Argumen Atas Kepemimpinan Politik Perempuan

Oleh: Badriyah Fayumi


Pertanyaan awal yang mungkin muncul dari judul ini barangkali adalah mengapa kepemimpinan politik perempuan dan bukan kekhalifahan perempuan? Ada dua argumen yang mengapa istilah kepemimpinan politik lebih dipilih dari pada istilah kekhalifahan. Pertama, istilah khalifah dalam khazanah politik Islam adalah istilah khusus yang mempunyai arti pemimpin agama dan Negara Islam (Daulah al-Islam) yang mempunyai otoritas memerintah seluruh masyarakat Muslim di seluruh dunia Islam. Saat ini dunia Islam tidak disatukan dalam sebuah negara atau kekhalifahan yang dipimpin seorang khalifah seperti yang terjadi peda masa awal-awal Islam. Kedua, seiring dengan diterimanya konsep negara-bangsa (nation state), dunia Islam saat ini mewujud dalam berbagai negara yang dibentuk berdasarkan rumpun dan asal-usul kebangsaan. Ada negara Islam yang dibentuk berdasarkan bangsa Arab, seperti beberapa negara Timur Tengah, bangsa Melayu seperti Malaysia, bangsa Persia seperti Iran, bangsa Indonesia, dan sebagainya (walaupun Indonesia bukan negara Islam). Dalam pada itu tidak satupun pemerintahan yang ada berbentuk kekhalifahan. Kalau tidak kerajaan bentuknya adalah republilk. Dengan demikian, baik secara normatif maupun secara praktis konsep dan praktek kekhalifahan sudah tidak ada lagi dalam dunia Islam.

Seiring dengan kenyataan ini, yang kemudian muncul dan selalu menjadi perdebatan adalah masalah kepemimpinan perempuan dalam politik, khususnya mengenai perempuan yang menduduki jabatan sebagai kepala Negara dan atau kepala Pemerintahan. Karena hal ini menjadi isu sentral di hampir semua negara Islam atau negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, maka tulisan ini akan fokus pada masalah tersebut. Namun sebelum itu akan disinggung sekilas mengenai perempuan dalam kekuasaan yudikatif dan legislatif untuk memberikan ilustrasi betapa hak-hak politik perempuan selalu menjadi hal yang diperselisihkan sekalipun porsi perselisihannya berbeda-beda.

Hakim Perempuan dan Perempuan Anggota Parlemen: Argumen Fiqhiyah

Dalam khazanah fiqh siyasah, seluruh ulama sepakat bahwa hak dan kewajiban politik dalam arti amar ma'ruf nahi munkar menjadi milik laki-laki dan perempuan tanpa perbedaan. Namun para ulama berbeda pendapat ketika memasuki wilayah politik praktis yang erat kaitannya dengan jabatan publik dan pengambilan keputusan yang mengikat masyarakat luas seperti menjadi hakim (kekuasaan yudikatif), menjadi anggota parlemen (kekuasaan legislatif), atau menjadi kepala Negara (kekuasaan eksekutif).

Isu mengenai hak politik perempuan dalam kekuasaan yudikatif dan legislatif dapat kita katakan relatif selesai. Negara-negara muslim sebagian besar sudah tidak mempermasalahkan lagi keberadaan hakim perempuan dan anggota parlemen perempuan. Dunia Islam tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa banyak perempuan pandai dan mampu menduduki jabatan publik seperti ini. Apalagi kenyataan juga menunjukkan bahwa perempuan merupakan lebih dari separuh penduduk bumi. Meskipun penerimaan ini harus melalui sejarah perjuangan yang cukup panjang, seperti yang dilakukan Huda Sya'rawi dan Munirah Tsabit di Mesir, perdebatan fiqhiyah akhirnya memberi ruang kepada perempuan.

