Kesaksian Perempuan

Masalah kesaksian perempuan seringkali dianggap sebagai salah satu pembenaran teologis atas kurangnya akal perempuan. Argumen yang sering digunakan untuk mendukung hal tersebut adalah Surat al-Baqarah, 2: 282 yang menyatakan: “…. Bila tidak ada dua orang laki-laki maka (ambillah saksi) seorang laki-laki dan dua orang perempuan yang kamu relakan untuk menjadi saksi ….”, dan hadits Nabi yang menyatakan bahwa: “…. Kesaksian dua orang perempuan yang menyamai kesaksian seorang laki-laki menunjukkan kurangnya akal perempuan.” Berdasarkan ayat dan hadits ini, pandangan bahwa perempuan bernilai setengah laki-laki dan kurang akal berkembang di benak sebagian (besar) kaum muslimin. Malah ada yang berkeyakinan bahwa kurangnya akal perempuan adalah merupakan kodrat dari Tuhan.

Pandangan tersebut menjadi dipertanyakan ketika fakta menunjukkan banyak perempuan yang berhasil dalam bidangnya, setara atau malah melebihi laki-laki. Hampir di semua sektor kehidupan, terdapat perempuan yang berprestasi melebihi laki-laki. Banyak kelas di mana terdapat murid perempuan dan laki-laki, perempuan tampil menjadi juara. Ini semua menjadi alasan kuat untuk mempertanyakan kembali kebenaran anggapan sebagaimana disebutkan di atas, sebab jika memang dari sono-nya Tuhan menghendaki akal perempuan lebih rendah dibanding laki-laki, mengapa pada saat yang sama Tuhan juga menganugerahi sebagian perempuan akal dan kecerdasan yang melebihi laki-laki?

Pertanyaan ini menggiring kita untuk menelaah lebih lanjut ayat-ayat kesaksian yang seringkali dijadikan titik awal membangun pandangan yang menomorduakan dan menilai rendah perempuan.

Jika kita telaah ayat-ayat kesaksian, maka akan tampak bahwa ayat dan hadits yang sering dijadikan dalil seperti telah disebutkan di atas hanyalah satu dari sekian banyak ayat dan hadits yang berbicara soal kesaksian perempuan. Lingkup kesaksian perempuan itu sendiri tidak terbatas pada masalah perdagangan, melainkan masalah rujuk, nikah, hudud (pidana), qadzaf (tuduhan zina), radha’ (persusuan) dan sebagainya. Penting untuk dicatat bahwa tidak seluruh nash yang bicara soal kesaksian selalu menganggap kesaksian perempuan separuh kesaksian laki-laki. Namun sayangnya ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang tidak membedakan kesaksian perempuan dan laki-laki ini kurang populer dan jarang dimunculkan dalam pembahasan mengenai kesaksian. Yang sering muncul ke permukaan hanya ayat di atas dan hadits tentang kekurangan akal dan agama perempuan sebagaimana akan dijelaskan.

Akibat dari pemaparan informasi yang tidak proporsional ini adalah munculnya stereotipe tentang permpuan seperti perempuan adalah setengah laki-laki, perempuan itu kurang akal, dan sebagainya yang ujung-ujungnya mengkristal pada cara pandang dan sikap hidup yang menomorduakan dan mendiskriminasi perempuan. Akibat ini tidak terelakkan karena sosialisasi prmahaman yang tidak proporsonal itu terjadi selama berabad-abad sehingga menguasai alam pemikiran kaum muslimin. Pemikiran dalam tafsir, hadits, fiqh, dan bahkan sastra tidak terlepas dari warna pemahaman yang demikian.

Oleh karena itu kita pun patut bertanya mengenai keabsahan penggunaan sebagian (sekali lagi hanya sebagian) ayat dan hadits tentang kesaksian sebagai alasan teologis untuk membenarkan adanya subordinasi dan diskriminasi perempuan. Jika sebagian teks suci itu dianggap absah sebagai alasan teologis untuk menilai harga perempuan setengah laki-laki, maka yang perlu dipertanyakan kemudian adalah bagaimana halnya dengan nasib teks ayat dan hadits lain yang tidak membedakan kesaksian perempuan dan laki-laki? Pertanyaan ini mendorong kita untuk melakukan pembacaan ulang ayat dan hadits mengenai kesaksian agar tidak terjadi generalisasi masalah berdasarkan sebagian teks dengan mengabaikan sebagian teks yang lain.


Kesaksian dalam Perspektif Al-Qur’an

Al-Qur’an menyebutkan kata syahadah (kesaksian) dalam berbagai bentuk derivasinya tidak kurang dari 140 kali. Dalam pada itu sangat banyak jenis kesaksian yang dikemukakan Al-Qur’an seperti kesaksian tentang keimanan, keislaman, ketuhanan, kenabian, kesaksian akan tanda-tanda kekuasaan dan kebesaran Allah, kesaksian akan kebenaran janji dan ancaman Allah, kesaksian tentang datangnya bulan Ramadhan, kesaksian dalam transaksi perdagangan dan apa saja yang menyangkut harta kekayaan, rujuk, wasiat, dan hudud. Pelaku kesaksian pun tidak terbatas pada manusia biasa saja melainkan juga rasul, jin, malaikat, bahkan Allah SWT. Di luar itu masih ada saksi bisu seperti anggota badan dan patung. Semua ini akan tampak jika kita membaca seluruh ayat tentang kesaksian yang terdapat dalam 30 juz Al-Qur’an.

Demikianlah, kesaksian dalam Al-Qur’an tidak dibatasi pada soal-soal horizontal yang menyangkut hubungan antar manusia saja melainkan juga antara manusia dengan Khaliqnya. Menarik untuk dikemukakan, dalam kesaksian-kesaksian vertikal ini laki-laki dan perempuan tidak dibedakan sama sekali.

Jika kita cermati seluruh ayat tentang kesaksian antar-manusia ternyata hanya ada 5 ayat tentang 4 topik yang sering dijadikan dasar pembedaan gender yakni:


a. Kesaksian dalam pencatatan hutang-piutang (Q.S. Al-Baqarah, 2: 282):


وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ

“…. Dan persaksikanlah dengan dua orang laki-laki diantaramu. Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang lain mengingatkanya…..”

b. Kesaksian mengenai perzinaan (Q.S. An-Nisa, 4: 15 dan An-Nur, 24:4)


وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ شَهِدُوا فَأَمْسِكُوهُنَّ فِي الْبُيُوتِ حَتَّىٰ يَتَوَفَّاهُنَّ الْمَوْتُ أَوْ يَجْعَلَ اللَّهُ لَهُنَّ سَبِيلًا

“....Dan terhadap para wanita yang mengerjakan perbuatan keji (zina), hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi kesaksian, maka kurunglah mereka (para wanita itu) dalam rumah sampai menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya.” (QS. An-Nisa, 4: 15).


وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya, dan mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. An-Nur, 24: 4).

c. Kesaksian dalam wasiat (Q.S. Al-Maidah, 5: 106)


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ ۚ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat) itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian….” (Q.S. Al-Maidah, 5: 106)

d. Kesaksian dalam rujuk (Q.S. Ath-Thalaq, 65:2)


فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ

“Apabila mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskan mereka dengan baik dan persaksikanlah kepada dua orang saksi yang adil diantara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah….” (Q.S. Ath-Thalaq, 65:2)

Jika lebih dicermati, akan tampak bahwa dari kelima ayat tersebut ternyata hanya ada satu ayat yang secara jelas menyebut perbedaan kesaksian laki-laki dan perempuan yakni ayat yang menganjurkan (bukan mewajibkan) pencatatan hutang–piutang (QS. Al-Baqarah, 2: 282). Sementara untuk kesaksian dalam perzinaan, wasiat, dan ruju’, tidak ada pernyataan khusus bahwa nilai kesaksian perempuan setengah laki-laki dan bahwa perempuan tidak boleh menjadi saksi dalam persoalan tersebut sebagaimana yang kita jumpai dalam pendapat para ahli fiqh.

Bahkan dalam hal menolak tuduhan zina yang dilontarkan oleh suami (sumpah li’an), kesaksian perempuan (istri) bernilai sama dengan kesaksian laki-laki (suami). Seoramg istri yang merasa dirinya tidak berbuat zina namun tidak bisa menghadirkan empat orang saksi, diterima kesaksiannya seorang diri setelah empat kali bersaksi dengan bersumpah atas nama Allah bahwa dirinya benar dan suaminya salah. Setelah itu pada kesaksiannya yang kelima ia menyatakan bahwa jika suaminya itu benar, maka ia siap menerima murka dari Allah (Q.S. An-Nur, 24: 8-9). Empat kali sumpah atas nama Allah dalam kesaksian istri yang menolak tuduhan ini sama jumlahnya dengan sumpah suami yang melontarkan tuduhan berzina kepada istrinya tanpa empat orang saksi (Q.S. An-Nur, 24: 6). Bahkan dalam kasus yang demikian kesaksian istri langsung diterima dalam arti tuduhan dan hukuman zina itu bisa gugur atas dasar kesaksiannya sendiri (Q.S. An-Nur, 24: 8). Selanjutnya kebenaran dari kedua pihak yang sama-sama mengangkat sumpah atas nama Allah ini diserahkan kepada Allah.

Dari uraian di atas, dapat dinyatakan bahwa bagian terbesar dari ayat-ayat kesaksian dalam Al-Qur’an tidak memuat ide pembedaan gender. Masalah gender dalam kesaksian hanya terbatas pada sebagian masalah hukum amaliyah yamg praktis (fiqh). Dalam hukum-hukum amaliah itu pun perempuan tidak selalu dibedakan dengan laki-laki.

Sementara itu, untuk hal-hal yang berkaitan dengan aqidah, sikap mental-spritual dan hubungan vertikal makhluk-Khalik semuanya dinyatakan tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Perempuan dan laki-laki dianggap sama nilai kesaksiannya. Padahal semua orang tahu bahwa kesaksian dalam persoalan yang berkaitan dengan aqidah dan hal-hal lain yang sifatnya spiritual, gaib dan eskatoligis jauh lebih membutuhkan kekuatan akal. Dan ternyata, dalam hal-hal seperti ini Al-Qur’an menganggap kekuatan akal perempuan sama dengan laki-laki.

Dengan melihat seluruh ayat kesaksian dalam al-Qur’an, dapat dinyatakan bahwa ayat yang dijadikan landasan teologis untuk menilai harga perempuan setengah laki-laki tidak dapat diklaim sebagai pandangan al-Qur’an karena pandangan umum al-Qur’an tentang kesaksian, sebagaimana diuraikan di atas, justru menganggap sama nilai kesaksian laki-laki dan perempuan.

Hadits Nuqshan Aql: Justifikasi atas Kurangnya Akal Perempuan?

Ada satu hadits yang cukup populer dan sering dijadikan rujukan utama dalam pembahasan mengenai kesaksian perempuan yakni:


عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فِى أَضْحًى أَوْ فِطْرٍ إِلَى الْمُصَلَّى فَمَرَّ عَلَى النِّسَاءِ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ فَإِنِّى أُرِيتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ فَقُلْنَ وَبِمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ مَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَذْهَبَ لِلُبِّ الرَّجُلِ الْحَازِمِ مِنْ إِحْدَاكُنَّ قُلْنَ وَمَا نُقْصَانُ دِينِنَا وَعَقْلِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأَةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِهَا أَلَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ تُصَلِّ وَلَمْ تَصُمْ قُلْنَ بَلَى قَالَ فَذَلِكَ مِنْ نُقْصَانِ دِينِهَا. (رواه البخاري ومسلم)

Artinya: Abu Sa’id Al-Khudri berkata: Rasulullah SAW keluar menuju tempat shalat pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, dan lewat di hadapan para wanita. Rasulullah berkata: Saya tidak melihat para wanita yang akal dan agamanya kurang, mampu menghilangkan akal seorang laki-laki yang teguh hati, melebihi salah satu dari kalian. Mereka bertanya: Apa kekurangan akan dan agama kami ya Rasulullah? Rasul menjawab: Bukankah kesaksian seorang permpuan sama dengan setengah kesaksian laki-laki? Mereka menjawab: Ya. Rasul berkata: Itu merupakan kekurangan akalnya. Bukankah jika seorang wanita haidh maka ia tidak shalat dan tidak puasa? Mereka menjawab: Ya. Kata Nabi: Itulah kekurangan agamanya. (HR. Bukhari-Muslim).[1]

Dalam hadits ini terdapat dialog antara Nabi dengan sahabiyat. Diantara materi dialog yang sering menimbulkan pemahaman mengenai inferioritas perempuan adalah pernyataan Nabi bahwa kesaksian dua orang perempuan yang sama dengan kesaksian seorang laki-laki merupakan tanda kurangnya akal perempuan.

