Hukum Aborsi dalam Perspektif Islam: Perbedaan revisi

tidak ada ringkasan suntingan
Baris 141: Baris 141:
اَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّنْ مَّنِيٍّ يُّمْنٰى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوّٰىۙ (38).
اَلَمْ يَكُ نُطْفَةً مِّنْ مَّنِيٍّ يُّمْنٰى (37) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوّٰىۙ (38).


''"Bukankall dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya''
''"Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya dan menyempurnakannya''


'''2. QS. As-Sajdah, 32:7-9'''
'''2. QS. As-Sajdah, 32:7-9'''
Baris 151: Baris 151:
Dalam ayat-ayat di atas, khususnya dua yang pertama, secara rinci Allah SWT menjelaskan proses penciptaan manusia dan perkembangan janin. Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa pada awal kejadiannya manusia diciptakan dari tanah (Adam as.). selanjutnya anak cucu Adam diciptakan dari nuthfah (air mani yang mengandung beribu-ribu sperma yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Setelah salah satu sel itu bertemu dengan Ovum lalu menyatu dan bergantung, pada dinding rahim, selang beberapa waktu nuthfiih itu berupa menjadi alaqah (segumpal darah). Selanjutnya, ia akan berubah menjadi mudghah (segumpal daging). Kemudian Allah menciptakan tulang belulang dari mudghah itu dan membungkusnya dengan daging. Selang beberapa waktu, ia akan menjadi makhluk yang memiliki bentuk yang indah sampai dilahirkan ke dunia menjadi bayi.
Dalam ayat-ayat di atas, khususnya dua yang pertama, secara rinci Allah SWT menjelaskan proses penciptaan manusia dan perkembangan janin. Ayat-ayat di atas menjelaskan bahwa pada awal kejadiannya manusia diciptakan dari tanah (Adam as.). selanjutnya anak cucu Adam diciptakan dari nuthfah (air mani yang mengandung beribu-ribu sperma yang tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Setelah salah satu sel itu bertemu dengan Ovum lalu menyatu dan bergantung, pada dinding rahim, selang beberapa waktu nuthfiih itu berupa menjadi alaqah (segumpal darah). Selanjutnya, ia akan berubah menjadi mudghah (segumpal daging). Kemudian Allah menciptakan tulang belulang dari mudghah itu dan membungkusnya dengan daging. Selang beberapa waktu, ia akan menjadi makhluk yang memiliki bentuk yang indah sampai dilahirkan ke dunia menjadi bayi.


Demikianlah, al-Qur'an menjelaskan tahapan-tahapan kejadian manusia di dalam rahim. Namun demikian ayat-ayat di atas tidak menyebut kapan janin mempunyai jiwa/ruh. Informasi mengenai hal ini terdapat dalam hadis Nabi. Paling tidak ada dua hadis Nabi yang mengungkap peniupan ruh ke dalam janin, yakni :
Demikianlah, al-Qur'an menjelaskan tahapan-tahapan kejadian manusia di dalam rahim. Namun demikian ayat-ayat di atas tidak menyebut kapan janin mempunyai jiwa/ruh. Informasi mengenai hal ini terdapat dalam hadis Nabi. Paling tidak ada dua hadis Nabi yang mengungkap peniupan ruh ke dalam janin, yakni:
 
 


1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud:<ref>Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali. Lihat al-Bukhari, ''Sahih Bukhari,'' CD. Rom, Kitab Bad’ al-Khalq bab Zikr al-Malaikat, hadis ke-2969, kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa Dzurriyatuhu, hadis ke-3085, kitab al-Qadr ba Ma Jaa’a fi al-Qadar, hadis ke-6105, kitab at-[[Tauhid]] bab Qawluhu Sabaqat Kalimatuna, hadis ke-6900. Muslim menyebutkan hadis ini dengan 6 sanad. Lihat Muslim, ''Sahih Muslim,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II, kitab al-Qadar ba Kayfiyyah al-Khalq al-Adami, hadis ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim.</ref>
1. HR. Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud:<ref>Hadits ini disebut Bukhari dalam kitabnya sebanyak 4 kali. Lihat al-Bukhari, ''Sahih Bukhari,'' CD. Rom, Kitab Bad’ al-Khalq bab Zikr al-Malaikat, hadis ke-2969, kitab Ahadits al-Anbiya’ bab Khalqu Adam wa Dzurriyatuhu, hadis ke-3085, kitab al-Qadr ba Ma Jaa’a fi al-Qadar, hadis ke-6105, kitab at-[[Tauhid]] bab Qawluhu Sabaqat Kalimatuna, hadis ke-6900. Muslim menyebutkan hadis ini dengan 6 sanad. Lihat Muslim, ''Sahih Muslim,'' (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz II, kitab al-Qadar ba Kayfiyyah al-Khalq al-Adami, hadis ke-2643. Redaksi di atas adalah redaksi Muslim.</ref>
Baris 170: Baris 168:


=== ''b. Hukum Aborsi'' ===
=== ''b. Hukum Aborsi'' ===
    Sebagai konsekuensi dari pemahaman ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan di atas, para fuqaha membuat formulasi hukum yang berbeda–beda mengenai aborsi. Perlu untuk dikemukakan di sini, para fuqaha (klasik) memberlakukan hukum ini secara umum, yakni mencakup aborsi di dalam dan di luar perkawinan ( kehamilan karena seks di luar nikah), Hanya saja, perkembangan terakhir menunjukan adanya formulasi hukum tersendiribagi aborsi yang disebabkan oleh hamil di luar nikah dengan alasan-alasan yang sifatnya moral dan sosial.
Sebagai konsekuensi dari pemahaman ayat dan hadits sebagaimana dijelaskan di atas, para fuqaha membuat formulasi hukum yang berbeda–beda mengenai aborsi. Perlu untuk dikemukakan di sini, para fuqaha (klasik) memberlakukan hukum ini secara umum, yakni mencakup aborsi di dalam dan di luar perkawinan ( kehamilan karena seks di luar nikah), Hanya saja, perkembangan terakhir menunjukan adanya formulasi hukum tersendiribagi aborsi yang disebabkan oleh hamil di luar nikah dengan alasan-alasan yang sifatnya moral dan sosial.