Salah satu hal yang memberikan jalan bagi penerimaan hakim perempuan adalah bahwa di kalangan ulama besar fiqh, ada Imam Hanafi (Abu Hanifah), Ibnu Hazm azh-Zhahiri, Ibnu Jarir Ath-Thabari dan Hasan al-Bashri yang memperbolehkan perempuan menjadi hakim. Abu Hanifah dan Ibnu Hazm memperbolehkan perempuan menjadi hakim selain untuk urusan pidana berat (hudud dan qishas) (lihat Abu Bakar Al-Kasani dalam Bada'i al-Shana'i fi Tartib as-Syara'i (V II/3) dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (IX/429/430). Sementara Ath Thabari dan Hasan al-Bashri tidak membatasi kekuasaan kehakiman perempuan. Alasan mereka, jika perempuan boleh menjadi mufti (pemberi fatwa agama), maka logis kalau ia boleh menjadi hakim (lihat al-Khatib al-Syarbini, IV/375). Meskipun pendapat ini banyak ditentang oleh ahli fiqh yang lain, namun tetap dapat kita katakan bahwa dalam hal ini khilafiyah yang terjadi membawa hikmah bagi perempuan.

Selanjutnya, diskursus mengenai perempuan dalam parlemen dalam fiqh dapat kita katakan relatif lebih tidak bermasalah dibanding dengan perempuan menjadi hakim. Para fuqaha tidak secara eksplisit melarang perempuan menjadi anggota parlemen, meskipun tampaknya secara implisit di antara mereka ada yang tidak memperbolehkannya dengan alasan jika perempuan tidak boleh menjadi hakim, perempuan juga tidak boleh menjadi anggota parlemen. Asumsinya sama, keahlian dan kemampuan perempuan yang menjadi syarat utama dalam jabatan publik seperti hakim dan anggota parlemen tidak seperti yang dimiliki laki-laki.

Seolah menetralisir pendapat ini, Dr. Sa'id Ramadhan al-Buthi mengatakan bahwa syura (lembaga permusyawaratan) dalam pandangan mayoritas ulama memiliki kesamaan dengan fatwa. Anggota parlemen sama fungsinya dengan mufti. Seluruh ulama sepakat perempuan boleh menjadi mufti. Oleh karena itu, perempuan juga bisa menjadi anggota parleman. (lihat al-Buthi, al-Qadhaya al-Fiqhiyyah al-Mu 'ashirah, h. 171).

Sekalipun pendapat ini masih ditentang juga oleh sebagian ulama, fakta di dunia Islam sudah dapat kita lihat banyak perempuan muslimah menjadi anggota parlemen. Masyarakat muslim pun mengakui keberadaan mereka memang menjadi keharusan. Dan yang terpenting tidak ada mafsadah dan kemudharatan yang timbul akibat keanggotaan perempuan dalam parlemen. Bahkan sebaliknya, mereka bisa mewakili hak politik kaum perernpuan. Dengan kata lain, dilihat dari prinsip dasar agama yang menjadikan kemaslahatan umum (al-mashlahah al-ammah) sebagai dasar bagi pembentukan sistem sosial dan kenegaraan, keberadaan perempuan dalam kekuasaan legislatif dan juga yudikatif merupakan sesuatu yang memang sudah seharusnya karena zaman memang mengharuskan demikian.

Perempuan sebagai Presiden atau Perdana Menteri: Argumen Agama

Isu yang terpenting dan masih selalu diperdebatkan saat ini adalah perempuan sebagai kepala negara. Isu ini selalu mengemuka terutama jika ada sinyal seorang perempuan mendapat dukungan rakyat untuk menjadi Presiden atau Perdana Menteri. Perdebatan selalu sengit. Baik kelompok yang mendukung maupun yang menentang menjadikan dalil-dalil agama sebagai argumentasinya. Berikut ini akan dijelaskan serba singkat dalil-dalil agama yang sering dijadikan sebagai argumen yang menentang kepemimpinan perempuan dalam suatu negara, baik sebagai presiden perdana Inenteri. Selanjutnya argumen itu akan diuji apakah layak dijadikan sebagai dalil yang pasti untuk menolak kepemimpinan perempuan tersebut atau tidak.

