Kritik Nazhirah dalam buku ini cukup tajam, mengena, bahkan dapat dipandang sebagai mendekonstruksi pandangan keagamaan konservatif yang diwakili para ulama dari universitas Islam terkemuka di dunia itu. Dia tampil dengan pikiran-pikiran yang berani dan membuat  perseteruan dengan kaum ulama melalui argumen-argumen keagamaan yang sama, tetapi dengan interpretasi yang berbeda, dank arena itu juga menghasilkan produk pemikiran yang berbeda. Kajian Nazhirah mengenai topik yang dibicarakannya dilakukan dengan menganalisis secara langsung dari sumber otoritatif Islam; Al Qur-an dan hadits nabi saw. sambil melakukan studi komparasi dengan kitab-kitab Tafsir klasik seperti tafsir Baidhawi, Khazin, Nasafi, Thabari dan lain-lain. Dia juga menguasai kitab-kitab fiqh dan pendapat-pendapat ulama mazhab fiqh yang selalu menjadi rujukan fatwa keagamaan. Kemampuannya memahami kitab-kitab klasik tersebut tidak diragukan lagi. Selain itu dia mengajak para ulama untuk melihat fakta-fakta perkembangan dan perubahan sosial budaya dan politik.   


== '''Ulama Perempuan Indonesia''' ==
=== '''Ulama Perempuan Indonesia''' ===
Di Indonesia, kita mengenal sejumlah ulama perempuan, antara lain yang popular adalah Rahmah el-Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang. Dia memeroleh gelar doctor honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Penganugerahan puncak prestasi ilmiyah ini menjadi bukti pengakuan dunia atas perannya dalam mencerdaskan bangsa. Lalu ada Nyai Khoiriyah Hasyim, Jombang Jawa Timur. Intelektualitas Nyai Khairiyah Hasyim tidak ada seorangpun yang meragukannya. Di samping menguasai kitab kuning, ia juga piawai dalam manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya. Ia anggota komisi Bahsul Masail di Nahdlatul Ulama. Saat di Makkah, ia mendirikan madrasah Lil Banat, sekolah untuk kaum perempuan.
Di Indonesia, kita mengenal sejumlah ulama perempuan, antara lain yang popular adalah Rahmah el-Yunusiyah, pendiri Perguruan Diniyah Putri, Padang Panjang. Dia memeroleh gelar doctor honoris Causa dari Universitas Al-Azhar, Kairo. Penganugerahan puncak prestasi ilmiyah ini menjadi bukti pengakuan dunia atas perannya dalam mencerdaskan bangsa. Lalu ada Nyai Khoiriyah Hasyim, Jombang Jawa Timur. Intelektualitas Nyai Khairiyah Hasyim tidak ada seorangpun yang meragukannya. Di samping menguasai kitab kuning, ia juga piawai dalam manajemen pendidikan, ketrampilan, dan lainnya. Ia anggota komisi Bahsul Masail di Nahdlatul Ulama. Saat di Makkah, ia mendirikan madrasah Lil Banat, sekolah untuk kaum perempuan.


Baris 172: Baris 170:
Sejumlah penelitian belakangan menunjukkan kepada kita adanya ratusan bahkan boleh jadi ribuan perempuan Indonesia dengan kemampuan ilmiyah yang setara dengan laki-laki. Mereka bekerja dalam dunia ilmiyah dan memimpin [[lembaga]]-lembaga pendidikan tradisional, seperti madrasah, dayah, majelis ta’lim dan pesantren, maupun modern; Perguruan tinggi dan pusat-pusat riset sosial keagamaan. Mereka adalah ulama.  
Sejumlah penelitian belakangan menunjukkan kepada kita adanya ratusan bahkan boleh jadi ribuan perempuan Indonesia dengan kemampuan ilmiyah yang setara dengan laki-laki. Mereka bekerja dalam dunia ilmiyah dan memimpin [[lembaga]]-lembaga pendidikan tradisional, seperti madrasah, dayah, majelis ta’lim dan pesantren, maupun modern; Perguruan tinggi dan pusat-pusat riset sosial keagamaan. Mereka adalah ulama.  


== '''Untuk Kesalingan''' ==
=== '''Untuk Kesalingan''' ===
Hari ini dunia sangat membutuhkan lahirnya banyak ulama perempuan dengan seluruh makna keulamaanya. Kehadiran perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki dalam segala akses kehidupan di ruang domestic maupun public, bukan dalam rangka untuk melawan laki-laki. Sama sekali tidak. Mereka dibutuhkan untuk bersama kaum laki-laki membangun negara dan bangsa ini demi terwujudnya cita-cita bersama : keadilan, kemajuan dan kesejahteraan. Mereka dibutuhkan untuk memberi makna-makna baru atas kehidupan yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Bangunan relasi antara laki-laki dan perempuan adalah bangunan relasi kesalingan, ''Resiprokal, Tabadul'', sebagaimana diajarkan teks-teks suci Al-Qur’an.  
Hari ini dunia sangat membutuhkan lahirnya banyak ulama perempuan dengan seluruh makna keulamaanya. Kehadiran perempuan untuk menjadi setara dengan laki-laki dalam segala akses kehidupan di ruang domestic maupun public, bukan dalam rangka untuk melawan laki-laki. Sama sekali tidak. Mereka dibutuhkan untuk bersama kaum laki-laki membangun negara dan bangsa ini demi terwujudnya cita-cita bersama : keadilan, kemajuan dan kesejahteraan. Mereka dibutuhkan untuk memberi makna-makna baru atas kehidupan yang berkeadilan dan berkemanusiaan. Bangunan relasi antara laki-laki dan perempuan adalah bangunan relasi kesalingan, ''Resiprokal, Tabadul'', sebagaimana diajarkan teks-teks suci Al-Qur’an.  


Baris 178: Baris 176:


Benar sekali. Keadilan adalah kebajikan tertinggi. Keadilan adalah essensi dan pilar tegaknya kehidupan semesta ini. Maka bila kehidupan kita hari ini masih belum mau melihat dengan jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, dan jika kita masih terus mengabaikan bahkan mengingkari fakta bahwa perempuan relatif setara dengan laki-laki, baik secara secara intelektual maupun spiritual, dan bila kita menutup mata dan menolak eksistensi ulama  perempuan, maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan.  
Benar sekali. Keadilan adalah kebajikan tertinggi. Keadilan adalah essensi dan pilar tegaknya kehidupan semesta ini. Maka bila kehidupan kita hari ini masih belum mau melihat dengan jujur bahwa perempuan memiliki potensi besar untuk mengubah dunia, dan jika kita masih terus mengabaikan bahkan mengingkari fakta bahwa perempuan relatif setara dengan laki-laki, baik secara secara intelektual maupun spiritual, dan bila kita menutup mata dan menolak eksistensi ulama  perempuan, maka sesungguhnya kita sedang melakukan ketidakadilan.  
Cirebon, 25 April 2017


Cirebon, 25 April 2017
Cirebon, 25 April 2017

Menu navigasi