Metode Studi Islam KUPI

Oleh: Nur Rofiah

Menjelang Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada tahun 2017, perwakilan tim penyelenggara berbagi tugas sowan ke tokoh-tokoh penting negeri ini untuk memohon restu dan doa. Salah satunya ke kediaman Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA selaku Imam Besar Masjid Istiqlal. Dalam kesempatan tersebut, saya ingat beliau memberikan satu pertanyaan penting, “KUPI akan menggunakan metode apa dalam memutuskan persoalan keagamaan?”. Mewakili teman-teman, saya menjawab: “Kami tidak menggunakan metode baru tertentu Prof. Hanya mengintegrasikan perspektif perempuan pada metode studi Islam yang telah ada, baik yang dikemukakan ulama klasik maupun yang dikembangkan sarjana Muslim modern”. Pertimbangannya sederhana. Metode sebagus apapun jika digunakan dengan perspektif yang tidak adil pada perempuan, ia akan gagal menghasilkan tafsir keagamaan yang adil. Beliau tampak merestui. Perspektif keulamaan perempuan Indonesia ini kemudian didiskusikan melalui rangkaian halaqah yang melibatkan para pakar ilmu-ilmu keislaman dan sosial menjelang KUPI, dan masih terus dikembangkang setelahnya hingga kini.

Pengetahuan adalah sebuah proses kreatif manusia yang melibatkan dinamika pengalaman mereka di kehidupan kongkrit maupun pemikiran mereka di alam abstrak. Laki-laki selama berabad-abad lamanya mendominasi berbagai aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial, budaya, agama maupun lainnya. Demikian pula, baik di ranah perkawinan, keluarga, masyarakat, negara, bahkan dunia. Dominasi di kehidupan kongkrit ini tentu saja memengaruhi dominasi mereka di alam pikiran. Demikian pula sebaliknya. Marginalisasi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan kongkrit juga memengaruhi marginalisasi mereka di alam pemikiran.

Sejarah panjang peradaban manusia diwarnai dengan sikap perorangan dan kolektif yang tidak manusiawi pada perempuan selama berabad-abad. Situasi ini terjadi juga di berbagai  peradaban besar dunia seperti Persia, Romawi, Arab, India, Cina, Afrika, dan lain-lain. Di Persia dan Romawi kuno, selama hidupnya perempuan dipandang sebagai milik mutlak laki-laki. Lahir sebagai milik ayah, menikah sebagai milik suami, kemudian milik anak atau kerabat laki-laki yang mewarisinya. Laki-laki secara sosial lazim mengeksplotasi bahkan menjual perempuan milikinya. Di Jazirah Arabia kuno, bayi perempuan boleh dikubur hidup-hidup saat lahir dan perempuan pun lazim dijadikan warisan. Di India dan Cina, istri mesti membakar diri hidup-hidup bersama jenazah suami yang dikremasi. Di Afrika, alat kelamin perempuan dimutilasi (FGM).

Ancaman atas keselamatan tubuh dan nyawa perempuan terus berlangsung selama hidupnya. Hal ini berpangkal dari cara pandang yang tidak mengakui kemanusiaan perempuan atau mengakui namun tidak secara penuh. Kemanusiaan perempuan dipandang rendah atau lebih rendah daripada kemanusiaan laki-laki. Cara pandang seperti ini dimiliki oleh para filosof, ilmuwan, seniman, penguasa, tokoh masyarakat, hingga tokoh agama. Karenanya, ia juga memengaruhi standar berfikir rasional di filsafat, ilmiah dan objektif di sains, artistik di kesenian, kebijakan di sebuah negara, kearifan sosial di masyarakat, hingga keshalehan di sebuah agama. Dengan kata lain, dominasi laki-laki di berbagai sendi kehidupan menunjukkan bahwa sistem pengetahuan di berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu agama telah dibangun dan dikembangkan melalui pengalaman, perspektif, sudut pandang, dan kepentingan laki-laki sehingga tidak atau belum menyertakan perempuan.

Marginalisasi perempuan, baik dalam kehidupan kongkrit maupun di alam pikiran meliputi banyak dimensi, yakni pengalaman kemanusiaan perempuan, isu, perspektif, sudut pandang, kepentingan, dan lain-lain. Pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik biologis seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, maupun sosial seperti stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda, yang semua terjadi hanya karena menjadi perempuan, dimarginalkan sebagai bagian dari pengalaman kemanusiaan karena laki-laki tidak mengalaminya. Pengalaman kemanusiaan khas perempuan ini dipandang sebagai pengalaman keperempuanan yang terlepas dari kemanusiaan sehingga tidak dipandang sebagai tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan melainkan hanya sebagai urusan perempuan.