A.  Al-Qur'an

Paling tidak ada tiga ayat yang sering dijadikan dalil untuk menolak kepemimpinan perempuan ini yakni :

  1. Surat An-Nisa' (4) ayat 34 : "Kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan … dst."
  2. Surat Al-Baqarah (2) ayat 228 : "Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang menurut cara yang baik. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan dari pada istrinya."
  3. Surat Al-Ahzab (33) ayat 33 : "Dan hendaklah kalian (wahai para istri Nabi) tetap di rumah kalian dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah dulu"

Dengan merujuk pada ayat pertama, mereka yang menolak kepemimpinan perempuan berpendapat bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan secara mutlak, baik di sektor domestik maupun di sektor publik. Tidak ada alasan bagi kaum perempuan untuk memimpin laki-laki. Apalagi dalam ayat kedua dinyatakan bahwa laki-laki mempunyai kelebihan atas perempuan. Kelebihan ini meneguhkan kepemimpinan laki-laki dan menafikan kemungkinan kepemimpinan perempuan. Selanjutnya, ruang gerak perempuan dibatasi pada empat arah dinding rumahnya karena ayat ketiga menyuruh perempuan untuk tinggal di rumah. Atas dasar inilah, keterlibatan perempuan dalam dunia publik, apalagi menjadi pemimpin, sangat ditentang karena melewati batas wilayah yang diperuntukkan perempuan yakni wilayah domestik dan menentang nash yang zhahir (teks ayat yang tersurat).

Pertanyaan kita sekarang adalah apakah harus begitu memahami teks ayat? Jawabannya jelas tidak. Sebab kaedah penafsiran memberikan ruang pemahaman yang tidak sesempit itu.

Dalam kaedah tafsir ada dua pendapat mengenai bagaimana menempatkan asbabun nuzul (sebab dan konteks turunnya suatu ayat).

Pertama, kaedah yang mengatakan bahwa teks umum yang tersuratlah yang dijadikan pedoman dan bukan sebab yang khusus (Al-Ibrah bi Umum al- Lafzhi la bi Khusus al-Sabab). Berdasarkan kaedah ini muncul pendapat yang menganggap bahwa asbabun nuzul tidak penting dipertimbangkan dalam memahami ayat. Apa yang tersurat itulah yang dijadikan pedoman. Atas dasar inilah ayat-ayat di atas dijadikan dalil menolak kepemimpinan perempuan.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa peristiwa dan konteks khusus yang melatarbelakangi turunnya ayatlah yang dijadikan pedoman dan bukan teks yang tersurat (al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafzhi). Kaedah ini mempertimbangkan asbabun nuzul dalam memahami teks ayat atau hadits karena seringkali terjadi kesalahan pemahaman dan penerapan teks akibat tidak melihat konteks. Padahal ayat-ayat dan hadis tidak turun di ruang hampa. Ada dinamika sosial yang melingkupinya ketika ayat atau hadis itu turun. Oleh karena itu, agar ayat dan hadits yang turun empat belas abad yang lalu itu tetap kontekstual, ia harus diletakkan pada konteks turunnya.

Berdasarkan kaedah kedua ini muncullah pendapat yang memperbolehkan kepemimpinan perempuan merujuk kepada ketiga ayat di atas, di samping ayat-ayat lain yang secara eksplisit mengakui kesetaraan hak politik laki-laki dan perempuan seperti Surat At-Taubah ayat 71 dan ayat yang secara eksplisit mengakui keberhasilan kepemimpinan seorang perempuan Ratu Negeri Saba, yakni Ratu Balqis seperti yang dikisahkan dalam Surat An-Naml ayat 15-44.

Memahami asbabun nuzul ayat pertama (An-Nisa: 34), kita akan mendapatkan fakta bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kasus salah seorang istri sahabat yang ditampar suaminya. Sang istri mengadu kepada Nabi yang dijawab oleh Nabi "al-qishash" (balaslah). Ketika perempuan itu pergi turunlah Jibril dengan ayat di atas (lihat Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Adhim, Dar al-Turats, Cairo, juz I, h. 491).

Dengan melihat asbabun nuzul ini, ayat ini turun berkenaan dengan kasus khusus menyangkut masalah keluarga dan tidak ada kaitannya dengan keterlibatan perempuan dalam politik. Hal itu semakin jelas jika kita memperhatikan teks ayat secara utuh, yakni bahwa kepemimpinan dalam keluarga itu terjadi karena sebagian (tidak semua) laki-laki melebihi sebagian perempuan (bima fadhdhal'allahu ba 'dhahum 'ala ba'dhin) dan karena laki-laki memberi nafkah istri. Jika demikian halnya, tidak ada alasan untuk menarik cakupan ayat ini dari wilayah domestik ke arah wilayah publik.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi pada ayat kedua (Al-Baqarah: 228). Ayat ini terletak di tengah ayat-ayat yang berbicara mengenai perempuan yang dicerai. Dengan adanya keterkaitan (munasabah) di antara ayat-ayat itu, tampak bahwa persoalan kelebihan laki-laki atas perempuan dalam ayat ini sama sekali tidak berkaitan dengan ketiadaan peran politik dan partisipasi perempuan dalam urusan kenegaraan.

