Sintho’ Nabilah

Sintho’ Nabilah, atau biasa dipanggil Nyai Sintho’, lahir pada 18 maret 1960 di Magelang. Nyai Sintho’ merupakan pengasuh Pondok Pesantren Al-Hidayat yang beralamat di Kedunglumpang, Nusupan, Salaman, Magelang, Jawa Tengah. Selain itu, ia merupakan pembina PC (Pengurus Cabang) dan PAC (Pengurus Anak Cabang) Fatayat dan Muslimat NU Magelang.

Sintho’ Nabilah
Sintho’ Nabilah.jpeg
Tempat, Tgl. LahirMagelang, 18 Maret 1960
Aktivitas Utama
  • Pengasuh Pesantren Al Hidayat Salaman Magelang
Karya Utama
  • Catatan kumpulan ayat kesetaraan gender

Nyai Sintho’ terlibat secara langsung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang diselenggarakan pada tahun 2017. Ia termasuk salah satu Dewan Pembina KUPI. Sebelumnya Nyai Sintho’ belajar isu gender dalam Islam dari P3M (Pusat Pegembangan Pesantren dan Masyarakat), YKF (Yayasan Kesejahteraan Fatayat) Yogyakarta, Rahima, dan Fatayat dan Muslimat NU.

Riwayat Hidup

Nyai Sintho’ merupakan anak kedua dari sembilan bersaudara dari pasangan KH. Asrori Ahmad (putera dari Kyai Ahmad dan Nyai Aminah Magelang) dan Nyai Hj. Ma’munatul Kholil (putera dari KH. Kholil Harun dan Nyai Masfiatun Rembang). Nyai Sintho’ menikah dengan KH. Ahmad Lazim dan telah dikaruniai lima orang anak, yaitu: Hj. Wafiyatul Muflichah M.Pd, Ahmad Faza (alm.), Ulya Izzati, S.Ud, M.Pd., Ahmad Naja Damanhuri Lc., dan Fathna Saadati Kholiliyah S.S.

Nyai Sintho’ dikenal sebagai sosok ulama perempuan yang tidak hanya mempunyai ilmu agama yang mendalam, namun mempunyai tekad yang kuat dalam mencapai cita-citanya. Salah satu yang membentuk karakter tersebut adalah Pendidikan dari orang tua dan pengalaman pahit semasa kecil. Peran orang tuanya dalam hal pendidikan, merawat diri, menjaga kebersihan, unggah-ungguh (tata krama), bergaul dengan orang lain menjadi modal utama dalam menjalani kehidupannya.

Nyai Sintho’ kecil, lahir dari keluarga sederhana yang secara ekonomi sangat terbatas. Ayahnya menjadi sumber utama ekonomi keluarga, sehingga sang ibu harus bisa mengatur sedemikian rupa uang yang diberikan oleh ayahnya untuk menghidupi keluarga dengan sembilan anak. Sejak itu, Nyai Sintho’ bertekad kuat agar bisa mandiri secara ekonomi, dan bisa membantu adik-adiknya. Sang Ayah yang berprofesi sebagai mubaligh dan guru ngaji di pesantren terpaksa melakukan poligami dengan Nyai Siti Hajar, dengan alasan ekonomi. Ia benar-benar masyaqqah (kesulitan) untuk menghidupi keluarga dan para santri. Sang Ayah dijanjikan kalau menikahi Nyai Siti Hajar akan dicukupi kebutuhan ekonominya.

Sebelum ayah Nyai Sintho’ meninggal, ia memberikan wasiat bagi putera-puterinya dengan mengatakan, “Cukup aku seng lakoni anak turunku ojo nglakoni.” Artinya, “Cukup aku saja yang melakukan poligami, anak keturunanku jangan melakukannya.” Perkawinan poligami sang Ayah berdampak pada putera-puterinya khususnya Nyai Sintho’ yang saat itu sedang mondok. Di usia sekolah, Nyai Sintho’ kecil sudah berjualan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya dan membantu membiayai adik-adiknya yang masih kecil. Bahkan saat itu Nyai Sintho’ sudah mulai berdakwah di kampung-kampung di daerah Rembang.