    Secara garis besar pemikiran hukum yang berkembang di seputar aborsi adalah:
Secara garis besar pemikiran hukum yang berkembang di seputar aborsi adalah:


    b.1. Haram mutlak (''‘ala al-ittifaq''), kecuali ada uzur yang bersifat “''dharuri''”.
b.1. Haram mutlak (''‘ala al-ittifaq''), kecuali ada uzur yang bersifat “''dharuri''”.


Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar daari hukum ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia (anak) yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam QS.al-An’am/6:151, QS. All-Isra’/17:33, dan sebagainya.
Seluruh ulama dari semua madzhab sepakat bahwa aborsi setelah kehamilan melewati masa 120 hari adalah haram karena pada saat itu janin telah bernyawa. Dasar daari hukum ini adalah hadits pertama sebagaimana yang telah dijelaskan. Karena pada usia tersebut janin telah bernyawa, maka menggugurkannya sama dengan membunuh manusia (anak) yang secara jelas diharamkan oleh Allah SWT, seperti yang tertera dalam QS.al-An’am/6:151, QS. All-Isra’/17:33, dan sebagainya.
Baris 188: Baris 186:
''b.2.a. Madzhab Syafi’i''
''b.2.a. Madzhab Syafi’i''


           Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami istri serta adanya rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudhuratan bagi si Ibu.
Fuqaha Syafi’iyah berpendapat aborsi pada usia kehamilan di bawah 40 hari hukumnya makruh. Inipun dengan syarat adanya keridhaan dari suami istri serta adanya rekomendasi dari dua orang dokter spesialis bahwa aborsi itu tidak menyebabkan kemudhuratan bagi si Ibu.


           Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaiman disebutkan di atas.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op.Cit.'' h. 72-73.</ref>
Jika masa kehamilan telah lewat 40 hari, aborsi haram mutlak, baik janin sudah bergerak maupun belum. Pendapat ini didasarkan pada hadits kedua sebagaiman disebutkan di atas.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op.Cit.'' h. 72-73.</ref>


           Mengutip pendapat Imam az-Zarkasyi, al-Imam ar-Ramli dalam Nilhayah al-Muhtaj mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih lanjut ar-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafh ar-ruh,aborsi tidak bisa disebut khilaf al-aula, melainkan mengandung kemungkinan makruh tanzih dan makruh tahrim. Semakin dekat dengan nafh ar-ruh, semakin kuat pula makruh tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal (''jarimah'').<ref>Al-Imam ar-Ramli, ''Nihayah al-Muhtaj,'' (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII, h. 416.</ref>  
Mengutip pendapat Imam az-Zarkasyi, al-Imam ar-Ramli dalam Nilhayah al-Muhtaj mengemukakan aborsi diperbolehkan pada saat janin masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Pendapat ini disandarkan pada pernyataan Abu Bakar bin Abu Sa’id al-Furati ketika ditanya oleh al-Karabisi tentang seorang laki-laki yang memberi minuman peluntur kepada jariyahnya. Al-Furati menjawab hal itu boleh selagi masih berupa nuthfah atau ‘alaqah. Lebih lanjut ar-Ramli menjelaskan bahwa sebelum nafh ar-ruh,aborsi tidak bisa disebut khilaf al-aula, melainkan mengandung kemungkinan makruh tanzih dan makruh tahrim. Semakin dekat dengan nafh ar-ruh, semakin kuat pula makruh tahrimnya. Dan jika sudah ada ruh, aborsi adalah tindakan kriminal (''jarimah'').<ref>Al-Imam ar-Ramli, ''Nihayah al-Muhtaj,'' (Cairo: Dar al-Syuruq, tth.), juz VIII, h. 416.</ref>  


Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia 40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Loc. Cit.''</ref>
Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni Seperti halnya pendapat yang berkembang di kalangan Syafi’iyah, Ibnu Hajar dalam Tuhfah al-Muhtaj juga berpendapat serupa, yakni peniupan ruh terjadi setelah embrio berusia 40 atau 42 hari. Mulai saat inilah aborsi diharamkan.<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Loc. Cit.''</ref>
Baris 228: Baris 226:
Dari ikhtilaf yang berkembang sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum aborsi pada janin di bawah usia 120 hari adalah sebagai berikut :
Dari ikhtilaf yang berkembang sebagaimana dijelaskan di atas, dapat disimpulkan bahwa hukum aborsi pada janin di bawah usia 120 hari adalah sebagai berikut :


1.    Boleh sebelum 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyah.
# Boleh sebelum 120 hari. Pendapat ini dikemukakan oleh sebagian besar ulama Hanafiyah dan sebagian kecil ulama Syafi’iyah.
 
# Boleh sebelum 40-45 hari (''takhalluq''). Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Syafi’iyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah dan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
2.    Boleh sebelum 40-45 hari (''takhalluq''). Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Syafi’iyah, sebagian besar fuqaha Hanabilah dan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
# Makruh cenderung haram baik sebelum maupun sesudah 40 hari). Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
 
# Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam al-Ghazali, Ibnu’I Jauzi, dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Dengan kata lain di samping mayoritas fuqaha Malikiyah, dalam semua madzhab terdapat ulama yang mengaharmkan aborsi secara mutlak.
3.    Makruh cenderung haram baik sebelum maupun sesudah 40 hari). Pendapat ini dikemukakan sebagian kecil fuqaha Hanafiyah.
 