Pada level fiqh, pernyataan ini dijadikan acuan oleh sebagian besar ulama untuk memberlakukan ketentuan 2:1 dalam seluruh kesaksian perempuan. Sedangkan pada level teologis pernyataan ini dianggap sebagai statemen ilahiyah yang meneguhkan supremasi laki-laki atas perempuan. Sementara itu, di tingkat realitas sosial pernyataan ini menjadi argumen ampuh untuk menomorduakan dan meminggirkan perempuan dari kehidupan yang dianggap memerlukan akal lebih banyak. Ironisnya, pada saat yang sama pernyataan ini menumbuhkan kesadaran di kalangan perempuan itu sendiri bahwa posisinya nomor dua dan akalnya kurang. Begitu kuatnya kesadaran ini menguasai perempuan sehingga tanpa disadari ia menerima hal itu sebagai bagian dari kodrat.

Pernyataan kita sekarang adalah apakah implikasi-implikasi seperti itu yang menjadi tujuan pernyataan Nabi? Rasanya riskan sekali untuk mengatakan “Ya“. Sebab jika itu yang kita nyatakan berarti kita menafikan salah satu misi Islam yakni menempatkan perempuan dalam posisi yang sederajat dengan laki-laki (lihat Q.S. Al-Hujarat, 49: 13, Q.S. Ali Imran, 3: 195, Q.S. An-Nahl, 16: 97, Q.S. Ghafir, 40: 40, Q.S. At-Taubah, 7: 71, dan banyak ayat lagi). Lebih dari itu pribadi Nabi juga bukan pribadi yang misoginis bahkan sebaliknya sangat egaliter seperti pengakuan para istrinya dan juga para sahabat-sahabat perempuan lainnya.

Untuk itu kita perlu melihat pernyataan Nabi dalam hadits di atas sbb:

Pertama, hadits ini mesti dilihat dalam konteks apa diucapkan oleh Nabi. Dalam matan hadits disebutkan ucapan itu dikemukakan Nabi pada momentum hari raya Ied. Seperti biasa, pada hari Ied Nabi memberikan nasihat kepada kaum muslimin, termasuk perempuan. Pribadi Nabi yang menghormati perempuan terlalu mulia untuk menyampaikan sesuatu yang menyakiti perempuan di saat hari raya seperti itu. Dengan melihat konteks seperti ini, akan lebih tepat jika pernyataan Nabi itu dipahami sebagai nasihat untuk kaum perempuan dan sama sekali bukan mencerminkan sikap meremehkan perempuan. Ini diperkuat dengan bunyi hadits secara lengkap yang didahului dengan nasihat agar kaum perempuan banyak bersedekah dan beristighfar agar mereka tidak termasuk kelompok perempuan ahli neraka. Dengan memperhatikan konteks dan redaksi lengkap hadits ini, bisa dikatakan bahwa hadits ini lebih merupakan peringatan dan nasihat daripada stigma negatif terhadap perempuan.

Kedua, harus difahami hadits ini diucapkan kepada siapa. Dalam syarah (penjelasan) hadits dapat diketahui bahwa pernyataan itu ditujukan kepada sekelompok perempuan Madinah yang pada umumnya perempuan Anshar. Seperti dikatakan Umar bin Khattab, perempuan Anshar secara umum dikenal memiliki sikap dominatif terhadap para suami mereka, sehingga wajar jika mereka diingatkan agar bisa mengendalikan diri. Sebab, dalam diri mereka ada kekuatan untuk mengalahkan para laki-laki, bahkan yang paling kuat sekalipun. Agar tidak berlebihan menggunakan kekuatannya mereka diingatkan akan kekurangan mereka.

Ketiga, perlu diperhatikan bentuk kalimat yang dikemukakan. Kalimat pada hadits ini, menurut Abu Syuqqah, bukan kalimat ketetapan, bukan pula kaidah umum atau hukum yang bersifat umum melainkan lebih cenderung merupakan ungkapan kekaguman Nabi atas paradoksi yang diberikan Tuhan kepada perempuan. Yakni bahwa dalam kelemahlembutan mereka, terdapat kekuatan untuk mengalahkan laki-laki yang kuat. Dengan kata lain Nabi seolah-olah berkata kepada kaum perempuan, “Hai kaum perempuan, jika Allah telah memberikan kepada kalian kekuatan untuk mengalahkan laki-laki yang kuat, maka bertaqwalah kepada Allah dan janganlah kekuatan itu kalian pergunakan kecuali untuk kebaikan”.[2]

Demikianlah, sekali lagi hadits itu bukan merupakan ketetapan dan justifikasi Nabi atas rendahnya nilai perempuan, sebab disamping hanya diucapkan sekali oleh Nabi, hadits itu juga tidak pernah diucapkan sebagai pernyataan yang berdiri sendiri baik di hadapan kaum laki-laki maupun perempuan.[3]

Dengan melihat konteks hadits yang demikian dapat kita katakan bahwa pernyataan “kurang akal” dan “kurang agama” bukanlah norma yang sifatnya absolut dan melekat pada setiap perempuan kapan pun dan dimana pun, melainkan sebuah warning dari Nabi yang didasarkan atas realitas sosial perempuan yang ada.

Dalam realitanya, harus diakui bahwa perempuan sangat mudah menjadi “kurang akal”. Itu karena peluang untuk memaksimalkan potensi dan kemampuan akal bagi perempuan lebih kecil dibandingkan laki-laki. Di samping itu konstruksi sosial juga menggiring perempuan untuk lebih berkonsentrasi dalam urusan rumah tangga. Kalau sudah begitu, ia tidak lagi memiliki kesempatan untuk berkiprah di dunia yang lebih banyak menuntut “akal” sehingga potensi akalnya tidak teraktualisasikan. Akibatnya, keunggulan akal tampak lebih didominasi laki-laki. Padahal sesungguhnya jika ada kesempatan yang sama dan perlakuan yang sama potensi akal perempuan tidak kalah dengan laki-laki. Buktinya banyak juara kelas diraih oleh murid perempuan. Sejarah juga menunjukan banyak perempuan yang akalnya cemerlang. Istri Nabi, Aisyah dan Ummu Salamah r.a diakui keunggulan akalnya oleh para sahabat laki-laki. Di samping kedua nama itu masih banyak sahabiyat yang memiliki kecakapan akal yang tidak diragukan. Mereka meriwayatkan hadits, menghafal Al-Qur’an, dan sebagainya. Bahkan dalam periwayatan hadits, Az-Zahabi dalam Mizan Al-I’tidal mengakui bahwa dari 400 perawi yang tertuduh dusta dan ditinggalkan haditsnya, tidak ada satu perempuan pun yang termasuk di dalamnya.[4] Pengakuan ini sekaligus menjadi bukti kemampuan akal perempuan yang tidak kalah dengan laki-laki.

