Siti Ruqayah
Siti Ruqayyah atau biasa dipanggil Nyi Ruq, lahir di Bondowoso, Jawa Timur, pada tanggal 2 Desember 1970. Ia adalah nyai pengasuh Pondok Pesantren Al-Ma’shumy yang ia dirikan pada tahun 2004, aktif berkiprah di ranah publik untuk berdakwah dan mengajar, dan melakukan advokasi perempuan dan anak korban kekerasan. Ia adalah anggota Forum Mubalighah Peduli Perempuan dan Anak (FMP2A) di tingkat Provinsi Jawa Timur dan salah satu penyuluh agama di Bondowoso.
Nyi Ruq tercatat sebagai peserta program Pengkaderan Ulama Perempuan (PUP) Rahima Angkatan pertama tahun 2005 bersama dengan nyai dan ustadzah lain dari wilayah Jawa Timur. Sejak saat itu, ia terlibat aktif dalam kegiatan Rahima, termasuk Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017. Nyi Ruq berpartisipasi dalam persiapan, pelaksanaan, dan paska KUPI, misalnya, dalam workshop menjelang pelaksanaan KUPI untuk merumuskan metodologi Fatwa KUPI di Jakarta.
Riwayat Hidup
Nyi Ruq tumbuh dalam keluarga besar Pesantren Kiai Mas Prajekan, Bondowoso, yang didirikan oleh Kiai Mas Atmari atau lebih dikenal dengan Kiai Mas. Kakek buyut Nyi Ruq, Kiai Suhud, adalah adik dari Kiai Mas. Masyarakat setempat percaya bahwa Kiai Mas adalah ulama pertama yang membawa Islam ke wilayah Prajekan. Beliau wafat pada tahun 1892 dan dimakamkan di area pesantren. Makamnya dianggap keramat (suci) dan menjadi tempat tujuan ziarah oleh orang-orang dari Prajekan maupun luar Bondowoso. Namun Kiai Mas tidak menikah dan tidak memiliki anak, maka kepemimpinan Pesantren Kiai Mas diteruskan oleh keturunan Kiai Suhud. Ayah Nyi Ruq, K.H. Ma’shum Dimyati, merupakan cucu Kiai Suhud dari puterinya, yaitu Siti Ma’ani. Ia belajar di Mesir dan kembali ke Prajekan pada tahun 1969 melanjutkan kepemimpinan pesantren. Ia melakukan beberapa pengembangan terhadap sistem pendidikan pesantren dengan mendirikan lembaga pendidikan formal bagi santri, seperti Madrasah Tsanawiyah Kyai Mas.
K.H. Ma'shum Dimyati menikah dengan Nyai Siti Rusyati. Mereka memiliki enam anak, dan Nyi Ruq adalah anak pertama. Nyi Ruq ingat bagaimana orang tuanya menyayanginya sebagai anak tertua dalam keluarga. “Ketika Abah memiliki [makanan yang sangat lezat seperti] lidah, mata, atau otak domba atau sapi, dia selalu berkata: ‘berikan ini untuk Ruq.’ Ummi kemudian bertanya: 'mengapa diberikan untuk Ruq?' Abah menjawab: 'itu baik untuk meningkatkan kefasihannya berbicara di depan umum',” kata Nyi Ruq. Kepedulian ini menunjukkan bahwa ayah Nyi Ruq mengharapkan puterinya menjadi orang yang berilmu dan mengikuti jejaknya sebagai seorang da'i dan ulama.
Nyi Ruq belajar membaca Al-Qur’an dan pengetahuan Islam dari ayahnya. Ia mengagumi ayahnya. “Abah mengembara ke Mesir selama 17 tahun sampai dia menyelesaikan gelar masternya. Namanya tertulis di Al-Azhar sebagai siswa teladan dari Bondowoso, Jawa Timur,” tuturnya. Namun, kehidupan Nyi Ruq berubah sejak ayahnya meninggal pada tahun 1982. Ia pindah ke tempat pamannya di Pesantren Zainul Ishlah, Kanigaran, Probolinggo, Jawa Timur untuk melanjutkan pendidikan ke SMP. Namun Nyi Ruq tidak bisa menyelesaikan sekolahnya karena tak lama kemudian ia harus menikah dengan calon suaminya yang sudah ditunangkan dengan dirinya sejak ia berusia sembilan tahun. Ia adalah putera kiai dari Pesantren Mabdaul Arifin, Curah, Jeru, Panji, Situbondo, Jawa Timur. Pernikahan dilangsungkan secara nikah siri, dan Nyi Ruq dan suaminya masih hidup terpisah. Setahun kemudian, mereka menikah di pengadilan agama dengan menaikkan usianya menjadi enam belas tahun pada akta nikah.
