Liputan Media Kongres Ulama Perempuan Indonesia

Dari Kupipedia
Revisi per 19 Agustus 2021 08.21 oleh Kupi (bicara | kontrib)
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
Liputan Media Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Buku Media.jpg
JudulLiputan Media Kongres Ulama Perempuan Indonesia
Penulis
  • Satori
  • Rosidin
  • Isma’il Hasani
EditorMarzuki Wahid
Desain coverAgus Munawir
SeriCetakan Pertama,
PenerbitKongres Ulama Perempuan Indonesia
Tahun terbit
Juli 2017
Halamanxviii + 282 hal: 17x25 cm
ISBN978‐602‐7383‐12‐8

Pada abad ke-21 ini, kita telah menyaksikan geliat kebangkitan ulama perempuan Indonesia. Kebangkitan ini ditandai dengan kongres yang mereka selenggarakan. Kongres ini bernama Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), digelar pada 25-27 April 2017 di Pondok Pesantren Jambu al-Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon. KUPI pertama ini melibatkan sekitar 700an peserta dan peninjau dari berbagai kalangan. Di antaranya ulama perempuan dari kalangan pesantren, ulama perempuan dari perguruan tinggi, ulama perempuan dari Ormas Islam, dan ulama perempuan dari lembaga swadaya masyarakat. Mereka berkumpul, berjumpa, berdiskusi, dan menyepakati sejumlah hal yang menjadi isu pokok yang menyangkut hajat perempuan pada abad ini.

Ada sejumlah isu pokok dibahas yang menjadi perhatian Kongres. Di antaranya adalah kekerasan seksual, pernikahan anak, perusakan alam, radikalisme agama, trafiking dan buruh migran, pendidikan ulama perempuan, pembangunan desa, serta konflik sosial dan krisis kemanusiaan. Inilah sejumlah isu penting yang muncul dan memengaruhi kehidupan umat manusia pada hari ini dan ke depan. Ulama perempuan Indonesia—dalam Kongres ini—memberikan perhatian, mengkaji, dan merumuskan pandangan dan sikapnya atas isu-isu tersebut.

Ada banyak hal yang menarik untuk dicatat dari hasil rumusan ‘fatwa keagamaan’ KUPI Cirebon kemarin. Misal saja, dalam musyawarah keagamaan, ulama perempuan Indonesia menetapkan usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan sama, yakni 18 tahun. Artinya, mereka yang menikah di bawah usia 18 tahun disebut sebagai pernikahan anak. Tentu saja, ini keputusan yang sangat berbeda dengan ketentuan UU Perkawinan, ketentuan Kompilasi Hukum Islam, fatwa MUI, dan banyak hasil bahtsul masa’il yang dilakukan ulama laki-laki. Pada umumnya mereka membedakan usia minimal menikah bagi laki-laki dan perempuan. UU Perkawinan Indonesia (UU Nomor 1 Tahun 1974) menetapkan usia minimal menikah bagi laki-laki 19 tahun, sementara bagi perempuan 16 tahun.

Kongres juga menetapkan bahwa perzinahan dan pemerkosaan adalah dua pidana (jarimah) yang berbeda, baik dari sisi definisi, unsur-unsur, maupun sanksi pidananya. Pemerkosaan memiliki sanksi yang lebih berat dari perzinahan, karena ada tambahan tindak pidana pemaksaan (ikrah) yang dilakukan pemerkosa. Dalam jarimah pemerkosaan, yang berdosa dan wajib dihukum adalah pemerkosa, sementara pihak yang diperkosa tidak berdosa dan tidak terkena sanksi apapun, malah wajib memperoleh perlindungan dan pemulihan. Ini juga ketentuan yang sangat baru, karena dalam banyak kitab fiqh tidak pernah dijelaskan perbedaan antara perzinahan dan pemerkosaan. Malah banyak pandangan fiqh menyamakan pemerkosaan dengan perzinahan, yang menghukum berdosa dan wajib diberi hukuman bagi keduanya, karena sama-sama diposisikan sebagai pelaku.  

Tidak hanya isu perempuan, ulama perempuan juga membahas isu perusakan alam. Hukum perusakan alam—dalam keputusan KUPI—adalah  haram mutlak, meskipun atas nama pembangunan. Pembangunan tidak boleh merusak alam (air, udara, tanah, flora, fauna, dan keseimbangan ekosistem). Apabila ada kerusakan akibat pembangunan, maka negara berkewajiban untuk memulihkannya (ishlahiha). Dalam fatwanya, negara wajib menghukum seberat-beratnya pihak-pihak yang merusak alam, utamanya korporasi, pengusaha besar, dan mereka yang merusak dengan menggunakan kekuasaan politik. Ini juga suatu keputusan yang sangat berani dan berbeda dengan pada umumnya fatwa keagamaan.  

Itulah beberapa contoh, di antara keputusan KUPI, yang penting dan memperbarui pandangan keagamaan kita pada abad ini. Banyak lagi sikap dan pandangan ulama perempuan serta rekomendasi yang dirumuskan terkait dengan kekerasan seksual, pernikahan anak, perusakan alam, radikalisme agama, perlindungan buruh migran, dan pengembangan pendidikan ulama perempuan. Ulama perempuan Indonesia tidak saja peduli terhadap isu-isu tersebut, melainkan juga memberikan sumbangsih pemikiran yang penting untuk mengatasi problematika umat manusia dewasa ini.   