4.    Haram mutlak. Pendapat ini dinyatakan oleh sebagian besar fuqaha Malikiyah, Imam al-Ghazali, Ibnu’I Jauzi, dan Ibnu Hazm azh-Zhahiri. Dengan kata lain di samping mayoritas fuqaha Malikiyah, dalam semua madzhab terdapat ulama yang mengaharmkan aborsi secara mutlak.


=== ''c. Alasan-alasan Aborsi Diperbolehkan'' ===
=== ''c. Alasan-alasan Aborsi Diperbolehkan'' ===
Fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha itu berlaku dalam kondisi normal. Sebaliknya, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat” Banyak dalil yang menjadi sandaran hukum hal ini, seperti QS. Al-Baqarah:2/173, QS.al-Maidah:5/3, hadis Nabi “''laa dharara wa laa dhiraara”,'' dan kaedah fiqhiyah “''adh-dharurat tubihu al-mahzhurat.”''<ref>Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat as-Suyuthi dalam ''al-Asybah wa an-Nazhair'' dalam pembahasan mengenai kaedah ke-empat “adh-Dharar Yuzal”.</ref>
Fiqh selalu mengenal pengecualian. Demikian pula halnya dengan aborsi. Hukum aborsi yang telah diformulasikan para fuqaha itu berlaku dalam kondisi normal. Sebaliknya, para fuqaha memperbolehkan bahkan mewajibkan aborsi jika terjadi sebuah kondisi yang dianggap “dharurat” Banyak dalil yang menjadi sandaran hukum hal ini, seperti QS. Al-Baqarah:2/173, QS.al-Maidah:5/3, hadis Nabi “''laa dharara wa laa dhiraara”,'' dan kaedah fiqhiyah “''adh-dharurat tubihu al-mahzhurat.”''<ref>Mengenai rincian dan contoh-contoh kasus yang masuk dalam kaedah ini, lihat as-Suyuthi dalam ''al-Asybah wa an-Nazhair'' dalam pembahasan mengenai kaedah ke-empat “adh-Dharar Yuzal”.</ref>


''          '' Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan demikian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi,tanpa memandang usia kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu.
Diantara alasan yang sering dikemukakan fuqaha untuk kehamilan, sementara ia sendiri sedang menyusui bayinya. Dalam keadaan demikian ia atau suaminya tidak mampu membayar air susu yang lain. Alasan lain adalah ketidakmampuan ibu menanggung beban hamil, karena tubuhnya yang kurus dan rapuh. Dalam kasus-kasus seperti ini aborsi,tanpa memandang usia kehamilan, dapat dilakukan sepanjang menurut penelitian medis yang dapat dipercaya, kelahirannya dipastikan akan membahayakan jiwa ibu.


           Dilema kematian antara ibu dan janin dalam pandangan fuqaha dipecahkan melalui pengorbanan janin berdasarkan kaedah :
Dilema kematian antara ibu dan janin dalam pandangan fuqaha dipecahkan melalui pengorbanan janin berdasarkan kaedah :


           ”Idza ''ta’aradha al-mafsadatani ru’iya a’adzamuhuma dhararan bi-rtikab akhaff adh-dhararain.”'' (jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan menempuh resiko kerugian yang lebih ringan).
”Idza ''ta’aradha al-mafsadatani ru’iya a’adzamuhuma dhararan bi-rtikab akhaff adh-dhararain.”'' (jika terjadi pergulatan antara dua hal yang sama-sama merugikan, maka yang harus dipertahankan adalah hal yang menimbulkan kerugian paling berat dengan menempuh resiko kerugian yang lebih ringan).


Dalam pandangan fuqaha,kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah induk darimana janin berasal. Ia sudah memilki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.<ref>[[Husein Muhammad]], ''Op.Cit.,'' h. 6-7.</ref>
Dalam pandangan fuqaha,kematian ibu lebih berat daripada janin, karena ibu adalah induk darimana janin berasal. Ia sudah memilki eksistensi yang pasti, memiliki kewajiban dan hak, sementara janin belum. Karena itu ia tidak boleh dikorbankan demi menyelamatkan janin yang eksistensinya belum pasti dan belum memiliki kewajiban.<ref>[[Husein Muhammad]], ''Op.Cit.,'' h. 6-7.</ref>
Baris 250: Baris 245:
Seks bebas yang mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah yang tidak terlalu menarik perhatian fuqaha klasik ternyata menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan lima dalil sebagai berikut :
Seks bebas yang mengakibatkan terjadinya kehamilan di luar nikah yang tidak terlalu menarik perhatian fuqaha klasik ternyata menarik perhatian tersendiri bagi fuqaha kontemporer. Sa’id Ramadhan al-Buthi dengan tegas mengatakan bahwa aborsi untuk kasus yang demikian adalah haram mutlak. Ia mengemukakan lima dalil sebagai berikut :


1.    QS al-Isra /17:15:
1. QS al-Isra /17:15:


وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ  
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ  
Baris 258: Baris 253:
Berdasarkan ayat ini seorang janin yang tidak berdosa tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh digugurkan baik sebelum maupun sesudah ''takhalluq''.
Berdasarkan ayat ini seorang janin yang tidak berdosa tidak menanggung dosa ibunya. Ia tidak bersalah, karena itu tidak boleh digugurkan baik sebelum maupun sesudah ''takhalluq''.


