Dialog Tematik dan Musyawarah Keagamaan: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
 
Baris 20: Baris 20:


Hasil [[Musyawarah Keagamaan|musyawarah keagamaan]] dengan tiga tema serta hasil kompilasi rekomendasi terkait sembilan isu kemudian dibacakan ke publik oleh sejumlah perwakilan ulama perempuan peserta kongres pada acara penutupan KUPI. Selain peserta kongres, acara penutupan ini dihadiri oleh Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Hakim Saefuddin, dan pimpinan DPD RI, Kanjeng Ratu Hemas. Keduanya memberikan tanggapan positif terhadap hasil-[[Hasil Kongres|hasil kongres]] dan, secara khusus, Menteri Agama menyatakan kesiapannya menindaklanjuti beberapa rekomendasi yang telah disampaikan. Pada acara penutupan ini pula dibacakan [[Ikrar Kebon Jambu tentang Keulamaan Perempuan]] Indonesia, yang dimulai dengan kata-kata: “Kami dengan keyakinan sepenuh hati menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga .... Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaannya di sepanjang masa pada hakikatnya adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.”
Hasil [[Musyawarah Keagamaan|musyawarah keagamaan]] dengan tiga tema serta hasil kompilasi rekomendasi terkait sembilan isu kemudian dibacakan ke publik oleh sejumlah perwakilan ulama perempuan peserta kongres pada acara penutupan KUPI. Selain peserta kongres, acara penutupan ini dihadiri oleh Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Hakim Saefuddin, dan pimpinan DPD RI, Kanjeng Ratu Hemas. Keduanya memberikan tanggapan positif terhadap hasil-[[Hasil Kongres|hasil kongres]] dan, secara khusus, Menteri Agama menyatakan kesiapannya menindaklanjuti beberapa rekomendasi yang telah disampaikan. Pada acara penutupan ini pula dibacakan [[Ikrar Kebon Jambu tentang Keulamaan Perempuan]] Indonesia, yang dimulai dengan kata-kata: “Kami dengan keyakinan sepenuh hati menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga .... Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaannya di sepanjang masa pada hakikatnya adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.”
[[Kategori:Proses]]
[[Kategori:Proses]]
[[Kategori:Proses KUPI 1]]
[[Kategori:Proses Kongres 1]]

Revisi terkini pada 24 Juli 2024 16.17

Susunan acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dirancang untuk memfasilitasi dialog yang dinamis antara pemahaman keagamaan dan realitas kehidupan perempuan. Latar belakang yang beragam diantara para peserta kongres memungkinkan terjadinya pertukaran pengetahuan dan pengalaman yang sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kapasitas bersama untuk memahami dan membumikan nilai-nilai keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan dalam konteks terkini. Pemahaman yang diperoleh dari proses saling belajar ini menjadi asupan penting bagi proses musyawarah keagamaan dan perumusan rekomendasi kongres.

Melalui pembukaannya, Ketua Pengarah Panitia KUPI, Badriyah Fayumi meletakkan landasan bersama bagi kongres dengan memberi fokus pada ulama perempuan dan peran keulamaannya. Kehadiran dan kontribusi ulama perempuan dinyatakan secara tegas sebagai keniscayaan dalam sejarah peradaban Islam dan perjalanan kebangsaan Indonesia. Sebagai bukti, disebutkanlah daftar panjang nama-nama perempuan ulama beserta warisan keulamaannya sejak awal kelahiran Islam dan sejak gagasan tentang Indonesia baru mulai berkumandang di bumi Nusantara. Kendati demikian, sejalan dengan itu, pasang surut pengakuan dan dukungan terhadap peran ulama perempuan juga merupakan fakta sejarah. Ternyata, demikian penegasan Badriyah, kuat atau tidaknya peran keulamaan perempuan tidak mungkin terlepas dari ada atau tidaknya dukungan struktural para penyelenggara negara dan dukungan kultural masyarakatnya. Pembukaan ini membangkitkan emosi para peserta kongres karena, akhirnya, ulama perempuan mendapatkan pengakuan atas jati diri dan perjuangan pangjangnya.

Proses dialog antara pandangan keagamaan dan realitas kehidupan perempuan dimulai sehari sebelum kongres, dalam sebuah seminar internasional di kampus IAIN Syekh Nurjati Cirebon yang merupakan kerjasama KUPI dengan perguruan tinggi tersebut dan AMAN Indonesia. Para narasumber datang ke IAIN Cirebon dari tujuh negara, yaitu Afghanistan, Indonesia, Kenya, Malaysia, Nigeria, Pakistan dan Saudi Arabia. Melalui sambutannya, Ketua Pengarah Panitia KUPI menjelaskan bahwa pemahaman tentang konteks global dan manca negara merupakan referensi penting dan aktual bagi arah dan gerakan KUPI ke depan. Bersamaan dengan itu, KUPI juga berharap agar dunia internasional pun mencatat apa yang berlangsung pada kongres di Indonesia ini, baik gagasan, proses maupun gerakannya.

