Cecep Jaya Karama

Cecep Jaya Karama merupakan seorang Kiai Feminis Muslim asal Jawa Barat yang memiliki perhatian mendalam terhadap isu-isu keperempuanan dan kesetaraan dalam berelasi (mubadalah). Prinsip-prinsip Islam berupa kerahmatan dan kesalingan dalam kebaikan sebagai pondasi utama dalam kehidupan berumah tangga, berbangsa, bernegara merupakan salah satu poin kunci yang kerap dia dakwahkan bersama sang istri. A Cecep, sapaan akrabnya, juga aktif sebagai anggota di Rahima, sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di isu penegakan hak-hak perempuan dengan perspektif Islam.

Cecep Jaya Karama
CecepJayaKarama.jpg
Tempat, Tgl. LahirGarut, 7 Juni 1980
Aktivitas Utama
  • Pimpinan Pondok Pesantren Nurulhuda Cibojong, Garut, Jawa Barat
  • Pendakwah Mubadalah dan Keadilan Gender
  • Katib syuriah MWC NU Kecamatan Cisurupan
  • Pengurus Perhimpunan Rahima di Jakarta.
Karya Utama

Pada perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) 2 di Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara, K.H. Cecep Jaya Karama, S.Pd. hadir sebagai salah satu peserta sekaligus membersamai istrinya, Ny. Hj. Ernawati Siti Syaja’ah, M.Pd.I, yang menjadi narasumber sesi Halaqah Tematik bertemakan, “Peran Ulama Perempuan dalam Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Ormas dan Lembaga Pendidikan Keagamaan”. Sesi ini berisikan momentum berbagi pengalaman pengurus Pondok Pesantren Nurulhuda terkait ikhtiar baik dalam pembuatan Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di pesantren.

Riwayat Hidup

Cecep Jaya Karama merupakan anak kelima, dari tujuh bersaudara, dari pasangan K.H. Muhammad Nuh Addawami (akrab disapa Abah Ceng Enoh) dan Nyai Hj. Ooy Qodasah (akrab disapa Euceu). Tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren, laki-laki kelahiran Garut  7 Juni 1980 ini semenjak kecil belajar mengaji Alquran kepada ibunya. Sejak kelas 5 SD, Cecep kecil ikut bergabung di pesantren Nurulhuda, Cibojong, Cisurupan, Garut, untuk mengaji kitab kuning kepada sang ayah. Mulai dari kitab Al Ajurumiyah, Imrithi, Al fiyah, Jauhar Maknun, dan lainnya hingga menamatkan pendidikan ‘Aliyah di pondok tersebut.

Kemudian, dia melanjutkan Takhossus ke beberapa pesantren lainnya. Mulai dari pesantren Al-Huda, almamater sang ayah, lalu melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke Sukabumi Jawa Barat di Pesantren Darul Hikam demi memperdalam ilmu balaghah, mantiq, dan ilmu falak (astronomi). Setelah itu berlanjut ke pesantren Al-I'anah Buni Kasih Cianjur untuk mengaji kitab I'anah al-Thalibiin dalam bidang fiqh Syafi’i. Setelah itu ke Pesantren Mursyidul Falah Karawang untuk mengaji kitab Ummul Barahin dalam bidang tauhid ahlussunnah wal Jama'ah di bawah bimbingan Abah Kyai Obay. Hingga akhirnya, Cecep dipanggil oleh ayahnya untuk kembali ke pondok membantu beliau mengajar para santri berhubung padatnya aktivitas Abah sebagai salah satu pengurus wilayah NU provinsi Jawa Barat. Dan saat ini Abah merupakan salah satu Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Selain itu, Cecep juga memiliki sederet pengalaman dalam berorganisasi, mulai dari Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Ansor NU, hingga terlibat langsung sebagai pengurus NU, baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Saat ini, dia dipercaya sebagai katib syuriah Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (MWC NU) Kecamatan Cisurupan. Sang Kiai Milenial ini pun terlibat aktif sebagai salah seorang pengurus Perhimpunan Rahima yang berkantor di Jakarta. Dengan demikian, Cecep mengemban amanah yang cukup besar untuk berdakwah kepada banyak orang; dari santri, masyarakat sekitar, hingga warga internet melalui keteladanan serta dakwah-dakwahnya yang akrab dan kekinian.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Dibesarkan oleh sosok ibu yang adil gender, Cecep beserta saudari dan saudaranya terbiasa tumbuh dalam lingkungan yang tidak melabelkan aktivitas domestik dan publik berdasarkan jenis kelamin. Kehadiran sosok ayah yang berpemikiran terbuka dan selalu menyisipkan prinsip-prinsip kerahmatan dalam keteladanan berumah tangga juga menjadikan seorang Cecep bertumbuh sebagai pribadi yang penyayang, senang belajar, berpemikiran luas, dan menjunjung prinsip hidup yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).

