Pernikahan untuk Kesejahteraan Rumah Tangga

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Dalam benak banyak orang, perkawinan menempati posisi ideal yang bisa menawarkan keindahan dan kesejahteraan dalam kehidupan. Dengan harapan besar ini, banyak orang kemudian tidak siap menghadapi kenyataan ketika kehidupan perkawinan ternyata  tidak menghadirkan keindahan. Bahkan tidak sedikit yang menjadi korban kekerasan, justru ketika ia hidup dalam bahtera perkawinan. Mereka tidak mau mengantisipasi agar dalam perkawinannya tidak terjatuh sebagai korban kekerasan. Bentuk ketidak-siapan lain, adalah penolakan terhadap kasus kekerasan rumah tangga untuk dibawa dilaporkan ke pihak kepolisian. Penolakan ini tidak hanya berangkat dari kekhawatiran terhadap terbukanya aib keluarga, tetapi juga ketakutan terhadap merosotnya citra perkawinan di mata masyarakat.

Ketika perkawinan diwacanakan sebagai kontrak kesepakatan yang sejak awal harus disadari kedua mempelai, banyak orang juga tidak menyetujui gagasan ini. Ketidak-setujuan ini kemungkinan juga berakar pada ketakutan penodaan citra perkawinan di masyarakat. Dalam diskursus keislaman juga hampir sama, kebanyakan orang lebih memilih menyatakan perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, atau ibadah. Sekalipun semua orang mengenal bahwa perkawinan memiliki karakteristik yang berbeda dengan sesuatu yang dalam fiqh dianggap ibadah, seperti sholat, puasa dan haji. Seharusnya perkawinan diwacanakan sebagai sesuatu yang tidak sama dengan sholat, puasa dan haji, agar yang muncul dalam perkawinan adalah soal hak dan kewajiban, bukan perintah ketaatan atau anjuran ketundukan yang membutakan. 

Pensakralan terhadap perkawinan, mungkin awalnya dimaksudkan agar semua orang berhati-hati dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Tidak mudah patah semangat dan tidak mudah mengajukan gugatan cerai. Tetapi pada prakteknya pensakralan justru mempersulit banyak orang untuk menemukan makna keindahan dalam perkawinan. Pensakralan juga mengungkung dan mempersulit orang untuk keluar dari prahara perkawinan, ketika prahara itu benar-benar sudah terjadi. Banyak orang, terutama perempuan hanya dikonstruksikan untuk menunaikan kewajiban dalam perkawinan, daripada untuk memperoleh hak-hak yang harus dinikmatinya.

Sunnah Menikah

Menikah, disamping sebagai ibadah, juga seringkali disosialisasikan sebagai sunnah Nabi Saw. Bahkan ada sebuah teks yang menyatakan bahwa dengan menikah seseorang sudah dianggap separoh beragama, tinggal meraih separoh yang lain.

Dari Anas ra, dikatakan bahwa Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang menikah, maka ia telah menguasai separoh agamanya, maka hendaknya bertakwa pada separoh yang lain”. Redaksi hadits ini diriwayatkan Ibn al-Jawzi, tetapi dia sendiri menilainya lemah. Dalam redaksi lain, yang diriwayatkan Imam al-Hakim, dari Anas ra, berkata: Bahwa Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa yang dianugerahi isteri yang shalihah, maka sesungguhnya ia telah dibantu dalam separoh urusan agama, maka bertakwalah pada separoh yang lain”. (Riwayat Ibn al-Jawzi, lihat: Kasyf al-Khafa, II/239, no. Hadits: 2432).

