Fikih Anti Korupsi: Perbedaan revisi

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian
 
(1 revisi antara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan)
Baris 15: Baris 15:
Secara garis besar, fikih Islam ada dua. ''Pertama'' fikih ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. ''kedua'', fikih muamalah, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, pidana, tata Negara dan lain-lain. Keduanya di samping memiliki banyak persamaan juga memiliki banyak perbedaan. Salah satu perbedaanya adalah, sekiranya fikih ibadah bersifat konstan, tegas dan universal maka fikih muamalah bersifat lentur, elastis dan kompatibel dengan zaman. Al-Syatibi dalam ''al-Muwafawat fi Ushul al-Syariah'' menuturkan:
Secara garis besar, fikih Islam ada dua. ''Pertama'' fikih ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. ''kedua'', fikih muamalah, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, pidana, tata Negara dan lain-lain. Keduanya di samping memiliki banyak persamaan juga memiliki banyak perbedaan. Salah satu perbedaanya adalah, sekiranya fikih ibadah bersifat konstan, tegas dan universal maka fikih muamalah bersifat lentur, elastis dan kompatibel dengan zaman. Al-Syatibi dalam ''al-Muwafawat fi Ushul al-Syariah'' menuturkan:


<div lang="ar" dir="rtl">
<big>الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي</big>  
<big>الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي</big>  
</div>


''“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substasi sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi”''.<ref>Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. ''al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah,'' (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513. </ref>
''“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substasi sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi”''.<ref>Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. ''al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah,'' (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513. </ref>
Baris 29: Baris 32:
Sementara yang dijadikan pedoman dasar dalam fikih muamalah adalah kaidah:
Sementara yang dijadikan pedoman dasar dalam fikih muamalah adalah kaidah:


<div lang="ar" dir="rtl">
<big>لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي دُونَ التَّعَبُّدِ، وَالْأَصْلَ فِيهَا الْإِذْنُ حَتَّى يدل الدليل على خلافه</big>
<big>لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي دُونَ التَّعَبُّدِ، وَالْأَصْلَ فِيهَا الْإِذْنُ حَتَّى يدل الدليل على خلافه</big>
</div>


''”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”''.<ref>Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. ''al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah,'' (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513.</ref>
''”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”''.<ref>Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. ''al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah,'' (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513.</ref>
Baris 47: Baris 53:
Terkait sifatnya menyeluruhnya fikih, Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, menulis<ref>Abdul Wahhab Khallaf, ''Ilmu Ushul Fiqh,'' (Jakarta: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2016), halaman 9.</ref>:
Terkait sifatnya menyeluruhnya fikih, Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, menulis<ref>Abdul Wahhab Khallaf, ''Ilmu Ushul Fiqh,'' (Jakarta: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2016), halaman 9.</ref>:


<div lang="ar" dir="rtl">
<big>من المتفق عليه بين علماء المسلمين على اختلاف مذاهبهم أن كل ما يصدر عن الإنسان من أقوال وأفعال سواء أكان من العبادات أم المعاملات أم الجرائم أم الأحوال الشخصية أم من أي نوع من أنواع العقود أو التصرفات له في الشريعة الإسلامية حكم</big>
<big>من المتفق عليه بين علماء المسلمين على اختلاف مذاهبهم أن كل ما يصدر عن الإنسان من أقوال وأفعال سواء أكان من العبادات أم المعاملات أم الجرائم أم الأحوال الشخصية أم من أي نوع من أنواع العقود أو التصرفات له في الشريعة الإسلامية حكم</big>
</div>


''“Termasuk kesepakatan antara ulama dari Kaum Muslimin dalam ruang lingkup perbedaan mereka bahwa semua hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuataan, sama saja apakah ia dari ranah ibadah, transaksional, pidana atau [[Hukum Keluarga|hukum keluarga]] atau dari macam apapun dari akad-akad dan jenis transaksional semuanya memiliki kaitan dalam hukum Islam”.  ''  
''“Termasuk kesepakatan antara ulama dari Kaum Muslimin dalam ruang lingkup perbedaan mereka bahwa semua hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuataan, sama saja apakah ia dari ranah ibadah, transaksional, pidana atau [[Hukum Keluarga|hukum keluarga]] atau dari macam apapun dari akad-akad dan jenis transaksional semuanya memiliki kaitan dalam hukum Islam”.  ''  

Revisi terkini pada 21 Januari 2022 16.04

Fikih dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan hukum Islam. Dalam bahasa arab secara etimologi, fikih artinya adalah pemahaman (al-Fahmu). Sementara secara terminologi, banyak definisi yang ditawarkan oleh ulama. Misal, seperti yang disebut oleh al-Syafi’i.

