Tafsir Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan: Perbedaan revisi

Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
tidak ada ringkasan suntingan
(←Membuat halaman berisi 'Oleh Nur Rofiah Perspektif atau sudut pandang sangat memengaruhi kita dalam melihat sebuah objek. Perspektif yang berbeda memungkinkan sebuah objek yang sama terlihat...')
 
 
Baris 1: Baris 1:
Oleh [[Nur Rofiah]]
'''Info Artikel'''
 
{|
Perspektif atau sudut pandang sangat memengaruhi kita dalam melihat sebuah objek. Perspektif yang berbeda memungkinkan sebuah objek yang sama terlihat secara berbeda. Begitu pun perbedaan perspektif dalam melihat teks suci. Tentu teks suci sampai kapan pun tidak berubah. Namun sudut pandang pembacanya terus berubah seiring dengan perubahan pengalaman dan pengetahuannya.
|Sumber
| :
|[https://ibihtafsir.id/2022/02/14/tafsir-perspektif-keadilan-hakiki-perempuan/ ibihtafsir.id]
|-
|Penulis
|:
|Dr. [[Nur Rofiah]], Bil. Uzm
|-
| Tanggal Publikasi
|:
|Februari 14, 2022
|-
|Artikel Lengkap
|:
| [https://ibihtafsir.id/2022/02/14/tafsir-perspektif-keadilan-hakiki-perempuan/ Tafsir Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan]
|}Perspektif atau sudut pandang sangat memengaruhi kita dalam melihat sebuah objek. Perspektif yang berbeda memungkinkan sebuah objek yang sama terlihat secara berbeda. Begitu pun perbedaan perspektif dalam melihat teks suci. Tentu teks suci sampai kapan pun tidak berubah. Namun sudut pandang pembacanya terus berubah seiring dengan perubahan pengalaman dan pengetahuannya.


Fakta bahwa ilmuwan dan ulama di berbagai bidang didominasi oleh laki-laki menunjukkan satu hal penting bahwa kebenaran yang berkembang dalam sistem pengetahuan, termasuk pengetahuan agama, baru mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan laki-laki. Tentu keduanya sangat mungkin sama dengan apa yang dimiliki oleh perempuan, namun, belum meliputi pengalaman dan pengetahuan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
Fakta bahwa ilmuwan dan ulama di berbagai bidang didominasi oleh laki-laki menunjukkan satu hal penting bahwa kebenaran yang berkembang dalam sistem pengetahuan, termasuk pengetahuan agama, baru mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan laki-laki. Tentu keduanya sangat mungkin sama dengan apa yang dimiliki oleh perempuan, namun, belum meliputi pengalaman dan pengetahuan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki.


Dominasi tafsir oleh mufasir laki-laki menunjukkan hal serupa. Sistem tafsir baru mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan laki-laki dan belum mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Artinya, kemaslahatan Islam yang diderivasi dari ayat-ayat al-Qur’an pada umumnya barulah kemaslahatan al-Qur’an dalam perspektif laki-laki dan untuk laki-laki. Apakah kemaslahatan tersebut pasti maslahat dalam perspektif dan untuk perempuan? Belum tentu!
Dominasi tafsir oleh mufasir laki-laki menunjukkan hal serupa. Sistem tafsir baru mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan laki-laki dan belum mempertimbangkan pengalaman dan pengetahuan khas perempuan yang tidak dimiliki oleh laki-laki. Artinya, kemaslahatan Islam yang diderivasi dari ayat-ayat [[al-Qur’an]] pada umumnya barulah kemaslahatan al-Qur’an dalam perspektif laki-laki dan untuk laki-laki. Apakah kemaslahatan tersebut pasti [[maslahat]] dalam perspektif dan untuk perempuan? Belum tentu!


Pengalaman suami memukul istri, jelas berbeda dengan pengalaman istri dipukul oleh suami. Begitupun pengalaman suami yang memiliki istri kedua tentu beda dengan pengalaman istri yang diduakan. Sementara, Islam memiliki cita-cita untuk menjadi anugerah bagi semesta, baik laki-laki maupun perempuan. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat yang mengandung asumsi bahwa perempuan adalah objek, seperti dalam ayat tentang pemukulan istri dan bidadari surga, atau subjek sekunder seperti dalam waris, kesaksian, dan [[poligami]], agar mendatangkan kemaslahatan pula bagi perempuan sesuai cita-cita Islam? Inilah pertanyaan krusial yang sedang diikhtiyarkan untuk dijawab oleh Perspektif [[Keadilan Hakiki]] Perempuan.
Pengalaman suami memukul istri, jelas berbeda dengan pengalaman istri dipukul oleh suami. Begitupun pengalaman suami yang memiliki istri kedua tentu beda dengan pengalaman istri yang diduakan. Sementara, Islam memiliki cita-cita untuk menjadi anugerah bagi semesta, baik laki-laki maupun perempuan. Pertanyaannya adalah bagaimana memahami ayat-ayat al-Qur’an terutama ayat-ayat yang mengandung asumsi bahwa perempuan adalah objek, seperti dalam ayat tentang pemukulan istri dan bidadari surga, atau subjek sekunder seperti dalam waris, kesaksian, dan [[poligami]], agar mendatangkan kemaslahatan pula bagi perempuan sesuai cita-cita Islam? Inilah pertanyaan krusial yang sedang diikhtiyarkan untuk dijawab oleh Perspektif [[Keadilan Hakiki]] Perempuan.
Baris 12: Baris 27:
Manusia sangat beragam dalam banyak hal. QS. al-Hujurat/49: 13 setidaknya mengingatkan kita akan keragaman jenis kelamin (''dzakar wa untsaa''), bangsa (''syu’uub''), dan suku (''qabaa’il''). Masing-masing keragaman ini mengandung keragaman lainnya (''diversity within diversity''). Kata bangsa mengandung keragaman warna kulit dengan gradasinya, postur tubuh, warna dan rambut, mata, hidung, dll. Begitu pun dalam kata suku yang bisa menjadi bagian dari keragaman bangsa juga mengandung keragaman lain. Misalnya bahasa sebuah bangsa yang bersifat nasional bisa memiliki aneka bahasa suku yang bersifat lokal. Keragaman juga ada dalam keragaman jenis kelamin. Kombinasi jenis kelamin, bangsa, dan suku ini akan melahirkan keragaman yang sangat banyak sekali.
Manusia sangat beragam dalam banyak hal. QS. al-Hujurat/49: 13 setidaknya mengingatkan kita akan keragaman jenis kelamin (''dzakar wa untsaa''), bangsa (''syu’uub''), dan suku (''qabaa’il''). Masing-masing keragaman ini mengandung keragaman lainnya (''diversity within diversity''). Kata bangsa mengandung keragaman warna kulit dengan gradasinya, postur tubuh, warna dan rambut, mata, hidung, dll. Begitu pun dalam kata suku yang bisa menjadi bagian dari keragaman bangsa juga mengandung keragaman lain. Misalnya bahasa sebuah bangsa yang bersifat nasional bisa memiliki aneka bahasa suku yang bersifat lokal. Keragaman juga ada dalam keragaman jenis kelamin. Kombinasi jenis kelamin, bangsa, dan suku ini akan melahirkan keragaman yang sangat banyak sekali.


