Aurat secara bahasa berarti kekurangan atau sesuatu yang tak elok dipandang mata.[1]Dapat juga diartikan dengan kerusakan pada suatu daerah yang dikhawatirkan, segala sesuatu yang memungkinkan untuk ditutupi, segala hal yang dapat menimbulkan rasa malu, atau anggota tubuh yang ditutupi oleh seseorang karena rasa malu.[2]Beragam arti kata ini digunakan dalam firman Allah swt yang menyebut kata aurat sebanyak tiga kali pada ayat yang berbeda. Yaitu dalam surat Al-Ahzab: 31 kata aurat dengan arti suatu tempat yang dikhawatirkan, dalam surat An-Nur: 58 kata aurat diartikan dengan sesuatu yang jika terbuka dapat menimbulkan rasa malu, dan dalam surat An-Nur: 31 diartikan dengan anggota tubuh yang ditutupi karena rasa malu.[3]

Secara syara’, aurat adalah anggota tubuh yang wajib ditutupi dan tak boleh dilihat baik di dalam salat mupun di luar salat. Oleh karena itu, andaiakata seseorang berada di ruang tersembunyi lagi gelap maka ia tetap tidak boleh membuka auratnya selama ia memiliki sesuatu yang suci untuk dipakai. Aurat hanya boleh ditampakkan saat ada kebutuhan untuk semisal berobat, buang air, dan membersihkan diri.[4]

Menutup aurat dalam salat dan melangggengkannya dalam keadaan tertutup hingga ibadah salat usai, hukumnya wajib bagi laki-laki dan perempuan. Dalil yang mendasarinya adalah firman Allah:

خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِد (31)

“pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid,” (QS. Al-A’raf: 31)

dan sabda Rasulullah SAW:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ

“Allah tidak menerima salatnya perempuan yang telah baligh kecuali dengan khimar (penutup aurat).” (HR. Abu Daud: 641)

Adapun batasannya, berbeda-beda menurut pendapat para ulama. Menurut Hanafiyah, aurat laki-laki adalah anggota tubuh antara pusar dan lutut dengan menganggap lutut termasuk aurat sementara pusar tidak. Adapun aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah, bagian dalam telapak tangan dan punggung telapak kaki.

Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat laki-laki adalah anggota tubuh antara pusar dan lutut dengan menganggap pusar dan lutut bukan termasuk aurat, akan tetapi tetap wajib ditutup selama salat demi kesempurnaan kewajiban menutup aurat. Adapun aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan, baik bagian dalam maupun punggung telapak. Pendapat ini sama dengan yang disepakati oleh ulama Hanabilah, hanya saja khusus aurat perempuan mereka hanya mengecualikan bagian wajah.

Sementara dari kalangan ulama Malikiyah mereka membagi aurat menjadi dua kategori, yakni aurat mughaladzah (berat) dan mukhaffafah (ringan). Bagi laki-laki aurat beratnya adalah kemaluan depan dan belakang, sementara anggota tubuh antara pusar dan lutut selain dua kemaluan adalah aurat ringan. Bagi perempuan aurat beratnya adalah seluruh tubuhnya kecuali bagian tepi tubuh dan dada, sementara wajah dan telapak tangan baik bagian dalam maupun punggung telapak bukan termasuk aurat. Adapun bagian tepi semisal kedua lengan, kepala, leher, dada, punggung, lutut hingga ujung kaki termasuk aurat ringan. Semua aurat baik yang berat maupun yang ringan wajib ditutup selama selama salat.[5]

Di luar salat, seorang muslim dan muslimah tidak boleh menampakkan auratnya baik kepada lawan jenis maupun sesamanya. Rasulullah ﷺ bersabda:

مَا بَيْنَ السُّرَّةِ وَالرُّكْبَةِ عَوْرَةٌ

“Apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat.” (HR. Thabrani No: 1.033)

لَا يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ، وَلَا الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ

“Seorang lelaki tidak boleh melihat aurat lelaki lainnya, dan seorang perempuan tidak boleh melihat kepada aurat perempuan lainnya.” (HR. Muslim No: 74)

Allah berfirman:

وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا (31)

“dan janganlah (para perempuan) menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat.” (QS. An-Nur: 31)

Ulama sepakat mengenai batasan aurat laki-laki antara pusar dan lutut. Namun terjadi perbedaan pendapat ulama tentang batasan aurat perempuan sebab perbedaan mereka dalam menafsiri makna kalimat مَا ظَهَرَ مِنْهَا. Di antara banyaknya penafsiran kalimat tersebut, salah satu yang masyhur adalah pendapat Ibnu Abbas yang memaknainya dengan wajah dan telapak tangan. Syekh Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa penafsiran Ibnu Abbas dan orang-orang yang sepakat dengannya merupakan pendapat yang rajih (lebih jelas), karena menurutnya pengecualian yang datang setelah larangan mengandung arti sebuah dispensasi dan kemudahan. Karena itulah Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa pada umumnya wajah dan telapak tangan memang dibiarkan terbuka untuk memudahkan kaum perempuan baik dalam aktivitas sehari-hari maupun dalam ibadah semisal salat dan haji, dengan demikian wajah dan telapak tangan bukanlah anggota yang wajib ditutupi.[6]

