Mursyidah Tarekat: Kesetaraan Gender dalam Otoritas Keagamaan di Madura

Dari Kupipedia
Revisi per 15 Maret 2023 17.23 oleh Faqihuddin Abdul Kodir (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi ''''Penulis: Nur Kasanah''' '''Abstrak''' Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan eksistensi ulama perempuan dan perannya sebagai mursyid perempuan ''(mursyidah)'...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Penulis: Nur Kasanah


Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan eksistensi ulama perempuan dan perannya sebagai mursyid perempuan (mursyidah) tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah sebagai pemangku otoritas keagamaan di Madura. Penelitian berjenis kualitatif ini menggunakan pendekatan library research. Data penelitian diambil dari artikel maupun buku lain yang relevan dengan kajian mursyidah tarekat di Madura. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi dan dianalisis dengan menggunakan teori otoritas dan relasi gender Hasanatul Jannah.  Hasil penelitian menunjukkan ada lima ulama perempuan Madura yang menjadi mursyidah tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah yaitu Nyai Aisyah, Nyai Asiyah, Syarifah Fatimah, Nyai Thabibah dan Nyai Syafi’ah. Eksistensi dan otoritas keagamaan mereka sebagai mursyidah dibangun oleh kontruksi sosial yang tidak hanya didukung oleh faktor keturunan (genealogis) semata akan tetapi juga karena pengetahuan agama dan kesalehan, pangaro yaitu kemampuan memimpin (leadership) sekaligus menggerakkan orang lain untuk patuh, dan adanya pesantren sebagai pusat otoritas. Keempat hal ini yang menjadikan mereka setara dengan ulama laki-laki (kiai) dalam membimbing jemaah sekaligus mendapatkan  otoritas keagamaan dalam tarekat sehingga  tidak hanya bertugas sebagai asisten suami melainkan benar-benar secara mandiri dan penuh menjadi pemimpin jemaah tarekat perempuan (akhwat). Peran mursyidah tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah: 1) dalam bidang keagamaan yaitu memimpin ritual ibadah misalnya mengajarkan kitab kuning, memimpin shalat jemaah akhwat, melakukan baiat, memimpin zikir dan wirid, muraqabah, rabithah, khatm kwajagan, istighatsah, dan 2) dalam bidang sosial, mengajarkan dan membiasakan sikap kedermawanan, takzim pada guru, loyal pada Nahdlatul Ulama, dan memberikan kehangatan dan perlindungan sebagai keluarga yang tidak didapatkan di tempat lain. Meski hanya terbatas pada jemaah tarekat perempuan dan tidak berhak menunjuk badal dan khalifah, eksistensi mursyidah ini menunjukkan adanya toleransi dan kesetaraan gender dalam otoritas keagamaan di Madura.

Kata Kunci: agama, gender, mursyidah, otoritas, perempuan, tarekat


Abstract

This study aims to explain the existence of female ulama and the role of female mursyid (mursyidah) of the Naqsyabandiyah Muzhariyah sufi order as religious authorities in Madura. This type of qualitative research uses a library research approach. The research data were taken from articles and other books relevant to the study of mursyidah tarekat in Madura. Data collection is done through documentation and analyzed using the theory of authority and gender relations Hasanatul Jannah. The results showed that there were five female clerics from Madura who became mursyidah of the Naqsyabandiyah Muzhariyah tarekat, namely Nyai Aisyah, Nyai Asiyah, Syarifah Fatimah, Nyai Thabibah and Nyai Syafi'ah. Their existence and religious authority as mursyidah are built by social constructions that are not only supported by heredity (genealogical) but also because of religious knowledge and piety, pangaro, namely the ability to lead (leadership) while moving others to obey, and the existence of pesantren as a center authority. These four things make them equal to male clerics (kiai) in guiding the congregation as well as gaining religious authority in the tarekat so that they do not only serve as assistants to their husbands but are truly independent and fully leaders of the women's congregations (akhwat). The role of the mursyidah of the Naqsyabandiyah Muzhariyah congregation: 1) in the religious field, namely leading worship rituals such as teaching the yellow book, leading the congregational prayers of the brothers, taking bai'at, leading remembrance and wirid, muraqabah, rabithah, khatm kwajagan, istighatsah, and 2) in the social field, teaching and get used to an attitude of generosity, reverence for teachers, loyalty to Nahdlatul Ulama, and providing warmth and protection as a family that is not found elsewhere. Although it is only limited to female congregations and has no right to appoint badals and caliphs, the existence of this mursyidah shows the existence of tolerance and gender equality in religious authorities in Madura.

Keywords: religion, gender, mursyidah, authority, women, Sufi-order


Baca selengkapnya disini...