Nyi Ruq tidak bahagia dalam pernikahannya. Namun demikian, ia bisa melanjutkan studi kitab kuning dan berdakwah dengan bimbingan mertuanya, Kiai Mudzhar Rofi'i. Ia adalah guru kedua Nyi Ruq setelah ayahnya. Oleh karena itu, kemampuan berdakwahnya berkembang dengan sangat baik. Mertuanya juga mendorongnya untuk bergabung dengan Fatayat NU, dan dia aktif di Divisi Dakwahnya. Namun, pada tahun 1992 mertuanya meninggal, dan itu mempengaruhi lintasan pengetahuan Nyi Ruq serta kehidupan pernikahannya. Suami dan ibu mertuanya tidak mendukung aktivitas Nyi Ruq. Akhirnya, ia bercerai pada 1993 dan pindah kembali ke kampung halamannya bersama puteranya yang berusia empat tahun.
Nyi Ruq melangsungkan pernikahan keduanya pada tahun 1994. Namun, ia mendapatkan perlakuan yang tidak baik dari suami keduanya. “Pada tahun pertama pernikahan saya, saya menderita kekerasan dan pelecehan … Tapi, saya coba bertahan sampai lima tahun pernikahan,” ungkap Nyi Ruq. Selama itu, Nyi Ruq tetap aktif dalam kegiatan keagamaan dan sosialnya. Ia berdakwah kepada jama’ah dan aktif di Fatayat NU cabang Bondowoso. Ia diangkat sebagai ketua dari tahun 1996 hingga 1999. Dengan jabatan tersebut, Nyi Ruq berkesempatan mengembangkan pengetahuan kritisnya tentang isu gender, Islam, dan perempuan. Ia diundang oleh P3M untuk mengikuti program Fiqhunnisa’ yang diadakan di Pesantren Nuris, Jember, Jawa Timur, pada tahun 1997. Saat itu ia juga berkesempatan berhubungan dengan aktivis perempuan dan LSM di Jakarta.
Setelah melewati proses yang panjang, Nyi Ruq akhirnya mendapatkan keputusan cerai pada tahun 2003. Melalui pengalaman pahit ini, Nyi Ruq semakin bersemangat untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya kepada perempuan dan komunitas lain. Oleh karena itu, dia menerima usulan dari perempuan di desanya untuk memulai majelis taklim pada tahun 2002, dan mendirikan pesantren untuk santriwati, yaitu Pesantren Al-Ma’shumy pada tahun 2004. Lebih lanjut, ia termotivasi untuk melanjutkan pendidikan formalnya yang terputus pada tahun kedua Sekolah Menengah Pertama. Ia mengikuti kejar paket B dan C untuk mendapatkan ijazah dari pendidikan SMP dan SMA agar bisa melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia mendapat beasiswa untuk belajar di Sekolah Tinggi Agama Islam At-Taqwa di Bondowoso. Dia menghabiskan empat tahun untuk menyelesaikan kuliahnya dan lulus pada tahun 2015. Ia kemudian melanjutkan pendidikan magisternya di Institut Kiai Abdul Chalim di Pacet Mojokerto dan lulus pada tahun 2020.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Nyi Ruq mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk membangun pesantren dan majelis taklim. Ia mengampu dan mengelola kegiatan di majelis taklim meliputi muqaddaman khatmil qur’an binnazhar setiap Jumat sore dan shalawatan pada Selasa sore. Kedua kegiatan itu dilakukan di rumah jama'ah secara bergiliran atau mushala. Ia juga mengajar kitab kuning, seperti ayyuhal walad dan karya K.H. Hasyim Asy'ari di mushala pesantrennya setiap Kamis malam.
Nyi Ruq adalah salah satu nyai pesantren yang langka di Bondowoso yang aktif berkiprah di ruang publik. Tidak hanya berdakwah dan mengajar, ia juga bekerja untuk advokasi perempuan dan anak korban kekerasan. Ia adalah anggota Forum Mubalighah Peduli Perempuan dan Anak (FMP2A) di tingkat Provinsi Jawa Timur dan salah satu penyuluh keagamaan di bawah koordinasi tingkat kecamatan. Kementerian Agama RI. Dia juga terlibat dalam banyak forum ulama, termasuk KUPI dan forum dan lokakarya fatwa terbaru lainnya, yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah dan LSM perempuan, misalnya Rahima dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.
Nyi Ruq adalah salah satu pengurus Himpunan Rahima bersama dengan Afwah Mumtazah dan Nur Rofiah. Spektrum aktivisme Nyi Ruq tidak hanya di tingkat lokal dan nasional tetapi juga di tingkat internasional. Tak lama setelah perceraian keduanya, ia bergabung dengan program dialog antaragama ke Amerika Serikat dengan sekitar sepuluh pemimpin perempuan dan laki-laki dari latar belakang agama yang berbeda. Pada tahun 2006 ia diundang oleh Sister in Islam (SIS) Malaysia untuk berbagi pengalamannya dalam pelatihan gender dari perspektif Islam. Pada 2009, ia pergi ke Hong Kong bersama Nyai Sinta Nuriyah Wahid dari Puan Amal Hayati untuk melihat kondisi buruh migran perempuan Indonesia. Semua pengalaman itu memperkaya dan memperluas materi dakwah dan pengajaran Nyi Ruq, dan perannya semakin mapan.