Marginalisasi juga terjadi pada perempuan sebagai isu, perspektif, sudut pandang, kepentingan, lembaga, dan lain-lain dalam sistem kehidupan, termasuk sistem pengetahuan dan termasuk pengetahuan agama. Fakta bahwa selama berabad-abad lamanya pengetahuan agama didominasi oleh laki-laki, menunjukkan bahwa posisi perempuan dalam sistem pengetahuan agama kerap hanya menjadi objek yang sama sekali tidak dilibatkan dalam perumusannya, atau subjek sekunder yang pengalamannya mungkin dipertimbangkan tetapi tidak sebagai pemberi keputusan final. Apa yang baik buat perempuan menurut agama adalah apa yang dipandang baik oleh agama dalam perspektif laki-laki. Padahal perbedaan pengalaman kemanusiaan keduanya sangat mungkin menjadikan hal yang dipandang baik menurut dan untuk laki-laki tidaklah baik menurut dan untuk perempuan.

Pengalaman laki-laki dan perempuan dalam kekerasan seksual misalnya tidaklah sama. Bahkan bisa 180 derajat berbeda. Perkoasaan bisa menyebabkan perempuan mengalami kehamilan, kelahiran bayi, nifas, dan penyusuan bayi, sedangkan laki-laki tidak. Secara sosial, perkosaan bisa menyebabkan perempuan mengalami stigma sebagai perempuan kotor, semakin dipandang lebih rendah, kadang dipaksa nikah dengan pelakunya demi nama baik keluarga dan masyarakat, dan lain-lain. Padahal perkawinan, pada kasus ini, tidak menyebabkan pemaksaan seksual mengubah dampak buruk yang dialami perempuan sebagai korban perkosaan. Sebaliknya, laki sebagai pemerkosa tetap mendapatkan manfaat setelah menikahi korbannya. Artinya, apa yang manfaat bagi laki-laki tidaklah selalu bermanfaat bagi perempuan.

Demikian pula perkawinan anak. Anak perempuan yang dinikahkah sangat mungkin mengalami hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui di usia anak. Padahal pengalaman ini kerap disertai dengan rasa sakit berlipat (wahnan ala wahnin) meskipun dialami oleh perempuan dewasa. Sementara laki-laki menikah di usia anak maupun dewasa tidak akan mengalaminya. Gap dampak buruk perkawinan anak pada laki-laki dan perempuan semakin lebar pada perkawinan antara laki-laki dewasa dengan perempuan yang masih usia anak. Gap ini lagi-lagi menunjukkan bahwa pentingnya perumusan kemaslahatan dengan mempertimbangkan persamaan antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia di satu sisi, sekaligus mempertimbangkan perbedaan keduanya di sisi lain.

Pengabaian atas pengalaman kemanusiaan khas perempuan, baik secara biologis maupun sosial, kerap melahirkan pengetahuan agama berdampak buruk (keburukan), bahkan membahayakan (mudlarat) pada perempuan, padahal pada saat yang sama ia tidak demikian pada laki-laki. Tidak jarang bahkan laki-laki secara sepihak justru mendapatkan manfaat dari tindakan tersebut. Karena kemaslahatan dalam sistem kehidupan yang dikehendaki oleh Islam ditujukan pada seluruh manusia, laki-laki sekaligus, maka ia mesti bisa dinikmati oleh keduanya. Demikian pula keburukan apalagi bahaya juga mesti dicegah dari keduanya.

Merespon pengabaian ini, maka keulamaan perempuan Indonesia memandang perlu melakukan pengarusutamaan perempuan, yang dilakukan dengan dua strategi. Pertama, strategi yang memberikan fokus perhatian pada persamaan antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia melalui Perspektif Mubadalah. Laki-laki dan perempuan sebagai manusia adalah sama-sama hanya hamba Allah sehingga tidak diperbolehkan membangun relasi penghambaan satu sama lain, termasuk sebagai suami-istri. Keduanya juga sama-sama Khalifah fil Ardl sehingga sama-sama wajib mewujudkan kemaslahatan sekaligus menikmatinya, dan mencegah kemunkaran sekaligus dilindungi darinya. Atas dasar ini, laki-laki dan perempuan sama-sama primer sebagai Khalifah fil Ardl, sekaligus sama-sama sekunder sebagai hanya hamba Allah.

Perspektif Mubadalah dilakukan dengan cara memastikan perempuan terjangkau oleh kemaslahatan Islam dan terlindungi dari kemunkaran yang tidak dikehendaki Islam. Kerahmatan Islam bagi semesta (Rahmatan lil ‘Alamin) adalah termasuk kerahmatan bagi perempuan. Penyempurnaan akhlak mulia manusia (liutammima Makarimal Akhlaq) adalah termasuk akhlak manusia pada perempuan. Ketenangan jiwa (sakinah) adalah termasuk ketenangan jiwa perempuan sebagai istri. Begitu pula larangan Islam atas tindakan kemungkaran adalah termasuk kemungkaran yang hanya menimpa pada perempuan, mencegah keburukan termasuk keburukan yang hanya menimpa perempuan, dan menghilangkan bahaya termasuk bahaya yang hanya menimpa perempuan.