Nyai Sintho’ menyelesaikan pendidikan dasar di SD Prajegsari, Tempuran, Magelang, lulus tahun 1972. Setamat pendidikan sekolah dasar, Nyai Sintho’ dipesantrenkan di Pesantren Mathali'ul Falah Kajen, Pati pada tahun 1972-1977. Saat itu ia diantar oleh neneknya, Nyai Masfi’atun Kholil. Neneknya menghadap pengasuh sambil menyampaikan harapan bahwa Sintho’ bisa menjadi obor. Mendengar harapan itu, Nyai Sintho’ belum bisa mengartikan maksudnya. Hingga akhirnya saat dewasa ia mencoba mencerna kata-kata sang nenek. Ia mengartikan obor sebagai penerang.

Selesai pendidikan Ibtidaiyah di Pati, Nyai Shintho’ diminta KH. Ma’mun Kholil, pengasuh Pesantren Raudhatut Thalibin Rembang yang juga pamannya untuk melanjutkan pendidikan di pesantrennya mulai tahun 1977-1981. Kyai Ma’mun mendidik Nyai Sintho’ menjadi pribadi yang kuat. Selain mengikuti pendidikan formal di MTs dan MA Muallimat, ia juga aktif di organisasi intra sekolah. Bahkan ia sempat terpilih menjadi ketua OSIS selama dua periode. Bermula dari pengalaman organisasi ini Nyai Sintho’ mulai tumbuh semangat perjuangannya. Baginya perjuangan itu bisa dilakukan di mana saja dan tidak harus menjadi ketua.

Selain aktif di OSIS, Nyai Sintho’ juga beberapa kali menjadi peserta terbaik dalam lomba Pramuka. “Berkah prestasi ini saya diberikan kesempatan studi banding di sekolah unggulan di Kudus. Saat itu saya diminta memberikan sambutan. Saya bersyukur, meskipun saya orang ndeso, tapi diberikan pengalaman yang luar biasa,” tutur Nyai Sintho’ dengan penuh semangat.

Di Rembang, manis pahit perjuangan ia rasakan. Kiriman yang sering telat sudah menjadi hal biasa yang tidak menggugurkan semangat belajarnya. Nyai Sintho’ menyadari kondisi ekonomi orang tuanya yang memprihatinkan sehingga membuatnya berpikir keras agar tidak terlalu memberatkan orang tuanya yang juga membiayai kedelapan saudaranya. Hal ini yang membuat Nyai Sintho’ tidak gentar saat dicemooh teman-teman sekolahnya karena berjualan tape singkong dan kerupuk. Ia selalu teringat perkataan ayahandanya, “Jika dicaci jangan benci, jika dipuji jangan bangga.”

Satu tahun di Rembang, Nyai Sintho’ mulai menjadi perbincangan masyarakat. Sosoknya mampu menarik perhatian. Permintaan mengajar privat dan undangan pengajian mulai berdatangan. Pada saat saat mendengar kabar bahwa teman-teman di kampungnya sudah menikah bahkan sudah mempunyai anak, Nyai Sintho’ justru termotivasi untuk mengejar pendidikan setinggi mungkin. “Bagaimana akan mempunyai generasi yang shalih dan shalihah solihah, kalau ibunya tidak berpendidikan?” ungkapnya.

Setelah selesai belajar di Rembang, Nyai Sintho’ pulang ke kampung halamannya. Dalam hal Pendidikan, orang tuanya tidak pernah membeda-bedakan atau mendiskriminasikan antara anak perempuan dan laki-laki. Di desanya, Nyai Sintho’ merupakan satu-satunya anak perempuan yang mengenyam pendidikan tinggi. Namun Nyai Sintho’ belum merasa puas dengan ilmu yang telah ia peroleh. Kemudian Ayahnya membawa Nyai Sintho’ ke pesantren al-Hidayat, Berjan, Purworejo tahun 1981-1983 bersama tiga adik laki-lakinya. Di sinilah Allah SWT mempertemukan jodohnya. KH. Ahmad Lazim Zaeni, laki-laki ‘alim yang humoris, pembimbing adiknya di pesantren menjadi suaminya. Nyai menikah dan menetap sementara di rumah mertuanya, sambil tetap melanjutkan perjuangannya di organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama.