Nyi Ruq menuturkan bahwa pendidikan yang ia peroleh melalui training dan workshop yang diadakan LSM perempuan, seperti Rahima, menambah kemampuan analisisnya dan menajamkan perspektifnya dalam melakukan penafsiran terhadap teks Al-Qur’an dan hadits. Ia memahami pentingnya pengalaman perempuan sebagai salah satu aspek krusial dalam proses menghasilkan pengetahuan dan pendapat keagamaan. Nyi Ruq biasa membuka sesi tanya jawab di akhir pengajian kitabnya, atau tak jarang para jamaah datang menemuinya langsung di rumah untuk mendapatkan jawaban atas persoalan hukum atau nasihat berkaitan dengan masalah sehari-hari yang dihadapi jamaah.
Dalam menjalankan perannya sebagai ulama perempuan, Nyi Ruq harus berhadapan dengan otoritas keulamaan laki-laki yang cenderung mengdiskreditkannya sebagai perempuan. Karena budaya masyarakat Muslim di Bondowoso masih berakar kuat pada tafsir teks Islam yang lebih menguntungkan laki-laki, kiai memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat. Misalnya, berkaitan dengan pesan-pesan keadilan gender yang disampaikan oleh Nyi Ruq, ia dianggap hanya melampiaskan pengalaman pahit di dalam pernikahan yang sempat dialaminya.
Namun demikian, Nyi Ruq memandang bahwa yang utama adalah bagaimana masyarakat dan jamaahnya menerima dan mengakui perannya sebagai ulama dengan memintanya untuk berceramah atau menjadi tempat bertanya untuk masalah hukum dan etika Islam. Penerimaan dan pengakuan dari masyarakat ini sudah menunjukkan bahwa ia adalah ulama yang memiliki otoritas. Dalam masyarakat patriarki seperti Bondowoso, menurut Nyi Ruq, standar penerimaan dan pengakuan otoritas keilmuan seseorang berkaitan dengan cocok atau tidaknya pendapat dan pemikiran ulama dengan jama’ah. Contoh lainnya adalah Nyi Ruq juga mendapat kesempatan untuk memberikan khutbah nikah pada walimahul urys yang biasanya hanya dihadiri oleh laki-laki.
Penghargaan atau Prestasi
Nyi Ruq tercatat sebagai salah satu narasumber tetap untuk rubrik Tanya Jawab Agama majalah Rahima, Swara Rahima sejak tahun 2001. Melalui rubrik ini, ia mengeluarkan pendapat keagamaan untuk merespon pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh pembaca. Di antara topik yang ia bahas adalah mengenai persoalan pernikahan, kekerasan terhadap perempuan, dan hak asasi perempuan.
Karya-Karya
Di antara karya-karya Nyi Ruq adalah:
- “Apakah Suara Perempuan Aurat?” dalam Nur Achmad dan Leli Nurohmah (Ed.), Umat Bertanya Ulama Menjawab: Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Rahima, 2008).
- “Hubungan Seksual saat Menstruasi”, dalam Nur Achmad dan Leli Nurohmah (Ed.), Umat Bertanya Ulama Menjawab: Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Rahima, 2008).
- “Menyusui: Hak dan Kewajiban Siapa?”, dalam Nur Achmad dan Leli Nurohmah (Ed.), Umat Bertanya Ulama Menjawab: Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Rahima, 2008).
- “Nikah Paksa”, dalam Nur Achmad dan Leli Nurohmah (Ed.), Umat Bertanya Ulama Menjawab: Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Rahima, 2008).
- “Istri Terpaksa Masturbasi”, dalam Nur Achmad dan Leli Nurohmah (Ed.), Umat Bertanya Ulama Menjawab: Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Rahima, 2008).
Daftar Bacaan Lanjutan
- Martin van Bruinessen. Rakyat Kecil, Islam, dan Politik. (Yogyakarta: Penerbit Gading, 2013).
- Nur Achmad dan Leli Nurohmah (Ed.). Umat Bertanya Ulama Menjawab: Seputar Karir, Pernikahan dan Keluarga (Jakarta: Rahima, 2008).
- Nursyahbani Katjasungkana dan Ratna Batara Munti. Dari Inspirasi Menjadi Harapan: Perempuan Muslim Indonesia & Kontribusinya kepada Islam yang Pluralis dan Damai. (Yogyakarta: LKiS, 2012).
Penulis | : | Nor Ismah |
Editor | : | Faqihuddin Abdul Kodir |