Selanjutnya, ayat ketiga (Al-Ahzab: 33) juga memiliki mukhathab (sasaran pembicaraan) yang khusus, yakni para istri Nabi. Ayat ini merupakan satu di antara beberapa kekhususan yang berlaku untuk para istri Nabi seperti tidak boleh menikah setelah Nabi wafat (Al-Ahzab: 53), dilipatgandakan dosanya jika melakukan perbuatan keji (Al-Ahzab: 30), demikian juga pahalanya dilipatkan dua kali jika melakukan amal saleh (Al-Ahzab: 31). Dengan kekhususan itu, ayat ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melarang perempuan berkiprah di dunia publik.

Apalagi sejarah juga membuktikan bahwa para istri Nabi tidak dikurung dalam rumah melainkan juga pergi ke masjid, menghadiri majlis ilmu, menengok orang sakit, ta'ziyah dan melakukan aktivitas sosial lain. Bahkan setiap kali pergi berperang Rasulullah selalu didampingi istrinya. Ini berarti bahwa tinggal di rumah bagi istri Nabi sendiri bukan berarti tidak boleh keluar dari pintu rumah, melainkan lebih baik tinggal di rumah dari pada keluar kalau keluarnya itu menjadi sasaran fitnah orang-orang yang ingin berbuat jahat kepada keluarga Nabi, seperti yang terjadi dalam peristiwa "Hadits al-Jfki" (berita bohong). Dalam peristiwa ini kaum munafik ingin menghancurkan kredibilitas keluarga Nabi dan menumbuhkan saling curiga di kalangan kaum muslimin melalui berita bohong perselingkuhan Aisyah r.a. dengan Shafwan bin Mu'aththal. Peristiwa ini benar-benar mengguncang Nabi sampai akhirnya turun ayat yang membebaskan Aisyah dari segala tuduhan (QS.An-Nur (24) : 11-18).

Dengan menempatkan ayat-ayat di atas pada konteksnya, tampak bahwa ayat-ayat yang selama ini dijadikan alasan untuk memotong hak perempuan menjadi kepala negara sama sekali tidak tepat.

B. Al-Hadits

Hadits yang sangat sering dijadikan dalil untuk mengharamkan perempuan memimpin negara adalah hadis riwayat Abu Bakrah : "Tidak akan berjaya suatu Kaum yang menyerahkan urusannya kepada perempuan.”(HR. Bukhari, Ahmad, Al-Nasa 'I dan al-Tirmidzi)

Sama seperti ayat di atas, pemahaman tekstual akan melahirkan pandangan yang mengharamkan perempuan menjadi kepala negara. Padahal, dicatat, pada zaman Nabi telah ada pandangan yang tekstual dan kontekstual terhadap hadits.

Bagi yang memahami hadits ini secara kontekstual, hadits ini dikaitkan dengan asbabul wurud-nya yakni hadits ini diucapkan Nabi ketika putri Kisra Raja Persia menggantikan ayahnya menjadi pemimpin tertinggi. Kisra tidak memiliki anak laki-laki akibat perang saudara di negeri itu. Bisa dibayangkan, dalam kondisi kerajaan yang penuh dengan perang saudara, naiknya putri Kisra tentu tidak akan membawa kerajaan menuju kejayaan. Apalagi hadits ini juga berkaitan dengan terkabulnya do'a Nabi agar Allah SWT menghancurkan kerajaan Persia lantaran Kisra menyobek surat beliau. (Lihat al-Asqallani, Fath al-Bari XIII/46, Muhammad Anis Qasim Ja'far, Perempuan dan Kekuasaan (terj,), Penerbit Zaman, Bandung/49)

Dengan memperhatikan konteksnya, hadits ini berlaku secara khusus dan bukan untuk menyatakan bahwa tidak akan ada negeri yang makmur jika dipimpin perempuan. Sebab Nabi tentu tahu persis bahwa di negeri Saba ada ratu Balqis yang membawa negerinya menjadi "baldatun thayyibatumwa rabbun ghofur", dan al-Qur'an mengakui hal itu. Sebagai penerima wahyu, tentu Nabi tidak akan menafikan Al-Qur'an itu sendiri.