 
2. Hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah r.a. yang dating kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap peremuan Ghaamidiyah itu Rasulullah menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.<ref>Muslim, ''Op.Cit.,'' kitab al-Hudud bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadis ke-1695.</ref>
 
2.    Hadits mengenai perempuan Ghamidiyah yang diriwayatkan Muslim dari Buraidah r.a. yang dating kepada Rasulullah dengan membawa pengakuan ia telah berzina dengan Ma’iz bin Malik sedang hamil karenanya. Ma’iz dirajam lebih dulu setelah empat kali membuat pengakuan zina dan meminta Rasulullah mensucikannya. Namun terhadap peremuan Ghaamidiyah itu Rasulullah menangguhkan hukuman rajam sampai ia melahirkan anaknya dan menyapihnya. Setelah si anak disapih dan diserahkan kepada orang lain, barulah ia dirajam.<ref>Muslim, ''Op.Cit.,'' kitab al-Hudud bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi al-Zina, hadis ke-1695.</ref>
 
 


Hadits ini menunjukan bahwa anak yang diakndung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman ''jilid'', harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin.<ref>An-Nawawi, ''Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim,'' juz XI, h. 201.</ref>
Hadits ini menunjukan bahwa anak yang diakndung akibat zina tidak boleh digugurkan. Bahkan Imam Nawawi dalam syarah atas hadits ini menyatakan bahwa semua had, termasuk hukuman ''jilid'', harus ditangguhkan ketika perempuan sedang hamil demi menjaga kehidupan janin.<ref>An-Nawawi, ''Syarah an-Nawawi ‘ala Sahih Muslim,'' juz XI, h. 201.</ref>


3. Bahwa hukum yang diperbolehkan aborsi dibwah 40 hari usia kehamilan berlaku untuknikah yang sahih dan bahwa kebolehan aborsi adalah bersifat ''rukhsah.'' Padahal, ada kaedah fiqhiyah yang mengatakan ” ''ar-rukhas laa tunaathu bi al-ma’ashi”'' (rukshah tidak berlaku untuk perbuatan-perbuatan maksiat). Oleh karena kehamilan itu sendiri disebabkan oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya tidak diperbolehkan.


4. Adanya kaedah fiqhiyah yang menyatakan ''“tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-masalahah”.'' Berdasarkan kaedah ini ibu dari sang bayi tidak boleh mengugurkan kandungannya karena ia secara syar’I tidak berhak atas janin tersebut. Berbeda dengan aborsi dalam perkawinan di mana kedua orang tua punya ha katas janin, aborsi karena perzinaan tidak demikian. Si ibu tidak memiliki hak syar’I atas nama anaknya, demikian pula lelaki yang mengamilinya. Hak perwalian ada di tangan hakim, sementara hakim harus mengambil tindakan yang melindungi hak janin yang ada dalam perwaliannya sekaligus hak-hak masyarakat. Oleh karena itu aborsi tidak diperbolehkan karena akan membawa dampak negative bagi masyarakat secara luas, yakni dengan munculnya sikap permisif terhadap pergaulan bebas.


3.    Bahwa hukum yang diperbolehkan aborsi dibwah 40 hari usia kehamilan berlaku untuknikah yang sahih dan bahwa kebolehan aborsi adalah bersifat ''rukhsah.'' Padahal, ada kaedah fiqhiyah yang mengatakan ” ''ar-rukhas laa tunaathu bi al-ma’ashi”'' (rukshah tidak berlaku untuk perbuatan-perbuatan maksiat). Oleh karena kehamilan itu sendiri disebabkan oleh perbuatan haram, maka aborsi dengan sendirinya tidak diperbolehkan.
5. Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah “''sad adz-dzari’ah”.''<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 127-139.</ref>
 
 
4.    Adanya kaedah fiqhiyah yang menyatakan ''“tasharruf al-imam ‘ala ar-ra’iyyah manuthun bi al-masalahah”.'' Berdasarkan kaedah ini ibu dari sang bayi tidak boleh mengugurkan kandungannya karena ia secara syar’I tidak berhak atas janin tersebut. Berbeda dengan aborsi dalam perkawinan di mana kedua orang tua punya ha katas janin, aborsi karena perzinaan tidak demikian. Si ibu tidak memiliki hak syar’I atas nama anaknya, demikian pula lelaki yang mengamilinya. Hak perwalian ada di tangan hakim, sementara hakim harus mengambil tindakan yang melindungi hak janin yang ada dalam perwaliannya sekaligus hak-hak masyarakat. Oleh karena itu aborsi tidak diperbolehkan karena akan membawa dampak negative bagi masyarakat secara luas, yakni dengan munculnya sikap permisif terhadap pergaulan bebas.
 
 
5.    Aborsi terhadap janin hasil hubungan di luar nikah juga bertentangan dengan kaedah “''sad adz-dzari’ah”.''<ref>Sa’id Ramadan al-Buthi, ''Op. Cit.,'' h. 127-139.</ref>
   
   
Demikian, aborsi akibat perzinaan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial (''jarimah ijtima’iyah).'' Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh kalau tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.<ref>''Ibid,'' h. 143.</ref>
Demikian, aborsi akibat perzinaan dipandang oleh fiqh kontemporer sebagai tindak kriminal yang berkaitan erat dengan moralitas sosial (''jarimah ijtima’iyah).'' Pengecualian hanya berlaku jika si perempuan diancam dibunuh kalau tidak melakukan aborsi. Dalam kasus seperti ini aborsi diperbolehkan karena untuk menyelamatkan jiwa si ibu.<ref>''Ibid,'' h. 143.</ref>


Baris 284: Baris 269:
Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits nabi yang menyatakan ”''Umatku dibebaskan dari kekeliruan kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”'' (HR.Thabarani, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim).
Apalagi perempuan tersebut hamil bukan atas kemauannya sendiri melainkan dipaksa. Dalam kondisi seperti ini berlaku hadits nabi yang menyatakan ”''Umatku dibebaskan dari kekeliruan kealpaan dan sesuatu yang dipaksakan kepadanya.”'' (HR.Thabarani, Abu Dawud, an-Nasa’I dan al-Hakim).