Karena secara kodrati akal perempuan tidak dibedakan dengan laki-laki, maka dalam kesaksian, kualitas kesaksian perempuan tidak boleh selalu dipandang lebih rendah dibanding laki-laki. Jika perempuan memiliki kualifikasi “akal” yang tidak diragukan, kesaksiannya tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu sangat wajar jika Ibnu Al-Qayyim menyatakan bahwa kesaksian perempuan seperti Ummu Darda’ dan Ummu Athiyah, lebih kuat daripada kesaksian seorang laki-laki.[5]

Melihat realitas yang demikian, “kurang akal” dalam matan hadits di atas tidak bisa kita pahami bahwa dari sono-nya perempuan itu ditakdirkan untuk selalu lebih bodoh, tidak kuat ingatan, kurang akurat dalam kesaksiannya, dan sebagainya. “Kurang akal” lebih merupakan dampak yang tidak terhindarkan oleh sebagian besar perempuan karena mereka harus mengikuti sistem sosial dan budaya yang membatasi mereka untuk memaksimalkan potensi akalnya.

Demikian pula halnya dengan “kurang agama”. Kurang agama juga tidak bisa difahami secara absolut, dalam arti karena perempuan haidh dan nifas, maka pasti agamanya kurang. Sebab haidh dan nifas itu sendiri merupakan takdir Tuhan atas perempuan. Demikian pula larangan shalat, puasa, dan beberapa ibadah lainnya juga bukan atas keinganan perempuan melainkan ketentuan langsung dari Tuhan. Ketika seorang perempuan yang haidh meninggalkan sholat dan puasa dengan kesadaran penuh bahwa ia meninggalkan itu karena adanya larangan Allah, maka pada saat itu ia sedang meninggalkan perbuatan yang haram. Dalam Islam, meninggalkan hal yang diharamkan mempunyai nilai pahala, sama halnya dengan melaksanakan hal yang wajib. Oleh karena itu tidak tepat jika dikatakan bahwa haidh menjadi penyebab kurangnya agama perempuan karena itu semua kehendak dari Alah yang didasarkan atas keadilan-Nya.

Kalau begitu dimana letak kurangnya agama perempuan? Keberagamaan perempuan bisa menjadi kurang jika ia terlena dengan dispensasi itu. Saat haidh, di mana ia tidak menjalankan shalat dan puasa, tidak digunakan untuk berbuat amal ibadah lain yang berpahala di sisi Tuhan melainkan berbuat dosa dan segala sesuatu yang membuatnya lupa dan jauh dari Tuhan. Jika ini terjadi terus-menerus setiap bulan, secara akumulatif nilai keberagamaan perempuan akan menjadi berkurang. Namun sebaliknya jika seorang perempuan sabar dan qana’ah atas ketentuan Tuhan atasnya selama haidh, dan ia bisa mempergunakan masa itu untuk melakukan amal ibadah yang bisa mengganti pahala shalat, seperti dzikir -dalam arti yang luas-, amal ibadah ritual yang diperbolehkan, amal ibadah sosial, dan amal ibadah lainnya yang sangat banyak jumlahnya, maka keberagaman perempuan tidak berkurang, bahkan mungkin bertambah. Sebab, di samping pahala sabar dan qana’ah, perempuan juga memperoleh pahala atas kesungguhannya menghambakan diri kepada Tuhan dalam masa-masa sulit yang bisa membuat orang pada umumnya mudah terlena.

Jika hadits itu dipahami dengan cara demikian, maka tidak ada kesimpulan bahwa perempuan ditakdirkan untuk “kurang akal” dan “kurang agama”. Namun yang sesungguhnya yang terjadi adalah perempuan lebih mudah menjadi “kurang akal” dan “kurang agama” karena berbagai faktor. Oleh karena itu wajar jika jauh-jauh hari Nabi telah memberikan peringatan kepada perempuan agar tidak jatuh pada posisi yang demikian. Pernyataan itu justru merupakan wujud perhatian dan cinta seorang Rasul kepada ummatnya.


Persoalan Gender dalam Fiqh Kesaksian

Secara etimologis syahadah (kesaksian) berarti berita pasti. Musyahadah berarti sesuatu yang nyata, karena saksi adalah orang yang menyaksikan sesuatu yang orang lain tidak mengetahuinya. Dalam istilah fiqh, kesaksian adalah seseorang yang memberitahukan secara benar atas apa yang dilihat dan didengarnya.[6]

Pembicaraan tentang kesaksian perempuan dalam fiqh pada umumnya cenderung merujuk pada ayat tentang kesaksian perempuan dalam pencatatan hutang piutang (Q.S. Al-Baqarah, 2: 282) dan hadits tentang kekurangan akal perempuan sebagaimana disebutkan di atas. Sementara ayat yang menyetarakan atau minimal tidak mempermasalahkan laki-laki dan perempuan kurang dimunculkan. Bahkan terhadap ayat-ayat kesaksian yang dinyatakan dalam redaksi yang zahirnya tidak mempermasalahkan gender pun pada umumnya dibatasi hanya untuk laki-laki. Bisa dipastikan kesimpulan yang dihasilkan kemudian adalah produk-produk fiqh yang cenderung tidak memberikan nilai dan kesempatan berpartisipasi yang sama kepada perempuan dalam memberikan kesaksian.

Dalam literatur fiqh kecenderungan itu bisa kita lihat. Misalnya dalam soal ruang kesaksian. Ibnu Munzir mengatakan bahwa jumhur ulama mengkhususkan kesaksian dua perempuan bersama seorang laki-laki hanya berlaku dalam hal hutang dan harta benda. Sementara dalam hal hudud dan qishash kesaksian perempuan bersama laki-laki tidak dapat diterima. Dengan kata lain hanya laki-laki yang diterima kesaksiannya. Kesaksian dua orang perempuan diperbolehkan untuk perkara-perkara yang tidak dapat diketahui oleh orang laki-laki, seperti masalah haidh, proses kelahiran, dan rahasia-rahasia perempuan.[7]

Meskipun perempuan diterima kesaksiannya dalam hal-hal yang tidak diketahui laki-laki, jumhur ulama ternyata masih memperselisihkan kesaksian perempuan seorang diri dalam hal ini. Mayoritas ulama tidak membolehkan kesaksian perempuan seorang diri. Mereka mengharuskan hadirnya empat orang saksi perempuan. Pendapat yang sedikit lunak datang dari Imam Malik dan Ibnu Abi Laila yang menganggap kesaksian dua orang perempuan dalam hal yang tidak diketahui laki-laki cukup dan bisa diterima.[8]