Dalam sejarah Indonesia, baru sekarang ini di dalam kongres ini perempuan Indonesia sebagai ulama berani mengeluarkan ‘fatwa’ dan rekomendasi yang sangat berani, kritis, dan tajam. Tentu ini suatu prestasi dan capaian (milestone) yang gemilang dari sejarah gerakan perempuan Indonesia.  

Selain isu dan hasil musyawarah keagamaan yang menghentakkan keasadaran keagamaan kita, yang menarik lagi untuk dicatat adalah partisipan kongres. Kongres ini menurut catatan panitia diikuti oleh 519 peserta dan 131 pengamat dari Indonesia dan mancanegara. 650 orang ini adalah hasil seleksi dari sekitar 1400an orang yang mendaftar, baik secara online maupun offline. Mereka berasal dari ragam latar belakang provinsi, budaya, etnik, bahasa, dan aliran keagamaan. Bahkan, sebagian pengamat berasal dari 13 negara, yakni Afghanistan, Bangladesh, Malaysia, Saudi Arabia, Pakistan, Nigeria, Kenya, Singapura, Thailand, Filipina, Australia, Amerika, dan Belanda. Mereka juga berasal dari tradisi keilmuan dan gerakan sosial yang berbeda. Di antara mereka, ada yang berasal dari pondok pesantren dan majlis ta’lim, ada yang berasal dari perguruan tinggi Islam, LSM Perempuan, Ormas keislaman, dan bahkan individu-individu yang memiliki konsen pada kesetaraan dan keadilan gender.

Walhasil, KUPI Cirebon ini adalah perjumpaan besar para ulama, aktivis, akademisi, dan peneliti dari ragam negara dan daerah, ragam etnik, ragam gender, dan ragam aliran keagamaan, yang menyatu ke dalam kesatuan isu kesetaraan dan keadilan gender. Lagi-lagi, momentum seperti ini langka terjadi. Mungkin peristiwa ini kali pertama terjadi dalam sejarah Indonesia. Mereka tidak mempersoalkan perbedaan yang melekat dalam identitas masing-masing, melainkan fokus membahas sejumlah isu yang menjadi konsen gerakan perempuan Indonesia selama ini.   

Momentum penting dan langka ini tentu menjadi sorotan media massa, baik media cetak, elektronik, maupun media online. Baik sebelum, pada saat pelaksanaan, maupun sesudah Kongres diselenggarakan, media massa aktif meliput dan memberitakan terkait Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). Media massa cetak, elektronik, dan online yang ada di Indonesia, baik yang berizin maupun yang tidak berizin, hampir semuanya meliput dan memberitakan KUPI pada laman-laman mereka, baik berupa berita, liputan, wawancara, maupun opini terkait KUPI dan keulamaan perempuan. Media massa asing berbahasa Inggris pun tidak ketinggalan turut serta mengabadikan momentum KUPI ini. Dengan ragam fokus, mereka memberitakan KUPI secara ekspresif.  

Sayangnya, tidak semua liputan dan berita terkait KUPI yang dipublikasikan oleh media-media tersebut dapat didokumentasikan oleh panitia. Panitia—sebagaimana tersaji dalam buku ini—hanya mendokumentasikan liputan dan berita yang dipublikasikan secara online dan cetak saja. Karena, media inilah yang paling mudah diburu dan didapat untuk kemudian didokumentasikan. Oleh karena berbagai keterbatasan, publikasi media cetak dan online pun tidak seluruhnya dapat disajikan dalam buku ini.  

Buku ini adalah kumpulan hasil seleksi liputan-liputan dan berita-berita media massa cetak dan online yang dapat dikumpulkan oleh panitia. Panitia telah memburu, mengumpulkan, dan menyeleksi liputan-liputan dan berita-berita yang tersebar pada laman-laman media massa, baik cetak maupun online. Apabila ada yang sama atau hanya copy-paste, panitia segera mengeluarkannya dari kumpulan berita ini. Dengan demikian, sesungguhnya terdapat banyak berita dan liputan yang tidak diterbitkan dalam buku ini karena beberapa alasan; pertama, tidak ditemukan wujud fisiknya, kedua, berisi pengulangan dari berita dan liputan lain; dan ketiga, tidak jelas data publikasinya. Adapun publikasi media elektronik akan disajikan tersendiri dalam bentuk yang lain.  

Walhasil, dengan terbit buku ini, kami mengucapkan terima kasih kepada Saudara Faqihuddin Abd. Kodir, Satori, Rosidin, Muhammad Qoyum, dan Napoleon dari Fahmina-institute yang telah mengumpulkan, mengetik ulang, dan menstrukturisasikan liputan-liputan dan berita-berita ini sehingga dapat dibaca dengan renyah, juga kepada Saudara Ismail Hasani (SETARA Institute) yang juga mengumpulkan berita-berita dan liputan-liputan ini dan sejak awal hingga tuntas mengkomunikasikan KUPI ke semua media massa sehingga media massa dapat memahami KUPI dengan seluruh proses dan hasilnya, dan juga kepada Mbak Alissa Wahid (Jaringan Nasional Gusdurian) yang secara sukarela membantu tim media panitia KUPI. Akhirnya, kami berharap semoga dokumentasi tentang KUPI ini semakin melengkapi data-data sejarah KUPI, sehingga dapat membantu siapapun yang hendak mengetahui, memahami, meneliti, atau menindaklanjuti hasil KUPI dalam sejarah perubahan sosial di negeri ini. KUPI adalah tonggak kebangkitan ulama perempuan Indonesia, tapak awal ulama perempuan untuk perubahan sosial yang setara, berkeadilan, dan bermartabat bagi semuanya.  

Download