           Formulasi hukum diatas mencrminkan ketegasan fiqh sekaligus Elastisitasnya. Ketentuan hukum yang keras namun tetap ada celah untuk menempuh apa yang aslinya diharamkan ketika terjadi benturan dua kemudharatan merupakan salah satu pola pikiran yang khas dalam fiqh. Itu bisa dimengerti karena fiqh diformulasikan untuk menjamin tercapainya ''maqashid as-syari’ah'' yang dalam konteks ini adalah ''hafidz an-nafs'' dan ''hafidz al-‘irdh.'' Dengan demikian pemikiran yang dikembangkan oleh al-Buthi di atas sebetulnya merupakan represntasi dari pendirian sebagian besar fuqaha kontemporer.
Formulasi hukum diatas mencrminkan ketegasan fiqh sekaligus Elastisitasnya. Ketentuan hukum yang keras namun tetap ada celah untuk menempuh apa yang aslinya diharamkan ketika terjadi benturan dua kemudharatan merupakan salah satu pola pikiran yang khas dalam fiqh. Itu bisa dimengerti karena fiqh diformulasikan untuk menjamin tercapainya ''maqashid as-syari’ah'' yang dalam konteks ini adalah ''hafidz an-nafs'' dan ''hafidz al-‘irdh.'' Dengan demikian pemikiran yang dikembangkan oleh al-Buthi di atas sebetulnya merupakan represntasi dari pendirian sebagian besar fuqaha kontemporer.


           Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinaan, pendekatan hukum aborsi dalam fiqh dilakukan dengan mngedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak Ibu yang mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah, antara lain, kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi.
Satu hal yang perlu dicatat di sini, dalam kasus perzinaan, pendekatan hukum aborsi dalam fiqh dilakukan dengan mngedepankan hak janin dan hak masyarakat. Hak Ibu yang mengandung justru tidak mendapatkan tempat sama sekali. Pada titik inilah, antara lain, kontroversi dengan kalangan aktivis “pro-choice” terjadi.


=== ''e. Akibat Hukum aborsi'' ===
=== ''e. Akibat Hukum aborsi'' ===
Baris 297: Baris 282:
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan ''ghurrah.'' Jumhur ulama mengatakan ''ghurrah'' wajib tanpa memandang usia janin, asalkan janin sudah melewati masa ''mudghah.'' Namun Imam Malik mewajibkan ''ghurrah'' tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum.<ref>Ibn Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid,'' juz II, h. 312.</ref> Ulama Hanabilah memberikan ''tafshil. Ghurrah'' wajib pada usia kehamilan dibwah 6 bulan. Selain itu, pelaku atau penyebab aborsi dikenakan ''diyat'' penuh.<ref>Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 401.</ref>  
Para ulama berbeda pendapat mengenai kapan usia janin yang gugur mewajibkan ''ghurrah.'' Jumhur ulama mengatakan ''ghurrah'' wajib tanpa memandang usia janin, asalkan janin sudah melewati masa ''mudghah.'' Namun Imam Malik mewajibkan ''ghurrah'' tanpa memandang apakah janin sudah berbentuk atau belum.<ref>Ibn Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid,'' juz II, h. 312.</ref> Ulama Hanabilah memberikan ''tafshil. Ghurrah'' wajib pada usia kehamilan dibwah 6 bulan. Selain itu, pelaku atau penyebab aborsi dikenakan ''diyat'' penuh.<ref>Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 401.</ref>  


           ''Diyat'' penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk mebunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya sendiri dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayar ''kifarati.'' Demikian pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.<ref>Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 403, al-Syirbini, ''Op.Cit.,'' h. 105.</ref>  
''Diyat'' penuh juga berlaku jika janin yang sudah diketahui hidup di rahim ibunya terbunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya dan bukan dimaksudkan untuk mebunuh karena tindak kriminal terhadap ibunya sendiri dan bukan dimaksudkan untuk membunuh janin itu sendiri. Ini adalah pendapat jumhur. Namun jika tindakan itu memang dimaksudkan untuk mencelakai si janin itu sendiri, maka pelakunya wajib membayar ''kifarati.'' Demikian pendapat ulama Syafi’iyah dan Hanabilah.<ref>Ibnu Qudamah, ''Op.Cit.,'' h. 403, al-Syirbini, ''Op.Cit.,'' h. 105.</ref>  


== Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif ==
== Aborsi dalam Perspektif Hukum Positif ==
Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UUD no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab mengenai “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindakan pidana ini dilakukan terhadap korban yang berbeda “ ''in rerum natura “'' atau berada dalam keadaan hidup.<ref>Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 5.</ref> Di sini persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa.  
Masalah aborsi dibahas dalam KUHP dan UUD no.23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Dalam KUHP, pasal mengenai pengguguran kandungan dimasukkan ke dalam bab mengenai “kejahatan terhadap nyawa”. Dengan demikian secara implisit berarti tindakan pidana ini dilakukan terhadap korban yang berbeda “ ''in rerum natura “'' atau berada dalam keadaan hidup.<ref>Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 5.</ref> Di sini persoalan menjadi terkait dengan kapan janin mulai dianggap sebagai makhluk bernyawa.  


           Sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam fiqh Islam, kontroversi mengenai kapan janin dianggap sebagai makhluk bernyawa juga terjadi dalam dunia kedokteran. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan insani sejak saat pembuahan sel oleh sperma, Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang berkembang di Barat saat itu.
Sama halnya dengan perdebatan yang terjadi dalam fiqh Islam, kontroversi mengenai kapan janin dianggap sebagai makhluk bernyawa juga terjadi dalam dunia kedokteran. Dalam lafal sumpah dokter yang disusun oleh World Medical Association tahun 1948, disebutkan bahwa dokter harus menghormati kehidupan insani sejak saat pembuahan sel oleh sperma, Ini dipengaruhi oleh pandangan Kristiani yang berkembang di Barat saat itu.