Dalam catatan komentar Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H), teks-teks hadits seperti ini sebenarnya lemah. Karena itu, hanya bisa dipahami substansinya saja, tidak pada kebenaran detail literalnya. Substansinya adalah mengenai motivasi dan anjuran menikah. Anjuran ini ada dalam berbagai riwayat hadits (Fath al-Bari, X/139). Di antaranya mengenai menikah sebagai sunnah Nabi:

Dari Aisyah ra, berkata: bahwa Nabi Saw bersabda: “Menikah adalah sunnahku; barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia bukan termasuk ummatku. Menikahlah, karena aku akan membanggakan jumlah besar kalian di hadapan umat-umat lain. Barangsiapa yang memiliki kesanggupan, maka menikahlah. Jika tidak, maka berpuasalah karena puasa itu bisa menjadi kendali” (Riwayat Ibn Majah, lihat: Kasyf al-Khafa, II/324, no. Hadits: 2833).

Ada redaksi lain yang senafas, yang secara riwayat lebih valid (shahih) karena diriwayatkan Imam Bukhari. Yaitu:

Dari Anas bin Malik ra, berkata: “Ada tiga orang mendatangi keluarga Nabi Saw, mereka menanyakan tentang ibadah yang dilakukan Nabi. Ketika dikabari, mereka merasa sangat jauh dari apa yang dilakukan Nabi Saw. Mereka berkata: “Kami jauh sekali dari apa yang dilakukan Nabi Saw, padahal baginda sudah diampuni dari segala dosa”. Satu orang dari mereka berkata: “Kalau begitu, saya sembahyang sepanjang malam selamanya”. Yang lain berkata: “Saya akan berpuasa setahun penuh, selamanya”. Yang satu berkata: “Saya akan menjauhi perempuan dan tidak akan menikah”. Kemudian datang Rasulullah Saw dan berkata: “Kamu yang berkata ini dan itu?. Demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah dan paling bertakwa di antara kamu, tetapi aku tetap kadang berpuasa dan kadang tidak berpuasa, ada waktu untuk sembahyang dan ada waktu untuk tidur istirahat, dan aku juga mengawini perempuan. Barangsiapa yang enggan dengan sunnahku, maka ia tidak masuk dalam golongan ummatku”. (Riwayat Bukhari, kitab an-Nikah, no. Hadits: 5063).

Dalam teks hadits ini, perkawinan tidak menjadi satu-satunya yang disebut sebagai sunnah. Tetapi juga tidur-bangun dan makan-berpuasa, serta tentu menikah. Ibn Hajar al-‘Asqallani (w. 852H) dalam komentarnya terhadap teks hadits ini menyatakan bahwa yang dimaksud ‘sunnah’ adalah jalan yang biasa dilakukan Nabi Saw. Katanya, pernyataan Nabi Saw ‘tidak termasuk golonganku’ bagi yang enggan menikah, tidak serta merta mengeluarkan seseorang dari agama Islam hanya karena ia menolak atau memilih untuk tidak menikah. Jika penolakan atau pilihan itu karena alasan yang pantas diajukan. Tetapi jika penolakan itu memang berangkat dari prinsip dan keyakinan ketidak-benaran menikah, maka ia bisa dianggap keluar dari agama Islam.

Sekalipun dalam teks hadits ini menikah dianggap sebagai sunnah, tetapi dalam diskursus fiqh, menikah tidak serta menjadi pilihan satu-satunya. Bisa saja orang tidak memilih menikah, karena tidak merasa berharat dan lebih memilih beribadah atau menuntut ilmu. Ada banyak argumentasi yang diajukan dalam pembicaraan ini. Paling tidak adalah teks hadits yang mengaitkan pernikahan dengan kemampuan, dan pembukaan peluang bagi yang tidak mampu menikah untuk berpuasa sebagai ganti dari anjuran menikah. Ketika pernikahan dikaitkan dengan kemampuan, berarti ia tidak menjadi pilihan satu-satunya. Karena pasti ada kondisi di mana seseorang tidak merasa mampu untuk menikah, dan dia memilih untuk tidak menikah. Bahkan teks hadits Ibn Majah di atas menyebutkan secara eksplisit pilihan untuk tidak menikah itu dengan ungkapan ‘berpuasalah’.