Tahun 1984-1990 Nyai Sintho melanjutkan Pendidikannya di Pondok Pesantren Nurul Qur’an, Tempuran, Magelang. Saat itu, ia menyelesaikan khataman Al-Qur’an saat sudah berkeluarga dan mempunyai anak. Menurut penuturan puterinya, Izzati, sekitar tahun 1987 uminya meminta izin kepada abahnya untuk menghapal Al-Qur’an dan mendapat restu. Dalam satu minggu, ada beberapa hari Nyai Sintho’ menyetorkan hafalannya kepada KHR. Mastur Asyari, di PP Nurul Quran. Mengingat jarak dari pesantren Nyai Sintho’ ke Pesantren Al-Qur’an ini tidak langsung dilalui oleh angkutan umum, Nyai Sintho’ berjalan kaki menuju jalan raya dan berjalan kaki dari pemberhentian angkutan umum ke pesantren dengan jarak kurang lebih 2 kilometer dengan serta membawa anak-anaknya. Sambil berjalan, Nyai Sintho’ terus merapalkan hafalan Al-Qur’annya. Bahkan pada tahun 1998 ketika sudah mempunyai lima orang anak, Nyai Sintho’ mengikuti hafalan khotmil Qur’an. Semangat belajar Nyai Sintho’ ini memberi spirit kepada anak-anaknya juga masyarakat, bahwa anak atau keluarga dan sejumlah aktifitas tidak mejadi penghalang untuk tetap belajar dan menghafal Al-Qur’an.

Keinginannya sebagai penghafal Al-Qur’an bermula pada suatu ketika sang Ayah mendatangkan KH. Hamdani seorang hafizh Mangkuyudan Solo untuk sima’an Al-Qur’an. Saat itu, penyimaknya semua jamaah laki-laki, Nyai Sintho’ kecil diminta ayahnya menyimak dekat dengan sang hafizh. Kekagumannya pada bacaan Al-Qur’an yang indah, membuat Nyai Sintho’ kecil bercita-cita menjadi seorang penghafal Al-Qur’an.

Saat usianya masih belia, Nyai Sintho’ juga sudah diajarkan membaca dan memahami isi kitab dari berbagai cabang ilmu oleh ayahnya. Salah satu alasan ketertarikannya dalam mendalami kitab-kitab tersebut karena sang ayah adalah seorang penerjemah puluhan kitab klasik. Inilah yang menjadi inspirasi Nyai Sintho’ hingga akhirnya berhasil menyusun beberapa kitab, salah satunya kitab panduan fiqh keseharian yang telah dipakai rujukan dalam pembelajaran fiqih di berbagai pesantren. Selain kitab Fasholatan (tuntunan sholat dan fiqh keseharian) ia juga menyusun buku syi‘iran berbahasa Jawa.

Nyai Sintho’ kecil sering diajak silaturrahim/sowan (bahasa Jawa) ke para ulama oleh orang tuanya. Sowan yang mentradisi hingga menjadikannya dikenal sebagai orang yang enthengan (senang bersilaturahmi). “Harapan saya, sampai akhir hayat saya selalu dimudahkan untuk mengunjungi orang sakit, orang susah, dan orang yang membutuhkan,” tutur Nyai Sintho’. Karena itu, pintu rumah Nyai Sintho’ selalu terbuka untuk siapa saja yang datang.