           Ketika teknologi bayi tabung ditemukan tahun 1979, sumpah dokter di atas menimbulkan dilemma, karena bayi tabung diproses melalui pengambilan beberapa (7-10) sel telur yang kemudian dibuahi oleh sperma suaminya di laboratorium. Setelah pembuahan, hanya beberapa yang dikembalikan ke rahim ibunya, sedang yang lain disimpan atau dimusnahkan. Jika kehidupan dimulai dari saat pembuahan. Sebaliknya mengembalikan seluruh sel yang dibuahi ke rahim ibu juga tidak mungkin dan memperbesar resiko kegagalan.
Ketika teknologi bayi tabung ditemukan tahun 1979, sumpah dokter di atas menimbulkan dilemma, karena bayi tabung diproses melalui pengambilan beberapa (7-10) sel telur yang kemudian dibuahi oleh sperma suaminya di laboratorium. Setelah pembuahan, hanya beberapa yang dikembalikan ke rahim ibunya, sedang yang lain disimpan atau dimusnahkan. Jika kehidupan dimulai dari saat pembuahan. Sebaliknya mengembalikan seluruh sel yang dibuahi ke rahim ibu juga tidak mungkin dan memperbesar resiko kegagalan.


           Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilemanya bayi tabung akhirnya terselesaikan.
Dilema ini kemudian dipecahkan oleh sebuah keputusan di Venesia tahun 1983 yang intinya dokter menghormati kehidupan sejak kehidupan itu dimulai. Persatuan Dokter spesialis Kebidanan se-Dunia dalam perkembangannya menetapkan bahwa kehidupan dimulai sejak sel telur yang dibuahi menempel di dinding rahim. Dilemanya bayi tabung akhirnya terselesaikan.


           Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan ''primitive streak,'' yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada ''zygote'' ( hasil pertautan sel telur dan sperma) saat berusia empat minggu. Pada saat itulah, menurut Ford, embrio baru bisa lisebut sebagai ''person'' atau rnakhluk insani.<ref>Dr. Kartono Muhammad, ''Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1, h. 130-131.</ref>
Namun hasil penelitian Norman F. Ford kemudian menunjukan bahwa kehidupan dimulai setelah pembentukan ''primitive streak,'' yaitu lipatan ke dalam yang terbentuk pada ''zygote'' ( hasil pertautan sel telur dan sperma) saat berusia empat minggu. Pada saat itulah, menurut Ford, embrio baru bisa lisebut sebagai ''person'' atau rnakhluk insani.<ref>Dr. Kartono Muhammad, ''Kontradiksi dalam Kesehatan Reproduksi,'' (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1998), cet. Ke-1, h. 130-131.</ref>


Perbedaan pandagan mengenai kapan kehidupan dimulai ini berakibat pada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan yang diatur dalam dan UU Kesehatan.
Perbedaan pandagan mengenai kapan kehidupan dimulai ini berakibat pada perbedaan penafsiran mengenai ketentuan yang diatur dalam dan UU Kesehatan.
Baris 316: Baris 301:
Dalam KUI-IP ada beberapa ketentuan yang mengatur aborsi yakni pasal 346, 347, 348 dan 349
Dalam KUI-IP ada beberapa ketentuan yang mengatur aborsi yakni pasal 346, 347, 348 dan 349


1. Pasal 346 KUHP berunsurkan sbb: a). perempuan b). dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya d). menyuruh orang lain untuk itu e). dihukum penjara selama-lamanya empat tahun
# Pasal 346 KUHP berunsurkan sbb: a). perempuan b). dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya d). menyuruh orang lain untuk itu e). dihukum penjara selama-lamanya empat tahun
 
# Pasal Pasal 347 berunsurkan: a). barang siapa b).dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan d). tidak diizinkan oleh perempuan itu e). dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena perbuatan itu perempuan mati maka dia dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.
2.  Pasal Pasal 347 berunsurkan: a). barang siapa b).dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan d). tidak diizinkan oleh perempuan itu e). dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena perbuatan itu perempuan mati maka dia dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun.
# Pasal 348 berunsurkan : a). barang siapa b). dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan d). engan izin perempuan itu e).dihukum penjara selama-larnanya lima tahun enam bulan. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena itu perempuan mati, maka dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
 
# Pasal 349 secara spesifik menetukan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan aborsi dalam kerangka profesi mereka yakni membantu salah satu kejahatan yang tersebut dalampasal 346, 347,dan 348, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari yang terdapat dalam ketentuan yang, dilanggar dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.
3. Pasal 348 berunsurkan : a). barang siapa b). dengan sengaja c). menyebabkan gugur atau mati kandungannya seorang perempuan d). engan izin perempuan itu e).dihukum penjara selama-larnanya lima tahun enam bulan. Ditambahkan dalam ayat 2, jika karena itu perempuan mati, maka dia dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.
 
4. Pasal 349 secara spesifik menetukan sanksi pidana bagi mereka yang melakukan aborsi dalam kerangka profesi mereka yakni membantu salah satu kejahatan yang tersebut dalampasal 346, 347,dan 348, maka hukumannya dapat ditambah sepertiga dari yang terdapat dalam ketentuan yang, dilanggar dan dapat dipecat dari jabatannya yang digunakan untuk melakukan kejahatan tersebut.


Dari rumusan yang ada, yang disebut tindak pidana hanyalah yang berupa "menyebabkan gugur atau mati kandungan" yang berarti :
Dari rumusan yang ada, yang disebut tindak pidana hanyalah yang berupa "menyebabkan gugur atau mati kandungan" yang berarti :


a.    tidak mempermasalahkan usia kandungan
a. tidak mempermasalahkan usia kandungan


b.    tidak mempermasalahkan cara melakukannya.
b. tidak mempermasalahkan cara melakukannya.