Dialog ini, yang dihadiri 298 peserta dari berbagai penjuru Indonesia dan 10 negara, berlangsung dalam dua sesi. Sesi pertama memaparkan pengalaman perempuan Muslim di berbagai belahan dunia memperjuangkan kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Zainah Anwar (Malaysia) menceritakan upayanya membangun gerakan sedunia untuk mendorong kesetaraan dan keadilan dalam keluarga Muslim; Siti Ruhaini Dzuhayatin (Indonesia) menjelaskan model kepemimpinannya dalam lembaga hak-hak asasi manusia yang didirikan oleh Organization of Islamic Conference; Bushra Qadeem (Pakistan) menggambarkan strateginya memberdayakan perempuan kepala keluarga sehingga mereka menjadi kekuatan pendamai di komunitas yang sedang berhadapan dengan ekstrimisme dan kekerasan; dan, Hatoon Al-Fassi (Saudi Arabia) menunjukkan kiat-kiat perempuan Arab dalam memperjuangkan hak-haknya dalam institusi-institusi keagamaan maupun melalui media sosial. Pada sesi kedua, Roya Rahmani (Afghanistan) berbagi tentang pengalamannya melawan politisasi agama yang berdampak pada peminggiran peran perempuan dalam proses perdamaian; Ulfat Hussein Masibo (Kenya) menegaskan pentingnya pemberdayaan di tingkat keluarga terkait kesetaraan dan keadilan bagi perempuan guna membangun ketahanan masyarakat terhadap gerakan-gerakan ekstrimis; Rafatu Abdulhamid (Nigeria) menekankan kontribusi ulama perempuan di negerinya dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Islam yang menjunjung nilai-nilai toleransi dan perdamaian serta melawan radikalisme; dan, terakhir, Eka Srimulyani (Aceh, Indonesia) menggambarkan bagaimana konteks budaya dan dinamika sosial-politik lokal berpengaruh besar pada kapasitas, pengaruh dan otoritas perempuan ulama di Aceh dari jaman ke jaman.

KUPI mengharapkan bahwa, melalui sinergi yang baik diantaranya, ulama perempuan sedunia akan semakin meningkatkan eksistensi dan kontribusinya dalam mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin). Ulama perempuan memberi nilai tersendiri melalui kepedulian khususnya pada perempuan, anak-anak dan mereka yang dhu’afa dan mustadh’afin serta melalui upaya nyatanya untuk memanusiakan mereka dan menyetarakan mereka dengan manusia lainnya.

Keesokan harinya, Rabu 26 April 2017, Seminar Nasional berlangsung di lokasi Kongres di Pondok Pesantren Kebon Jambu sebagai acara pertama KUPI. Di bawah tenda besar di halaman depan pesantren, KH Husein Muhammad (Ketua Yayasan Fahmina, Cirebon) memaparkan sejarah dan peran ulama perempuan di Indonesia; Dr. Nur Rofiah (PTIQ, Alimat dan Rahima, Jakarta) menjelaskan metode studi Islam dalam perspektif keadilan hakiki bagi perempuan; Siti Aisyiah (Ketua Pimpinan Pusat Aisyiah, Yogyakarta) berbagi tentang strategi dakwah ulama perempuan dalam meneguhkan nilai-nilai kebangsaan dan kemanusiaan; serta Prof. Dr. Machasin (Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta) menyampaikan pandangannya tentang tantangan dan peluang yang dihadapi ulama perempuan dalam menebarkan Islam moderat. Wajah keulamaan perempuan Indonesia kembali mendapatkan perhatian pada malam harinya saat penayangan film karya seorang perempuan dari Malaysia, Noorhayati Kaprawi, tentang profil Nyai Hj. Masriyah Amva, ulama perempuan dan pimpinan Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy.

Pandangan yang disampaikan di panggung seminar nasional mencerminkan kerangka berpikir yang melandasi seluruh proses KUPI dan menawarkan sebuah cara pandang khusus ulama perempuan. Perspektif keadilan hakiki bagi perempuan, yang dikembangkan oleh Nur Rofiah, ditegaskan keberakarannya pada amanah kerasulan untuk memanusiakan semua manusia dan dinyatakan sebagai bagian yang tak terpisah dari proses panjang pembebasan Islam atas perempuan dari patriarki (al-abawi). Dialog antara nash agama dan realitas kehidupan perempuan merupakan pijakan yang mutlak dalam perspektif ini, dan keimanan yang diwujudkan dalam kesalehan individual dan kesalehan struktural menjadi prasyarat bagi tercapainya amanah kerasulan untuk memanusiakan semua manusia.