Ada teks hadits lain yang lebih shahih: Dari Ibn Mas’ud ra berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena menikah itu bisa menundukkan mata dan menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak mampu maka berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali baginya”. (Riwayat Imam Bukhari, Kitab an-Nikah, no. Hadits: 5066).

Menikah dalam teks hadits ini dikaitkan dengan kemampuan seseorang. Berarti bagi orang yang tidak memiliki kemampuan, atau mungkin kesiapan, dia tidak dikenai anjuiran menikah. Dalam komentar Ibn Hajar (w. 852H) terhadap teks hadits ini, orang yang tidak mampu menikah (bersetubuh) justru disarankan untuk tidak menikah, bahkan bisa jadi menikah itu baginya menjadi makruh. Memang dalam diskursus fiqh, menikah tidak serta merta menjadi sunnah, sekalipun disebutkan dalam teks hadits di atas sebagai sesuatu yang sunnah. Menikh banyak berkaitan dengan kondisi-kondisi kesiapan mempelai dan kemampuan untuk memberikan jaminan kesejahteraan.

Imam al-Ghazali (w. 505H) misalnya, menyatakan bahwa bagi seseorang yang merasa akan memperoleh manfaat dari menikah dan terhindar dari kemungkinan penistaan dalam pernikahan, sebaiknya ia menikah. Tetapi ketika ia justru tidak akan memperoleh manfaat, atau tidak bisa menghindari kemungkinan penistaan, maka ia tidak dianjurkan untuk menikah. (lihat: Fath al-Bari, X/139)..

Menurut sebagian besar ulama fiqh, hukum menikah terkait dengan kondisi kesiapan mempelai; bisa sunnah, bisa wajib, bisa makruh dan bisa haram. Ibn Daqiq al-‘Id menjelaskan; bisa wajib ketika seseorang merasa sangat tergantung untuk menikah, yang jika tidak dilakukan ia bisa terjerumus pada perzinahan. Tetapi juga bisa haram, ketika pernikahan menjadi ajang penistaan terhadap isteri, baik dalam hal nafkah lahir maupun batin. Menjadi sunnah jika ia tidak tergantung terhadap menikah, tetapi bisa mendatangkan manfaat baginya. Jika menikah tidak mendatangkan manfaat, maka hukumnya justru menjadi makruh. (lihat: Fath al-Bari, X/138-139).

Pernyataan ulama fiqh ini menyiratkan betapa ungkapan ‘menikah adalah sunnah’ tidak bisa dipahami secara literal dan berlaku secara umum. Ungkapan ini merupakan motivasi agar setiap orang mengkondisikan pernikahan sebagai sesuatu yang bisa mendatangkan kebaikan dan manfaat. Dengan kondisi seperti ini, semua orang akan termotivasi dan terdorong untuk menikah dan memperbaiki kehidupan pernikahannya. Tetapi dalam realitas kehidupan bisa saja yang terjadi adalah yang sebaliknya, di mana pernikahan juga bisa mendatangkan kenistaan dan kekerasan. Ulama fiqh telah begitu cermat membaca teks hadits ‘menikah sunnah’ dalam koneks realitas kehidupan yang nyata. Sehingga bisa saja menjadi wajib, makruh, bahkan haram.

Menikah bisa menjadi haram, karena dalam Islam ada yang lebih prinsip dari sekedar menikah atau tidak menikah, yaitu keadilan, anti kezaliman dan kekerasan. Jika suatu perbuatan akan mengakibatkan kemudharatan, maka dapat dipastikan bahwa sesuatu itu secara prinsip dilarang dalam Islam. Karena itu, setiap perkawinan yang akan mengakibatkan kenistaan pada salah satu pihak, perempuan atau laki-laki, atau keduanya, maka harus dicegah dan diharamkan. Dengan demikian, pembicaraan ‘sunnah menikah’ sejak awal harus dikaitkan dengan prinsip-prinsip yang lebih mendasar; keadilan, kesetaraan dan anti kezaliman.

