Ulama Perempuan Dalam Lintasan Sejarah Islam

Dari literatur sejarah peradaban Islam, keulamaan perempuan sesungguhnya sudah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Mereka tidak hanya ada, melainkan juga berperan penting dalam proses turunnya wahyu (seperti turunnya ayat 35 surat al-Ahzab yang diawali oleh pertanyaan Ummul Mukminin Ummu Salamah ra); dialektika nash (teks sumber) dengan realitas (seperti datangnya 60 an sahabiyat (perempuan-perempuan Sahabat Nabi Saw) kepada Nabi Saw yang mengadukan suami mereka yang sering melakukan kekerasan karena merasa diperbolehkan, dan kemudian Nabi mengecam suami yang suka memukul isteri); dan terserapnya aspirasi dan terpetakannya kondisi perempuan sehingga terakomodasi dalam hukum Islam (seperti jawaban Nabi kepada 3 sahabiyat yang mengalami istihadhah dimana jawaban kepada masing-masing tidak sama karena kearifan Nabi SAW pada keadaan perempuan yang tidak sama satu lain).

Pada masa Nabi Saw, perempun juga berperan dalam memberikan saran kepada Nabi SAW di saat yang penting dan genting (seperti yang dilakukan Ummul Mukminin Ummu Salamah ra saat peristiwa Perjanjian Hudaibiyah); dalam proses pengajaran dan penyeberluasan riwayat, ajaran agama, dan ilmu pengetahuan (Aisyah ra. adalah sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadis ke-4, dan beliau menjadi rujukan para sahabat lain dalam hal agama, baik laki-laki maupun perempuan); membentuk komunitas yang belajar langsung kepada Nabi (Sahabiyat Anshar menonjol perannya di sini. Asma’ binti Umais ra menjadi juru bicara mereka); mengkritisi tradisi, fenomena, pandangan, bahkan kebijakan yang merugikan perempuan (seperti seorang sahabiyah yang mengkritisi sahabat yang melarang perempuan shalat di masjid, atau sahabiyah Anshar yang memprotes Khalifah Umar karena membatasi mahar karena pembatasan yang demikian tidak sesuai dengan dengan ayat 20 Surat an-Nisa’).

Keberadaan dan peran para sahabiyat ini begitu nyata dan diakui oleh semua penulis biografi sebagai periode terbaik dalam lintasan sejarah Islam. Sayang, setelah Abad 2 H/8 M s/d Abad 9 H/ 15 M, terjadi penurunan drastis peran perempuan dalam pembentukan dan penyampaian ilmu dan hadis. Peran perempuan umumnya sebagai guru dan penyampai riwayat, hanya sedikit yang diakui keulamaannya dan menjadi mufti. Faktor penting penyebab turun drastisnya peran perempuan dalam ilmu agama adalah pandangan yang merendahkan perempuan, termasuk dari para ulama laki-laki dan penguasa, dan lebih dominannya tradisi patriarki di setiap dinasti, termasuk Dinasti Abbasiyah, justru ketika keilmuan Islam mencapai puncak kejayaan.

Di masa sahabat, proporsi sahabiyat yang terekam dalam ath-Thabaqat Ibn Sa’d adalah 16,5% atau lebih dari 1200 orang dalam hitungan Ibn Sa’ad. Pada masa tabi’in menurun drastis menjadi 1,9 % (hanya 90 orang) dalam hitungan Ibn Hibban. Pada masa Tabi’it Tabiin lebih sedikit lagi. Ibn Hibban mencatat 14 orang perempuan saja. Sementara Ibnu Hajar mencatat 3 orang dan Ibn Sa’ad 16 orang perempuan.

Sejak abad ke-2 s/d 5 H, hanya sekitar 10 orang perempuan yang dikenali setiap satu abad sebagai penyampai ilmu agama. Sebagian besar berasal dari kelas menengah dan berpendidikan. Di antara yang sedikit itu ada nama Nafisah binti al-Hasan (w. 208 H/ 824 M) mengajarkan hadis kepada Imam Syafi’i ra. Ummu Umar ats-Tsaqafiyah mengajar hadis kepada Imam Ahmad bin Hanbal ra.

Mulai abad 6–10 H, jejak ulama perempuan mulai lebih banyak terekam dibanding abad sebelumnya. Dari 13 orang pada abad 5 menjadi 40-an orang pada abad 6 H. Abad 8 H, Ibn Hajar mencatat 168 perempuan penyampai ilmu agama, pemberi dan penerima ijazah, dan beliau sendiri belajar pada 33 guru perempuan. Abad 9 H, as-Sakhawi mencatat ada sekitar 405 perempuan alim sebagai guru dan penyampai ijazah, dan beliau sendiri berguru kepada 46 perempuan. Abad 10 H, as-Suyuthi belajar hadis pada 33 guru perempuan. Abad 11 H/16 M sampai abad 13 H/ 19 M, peran perempuan menurun tajam kembali seiring kemandegan dalam kesarjanaan Islam dan kemunduran politik umat Islam.

Mulai abad 20, suara untuk menyetarakan perempuan dalam akses kepada pendidikan dan kritik terhadap wacana agama yang merendahkan dan meminggirkan kaum perempuan mulai terdengar. Adalah Rifaah al-Thahtawi dari Mesir (1801-1873 M) yang memulai, dan kemudian disambut oleh banyak ulama termasuk ulama laki-laki seperti Qasim Amin, Muhammad Abduh dan lain-lain. Suara ini terus bergema, mengubah pandangan keagamaan sebagian muslim menjadi lebih ramah kepada perempuan, dan segera menjalar di berbagai belahan dunia, serta memasuki ranah-ranah pemikiran dan tindakan yang lebih luas, hingga kini.

Dari paparan di atas, dapat kita nyatakan bahwa peran ulama perempuan ada dan nyata dalam sejarah peradaban Islam, namun terjadi pasang surut yang nyata juga. Meski demikian, ini bukan indikator tidak adanya perempuan cerdas dan berintegritas. Sebab, hasil kajian adz-Dzahabi dalam Mizan al-I’tidal, kitab rijal hadits yang berisi perawi yang dinilai dhaif riwayatnya, mengkonfirmasi kapabilitas dan kredibilitas perempuan. Beliau berkomentar tentang 4000 perawi yang ia nyatakan “tertuduh dusta”. Beliau mengatakan “Dan saya tidak melihat seorang wanita pun yang tertuduh berdusta dan ditinggalkan haditsnya”.

Menurunnya peran keulamaan perempuan lebih dikarenakan oleh situasi sosial budaya dan politik yang tidak mendukung. Pada saat Rasulullah saw. sebagai pemegang otoritas agama dan negara sangat memberi ruang aktualisasi kepada sahabiyat dan para sahabiyat sendiri memiliki banyak inisiatif, maka peran sahabiyat teraktualisasikan dengan sangat baik. Sebaliknya, ketika kebijakan negara, pandangan dan tradisi keagamaan masyarakat tidak memberi ruang kepada ulama perempuan, keberadaan dan perannya pun menurun. Ironisnya, sejarah Islam mencatat pada saat peradaban Islam mencapai puncaknya di bidang ilmu pengetahuan, ulama perempuan yang namanya sejajar dengan ulama laki-laki justru menurun. Menjadi jelas, bahwa peran keulamaan perempuan tidak bisa dilepaskan dari dukungan struktural para penyelenggara negara, dan juga dukungan kultural masyarakatnya.