Lebih dari itu, sebagai seorang Nabi, tentu sabdanya tidak akan bertentangan dengan fakta sejarah, baik yang terjadi sesudah maupun sebelum sabda itu keluar. Faktanya, ada Ratu Balqis sebelum Nabi, dan ada banyak perempuan yang menjadi Ratu (kepala negara) yang sukses di negeri-negeri muslim. Dengan demikian semakin jelas bahwa sabda Nabi di atas bukan untuk menafikan kepemimpinan perempuan di segala zaman dan di segala tempat.

Berkaitan dengan hal ini Syeikh Al-Ghazali, pemikir kontemporer Mesir, mempertanyakan mengapa orang (baca: ulama) hanya berkutat pada hadits yang tidak mutawatir dan tidak melihat Al-Qur'an ketika berbicara mengenai kepemimpinan perempuan? Mengapa hadis ahad dijadikan pedoman jika A1- Qur'an tidak diragukan lagi kejelasannya dalam hal ini? Demikian syeikh al-Ghazali. (Riffat Hassan-Fatima Mernissi, setara di Hadapan Allah (terj) LSPPA/223).

C. Ijma'

Pendapat yang melarang perempuan menduduki jabatan publik juga sering disandarkan pada apa yang diduga sebagai ijma' (kesepakatan seluruh ahli agama tentang satu hal pada satu masa tertentu) bahwa pada masa Nabi dan Khulafaur Rasyidin tidak ada perempuan yang aktif dalam bidang politik.

Pandangan ini mudah sekali untuk dipatahkan karena sejarah membuktikan tidak demikian. Dalam berbagai peristiwa, Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin mengajak kaum perempuan untuk bermusyawarah tentang berbagai hal. Bahkan dalam peristiwa tertentu Rasulullah menjadikan perempuan sebagai penasihat politiknya, seperti yang terjadi pada peristiwa Perdamaian Hudaibiyah. Nabi meminta saran Ummu Salamah r.a. karena bingung menghadapi para sahabat yang tidak mau menuruti perintah beliau untuk ber-tahallul dari umrah mereka di Hudaibiyah. Berdasarkan saran Ummu Salamah, tanpa bicara Nabi bertahallul di hadapan para sahabat dengan mencukur rambut dan memotong hewan kurban. Melihat hal ini seluruh sahabat segera ikut bertahallul. Peristiwa ini diabadikan dalam lembaran hadis-hadis sahih.

Sejarah juga mencatat banyak perempuan yang ikut menenteng senjata ikut berperang bersama Nabi, seperti Nusaibah binti Ka'ab, Ummu Sulaim, Ummu Athiyah, Ummu Sinan, al-Rubayyi' binti Mu'awwidz, dan lain-lain (lihat Muhanmad Ibrahim Sulaiman, Bunga-Bunga di Taman Hati Rasuullah, terj. As'dd Yasin, Pustaka Mantiq, Solo, h. 201-234).

Khalifah Usman dikenal sering berdiskusi dengan Na'ilah, istrinya, dalam berbagai hal. Khalifah Umar mempercayakan manajemen keuangan pasar Madinah (Pasar Ibukota) pada seorang perempuan bernama al-Syifa' binti Abdullah. Aisyah r.a. keluar rumah memimpin pasukan perang dalam peristiwa yang kita kenal dengan Perang Jamal. Dan masih banyak lagi peristiwa yang menunjukkan keterlibatan perempuan dalam politik.

Dengan melihat peristiwa-peristiwa di atas, dapat dikatakan bahwa tidak ada ijma' mengenai kepemimpinan perempuan. Sebab, kalau ada ijma', pasti tidak akan pernah ada perempuan di panggung politik.

D. Qiyas

Qiyas (menganalogikan sesuatu dengan suatu hal yang sudah ada hukumnya karena ada persamaan illat/alasan hukum) juga sering dijadikan dasar pelarangan perempuan menduduki jabatan presiden. Alasannya adalah karena perempuan tidak boleh menjadi imam salat, maka perempuan juga tidak boleh manjadi kepala negara.