Melihat pendapat jumhur ini kita bisa mengatakan bahwa betapa sempitnya ruang yang diberikan kepada perempuan hanya untuk memberikan kesaksian yang notabene adalah menyuarakan kebenaran. Yang lebih menyedihkan, hukum-hukum itu dibangun diatas asumsi-asumsi yang misoginis. Kalangan ulama Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanabilah- seperti dikutip oleh Wahbah Az-Zuhaili- beralasan bahwa tidak diterimanya kesaksian perempuan dikarenakan dominannya emosi perempuan, kurang akuratnya perempuan melihat persoalan, dan terbatasnya penguasaan perempuan atas berbagai persoalan.[9] Hampir senada dengan itu Abu Ubaid berpendapat bahwa kesaksian perempuan dalam hudud tidak diterima. Alasannya, karena perempuan tidak berhak mengambil keputusan atau memberikan jalan keluar dalam soal itu.[10]

Asumsi-asumsi seperti ini tidak hanya dikemukakan oleh fuqaha masa lalu. Dalam Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu Dr. Wahbah Az-Zuhaili kembali menegaskan asumsi-asumsi misoginis yang tidak jauh berbeda dengan kecenderungan fiqh konvensional. Ia, misalnya, mengatakan bahwa kesaksian dua orang perempuan yang sebanding dengan kesaksian seorang laki-laki disebabkan kurang akuratnya perempuan karena banyak lupa.[11]

Demikianlah, asumsi-asumsi misoginis itu telah secara apriori dijadikan alasan rendahnya nilai kesaksian perempuan. Kita sebut apriori karena dalam kenyataan label kurang akal, emosional, atau tidak akurat yang dijadikan alat pembatasan kesaksian itu tidak sepenuhnya bisa dibuktikan. Kenyataannya, label-label yang dijadikan alasan itu tidak melekat pada setiap perempuan. Banyak perempuan yang lebih berakal dan kuat ingatan daripada laki-laki. Sebaliknya banyak pula laki-laki yang lebih emosional dan pelupa dibanding perempuan. Dengan demikian alasan kurang akal, emosional dan sebagainya yang dilabelkan pada perempuan tanpa kecuali itu secara de facto tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Dengan kata lain alasan-alasan yang selama ini begitu dibakukan itu hanya didasarkan pada asumsi yang bersifat apriori dan tidak mencerminkan kondisi seluruh perempuan yang sesungguhnya.

Meski demikian tidak seluruh bangunan fiqh kesaksian perempuan didasarkan atas asumsi-asumsi misoginis yang dinyatakan secara apriori. Ada pula fuqaha yang melihat kesaksian perempuan tidak dengan sebelah mata.

Abu Hanifah, pendiri mazhab Hanafi, tidak memberikan batasan mana masalah yang boleh menghadirkan perempuan sebagai saksi dan mana yang mana yang tidak. Perempuan boleh memberikan kesaksiannya dalam seluruh persoalan baik yang berkaitan dengan harta maupuan tidak. Perempuan boleh menjadi saksi dalan nikah, thalaq, iddah, hawalah (pengalian hutang piutang), waqaf, shulh (kesepakatan berdamai), wakalah, wasiat, hibah, iqrar, persalinan, dan nasab. Kesaksian perempuan diterima jika kualifikasi untuk menjadi saksi terpenuhi dalam diri perempuan. Artinya jika seorang perempuan telah memenuhi syarat untuk menjadi saksi maka kesaksiannya bisa diterima. Syarat kesaksian itu adalah: berakal, baligh, merdeka, Islam, bisa melihat dan berbicara, adil, tidak memiliki tendensi-tendensi tertentu, bisa memberikan kesaksian secara akurat, dan bisa hadir untuk memberikan kesaksian.[12]

Dengan pemikiran fiqh seperti itu, dapat dikatakan bahwa Abu Hanifah tidak mendasarkan ruang kesaksiannya pada jenis kelamin melainkan pada kualitas pribadi. Sebagai konsekuensi dari pendiriannya itu, Abu Hanifah, berbeda dengan ulama Malikiyah dan Syafi’iyah, menerima kesaksian seorang perempuan yang adil. Lebih dari itu Abu Hanifah juga memberikan ruang kesaksian bagi perempuan untuk peristiwa yang hampir seluruh ulama mengatakan perempuan tidak boleh menjadi saksi, yakni nikah dan ruju’.

Dalam hal-hal tertentu fiqh Imam Ahmad juga memberikan ruang kesaksian yang relatif terbuka buat perempuan. Ia sependapat dengan Imam Hanafi (Abu Hanifah) dalam hal diterimanya kesaksian seorang perempuan. Berbeda dengan mayoritas ulama yang mutlak tidak membolehkan perempuan bersaksi dalam soal hudud, Imam Ahmad menerima kesaksian beberapa perempuan yang berada di tempat umum dalam soal ini.[13]

Di era kontemporer ini, kritik tajam mengenai pembatasan kesaksian perempuan banyak terlontar. Salah satu ulama yang melakukan kritik tajam adalah Syaikh Muhammad al-Ghazali, pemikir kontemporer asal Mesir. Syaikh al-Ghazali menyayangkan timbulnya penyimpangan dalam pemikiran Muslim yang menjauhkan perempuan dari kesempatan memberikan kesaksiannya dalam berbagai bidang peradilan yang sangat transparan, yakni dalam qishash dan tindak pidana, serta hal-hal yang bersangkutan dengan nyawa dan kehormatan manusia.

Sebagai argumennya, ia mengemukakan beberapa pertanyaan retoris. Ia mempertanyakan, jika pencuri dapat memasuki rumah-rumah pada siang dan malam hari, apa artinya menolak kesaksian perempuan dalam soal pencurian? Dan jika pelanggaran terhadap jiwa dan tubuh salah seorang anggota keluarga terjadi seperti pembunuhan dan perkosaan, sementara yang ada saat itu seorang perempuan, apa artinya menolak kesaksian dalam hal ini?

Menyitir pendapat Ibnu Hazm, Syaikh Muhammad Al-Ghazali berpendapat bahwa penolakan terhadap kesaksian perempuan dalam masalah pidana dan qishash sama sekali tidak mempunyai dasar dalam sunnah nabawiyah.