Lebih lanjut Nyai Sintho’ menuturkan kekagumannya kepada salah satu ulama perempuan yang menguasaai kitab tafsir Jalalain. “Yang paling berkesan bagi saya adalah ketika diajak silaturahim ke Ibu Nyai Nuriyah Lasem Rembang, Jawa Tengah, ibunda KH. Ali Maksum, Yogyakarta. Ibu saya asli Rembang, jadi ke Lasem lumayan sering. Bertemu dengan Ibu Nyai Nuriyah membuat kagum dan tergugah. Beliau perempuan yang hafal Tafsir Jalalain,” pungkasnya.

Pada tahun 1971 Nyai Sintho’ hadir dan mendengarkan pidato pengajian yang disampaikan oleh Ibu Nyai Elok Faiqoh dari Jember. Nyai Sintho’ duduk di barisan paling depan, supaya bisa mendengarkan dengan jelas setiap kata dan gaya pidato Nyai Elok. Dalam hatinya, Nyai Sintho’ berdoa agar suatu saat ia juga mampu menyampaikan ilmu kepada masyarakat, dan menebar manfaat sebanyak-banyaknya.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Setelah menikah, kegiatan organisasi dan dakwah Nyai Sintho’ tidak pernah berhenti, meski berada di tempat baru. Saat awal menikah, Nyai Sintho’ diminta mengisi pengajian oleh salah seorang tokoh perempuan di Magelang. Karena kepiawaiannya dalam berdakwah, lama-kelamaan namanya semakin dikenal luas di masyarakat. Jamaah pengajiannya pun beragam, tidak hanya perempuan namun juga laki-laki. Begitu pun dalam hal organisasi, Nyai Sintho’ tidak pernah canggung dalam berorganisasi di mana pun ia berada. Kiprahnya di organisasi itu menjadikan perempuan-perempuan di masyarakatnya bangkit, baik dalam hal pendidikan, ekonomi, sosial dan bidang lainnya.

Dari aktivitasnya itu, banyak teman-temannya yang menginginkan Nyai Sintho’ membuat pesantren. Nyai Sintho’ menuturkan “Berawal dari organisasi, dari teman-teman itu ada yang pengen jadi santri. Lha, bagaimana? Saya saja belum punya pondok. Mereka ini agak memaksa, ya Alhamdulillah mertua menyediakan kamar untuk mereka,” tuturnya.

Pesantren di rumah mertuanya berlangsung selama 4 tahun. Pada tahun 1990 Nyai Sintho’ pindah ke rumah sendiri dan membangun pondok sederhana. Keaktifannya berorganisasi tidak mengurangi intensitasnya mengajar di pesantren. Manajemen waktu yang diajarkan orang tua, bekal pendidikan di pesantren, dan dukungan suaminya turut memuluskan setiap aktivitasnya.

Seiring berkembangnya pesantren yang Nyai Sintho’ asuh, ia juga mempunyai santri perempuan lanjut usia. Santri yang dikenal dengan sebutan S3 (Santri Sudah Sepuh) ini mengkaji berbagai kitab dari Fashalatan hingga tafsir Al-Qur’an. Adapun yang mengajar adalah dari santri-santri yang menetap dan dirasa sudah mampu. Mereka datang seminggu sekali pada hari Selasa. Tidak sedikit dari santri S3 ini yang juga meminta solusi berbagai persoalan. Meskipun direpotkan dengan berbagai keluhan mereka, Nyai Sintho’ tetap merasa bersyukur bahwa mereka menyadari bahwa setiap masalah harus dicarikan jalan keluar. Menurutnya, sekecil apa pun masalahnya jika tidak langsung dicari solusinya akan menimbulkan masalah baru, terlebih persoalan-persoalan perempuan. Menurutnya, kalau perempuannya baik, dalam arti baik perilakunya dan kondisinya maka negaranya akan baik. Jadi, kalau ada yang berlaku tidak baik kepada perempuan atau perempuan tidak baik karena ada sesuatu yang tidak baik, maka kita sebaiknya berpikir bersama untuk mencari jalan keluar.