Untuk mengkondisikan agar pernikahan tidak jatuh menjadi makruh atau haram, sebaiknya diupayakan pra-kondisi dengan melihat pernikahan sebagai suatu praktek sosial dan kesepakatan dua insang. Keterlibatan dan intervensi manusia, dalam hal ini kedua mempelai, menjadi sangat penting agar mereka benar-benar tidak jatuh dalam kenistaan pernikahan. Keterlibatan untuk merumuskan hak dan kewajiban kedua mempelai, mengkondisikan, menjaga dan melestarikannya. Hal ini hanya bisa jika pernikahan menjadi sebuah kontrak kesepakatan antara kedua mempelai.

Menikah Sebagai Kontrak Kesepakatan

Menurut Imam Syafi’i (w. 204H) menikah termasuk dalam urusan yang bukan ibadah, karena ia menyangkut dengan pemenuhan kebutuhan biologis manusia (lihat: al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, VII/35). Dalam diskursus fiqh, menikah juga dibicarakan sebagai akad, atau kontrak yang tentu menuntut syarat-syarat sebuah kesepakatan, terutama kerelaan kedua belah pihak, tidak ada unsur paksaan dan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh hak dan kewajiban secara setara dan berimbang.

Ketika seseorang, baik laki-laki maupuan perempuan merasa dipaksa diikat dalam sebuah kontrak pernikahan, maka ia memiliki hak yang penuh untuk membatalkan akad nikah tersebut. Seperti yang dituturkan Aisyah ra, bahwa ada seorang remaja perempuan yang datang menemuinya seraya berkata: “Ayahku mengawinkanku dengan anak saudaranya, agar status sosialnya terangkat olehku, padahal aku tidak suka”. “Duduklah, sebentar lagi Rasulullah datang, nanti aku tanyakan”, jawab Aisyah. Ketika Rasulullah SAW datang, langsung diungkapkan di hadapan beliau persoalan perempuan tadi. Beliau memanggil orang tua si perempuan (sambil memberi peringatan), dan mengembalikan persoalan itu kepada si perempuan untuk memberikan keputusan. Di hadapan mereka, remaja perempuan tadi menyatakan (dengan tegas): “Aku izinkan apa yang telah dilakukan ayahku, tetapi aku ingin memberikan peringatan sekaligus pernyataan untuk semua perempuan: bahwa mereka para orang tua sama sekali tidak memiliki hak atas persoalan ini”. [Riwayat an-Nasa’i, lihat Jami’ al-Ushûl, no. hadis: 8974, 12/142).

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari, Malik, Abu Dawud dan an-Nasa’i, bahwa ketika seorang perempuan yang bernama Khansa binti Khidam ra merasa dipaksa dikawinkan oleh orang tuanya, Nabi mengembalikan keputusan itu kepadanya; mau diteruskan atau dibatalkan, bukan kepada orang tuanya. Bahkan dalam riwayat Abu Salamah, Nabi Saw menyatakan kepada Khansa r.a.: “Kamu yang berhak untuk menikah dengan seseorang yang kamu kehendaki” (Nashb ar-Rayah, 3/232). Khansapun pada akhirnya kawin dengan laki-laki pilihannya Abu Lubabah bin Abd al-Mundzir r.a. Dari perkawinan ini ia dikarunia anak bernama Saib bin Abu Lubabah.

Dalam riwayat Ibn Abbas r.a. disebutkan: “Bahwa suatu ketika ada seorang perempuan perawan (bikr) yang datang menghadap kepada Nabi Saw. Ia menyatakan bahwa ayahnya memaksa dirinya menikah (dengan seseorang). Kemudian Nabi Saw memberikan pilihan (khiyâr) sepenuhnya kepada perempuan tersebut”. (Abu Dawud, Nikah bab 24: 2096 dan Ibn Majah, Nikah bab 12: 1875, al-Baihaqi, 7/189).