Dalam praktek, yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Ha1 ini karena ketidak jelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas orang yang digugurkan kandungannya.<ref>Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 6-8.</ref>
Dalam praktek, yang diajukan ke pengadilan pada umumnya adalah orang yang menggugurkan kandungan, sedangkan si perempuan sendiri lolos dari jeratan hukum. Ha1 ini karena ketidak jelasan identitas mereka di samping para terdakwa tidak mau memberikan kesaksian yang justru memberatkan mereka jika ia mengungkap identitas orang yang digugurkan kandungannya.<ref>Harkristuti Harkrisnowo, ''Op.Cit.,'' h. 6-8.</ref>
Baris 338: Baris 320:
(2)  Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
(2)  Tindakan medis tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :


a.      Bedaska indikasi medis yang  mengharuskan diambilnya tindakan tersebut
a. Bedaska indikasi medis yang  mengharuskan diambilnya tindakan tersebut


b.     O1eh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggang jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli
b. Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggang jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli


c.      Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya
c. Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan atau suami atau keluarganya


d.     Pada sarana kesehatan tertentu.<ref>Syafiq Hasyim, ''Menakar “Harga” Perempuan,'' (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1, h. 276-277.</ref>
d. Pada sarana kesehatan tertentu.<ref>Syafiq Hasyim, ''Menakar “Harga” Perempuan,'' (Bandung: Mizan, 1999), cet. Ke-1, h. 276-277.</ref>


Dari pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi Penjelasan Pasal ini merumuskan suatu hal yang membingungkan, yakni:  
Dari pasal di atas seakan-akan UU ini memperbolehkan pengguguran kandungan dengan alasan tertentu. Akan tetapi Penjelasan Pasal ini merumuskan suatu hal yang membingungkan, yakni:  
Baris 367: Baris 349:
Meskipun demikian, berbagai penelitian disimpulkan beberapa dasar yang menyebabkan perempuan melakukan aborsi. Alasan itu adalah :
Meskipun demikian, berbagai penelitian disimpulkan beberapa dasar yang menyebabkan perempuan melakukan aborsi. Alasan itu adalah :


a.             Pada perempuan yang belum/tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggungjawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan sesorang dan dilarang hamil oleh pasangannya.
# Pada perempuan yang belum/tidak menikah, alasan melakukan aborsi di antaranya karena masih berusia remaja, pacar tidak mau bertanggungjawab, takut pada orang tua, berstatus janda yang hamil di luar nikah, dan berstatus sebagai simpanan sesorang dan dilarang hamil oleh pasangannya.
 
# Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, fator sosial ekonomi (tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir masa depan anak tidak terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.<ref>''Ibid.,'' h. 5.</ref>
b.             Pada perempuan yang sudah menikah, alasannya antara lain karena kegagalan alat kontrasepsi, jarak kelahiran yang terlalu rapat, jumlah anak yang terlalu banyak, terlalu tua untuk melahirkan, fator sosial ekonomi (tidak sanggup lagi membiayai anak-anaknya dan khawatir masa depan anak tidak terjamin), alasan medis, sedang dalam proses perceraian dengan suami, atau karena berstatus sebagai istri kedua dan suaminya tidak menginginkan kehadiran anak dari dia.<ref>''Ibid.,'' h. 5.</ref>


Dari alasan-alasan yang dikemukakan tampak bahwa sebagian besar, aborsibukan disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Ia melakukan aborsi karena takut dengan risiko sosial, takut kepada orang lain (suami atau  orang tua cian keluarga), adanya paksaan dari keluarga, dan adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak berani punya anak lagi. Aborsi yang semata-mata dilakukan karena perempuan tidak mau punya anak tampaknya sulit ditemukan datanya, untuk tidak bilang tidak ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa disebut ''"ikrah"'' yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi ''"ghairu mukallaf"'' ? Tentu, pertanyaan ini akan memerlukan pembahasan yang khusus dan mendalam.
Dari alasan-alasan yang dikemukakan tampak bahwa sebagian besar, aborsibukan disebabkan oleh kemauan murni perempuan. Ia melakukan aborsi karena takut dengan risiko sosial, takut kepada orang lain (suami atau  orang tua cian keluarga), adanya paksaan dari keluarga, dan adanya kondisi keluarga yang membuatnya tidak berani punya anak lagi. Aborsi yang semata-mata dilakukan karena perempuan tidak mau punya anak tampaknya sulit ditemukan datanya, untuk tidak bilang tidak ada. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, dari perspektif agama, apakah kondisi-kondisi seperti itu bisa disebut ''"ikrah"'' yang konsekuensinya menempatkan perempuan pada posisi ''"ghairu mukallaf"'' ? Tentu, pertanyaan ini akan memerlukan pembahasan yang khusus dan mendalam.
Baris 376: Baris 357:
      Uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal berikut ini  
      Uraian di atas mendorong penulis untuk menyatakan beberapa hal berikut ini  


1.    Dari perspektif agama-agama samawi, aborsi pada dasarnya adalah tindakan yang dilarang. Namun demikian Islam mempunyai corak hukum yang lebih fleksibel. Fleksibilitas ini memungkinkan adanya toleransi terhadap aborsi dalam kasus-kasus tertentu seperti aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu dan aborsi akibat ,perkosaan. Banyak variable yang dipertimbangkan dalam proses penentuan hukum aborsi, sehingga terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ikhtilaf memang terjadi, namun semuanya memiliki dasar hukum dan argumen moral yang kuat.
# Dari perspektif agama-agama samawi, aborsi pada dasarnya adalah tindakan yang dilarang. Namun demikian Islam mempunyai corak hukum yang lebih fleksibel. Fleksibilitas ini memungkinkan adanya toleransi terhadap aborsi dalam kasus-kasus tertentu seperti aborsi untuk menyelamatkan nyawa ibu dan aborsi akibat ,perkosaan. Banyak variable yang dipertimbangkan dalam proses penentuan hukum aborsi, sehingga terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama. Ikhtilaf memang terjadi, namun semuanya memiliki dasar hukum dan argumen moral yang kuat.
 