العلم بالاحكام العملية المكتسب من أدلتها التفصلية

“Ilmu terhadap sebuah hukum yang bersifat praktis yang digali dari dalil-dalil terperinci”.[1]

Lebih dulu dari definisi ini, Abu Hanifah menawarkan definisi fikih yang cakupannya lebih luas. Yaitu:

الفقه معرفة النفس ما لها وما عليها

“Fikih adalah pengetahuan seseorang terhadap segala hal yang bermanfaat untuk dirinya dan membahayakan dirinya".[2]

Definisi yang ditawarkan oleh Abu Hanifah ini mencakup berbagai elemen dalam Islam, seperti akidah, fikih dan ilmu ihsan. Oleh karena itu definisi ini disebut dengan al-Fiqh al-Akbar. Namun belakangan definisi seperti yang ditawarkan al-Syafi’i kemudian mengkristal dalam pandangan banyak orang dan itu menjadi definisi yang diterima bersama.

Secara garis besar, fikih Islam ada dua. Pertama fikih ibadah seperti salat, zakat, puasa, haji dan lain-lain. kedua, fikih muamalah, seperti jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan, pidana, tata Negara dan lain-lain. Keduanya di samping memiliki banyak persamaan juga memiliki banyak perbedaan. Salah satu perbedaanya adalah, sekiranya fikih ibadah bersifat konstan, tegas dan universal maka fikih muamalah bersifat lentur, elastis dan kompatibel dengan zaman. Al-Syatibi dalam al-Muwafawat fi Ushul al-Syariah menuturkan:


الْأَصْلُ فِي الْعِبَادَاتِ بِالنِّسْبَةِ إِلَى المكلَّف التَّعَبُّدُ دُونَ الِالْتِفَاتِ إِلَى الْمَعَانِي، وَأَصْلُ الْعَادَاتِ الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي

“Konsep dasar dalam fikih ibadah jika dinisbatkan kepada orang mukallaf adalah penghambaan-dogmatis bukan menoleh kepada substasi sementara dalam fikih muamalah prinsipnya adalah melihat isi dan substansi”.[3]

Hal ini dikuatkan dengan kaidah lain yang berbunyi:

اِنَّ اللهَ لاَ يُعْبَدُ اِلاَّ بِمَا شُرِعَ

“Sesunggunya Allah ialah tidak disembah kecuali dengan cara atau mekanisme yang telah ditetapkan”.[4]

Dua kaidah di atas menyiratkan bahwa ruang dalam fikih ibadah begitu sempit. Semua hal menyangkut mekanisme ibadah haruslah dikonfirmasi langsung oleh syar’ī baik dalam Alquran atau al-Sunnah. Ini bertujuan agar seseuai ketentuan dari Allah. Karena ibadah-ibadah yang tak mendapat petunjuk langsung maka disebut dengan bidah. Dan hal ini sangat dicela dalam agama.

Sementara yang dijadikan pedoman dasar dalam fikih muamalah adalah kaidah:


لِأَنَّ الْأَصْلَ فِيهَا الِالْتِفَاتُ إِلَى الْمَعَانِي دُونَ التَّعَبُّدِ، وَالْأَصْلَ فِيهَا الْإِذْنُ حَتَّى يدل الدليل على خلافه

”Konsep dasar dalam fikih muamalah adalah berpijak pada substansi bukan dogmatis. Dan asal dari fikih muamalah adalah boleh sehingga ada dalil yang memerintah sebaliknya”.[5]

Sesuai dengan kaidah di atas:

االمعاملة طلق حتي يعلم المنعُ

”Fikih muamalah itu bersifat bebas sehingga diketahui seseatu yang melarang”.[6]

Kaidah-kaidah ini memberi pengertian bahwa medan dalam fikih muamalah itu luas tak terbatas. Sekiranya dalam fikih ibadah keabsahan sebuah ibadah haruslah dikonfirmasi langsung, maka dalam fikih muamalah cukup tidak ada dalil yang melarang. Bukan hanya itu, jika dalam fikih ibadah yang dilihat adalah bentuk atau format maka dalam fikih mumalah adalah isi dan substansi.

Sementara korupsi dalam Kamus Bahasa Indonesia didefinisikan dengan penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dalam Undang-undang kejahatan korupsi dijelaskan dalam UU No. 31 tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kenapa Fikih? Fikih dipilih karena ia dianggap sebagai perwujudan paling riil dan menyeluruh dalam perwajahan agama daripada akidah dan tasawuf misalnya. Dianggap paling riil dan menyeluruh karena fikih berkaitan dengan tidak tanduk dengan perbuatan orang mukallaf (af’al al-Mukallafin).

Terkait sifatnya menyeluruhnya fikih, Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh, menulis[7]:

من المتفق عليه بين علماء المسلمين على اختلاف مذاهبهم أن كل ما يصدر عن الإنسان من أقوال وأفعال سواء أكان من العبادات أم المعاملات أم الجرائم أم الأحوال الشخصية أم من أي نوع من أنواع العقود أو التصرفات له في الشريعة الإسلامية حكم

“Termasuk kesepakatan antara ulama dari Kaum Muslimin dalam ruang lingkup perbedaan mereka bahwa semua hal yang muncul dari manusia baik berupa perkataan, perbuataan, sama saja apakah ia dari ranah ibadah, transaksional, pidana atau hukum keluarga atau dari macam apapun dari akad-akad dan jenis transaksional semuanya memiliki kaitan dalam hukum Islam”.  