Ia, lebih lanjut mengatakan, tidak ingin melemahkan Islam di hadapan hukum internasional dengan suatu sikap yang tidak berdasarkan nash-nash yang kuat hanya karena berpegang pada nash-nash yang putus. Sangat tidak tepat jika kehormatan diri limaratus juta perempuan muslimah dilemparkan begitu saja demi mengikuti persepsi seseorang. Demikian juga bukan sebuah kemaslahatan, menggugurkan kesaksian perempuan dalam ribuan peristiwa yang justru berlangsung di hadapan mata mereka. Bukan pula sebuah kemaslahatan, memprioritaskan pendapat suatu mazhab yang lebih banyak merugikan Islam daripada menguntungkannya. Demikian Syaikh Muhammad al-Ghazali.[14]

Melihat perkembangan pemikiran di seputar fiqh kesaksian dari yang paling menafikan perempuan sampai yang memberikan hak yang sama untuk perempuan sebagaimana disebutkan di atas, dapat dinyatakan hal-hal sbb:

  1. Fiqh kesaksian yang sangat membatasi hak perempuan pada dasarnya dibangun bukan di atas landasan dalil yang punya kekuatan pasti melainkan lebih pada asumsi-asumsi yang apriori tentang perempuan. Buktinya, di kalangan ahli fiqh sendiri ada yang menolak sama sekali pembatasan-pembatasan seperti itu karena tidak adanya argumen teologis yang dianggap kuat.
  2. Pembatasan hak kesaksian perempuan ternyata menimbulkan masalah hukum yang jauh lebih substansial, yakni tidak tercapainya keadilan yang merupakan tujuan hukum itu sendiri. Dalam sebuah kasus di mana perempuan adalah saksi kunci dan keadilan tidak bisa ditegakkan kecuali dengan kesaksiannya, membatasi ruang kesaksian perempuan adalah menzalimi orang yang menjadi korban. Lebih dari itu dengan dibatasinya ruang kesaksian perempuan peluang melakukan tindak pidana dan berbuat kriminal terhadap dan atau di hadapan perempuan semakin terbuka karena pelaku kejahatan tahu perempuan tidak punya hak untuk bersaksi.
  3. Saat ini pengadilan yang berlaku di negeri-negeri Muslim menerima kesaksian perempuan dalam berbagai perkara, termasuk perkara pidana dan kriminal. Masyarakat muslimpun tidak menolak fakta itu. Ini semua menunjukkan bahwa fiqh kesaksian yang diskriminatif terhadap perempuan dengan sendirinya telah tertolak oleh zaman.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, demi terciptanya keadilan hukum dan sosial, fiqh kesaksian tidak bisa lagi dibangun atas dasar asumsi-asumsi yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan dan tuntutan penegakan hukum yang adil buat si korban. Melihat fakta dan realitas sosial yang ada fiqh kesaksian sesungguhnya tidak bisa lagi menolak hadirnya perempuan untuk bersaksi dalam seluruh bidang kesaksian.


Membaca Ulang Teks-teks tentang Kesaksian

Tidak bisa dipungkiri, hadirnya pemikiran yang misoginis mengenai kesaksian perempuan sangat dipengaruhi oleh cara pemahaman dan pembacaan terhadap teks-teks suci yang ada, baik berupa ayat al-Qur’an maupun al-Hadits.

Munculnya produk-produk fiqh yang memberlakukan ketentuan 2:1 untuk semua kesaksian perempuan dan membatasi kesaksian perempuan hanya pada urusan utang piutang dan harta benda adalah konsekuensi logis dari cara pembacaan yang tekstual dengan kurang memperhatikan asbab an-nuzul, asbab al-wurud dan konteks sosial yang lebih luas. Berdasarkan cara baca yang tekstual terhadap QS. al-Baqarah ayat 282 dan hadits nuqshan ‘aql di atas, muncullah kesimpulan bahwa nilai kesaksian perempuan yang setengah nilai kesaksian laki-laki adalah berlaku untuk seluruh bidang kesaksian. Artinya semua ketentuan mengenai kesaksian perempuan harus merujuk pada zahir ayat ini. Lebih dari itu, berdasarkan QS. Al-Baqarah ayat 282 disimpulkan bahwa wilayah kesaksian perempuan hanya dalam urusan utang-piutang, karena hanya dalam urusan itulah kesaksian perempuan disebut dalam teks. Akibatnya, kesaksian perempuan yang tidak tersurat dalam al-Qur’an seperti dalam hudud, qishash dan sebagainya, dianggap sebagai bukan wilayah kesaksian perempuan.

Hal penting lain yang turut berperan secara sangat signifikan dalam perumusan fiqh yang kurang atau bahkan tidak adil terhadap perempuan adalah konstruksi sosial dan budaya yang menganggap perempuan adalah makhluk kelas dua, tidak cerdas, emosional, tidak sempurna, dan sebagainya. Itu semua terbukti ketika kita melihat alasan-alasan yang dikemukakan di balik pembatasan dan pembedaan hak kesaksian perempuan sebagaimana disebutkan di atas.

Untuk menerobos bangunan pemikiran yang lahir atas dasar pembacaan yang tekstual itu perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap teks-teks suci yang menjadi rujukan dalam soal kesaksian.

Tentang teks suci yang berupa hadits nuqshan ‘aql kita telah memaparkan cara pembacaan ulang dengan memahamai konteks yang melatarbelakangi turunnya hadits dan memberikan penjelasan (syarah) yang didasarkan atas fakta sosial yang ada sebagaimana di atas. Oleh karena itu pembahasan sekarang lebih difokuskan pada lima ayat yang dalam level pemahaman sering dijadikan dalil untuk menutup kesempatan dan membedakan nilai kesaksian perempuan dibanding laki-laki. Kelima ayat itu adalah Q.S. Al-Baqarah, 2: 282, Q.S. An-Nisa, 4: 15, Q.S. Al-Maidah, 5: 106, Q.S. An-Nur, 24: 4, Q.S. Ath- Thalaq, 65: 3.

Berdasarkan teks yang ada, kelima ayat itu bisa kita kategorikan ke dalam dua bagian:

Pertama, ayat yang secara tekstual menyatakan perbedaan kesaksian antara laki-laki dan perempuan yakni ayat 282 surat Al-Baqarah:


:وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ

“……. Maka persaksikanlah kepada dua orang saksi laki-laki dari kalian. Jika tidak ada dua orang saksi laki-laki maka satu orang laki-laki dan dua orang perempuan dari orang-orang diantara kalian yang kalian ridhai (untuk menjadi saksi) supaya jika seorang lupa maka seorang yang lain mengingatkannya……” (QS. Al-Baqarah: 282)

Kedua, ayat yang secara tekstual tidak menyatakan perbedaan laki-laki dan perempuan namun menggunakan kata ganti laki-laki (dhamir mudzakkar). Bentuk ini terdapat dalam empat ayat yang lain yakni:


a. Q.S. An-Nisa, 4: 15


وَاللَّاتِي يَأْتِينَ الْفَاحِشَةَ مِنْ نِسَائِكُمْ فَاسْتَشْهِدُوا عَلَيْهِنَّ أَرْبَعَةً مِنْكُمْ ۖ