Salah satu akar kezaliman adalah cara pandang yang menjadikan perbedaan dan keragaman manusia sebagai alasan pihak yang kuat dan dominan untuk merendahkan pihak yang lemah dan rentan dilemahkan. Dalam bahasa al-Qur’an, pihak ''al-mala’'' (pemuka kaum yang kuat dan dominan) menjadikan perbedaan dan keragaman manusia sebagai alasan untuk merendahkan ''dluafaa’'' dan ''mustadl’afin''. Karenanya, al-Qur’an membangun kesadaran yang menegaskan bahwa perbedaan manusia, lebih-lebih yang manusia tidak ikut menentukannya saat lahir seperti jenis kelamin, bangsa, dan suku, bukanlah standar kualitas manusia. Manusia mesti memandang sesama manusia sebagai sama-sama manusia sehingga mesti saling bersikap secara manusiawi, apapun apapunnya. Standar nilai manusia hanyalah satu, yaitu taqwa, yakni sejauhmana komitmen Tauhid kepada Allah dibuktikan dengan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk dan pada manusia adalah saling bersikap manusiwi satu sama lain.
Salah satu akar kezaliman adalah cara pandang yang menjadikan perbedaan dan keragaman manusia sebagai alasan pihak yang kuat dan dominan untuk merendahkan pihak yang lemah dan rentan dilemahkan. Dalam bahasa al-Qur’an, pihak ''al-mala’'' (pemuka kaum yang kuat dan dominan) menjadikan perbedaan dan keragaman manusia sebagai alasan untuk merendahkan ''dluafaa’'' dan ''mustadl’afin''. Karenanya, al-Qur’an membangun kesadaran yang menegaskan bahwa perbedaan manusia, lebih-lebih yang manusia tidak ikut menentukannya saat lahir seperti jenis kelamin, bangsa, dan suku, bukanlah standar kualitas manusia. Manusia mesti memandang sesama manusia sebagai sama-sama manusia sehingga mesti saling bersikap secara manusiawi, apapun apapunnya. Standar nilai manusia hanyalah satu, yaitu taqwa, yakni sejauhmana komitmen [[Tauhid]] kepada Allah dibuktikan dengan mewujudkan kemaslahatan pada sesama makhluk dan pada manusia adalah saling bersikap manusiwi satu sama lain.


Cita-cita Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat (anugerah) bagi semesta. Sistem ini hanya mungkin terwujud jika manusia yang mengemban amanah sebagai ''Khaliifah fil Ardl'' mempunyai akhlak yang mulia sehingga seluruh ajaran Islam juga bermaksud menyempurnakan akhlak mulia manusia. Dengan demikian mempunyai perbedaan penting sistem yang zalim (tidak adil) dengan sistem yang Islami adalah sebagai berikut:
Cita-cita Islam adalah mewujudkan sistem kehidupan yang menjadi rahmat (anugerah) bagi semesta. Sistem ini hanya mungkin terwujud jika manusia yang mengemban amanah sebagai ''Khaliifah fil Ardl'' mempunyai akhlak yang mulia sehingga seluruh ajaran Islam juga bermaksud menyempurnakan akhlak mulia manusia. Dengan demikian mempunyai perbedaan penting sistem yang zalim (tidak adil) dengan sistem yang Islami adalah sebagai berikut:
Baris 81: Baris 96:
Tulisan ini pertama kali dimuat di lama [https://ibihtafsir.id/2022/02/14/tafsir-perspektif-keadilan-hakiki-perempuan/ Ibihtafsir.id]  
Tulisan ini pertama kali dimuat di lama [https://ibihtafsir.id/2022/02/14/tafsir-perspektif-keadilan-hakiki-perempuan/ Ibihtafsir.id]  
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
[[Kategori:Jejak Nur Rofiah]]

Menu navigasi