Nyai Sintho’ menuturkan bahwa pada masa awal-awal berdakwah (masa orde baru), pernah mendapatkan pengalaman yang tidak menyenangkan. Saat itu ia diundang untuk memberikan pengajian dalam rangka syukuran khitanan salah satu jamaahnya. Di tempat itu sudah ada banyak laki-laki membawa batu. Mereka berdiri di depan podium hendak melemparkan batu kea rah Nyai Shinto’. Hal ini terjadi lantaran sebelumnya Megawati hadir di kediaman abahnya, sementara mayoritas masyarakat di tempat pengajian tersebut pendukung PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Saat itu, partai politik hanya tiga, yaitu Golkar, PDI dan PPP. Namun, setelah Nyai Sintho’ membaca salam dan membaca doa ijazah dari abahnya, orang-orang yang membawa batu itu pergi begitu saja. Batu yang mereka genggam ditinggalkan begitu saja di tempat di mana mereka semula berdiri.

Nyai Sintho’ ditunjuk menjadi ketua Fatayat NU Magelang dan kemudian ketua Muslimat. Sebagai pucuk pimpinan, jalan dakwah Nyai Sintho’ semakin terbuka lebar. Nyai Sintho’ mempunya jadwal rutin untuk mengisi pengajian dari dusun ke dusun, dan dari desa ke desa.

Nyai Sintho’ merupakan sosok ulama yang dekat dengan masyarakat dan santri, bahkan ia mempunyai ingatan yang kuat untuk menghafal nama-namanya. Nyai Sintho’ bisa menghafal semua nama santrinya, baik yang mondok lama maupun yang hanya 3 hari. Tidak hanya itu, ia juga hafal dengan nama wali santri bahkan suami dari santri tersebut. Menurut penuturan puterinya, Izzati, Nyai Sintho’ mempunyai ingatan kuat bukan karena amalan tertentu, namun karena ia selalu memperhatikan siapapun yang datang ke rumahnya dengan baik. Hal itu menunjukan bahwa Nyai Sintho’ mempunyai kepedulian dan empati yang kuat kepada semua orang dan tidak membenda-bedakannya.

Nyai Sintho’ juga dikenal luas oleh masyarakat, baik yang sudah kenal maupun yang belum untuk mengadukan persoalan hidup selama 24 jam, Nyai Sintho’ membuka pintu rumahnya apabila ada masyaraat yang hendak mengadukan persoalan. Tidak sedikit masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan yang datang untuk meminta solusi atas persoalan yang mereka hadapi. Dalam memberikan solusi, Nyai Sintho’ berjejaring dengan berbagai pihak seperti teman-teman, santri hingga pemerintah setempat. Solusi yang diberikan Nyai Sintho’ tidak hanya berupa nasihat-nasihak untuk menenangkan, dan mencari solusi dengan meminta bantuan pada beberapa teman atau pemerintah setempat, juga memberika amalan-amalan agar persoalannya segera teratasi.

Nyai Sintho’ berkenalan dengan isu gender bermula dari belajar bersama di P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) dalam program fiqhunnisa. Setelah itu, Nyai Sintho’ semakin intens dilibatkan dalam beberapa acara yang diselenggarakan oleh Rahima dan menjadi bagian dari KUPI dengan terlibat langsung pada April 2017.

Penghargaan dan Prestasi

  1. Pondok pesantren terbaik Septi Peni 1993 tingkat kecamatan
  2. Pondok pesantren terbaik Sanitasi 2014 tingkat provinsi
  3. Lifetime achievement dari PC Fatayat NU Magelang tahun 2019
  4. Peserta Favorit lokakarya Rahima tahun 2005.

Karya-Karya

Nyai Sintho’ telah membuat karya tulis, yaitu:

  1. Kitab Fasaolatan (tuntunan sholat dan fiqh keseharian)
  2. Buku risalatul qurro' wal huffazh
  3. Buku tuntunan doa ketika haji dan umroh
  4. Catatan kumpulan ayat kesetaraan gender
  5. Buku tuntunan membaca bacaan sholat, yasin dan tahlil


Penulis : Pera Shopariyanti
Editor : Nor Ismah
Reviewer : Faqihuddin Abdul Kodir