Selain peran kedua orang tua yang telah mendidik dan memberikan keteladanan hingga menjadikannya laki-laki yang merdeka dari sistem patriarki, Cecep juga memperoleh paparan informasi terkait gender dan kesetaraan dari buku-buku yang kerap dibawa ke pondok oleh kakaknya, Hj. Ai Sadidah. Hal tersebut menumbuhsuburkan kesadaran terkait isu keperempuanan dan kesetaraan di dalam diri Cecep. Hingga akhirnya sejak 2005, Cecep secara intensif terus belajar tentang gender, kesetaraan, dan keadilan melalui program-program pelatihan yang diadakan oleh Rahima. Pada program tersebut pula, Cecep dipertemukan dengan sahabat seangkatannya di pondok pesantren yang kemudian menjadi tambatan jiwanya dalam berjuang bersama menyebarkan pemahaman terkait relasi kesetaraan antara perempuan dan laki-laki.

“Kalau kita ini kan sudah satu frekuensi ya. Karena sebelum menikah sudah ikut pelatihan bareng, sudah punya perspektif yang sama,” jelas Cecep kepada Kupipedia.id (26/11/2022) pada pergelaran KUPI 2 di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Bangsri, Jepara, mengenai kesuksesan praktik mubadalah yang diterapkannya dalam berkeluarga.

Cecep adalah sosok laki-laki yang berkata sesuai laku, demikian kesaksian yang disampaikan Erna selaku istri. Menurut pengakuannya, teori keadilan gender dan kesetaraan dalam berelasi yang disampaikan Cecep tidak hanya berhenti di forum-forum kajian, tetapi juga dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Teh Erna, sapaan akrabnya, menilai sosok Cecep dihormati bukan saja karena keilmuannya sebagai ulama perempuan, akan tetapi juga karena keteladanannya bagi masyarakat sekitar Pondok Pesantren (Ponpes), para santri, bahkan keluarganya sendiri.

Penghargaan dan Prestasi

Keteladanan dan ilmu pengetahuan berdampak besar bagi Cecep untuk bertransformasi menjadi seorang laki-laki yang sensitif gender dan mampu mempraktikkan prinsip relasi setara yang penuh rahmat di dalam kehidupannya. Hal tersebut pula yang Cecep sebarkan di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitarnya. Bersama sang istri, Cecep bahu membahu berdakwah kepada masyarakat di sekitar pesantren untuk membangun relasi dan komunikasi yang sehat di dalam keluarga mereka masing-masing.

Cecep dan Erna menyediakan ruang konsultasi dan mediasi keluarga bagi masyarakat sekitar pesantren yang membutuhkan bantuan. Mereka juga membagikan ilmu pengetahuan mengenai tata cara berelasi secara sehat dan adil gender di dalam berkeluarga melalui Forum Mawar (Mawaddah wa Rahmah) bagi para ibu dan kajian tentang kesetaraan kepada para bapak. Selain itu, Cecep dan Erna juga secara berkesinambungan mengadakan kegiatan-kegiatan terkait kesehatan reproduksi, kesetaraan, dan penjagaan lingkungan di pesantren Nurulhuda dengan ikut melibatkan santri dan masyarakat sekitar.

“Sebelum menikah, saya sering berkunjung ke pesantrennya. Masyarakat sekitar kita cerita-cerita, sebelum Aa mendakwahkan hal-hal seperti itu, pasangan suami-istri  (di sekitar lingkungan pesantren) sering bertengkar. Tetapi hari ini, kita jarang sekali mendengar orang yang bertengkar,” jelas Erna.