Lebih daripada itu, pada anggota tubuh perempuan selain wajah dan telapak kaki semisal lengan hingga siku, telapak kaki hingga betis sampai penutup kepala atau jilbab juga terjadi perbedaan pendapat ulama tentang kebolehan membukanya. Selain pada batasannya, ulama juga membedakan antara aurat perempuan merdeka dan perempuan budak, lagi-lagi alasannya adalah mobilitas seorang budak lebih banyak di ruang publik sehingga berpakaian serba tertutup merupakan sesuatu yang memberatkannya. Lain dengan perempuan merdeka yang kala itu “dirumahkan” sehingga ia tidak mengalami kerepotan sebagaimana hambay sahaya. Perbedaan ulama merupakan sebuah rahmat yang sepatutnya kia hargai, sebab mereka melakukan istinbath berdasarkan ijtihad di zaman dan tempat mereka berada yang membuat hasil ijtihad menjadi beragam sehingga umat muslim seluruh dunia dapat memilih pendapat yang paling relevan dengan kondisi dan situasinya masing-masing.

Menurut Buya Husein Muhammad, dari berbagai pandangan ahli fiqih dapat terlihat dengan jelas bahwa teks-teks keagamaan yang membicarakan tentang isu aurat perempuan sesungguhnya tidaklah berdiri di ruang kosong. Isu tersebut berada pada pijakan realitas dan berkembang di sekitar para mufassir dan ulama. Kondisinya sangat relatif; berbeda dari satu waktu ke waktu yang lain dan dari satu tempat ke tempat yang lain. Jadi, pendapat-pendapat ulama tentang aurat dalam kacamata ini sesungguhnya adalah bersifat kontekstual.

Apabila dapat dipahami dan disepakati bahwa sebuah keberatan dan kebutuhan merupakan aspek-aspek yang menjadi alasan substansial dalam menginterprestasikan teks-teks aurat, maka isu aurat bukanlah terminologi agama yang bersifat universal. Dengan kata lain, batasan-batasan mengenainya bukan ditentukan oleh teks-teks agama an sich. Dalam hal ini, kata aurat sama halnya dengan kata yang lain seperti aib  dan memalukan, sebagaimana juga kata wajar, sopan atau santun. Kata-kata ini bukanlah terminologi agama tertapi terminologi sosial budaya yang sangat relatif dan kontekstual, yakni berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lain dan dari waktu ke waktu yang lain.[7]

Larangan membuka aurat beriringan dengan kewajiban menjaga pandangan. Dalam surat An-Nur ayat 30-31 dengan jelas disebutkan perintah menjaga pandangan datang sebelum larangan membuka aurat. Itu artinya, mengendalikan pandangan tak kalah pentingnya daripada menutup aurat. Sayangnya, sedikit orang yang mau mengoreksi caranya memandang daripada apa yang mereka pandang. Padahal baik muslim maupun muslimah dituntut untuk melaksanakan keduanya dengan seimbang dan seseorang itu diganjar atas sesuatu yang ia lakukan, bukan yang orang lain lakukan.

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (8)

“Siapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji zarah, dia akan melihat (balasan)-nya. Dan siapa yang mengerjakan kejahatan seberat biji zarah, dia akan melihat (balasan)-nya.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)

Dalam hal ini perempuan seringkali menjadi bahan koreksi dalam hal menutup aurat. Sehingga tak jarang kasus pelecehan seksual cenderung menyalahkan perempuan yang membuka auratnya dibanding mengoreksi cara pandang pelaku kekerasan. Ini ketimpangan yang tak sepatutnya dilestarikan. Memang, lebih banyak anggota tubuh perempuan yang harus ditutupi daripada laki-laki. Namun alangkah indahnya jika tercipta kesalingan untuk mengerti tanggungjawab dan otoritas masing-masing, ketika laki-laki dan perempuan benar-benar mengamalkan ayat di atas dengan sama-sama menjaga pandangannya dan menutup auratnya demi menjaga pandangan orang yang tidak berhak.


Penulis: Nurun Sariyah


  1. Ahmad Salamah Al-Qalyubi, Ahmad Al-Barlasi ‘Amirah, Hasyiyata Qalyubi wa ‘Amirah, Daar Al-Fikr, Beirut, juz 1, hal. 200
  2. Larrouse, Munjid fi Al-Lughoh wa Al-A’lam, Daar El-Machreq, Beirut, 2005, hal. 537
  3. Ilmi Zadeh, Fathu Ar-Rahman li Ath-Thalibi Ayati Al-Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, hal. 323
  4. Az-Zuhailiy, Wahbah bin Musthofa Az-Zuhailiy, Al-Fiqhu Al-Islamiy wa Adillatuhu, Daar Al-Fikr, Damaskus-Syiria, juz 1, hal. 738
  5. Al-Jaziri, Abdurrahman bin Muhammad Al-Jaziri, Al-Fiqhu ‘ala Al-Madzahib Al-‘Arba’ah, Daar Al-Kutub Al-Islamiyah, Beirut, juz 1, hal. 172
  6. Yusuf Al-Qardhawi, Fatawa Mu’ashirah, Maktabah Syamilah 10000 (16 GB) Ust. Ahmad Zainuddin, Lc, juz 2, hal. 293-294
  7. Husein Muhammad, Jilbab & Aurat, Fahmina Institute, Cirebon, 2021, hal. 67-68