Masalah perempuan menjadi imam salat sesungguhnya masih mengandung perdebatan. Sampai sekarang masalah ini tetap berada dalam wilayah khilafiyah. Sebagian besar ulama memang tidak memperbolehkan perempuan menjadi imam shalat yang diantara makmumnya adalah laki-laki.

Namun sebagian ulama juga memperkenankan berdasarkan hadis Ummu Waraqah yang diperintahkan Nabi untuk mengimami anggota keluarganya, di mana anggota keluarga itu ada yang laki-laki. Berdasarkan hadis ini Abu Tsaur, Imam al-Muzani, Ibnu Jarir ath-Thabari, dan ash-Shan'ani rnemperkenankan perempuan menjadi imam shalat. (lihat Ash-Shan 'ani, Subul al-Salam, Dar el-Fikr, Beirut, juz II h. 28, juga Ibnu Rusyd, Bidayat al-Mujtahid, Dar el-Fikr, Beirut, juz I, h.105). Berdasarkan hal ini dapat kita katakan bahwa melarang perempuan menjadi kepala negara berdasarkan qiyas dengan imam shalat adalah tidak tepat karena hukum asal yang menjadi rujukan analogi ternyata masih diperselisihkan.

Kalaupun qiyas dijadikan landasan, banyak hal yang dianalogikan juga tidak parallel, seperti ibadah (imam shalat) dianalogikan urusan negara (menjadi Presiden). Padahal salah satu syarat qiyas adalah antara yang dianalogikan (fara') dan yang dijadikan sumber analogi (ashal) harus parallel. Dan lebih dari itu, keberadaan qiyas sebagai salah satu sumber hukum Islam itu sendiri masih menjadi perdebatan.

Dengan melihat kedudukan qiyas dan proses qiyas dalam masalah kepemimpinan perempuan ini, dapat dikatakan bahwa qiyas tidak bisa dijadikan landasan yang pasti untuk menolak perempuan menjadi pemimpin tertinggi sebuah negara.

Argumen Sejarah

Seluruh pembatasan kepada perempuan seperti yang muncul dalam pemahaman terhadap beberapa ayat, hadis, ijma' dan qiyas sebagaimana disebut di atas tidak bisa dilepaskan dari asumsi dasar bahwa perempuan adalah makhluk yang kurang akal dan agama. Dari sini muncullah segudang pemikiran yang menganggap perempuan tidak mampu melakukan apa yang bisa dilakukan laki-laki, sehingga oleh karena itu ia tidak boleh meraih apa yang bisa diraih oleh laki-laki.

Benarkah asumsi itu? Fakta sejarah ternyata berbicara lain. Tidak seperti yang diasumsikan, perempuan dalam sejarah Islam banyak yang mampu menjadi kepala negara. Dalam berbagai catatan berbahasa Arab, kaum perempuan telah dikenal sebagai kepala negara dan nama mereka disebut-sebut di dalam khotbah Jum'at, begitu juga gelar mereka tertera pada uang logam. Di New Delhi ada Razia Sultan (634 H), di Mesir ada Syajarat ad-Durr, di masa Mughal ada Kutlugh Turkan (681/1282 M H), Padishah Khatun (1295 M), Absh Khatun Dawlat Khatun, dan Sati Bek. Di Asia Tengah ada Sultanah Fatimah (1679-1681 M). Di Maladewa ada Sultana Khadijah (1379 M), Sultafiah Maryam (1383 M) dan Sultanah Fatimah (1388 M). Di Indonesia, tepatnya di Aceh terdapat beberapa Sultanah, seperti Taj al-Alam (1641- 1675), Nur al-Alam (1675-1678), Inayat Shah (1678-1688), dan Kamalat Shah. (lihat Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Setara di Hadapan Allah, Terj. LSPPA, h.237).

Berdasarkan fakta sejarah di atas, dapatlah kita nyatakan bahwa asumsi perempuan tidak intelek, tidak punya kelebihan dari pada laki-laki sehingga oleh karenanya tidak boleh dan tidak bisa menjadi pemimpin tidak dapat diterima. Dengan demikian hukum-hukum yang dibentuk atas dasar asumsi yang tidak sesuai dengan fakta itupun gugur dengan sendirinya.


Catatan: Artikel ini dipresentasikan dalam Dawrah Fiqh Perempuan, 23-27 Mei 2004 di Cirebon, yang diadakan Fahmina Institute Cirebon.