Kemaslahatan dalam konsep-konsep kunci yang enam (al-kulliyat as-sittah) yang menjadi Maqashid Syari’ah mesti menjangkau pengalaman kemanusiaan khas perempuan. Menjaga agama (hifz ad-din) adalah termasuk menjaga perempuan untuk tidak direndahkan kualitas agama mereka karena pengalaman reproduksi khasnya. Menjaga jiwa (hifz an-nafs) adalah termasuk menjaga perempuan dari kematian akibat melahirkan (marital mortality). Menjaga akal (hifz al-‘aql) adalah termasuk mendorong perempuan untuk sekolah setinggi mungkin. Menjaga kehormatan (hifz al-‘irdh) adalah termasuk menjaga perempuan dari kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Menjaga keturunan (hifz an-nasl) adalah termasuk menjaga sistem reproduksi perempuan dari setiap tindakan yang membahayakannya. Menjaga harta (hifz an-mal) adalah termasuk membuka akses perempuan untuk memperoleh dan memiliki harta, dan sebagainya.

Kedua, strategi yang memberikan fokus perhatian pada perbedaan perempuan dan laki-laki sebagai manusia melalui Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan. Prinsip dasar perspektif keadilan hakiki adalah tidak menjadikan pihak yang dominan sebagai standar tunggal kemaslahatan pihak lainnya. Dalam relasi laki-laki dan perempuan, perspektif ini berarti tidak menjadikan laki-laki sebagai standar tunggal kemaslahatan perempuan. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan perhatian pada kekhususan perempuan yang setidaknya meliputi dua jenis pengalaman kemanusiaan mereka.

Pertama, pengalaman biologis perempuan, khususnya menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui, yang secara sistemik sudah sakit (adza), melelahkan (kurhan) bahkan sakit atau lelah berlipat-lipat (wahnan ala wahnin). Pengalaman reproduksi khas perempuan ini karena sakit maka tidak boleh dibuat semakin sakit, bahkan sebisa mungkin bisa menjadi semakin nyaman.

Kedua, pengalaman sosial perempuan, khususnya kerentanan sosial mereka untuk mengalami stigmatisasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan, dan beban ganda hanya karena menjadi perempuan. Kerentanan sosial perempuan ini tentu saja tidak adil sehingga mesti dicegah atau diatasi untuk tidak terjadi sama sekali. Jadi, kemaslahatan Islam mesti maslahat pula bagi perempuan dan indikatornya adalah pengalaman biologisnya tidak semakin sakit dan kerentanan sosialnya tidak terjadi sama sekali. Demikian pula sebaliknya, mafsadat apalagi mudlarat mesti meliputi tindakan apapun yang menyebabkan pengalaman biologis khas perempuan makin sakit atau mengakibatkan kerentanan sosial perempuan terjadi.

Persamaan sekaligus perbedaan manusia dalam relasi gender juga sama-sama perlu mendapatkan perhatian dalam relasi Indonesia dan Arab. Meskipun sama-sama Muslim yang sama-sama beriman pada al-Qur’an dan hadis sebagai sumber rujukan dalam berislam, namun kekhasan Muslim sebagai warga negara Indonesia juga perlu mendapatkan perhatian. Sebagai warga negara, masyarakat Muslim Indonesia terikat pada Konstitusi negara RI sehingga juga perlu mempertimbangkannya dalam merumuskan kemaslahatan Islam di Indonesia. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa setiap Muslim Indonesia adalah warga negara yang mempunyai kewajiban untuk tunduk pada konstitusi Negara.

Konstitusi ini juga mewajibkan Negara melalui pemerintah sebagai Ulil Amri untuk menjamin kemaslahatan bangsanya, baik laki-laki maupun perempuan dan melindungi mereka dari sesuatu yang kemunkaran, mafsadat dan mudlarat. Konstitusi Negara menjadi dasar untuk memanggil kewajiban Negara agar berperan aktif dalam mewujudkan kemaslahatan dan mencegah kemunkaran, mafsadat, dan mudlarat yang dirumuskan oleh ulama perempuan Indonesia. Pentingnya Konstitusi Negara dalam perumusan kemaslahatan di Indonesia sejalan dengan pentingnya perujukan ulama pada adat kebiasan (al-‘adah muhakkimah) dan kesepakatan-kesepakatan sosial (al-masyruth syarthan ka al-manshush syar’an). Tentu saja, sebagaimana sumber-sumber lainnya, Konstitusi Negara juga dipahami dengan Perspektif Mubadalah yang menekankan persamaan kedudukan laki-laki dan perempuan sebagai warga negara, dan Perspektif Keadilan Hakiki Perempuan yang menekankan kekhasan pengalaman perempuan sebagai warga negara. Wallahu a’lam.