“………Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan (keji), hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya) .....” (QS. An-Nisa: 15)


b. Q.S. Al-Maidah, 5: 106


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ

“…….. Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang diantara kamu menghadapi kematian sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil diantara kamu ………” (QS. Al-Maidah: 106)


c. Q.S. An-Nur, 24: 4


وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“…….. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasiq……..” (QS. An-Nur: 4)


d. Q.S. Ath-Thalaq, 65: 2


فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِنْكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ

“………Apabila mereka telah mendekati iddahnya, maka rujukilah dengan baik dan lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah kapada dua orang saksi yang adil diantara kamu, dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah………..” (QS. Ath-Thalaq: 2)

Khusus untuk ayat kategori pertama yakni Al- Baqarah, 2: 282 telaah kontekstual perlu dilakukan. Ayat ini turun dalam konteks masyarakat Arab yang tidak memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menjadi saksi karena dianggap tidak representatif. Muhammad Abduh memberikan alasan mengapa aturan yang muncul kemudian adalah kesaksian dua orang perempuan sebanding dengan seorang laki-laki. Menurutnya, hal itu bukan karena perempuan lemah ingatan dan kecerdasannya dibanding laki-laki, melainkan karena tugas dan fungsi perempuan ketika itu hanya disibukkan dengan urusan-urusan kerumahtanggaan, sementara laki-laki bertugas untuk urusan-urusan sosial ekonomi di luar rumah.[15] Dengan konteks sosial seperti itu wajar jika perempuan dianggap tidak representatif, dan sebagai solusinya ada ketentuan kesaksian dua berbanding satu dalam hal di mana perempuan memiliki akses yang lebih rendah daripada laki-laki.

Di samping dari sisi konteks turunnya, ayat ini juga perlu dilihat dari sudut hukum. Perintah untuk mempersaksikan transaksi dalam hutang-piutang dalam ayat di atas bukanlah wajib, melainkan sunnat. Semua ulama sepakat akan hal ini. Jika pokok masalah yang dipersaksikan saja tidak wajib, maka logikanya ketentuan 2:1 juga tidak lebih wajib.

Sekilas mungkin logika ini terdengar tidak lazim di kalangan ahli fiqh. Namun logika ini memperoleh pembuktiannya di lapangan. Kenyataan saat ini membuktikan banyak perempuan yang terlibat penuh dalam dunia bisnis dan ekonomi. Mereka tidak lagi menjadi pelengkap melainkan pemain utama. Bahkan tidak sedikit perempuan yang punya kemampuan melebihi lak-laki. Di samping itu fakta juga menunjukkan bahwa tidak ada lagi orang yang mempertanyakan keabsahan transaksi yang dilakukan oleh perempuan tanpa ada keterlibatan laki-laki. Transaksi perbankan pada umumnya dilakukan oleh sesama perempuan. Demikian juga dalam pembuatan akte-akte penting kesaksian seorang perempuan seperti istri tidak pernah dipermasalahkan. Semua itu terjadi karena kesaksian seorang perempuan sudah dianggap representatif untuk saat ini. Dengan kata lain telah terjadi ijma’ sukuti (kesepakatan umum yang dicapai dengan cara mendiamkan atau membiarkan terjadinya suatu peristiwa) dalam soal kesaksian seorang perempuan yang jelas-jelas tidak lagi sesuai dengan teks zahir ayat QS.al-Baqarah, 2: 282.

Di sinilah, ketegangan antara teks dan fakta yang sama-sama memiliki nilai kebenaran terjadi jika tidak dicarikan solusi jalan tengahnya. Ketegangan itu akan terus berlangsung jika fakta yang terbukti tidak membawa masalah diharuskan tunduk pada teks, atau sebaliknya. Ketegangan seperti ini akan terus terjadi dan menyangkut berbagai hal, tidak hanya dalam soal kesaksian ini, jika teks diperhadapkan dengan modernitas secara diametral dan saling dipertentangkan.

Semua itu mengharuskan kita melakukan pembacaan ulang teks ayat di atas agar ayat tersebut bisa tetap dipahami substansinya secara kontekstual tanpa harus memaksa menganulir dan menghilangkan teks yang ada. Dalam hal ini barangkali kita bisa murujuk pada suatu kaedah fiqh yang terkenal yakni:


الحكم يدور مع علته وجودا وعدما

“Ada tidaknya suatu hukum itu tergantung dengan ada tidaknya illat/alasan hukum”

Jika kaedah ini kita gunakan untuk membaca ketentuan 2:1 yang dikaitkan dengan alasan sosiologis perempuan saat itu, maka ketentuan ini bisa saja berubah jika kondisi sosiologis yang menyertai ketentuan itu berubah. Ini berarti bahwa ketentuan 2:1 itu tidak mutlak dalam segala kondisi dan situasi. Pada saat di mana fakta menunjukkan kesaksian seorang perempuan saja sudah dianggap representatif, maka kesaksian itu bisa diterima sebagaimana diterimanya kesaksian dua perempuan yang dianggap representatif ketika teks itu turun.

Selanjutnya, terhadap empat ayat yang termasuk dalam kategori kedua yakni ayat-ayat yang menggunakan kata ganti laki-laki (dhamir mudzakkar), kita perlu melakukan penalaran terhadap ikhtilaf yang muncul di seputar ayat-ayat itu dan selanjutnya kembali kepada kaedah kebahasaan, khususnya bahasa Al-Qur’an.

Memang benar bentuk kata yang male-oriented digunakan dalam empat ayat itu namun hal itu tidak selalu berarti bahwa perempuan tidak termasuk. Buktinya, ada perbedaan pendapat dalam pemahaman empat ayat tersebut. Para fuqaha tidak satu suara dalam hal boleh tidaknya perempuan menjadi saksi dalam wasiat (Q.S. Al-Maidah, 5: 106), ruju’ (Q.S. Ath-Thalaq, 65: 2), dan perzinaan (Q.S. An-Nisa, 4:15 dan An-Nur, 24:4). Lebih dari itu dalam setiap wilayah kesaksian ada saja fuqaha yang menerima kesaksian perempuan sebagaimana dijelaskan di atas. Seandainya ayat itu tidak bisa dipahami selain untuk laki-laki, pasti perbedaan pendapat (ikhtilaf) itu tidak akan ada.

Ikhtilaf itu sendiri sebetulnya bisa dihindari dengan cara kembali kepada keumuman bahasa Al-Qur’an. Jika kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an akan tampak bahwa sighat mudzakkar digunakan untuk menunjukkan keumuman dan bukan pembatasan. Ketika Allah berseru kepada seluruh orang yang beriman baik laki-laki maupun perempuan, misalnya, bentuk kata yang digunakan adalah sighat mudzakkar (bentuk kata laki-laki) yakni:


“ يا أيها الذين آمنوا “    ( Hai orang-orang yang beriman ).