Perlahan tapi pasti,  dakwah yang diiringi keteladanan yang dilakukan Cecep selaku kiai pengasuh pondok pesantren Nurulhuda tidak hanya dirasakan oleh para santri tetapi juga masyarakat di sekitar Ponpes tersebut. Sistem partriarki yang mengalir kental di dalam kehidupan sosial masyarakat, termasuk di dalam lembaga pendidikan itu sendiri, perlahan-lahan memudar, tergantikan dengan prinsip kesalingan yang ramah gender.

Sejatinya, menghadirkan kesadaran dan pengetahuan yang mampu mengubah masyarakat menjadi lebih baik bukanlah hal yang mudah. Selama proses berdakwah, Cecep dan Erna sempat memperoleh protes dari masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran gerakan kesetaraan dalam sebuah relasi antara perempuan dan laki-laki. Namun seiring waktu, pemahaman masyarakat semakin terbangun, dan perubahan sikap masyarakat untuk menerima kesetaraan pun muncul.

“Justru ada kebanggaan ketika melihat perubahan yang luar biasa terjadi di masyarakat. Sekarang itu, MasyaAllah, luar biasa. Awalnya, guru-guru di pesantren patriarkinya sangat kuat, tapi sekarang sudah hampir semuanya setara,” ungkap Cecep.

Selaku Kiai Milenial, Cecep menyadari bahwa media dakwah di zaman kini tidak hanya sebatas ruang fisik tetapi juga mencakup dunia virtual. Hal ini dipandangnya sebagai peluang untuk menyebarkan dakwah lebih luas dan fleksibel. “Pengaruh sosmed sangat besar, maka ruang-ruang ini harus kita isi,”sarannya.

Cecep menilai penting untuk mendukung para santri menghasilkan konten-konten positif terkait kesetaraan.  Menurutnya, anak muda perlu memiliki keinginan untuk terus belajar, tidak merasa cukup dengan pengetahuan yang dia punya, dan terus mencari ilmu berlandaskan panduan yang ada. Oleh sebab itu, di pesantrennya berdikari, Cecep dan Erna memberikan ide-ide dan bimbingan kepada para santri untuk memproduksi film-film pendek sebagai bentuk ikhtiar agar pemahaman akan relasi kesetaraan dapat tersebar dan diketahui oleh masyarakat luas.

Merujuk pada kritik Kiai Nakha’i yang menyatakan betapa ayat umrah dan haji yang hanya ada beberapa dan diurus dengan serius oleh semua pihak, termasuk Kementerian Agama, akan tetapi ayat tentang pernikahan yang berjumlah ratusan seakan tidak digubris sama sekali praktiknya. Bahkan urusannya dikembalikan kepada pribadi masing-masing. Hal tersebut ternyata membangkitkan keresahan pada diri Cecep. Menurutnya, permasalahan semacam itu merupakan tugas bersama yang harus dibahas secara serius dan diselesaikan secara berjamaah.

“Ini PR besar untuk kita semua. Terkait dengan relasi perkawinan, perpektif kesetaraan, ini menjadi hal yang sangat penting untuk kita pikirkan. Bagaimana orang-orang yang sudah punya perspektif kesetaraan yang baik bisa menyampaikan kepada yang lainnya.  Mungkin lewat tulisan, lewat pidato, ceramah, atau lewat media sosial. Harus terus kita glorakan agar yang sudah punya perspektif ini bisa menularkan kepada mereka yang belum,” pesannya.

Erna menambahkan, “Untuk menumbuhkan kesadaran tentang kesetaraan mungkin yang harus diupayakan tidak hanya dari individu-individu saja, tetapi juga ada lembaga yang concern dalam hal ini.” Dia menilai bahwa kesadaran hanya akan tumbuh jika suatu hal disampaikan secara intensif, terus menerus dalam sebuah sistem. “Jadi harus ada lembaga khusus yang mengajarkan kepada guru-guru dan ustaz-ustazah, supaya nanti bisa diajarkan kembali kepada para santri. Demi mempersiapkan generasi berikutnya,” imbuhnya.

Karya-karya

Daftar Bacaan Lanjutan


Penulis : Ayu 'Ulya
Editor :
Reviewer :