Untuk membumikan dialog antara pandangan keagamaan dan realitas kehidupan terkini yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, proses kongres dilanjutkan dengan diskusi paralel tentang sembilan tema sekaligus. Kesembilan tema ini mencakup soal pendidikan keulamaan perempuan dan respon pesantren terhadap keulamaan perempuan serta isu kekerasan seksual, pernikahan anak, buruh migran, pembangunan desa, radikalisme agama, konflik dan kerusakan lingkungan. Masing-masing diskusi tematik dikelola bersama organisasi-organisasi yang memang mempunyai kepakaran dan karya di bidangnya, seperti Migrant Care, PEKKA, Rumah Kitab, AMAN Indonesia, Komnas Perempuan, Forum Pengada Layanan, dan STID Al-Biruni. Untuk setiap diskusi tematik, ada tim perumus yang mencatat hasil diskusi, termasuk rekomendasi-rekomendasi yang muncul dalam proses dialog.

Dibekali perspektif keadilan hakiki bagi perempuan dalam pemahaman Islam serta kejelasan fakta-fakta terkait sembilan isu krusial yang dihadapi bangsa, para peserta kongres dalam kondisi matang untuk menjalankan musyawarah keagamaan KUPI. Musyarawah keagamaan ini difokuskan pada tiga tema yang telah terlebih dahulu ditentukan oleh Panitia KUPI melalui serangkaian proses konsultasi pra-kongres, yaitu tentang pernikahan anak, kekerasan seksual dan perusakan alam dalam konteks ketimpangan sosial. Proses musyawarah berlangsung secara paralel dalam tiga ruangan yang berbeda dan terbuka untuk diikuti para peserta kongres. Kerangka penulisan hasil musyawarah berlaku konsisten antar ketiga tema sesuai kesepakatan yang terbangun dalam proses halaqah pra-kongres, mencakup tashawwur (deskripsi), adillah (dasar hukum), istidlal (analisis), sikap dan pandangan keagamaan, tazkiyah (rekomendasi), maraji’ (referensi), dan marafiq (lampiran).

Bagi peserta kongres yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam musyawarah keagamaan tersedia peluang untuk mengikuti acara peluncuran buku terbitan KUPI tentang kiprah 20 ulama perempuan Indonesia. Selain buku yang berjudul ‘Jejak Perjuangan Keulamaan Perempuan’ ini juga dibahas terbitan LBH APIK yang berjudul ‘Dari Inspirasi Menjadi Harapan: Perempuan Muslim Indonesia dan Harapannya kepada Islam yang Pluralis dan Damai’. Pada kesempatan ini, dari panggung di halaman depan pesantren, seorang ulama perempuan dan pengasuh pondok pesantren memberi testimoni sebagai seorang penyintas kekerasan yang menjadi pelindung dan pemimpin. Acara peluncuran ini ditutup dengan presentasi website dan media sosial yang dikembangkan untuk mensosialisasikan ide-ide yang berakar pada perspektif keadilan hakiki bagi perempuan. Yaitu website mubaadalah.com dan resiprositi.com.

Hasil musyawarah keagamaan dengan tiga tema serta hasil kompilasi rekomendasi terkait sembilan isu kemudian dibacakan ke publik oleh sejumlah perwakilan ulama perempuan peserta kongres pada acara penutupan KUPI. Selain peserta kongres, acara penutupan ini dihadiri oleh Menteri Agama RI, Drs. H. Lukman Hakim Saefuddin, dan pimpinan DPD RI, Kanjeng Ratu Hemas. Keduanya memberikan tanggapan positif terhadap hasil-hasil kongres dan, secara khusus, Menteri Agama menyatakan kesiapannya menindaklanjuti beberapa rekomendasi yang telah disampaikan. Pada acara penutupan ini pula dibacakan Ikrar Kebon Jambu tentang Keulamaan Perempuan Indonesia, yang dimulai dengan kata-kata: “Kami dengan keyakinan sepenuh hati menyatakan bahwa perempuan adalah manusia yang memiliki seluruh potensi kemanusiaan sebagaimana laki-laki melalui akal budi dan jiwa raga .... Kehadiran ulama perempuan dengan peran dan tanggung jawab keulamaannya di sepanjang masa pada hakikatnya adalah keterpanggilan iman dan keniscayaan sejarah.”