# Melihat perdebatan yang terjadi, baik dalam Islam maupun dalam hukum positif, tampak bahwa dasar pelarangan aborsi adalah penghormatan kepada kehidupan, khususnya kepada yang bernyawa. Berbagai erangkat hukum, termasuk sanksi-sanki hukum dirumuskan untuk melindungi kehidupan makhluk bernyawa yang bernama janin ini. Fiqh Islam sangat rinci dalam menjelaskan sanksi-sanksi ini. Sayangnya, sampai kini persoalan kapan kehidupan dimulai masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan oleh para ahli baik dari kalangan agama maupun medis.
2.    Melihat perdebatan yang terjadi, baik dalam Islam maupun dalam hukum positif, tampak bahwa dasar pelarangan aborsi adalah penghormatan kepada kehidupan, khususnya kepada yang bernyawa. Berbagai erangkat hukum, termasuk sanksi-sanki hukum dirumuskan untuk melindungi kehidupan makhluk bernyawa yang bernama janin ini. Fiqh Islam sangat rinci dalam menjelaskan sanksi-sanksi ini. Sayangnya, sampai kini persoalan kapan kehidupan dimulai masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan oleh para ahli baik dari kalangan agama maupun medis.
# Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa nilai-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum tentang aborsi baik hukum agama maupun hukum negara ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Sekalipun secara moral-ideal dan legal-formal aborsi dilarang, toh praktek aborsi menunjukkan angka yang cukup tinggi. Aborsi juga secara signifikan menyumbang angka kematian ibu akibat tindakan aborsi yang tidak aman. Ini semua menunjukkan bahwa pendekatan terhadap masalah aborsi semata-mata dari sudut moral dan hukum tidak cukup.
 
# Kenyataannya, baik hukum positif maupun fiqh Islam tidak memasukkan agenda hak-hak reproduksi perempuan -dalam hal ini hak  untuk memutuskan hamil atau tidak dan hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi yang aman- dalam konsideran hukumnya Dalam kasus tertentu, misalnya aborsi karena perkosaan, KUHP bahkan menafikan hak perempuan untuk melanjutkan atau menggugurkan kehamilannya. Oleh karena itu menjadi bisa dimengerti jika suara yang menginginkan diberikannya hak ini. kepada perempuan kian hari kian nyaring terdengar.  
3.      Satu hal yang penting untuk dicatat adalah bahwa nilai-nilai moral yang mendasari seluruh bangunan hukum tentang aborsi baik hukum agama maupun hukum negara ternyata mengalami kesulitan penerapan dan perbenturan di tingkat lapangan. Sekalipun secara moral-ideal dan legal-formal aborsi dilarang, toh praktek aborsi menunjukkan angka yang cukup tinggi. Aborsi juga secara signifikan menyumbang angka kematian ibu akibat tindakan aborsi yang tidak aman. Ini semua menunjukkan bahwa pendekatan terhadap masalah aborsi semata-mata dari sudut moral dan hukum tidak cukup.
# Di tengah dilemma antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalankan hak-hak reproduksinya (pro-choice) seperti terjadi sekarang, sudah saatnya islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala segala konsekuensinya. Bila pilihan "Pro-life" dianggap sebagai pilihan terbaik, maka para [[tokoh]] Islam tidak cukup hanya memberi fatwa hukum melainkan juga harus mempersiapkan berbagai perangkat yang mendukung tersosialisasikannya pilihan itu di tengah masyarakat. Misalnya, menyiapkan sikap mental dan sosial masyarakat agar tidak mau melakukan aborsi, mensosialisasikan sikap bisa menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak dikehendaki, dan membuat system sosial yang siap dengan segala risiko pilihan sikap "pro-life". Agama dan hukum tidak boleh ambigu. Sebab, ambiguitas seperti ini terbukti tidak menyelesaikan persoalan.
 
4.     Kenyataannya, baik hukum positif maupun fiqh Islam tidak memasukkan agenda hak-hak reproduksi perempuan -dalam hal ini hak  untuk memutuskan hamil atau tidak dan hak untuk mendapatkan  
 
pelayanan kesehatan reproduksi yang aman- dalam konsideran hukumnya Dalam kasus tertentu, misalnya aborsi karena perkosaan, KUHP bahkan menafikan hak perempuan untuk melanjutkan atau menggugurkan kehamilannya. Oleh karena itu menjadi bisa dimengerti jika suara yang menginginkan diberikannya hak ini. kepada perempuan kian hari kian nyaring terdengar.
 
5.  Di tengah dilemma antara nilai moral dan tuntutan kebebasan perempuan untuk menjalankan hak-hak reproduksinya (pro-choice) seperti terjadi sekarang, sudah saatnya islam menyatakan pendirian yang tegas dengan segala segala konsekuensinya. Bila pilihan "Pro-life" dianggap sebagai pilihan terbaik, maka para [[tokoh]] Islam tidak cukup hanya memberi fatwa hukum melainkan juga harus mempersiapkan berbagai perangkat yang mendukung tersosialisasikannya pilihan itu di tengah masyarakat. Misalnya, menyiapkan sikap mental dan sosial masyarakat agar tidak mau melakukan aborsi, mensosialisasikan sikap bisa menerima anak yang lahir dari kehamilan yang tidak dikehendaki, dan membuat system sosial yang siap dengan segala risiko pilihan sikap "pro-life". Agama dan hukum tidak boleh ambigu. Sebab, ambiguitas seperti ini terbukti tidak menyelesaikan persoalan.