Padahal yang diseru bukan hanya laki-laki tapi perempuan juga. Larangan atau perintah yang terkandung di dalamnya pun ditujukan kepada kaum laki-laki dan perempuan. Dalam Al-Qur’an penggunaan bentuk kata yang male-oriented ini kita dapati dalam seluruh perintah dan larangan yang ditujukan kepada semua orang, seperti perintah shalat, zakat, puasa, haji, bertaqwa, bersatu, berbuat baik, berbuat adil, berjihad, berfikir, berbakti pada orang tua, melindungi kau du’afa, dan sebagainya. Demikian pula ketika Allah melarang manusia membunuh, berzina, berjudi, mencuri, makan makanan haram, menjarah harta orang lain, minum-minuman keras dan narkotika, berlaku curang, berbuat dzalim, berbuat kerusakan bumi, bersikap angkuh, takabbur, dan lain sebagainya. Semua dikemukakan dalam kata yang male-oriented dan tak seorang pun dari ulama kita dari dahulu hingga sekarang, dari mufassir sampai fuqaha, yang tidak setuju atas keumuman perintah dan larangan tersebut.

Seperti halnya sighat mudzakkar dalam perintah dan larangan yang ditujukan untuk semua manusia, ayat-ayat kesaksian juga dikemukakan dengan sighat yang demikian. Dalam ayat-ayat tersebut kita tidak menemukan larangan perempuan menjadi saksi. Yang ada adalah perintah mempersaksikan zina kepada empat saksi. (Q.S. An-Nisa, 4: 19 dan Q.S. AN-Nur, 24: 4), wasiat dipersaksiakan dua orang adil (Q.S. Al-Maidah, 5: 106), dan rujuk di hadapan dua saksi yang adil (Q.S. Ath-Thalaq, 62: 2). Semua kata yang digunakan dalam keempat ayat itu memang sighat mudzakkar (bentuk kata untuk laki-laki). Namun sesuai dengan kelaziman bahasa Al-Qur’an bentuk kata seperti itu tidak harus dipahami hanya untuk laki-laki sebagaimana kita temukan dalam banyak kitab tafsir dan fiqh.

Cara membaca dan memahami ayat secara lebih spesifik barangkali bisa kita temukan dalam pendapat Ibnu Rusyd dan Ibnu al-Qayyim. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa:


"إن الأصل أن حكم الرجال والنساء واحد إلا أن يثبت في ذلك فارق شرعي"

Artinya: “Hukum asal adalah bahwa laki-laki dan perempaan itu satu (sama, tidak berbeda) kecuali jika dalam hukum itu dinyatakan ada sesuatu yang membedakan secara syar’i.”[16]


Sementara Ibnu al-Qayyim berpendapat bahwa:


"قد استقر في عرف الشارع أن الأحكام المذكورة بصيغة المذكر إذا أطلقت ولم تقترن بالمؤنث فإنها تتناول الرجال والنساء"

Artinya: “Dalam ‘urf Syari’ (kebiasaan yang digunakan Allah SWT dalam membuat hukum syara’) terdapat ketetapan bahwa hukum-hukum yang dinyatakan dalam sighat mudzakkar (bentuk kata laki-laki) dan tidak disertai dengan sighat muannats (bentuk kata perempuan) mempunyai cakupan arti laki-laki dan perempuan sekaligus.”[17]

Cara baca Ibnu Rusyd dan Ibnu al-Qayyim ini tampaknya lebih sesuai dengan gaya bahasa Al-Qur’an. Jika cara baca Ibnu Rusyd dan Ibnu al-Qayyim ini kita gunakan untuk membaca ayat-ayat kesaksian semestinya tidak perlu ada batasan-batasan area kesaksian perempuan, seperti boleh untuk segala sesuatu yang berkaitan dengan harta benda, sedang untuk selain itu tidak.

Lalu, mengapa dalam kenyataannya pemahaman terhadap ayat-ayat kesaksian banyak diwarnai pembatasan terhadap perempuan dan bukan sebaliknya perempuan dianggap sebagai bagian dari kata yang umum itu, sementara secara tekstual ayat-ayat itu sendiri tidak memberikan batasan?  Itulah bias gender yang perlu dikritisi!


Wallahu A’lam.



*Tulisan ini sudah pernah diterbitkan Rahima dalam buku bunga rampai berjudul "Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan" tahun 2002.

Penulis : Badiryah Fayumi
Editor : Faqihuddin Abdul Kodir

Referensi

  1. Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, kitab al-Haidh, bab Tarku al-Haaidh ash-Shaum, Beirut: Dar Ibn Katsir al-Yamamah, hadits ke-298, juz I h. 116 dan kitab al-Shaum bab al-Haaidh Tatruk ash-Shaum wa ash-Shalah, hadits ke-1850, juz II h.689. Lihat juga Muslim, Sahih Muslim, kitab al-Iman, bab Nuqshan al-Iman bi Naqsh ath-Tha’at, Beirut: Dar el-Fikr, 1992, hadits no.132, juz I h. 55-56
  2. Abd.al-Halim Muhammad Abu Syuqqah, Tahrir al-Mar’ah fi ‘Ashr ar-Risalah, Kuwait: Dar el-Qlam, 1990, juz I, h.275
  3. Ibid.
  4. Lihat dalam muqaddimah Mizan al-I’tidal. Pernyataan ini juga dinukil oleh as-Suyuthi dalam Tadrib ar-Rawi, Beirut: Dar el-Fikr, h.174
  5. Abu Syuqqah, Op.Cit., h. 280
  6. Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita (terj.M. Abdul Ghoffar FM dari judul asli al-Jami’ fi Fiqh an-Nisa’, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, Cet.I, 1988, h.603
  7. Ibid., h.604
  8. Ibid.
  9. Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Beirut: Dar el-Fikr, Tth., juz VI, h.570
  10. Uwaidah, Op.Cit., h.605
  11. Wahbah, Op.Cit., h.569
  12. Ibid.
  13. Ibnu Taymiyyah, Majmu’ Fatawa Ibnu Taymiyyah, Beirut: Dar el-Fikr, 1980. juz IV, h.230
  14. Syekh Muhammad al-Ghazali, Analisis Polemik Hadits Transformasi Modernisasi, (terj. Muh Munawir az-Zahidi dari judul asli As-Sunnah an-Nabawiyyah Baina Ahlil Fiqhi wa Ahlil Hadits), Surabaya: Dunia Ilmu, Cet.I, 1997, h. 62-63, 66.
  15. Nasaruddin Umar, Dr., Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999, Cet.I, h.149.
  16. Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, juz I, h.172
  17. Ibnu al-Qayyim, I’lam al-Muwaqqi’in, juz I, h.92