Teks-teks hadits ini menyiratkan bahwa perkawinan seharusnya tidak menjadi ajang pemaksaan, apalagi media penundukan perempuan untuk kerja-kerja yang memberatkan atau mencederainya. Perempuan harus diberikan pilihan sepenuhnya untuk memasuki atau tidak memasuki bahtera perkawinannya, pilihan pasangannya dan kesepakatan-kesepakatan yang memungkinkan dirinya bisa merasa aman, sejahtera dan bahagia. Ketika sudah memasuki bahtera perkawinan, setiap pasangan baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh untuk meneruskan atau menghentikan kesepakatan hidup bersama dalam perkawinan, karena alasan-alasan bisa mencederai makna kebersamaan tersebut. Yaitu apa yang dikenal dalam diskursus fiqh dengan perceraian (thalaq), atau gugatan perceraian (khulu’).  

Memang seharusnya kedua belah pihak, baik perempuan maupun laki-laki secara bersama-sama mengupayakan sekuat mungkin untuk menghindari perceraian, karena perceraian merupakan sesuatu yang tidak disukai Allah Swt. Tetapi dalam kenyataan hidup, seringkali seseorang berhadapan dengan kondisi yang memaksanya untuk lebih memilih perceraian atau gugatan perceraian. Dalam kondisi seperti ini, setiap pasangan memiliki hak penuh untuk mengajukan gugatan perceraian.

Dalam sebuah teks hadits yang diriwayatkan Ibn Abbas ra, bahwa isteri sahabat Tsabit bin Qays ra suatu ketika mendatangi Rasulullah Saw dan berkata: “Ya Rasulullah, aku tidak menganggap buruk perilaku Tsabit (suamiku), apalagi ibadahnya, tetapi aku tidak ingin terjadi kekufuran dalam kehidupan perkawinanku, bagaimana?”. Rasulullah berkata: “Kamu rela mengembalikan kebunnya (yang dulu menjadi maskawin dari Tsabit)?”. “Ya, aku rela”, jawab sang isteri. Rasulullah berkata pada Tsabit: “Terimalah kebun itu dan ceraikan dia”. (Riwayat Bukhar, lihat: Subul as-Salam, III/166).

Dari beberapa teks hadits ini bisa disimpulkan, bahwa menikah merupakan hak seseorang baik perempuan maupun laki-laki. Menikah bukan merupakan tuntutan kewajiban, apalagi menjadi media penundukan dan keta’atan. Karena merupakan hak, maka setiap orang harus diberikan pilihan yang secara sadar bisa menentukan pasangan hidup yang bisa menjamin kebaikan dan tidak mendatangkan kenistaan bagi dirinya. Setiap orang menginginkan kehidupan perkawinan yang membahagiakan. Karena itu segala sistem sosial yang terkait dengan perkawinan, harus dikondisikan untuk mencapai harapan kebahagiaan tersebut. Jika sistem atau nilai sosial yang lama dirasa tidak lagi memberi jaminan kebahagiaan, atau setidaknya membiarkan seseorang terjerumus dalam kenistaan perkawinan, maka tanpa ragu lagi harus dirubah demi mewujudkan cita-cita kebahagiaan perkawinan.

Persis seperti yang digambarkan al-Qur’an sebagai tujuan institusi perkawinan, yaitu untuk membentuk kehidupan yang penuh dengan cinta kasih dan kedamaian. Setiap orang, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak yang penuh agar benar-benar bisa menemui harapan cinta kasih dan kedamaian dalam perkawinan. Hal ini hanya bisa didapatkan ketika perkawinan diposisikan sebagai kontrak kesepakatan yang secara setara antara laki-laki dan perempuan, dan tidak dijadikan sebagai media penundukan yang membutakan, apalagi penistaan.

Keterangan:

Makalah Faqihuddin Abdul Kodir dalam Seminar Hukum Keluarga dalam Perspektif Maqashid Syari'ah di STAIN Cirebon tahun 2003