Korupsi masuk dalam tindak pidana kejahatan dalam hukum Islam. Bagaimana fikih memandang korupsi? Korupsi tentu berbeda dengan pencurian yang dalam fikih disebut dengan sariqah karena konteks dan motifnya berbeda. Korupsi lebih kompleks dari sekadar dari pencurian. Maka tak bisa menerapkan sanksi pidana pencurian (had al-Sariqah) berupa potong tangan dalam kasus korupsi.

Penulis berpandangan bahwa korupsi adalah tindak kejahatan yang tidak ada nash hukumannya  (had) dalam al-Qur’an, maka sanksi korupsi masuk melalui pintu “takzir”. Takzir adalah salah satu bagian sanksi dalam Islam. Bedanya dengan had, takzir adalah sanksi yang ditakar oleh seorang pemimpin sesuai dengan kadar manfaat dan mudarat yang bisa diambil. Sementara had adalah sanksi yang ketentuannya sudah dijelaskan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.

Dalam sebuah kaidah fikih disebut:

التعزير إلى الإمام على قدر عِظَم الجرم وصِغَرهِ

“Hukuman takzir diserahkan kepada pemerintah sesuai dengan kadar besar kecilnya kejahatan”[8]

Pandangan di atas juga sebagai alternatif sebab dalam perjalanannya kasus korupsi terus berkembang dan banyak motif baru dalam pelaksanannnya. Jadi sanksi yang diberikan bisa menyesuaikan dengan efek yang ditimbulkan dari kasus korupsi itu.

Pada tahun 2016, Lakpesdam PBNU merilis buku berjudul, “Jihad Melawan Korupsi” yang isinya berupa sikap, komitmen dan pandangan keagamaan NU terhadap masalah korupsi. NU sebagai organisasi sosial keagamaan ikut serta membantu pemberantasan korupsi di Indonesia. Hal itu misalnya bisa dibuktikan dengan hasil rekomendasi Muktamar NU di Jombang pada tahun 2015 terkait pencegahan korupsi.

Secara umum buku itu berisi beberapa bagian. Bagian pertama: Jihad NU melawan Korupsi, yang berisi pandangan NU sebagai Organisasi Sosial Kegamaan dan Kemasyarakatan Terbesar di Indonesia. bagian kedua: tindak Pidana Korupsi: Bentuk dan Perkembangan Muktakhir, bagian ini menjelaskan perkembangan tindak pidana korupsi di Indonesia yang terus berjalan hingga hari ini. Bagaimana pandangan undang-undang terhadap masalah korupsi? Kerugian negara akibat korupsi dan lain sebagainya.

Bagian ketiga: Tindak Pidana Korupsi dalam Fikih, bagian ini lebih kepada bagaimana pandangan agama memandang masalah korupsi, khususnya pandangan fikih. Mulai bagaimana pandangan fikih terhadap kasus korupsi? Bagaimana konsep pembuktian dalam fikih? Dan lain sebagainya.

Bagian keempat: Komitmen NU dalam Pemberantasan Korupsi. Misal NU hadir memberikan nalar keagamaan untuk komitmen melawan korupsi, dukungan kepada lembaga penegak hukum dan lain-lain.  

Dalam buku yang dirilis Lakpesdam itu, fikih anti Korupsi hadir[9] sebagai tuntunnan dalam berprilaku. Diharapkan dengan edukasi fikih yang merupakan bagian dari agama, orang-orang lebih memiliki kesadaran tentang sikap anti korupsi. Lebih dari itu, fikih anti korupsi bisa membantu untuk menyakinkan tokoh-tokoh Islam bahwa jihad melawan korupsi adalah bagian dari perjuangan keagamaan.

Dengan demikian, fikih anti korupsi adalah fikih yang hadir sebagai tuntunan prilaku, pedoman agama, kategori dan ancaman sanksi dalam agama yang bisa membuat orang memiliki kesadaran tentang sikap anti korupsi. Dalam konteks ini, fikih antikorupsi adalah fikih yang hadir untuk membantu melawan praktik korupsi. Bagaimana fikih hadir memberi pandangan terhadap tindak pidana kejahatan korupsi.[]

Oleh: Ahmad Husain Fahasbu

Footnote

  1. Al-Subki, Jam’u al Jawami’, (Beirut: Dar al-Fikr, 2003), juz 1, halaman 43.
  2. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 2017), juz 1, halaman 30.
  3. Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513.
  4. Muḥammad Ibn Alawi. Muḥammad al-Insan al-Kamil, (Jeddah: Dar al-Salam, 1996), hal 306.  
  5. Ibrahim Ibn Musa al-Syatibi. al-Muwafaqat Fi Uṣul al-Syariah, (Beirut: Dar Ibnu Affan, 1997) hal 513.
  6. Muḥammad Ibn Alawi. Muḥammad al-Insan al-Kamil, (Jeddah: Dar al-Salam, 1996), hal 306..  
  7. Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2016), halaman 9.
  8.  Muhammad Shidqi bin Ahmad, Maushuah al-Qawaid al-Fiqhiyah, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 2003), juz 1, halaman 52.
  9. Lakpesdam PBNU, Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, (Jakarta: Penerbit Lakpesdam, 2016), halaman XVI.