Iddah dan Ihdad: Perbedaan revisi

8.369 bita ditambahkan ,  25 September 2021 07.28
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 118: Baris 118:
Dalam merespon persoalan di atas para ulama terbelah kepada dua kelompok. ''Pertama'', pendapat jumhur yang mengatakan bahwa patokan ''‘iddah'' adalah kelahiran anaknya, meskipun kelahiran itu terjadi sesaat setelah kematian suaminya.  Alasan yang biasa dirujuk adalah a] pernyataan Umar ibn Khattab bahwa ''‘iddah'' perempuan semacam itu ialah melahirkan bayinya, walaupun mayat suaminya masih terbaring di rumah duka. b] berdasar kepada ke-''’umum''-an ayat ''ûlât al-ahmâl.'' Oleh karena itu, bila keduanya bertemu, maka mereka berpegang kepada ayat ''ulat al-ahmal''. Hal ini, juga erat kaitannya dengan pandangan mereka tentang fungsi ''‘iddah''. Bagi mereka, ''‘iddah'' hanya berfungsi sebagai pembersih rahim. c] didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad kepada Sabi’ah al-Aslamiyah yang melahirkan anak praktis setengah bulan dari kematian suaminya. Nabi bersabda, “anda sudah halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”.
Dalam merespon persoalan di atas para ulama terbelah kepada dua kelompok. ''Pertama'', pendapat jumhur yang mengatakan bahwa patokan ''‘iddah'' adalah kelahiran anaknya, meskipun kelahiran itu terjadi sesaat setelah kematian suaminya.  Alasan yang biasa dirujuk adalah a] pernyataan Umar ibn Khattab bahwa ''‘iddah'' perempuan semacam itu ialah melahirkan bayinya, walaupun mayat suaminya masih terbaring di rumah duka. b] berdasar kepada ke-''’umum''-an ayat ''ûlât al-ahmâl.'' Oleh karena itu, bila keduanya bertemu, maka mereka berpegang kepada ayat ''ulat al-ahmal''. Hal ini, juga erat kaitannya dengan pandangan mereka tentang fungsi ''‘iddah''. Bagi mereka, ''‘iddah'' hanya berfungsi sebagai pembersih rahim. c] didasarkan kepada sabda Nabi Muhammad kepada Sabi’ah al-Aslamiyah yang melahirkan anak praktis setengah bulan dari kematian suaminya. Nabi bersabda, “anda sudah halal, maka nikahlah dengan orang yang kau suka”.


''Kedua'', ulama yang menyatakan bahwa ''‘iddah'' perempuan hamil yang ditinggal mati suami adalah dengan mengambil tenggang waktu terlama (''ab’ad al-ajalaini'') di antara dua alternatif: 4 bulan 10 hari (iddah wafat) atau kelahiran bayinya (karena ''‘iddah'' hamil). Pendapat ini biasanya dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan Ali ibn Abi Thalib. Kelompok kedua ini menghendaki dikompromikannya (''al-jam’u'') antara keumuman ayat hamil dan ayat wafat.[31] Saya menduga ada alasan lain yang secara eksplisit tak terucapkan oleh mereka. Yaitu, bahwa fungsi ''‘iddah'', di samping pembersih rahim, adalah sebagai perlambang solidaritas kekeluargaan [''tafajju’''].
''Kedua'', ulama yang menyatakan bahwa ''‘iddah'' perempuan hamil yang ditinggal mati suami adalah dengan mengambil tenggang waktu terlama (''ab’ad al-ajalaini'') di antara dua alternatif: 4 bulan 10 hari (iddah wafat) atau kelahiran bayinya (karena ''‘iddah'' hamil). Pendapat ini biasanya dinisbatkan kepada Ibnu Abbas dan Ali ibn Abi Thalib. Kelompok kedua ini menghendaki dikompromikannya (''al-jam’u'') antara keumuman ayat hamil dan ayat wafat.<ref>Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II, hlm. 72; Bandingkan dengan Ibnu Katsir, ''Tafsir al-Qur`an al-’Adhim'', (Riyadl: Dar ‘Alam al-Kutub), 1997, jilid I, hlm.353.</ref> Saya menduga ada alasan lain yang secara eksplisit tak terucapkan oleh mereka. Yaitu, bahwa fungsi ''‘iddah'', di samping pembersih rahim, adalah sebagai perlambang solidaritas kekeluargaan [''tafajju’''].




Baris 126: Baris 126:
Lebih jauh dari itu, perempuan yang sedang dalam ''‘iddah'' tidak boleh mengadakan akad perkawinan (kawin atau dikawini) secara mutlak. Hal ini didasarkan pada lanjutan Surah ''al-Baqarah'' (2) ayat 235 di atas, yaitu: “….''Dan janganlah kamu ber’azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya…''”
Lebih jauh dari itu, perempuan yang sedang dalam ''‘iddah'' tidak boleh mengadakan akad perkawinan (kawin atau dikawini) secara mutlak. Hal ini didasarkan pada lanjutan Surah ''al-Baqarah'' (2) ayat 235 di atas, yaitu: “….''Dan janganlah kamu ber’azam (berketetapan hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya…''”


''Kedua'', perempuan yang sedang menjalani ‘''iddah'' dilarang keluar rumah.[32] Jumhur ulama fikih (al-Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan al-Layts) sepakat bahwa perempuan yang menjalani ''‘iddah'' dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kecuali itu, antara Malik dan al-Syafi’i memiliki perbedaan. Bagi Malik, larangan keluar rumah bagi ''mu’taddah'' adalah mutlak tanpa membedakan antara talak ''raj’i'' dan talak ''bâ`in''. Sedangkan bagi al-Syafi’i, ''mu’taddah'' yang ditalak ''raj’i'' tidak diperkenankan untuk keluar rumah, baik siang maupun malam. Keluar rumah pada siang hari hanya diperbolehkan bagi ''mabtutah'' (perempuan yang ditalak ''bâ`in'').[33]
''Kedua'', perempuan yang sedang menjalani ‘''iddah'' dilarang keluar rumah.<ref>Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 373</ref> Jumhur ulama fikih (al-Syafi’i, Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, dan al-Layts) sepakat bahwa perempuan yang menjalani ''‘iddah'' dilarang keluar rumah apabila tidak ada keperluan mendesak, seperti untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kecuali itu, antara Malik dan al-Syafi’i memiliki perbedaan. Bagi Malik, larangan keluar rumah bagi ''mu’taddah'' adalah mutlak tanpa membedakan antara talak ''raj’i'' dan talak ''bâ`in''. Sedangkan bagi al-Syafi’i, ''mu’taddah'' yang ditalak ''raj’i'' tidak diperkenankan untuk keluar rumah, baik siang maupun malam. Keluar rumah pada siang hari hanya diperbolehkan bagi ''mabtutah'' (perempuan yang ditalak ''bâ`in'').<ref>Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Juz XIIIX. hlm. 154-155.</ref>


Alasan yang dikemukakan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah; “Jabir berkata: Bibiku dari ibu ditalak tiga kali oleh suaminya lalu ia keluar untuk memotong kurmanya. Tiba-tiba ia ditemui oleh seorang laki-laki, lalu melarangnya keluar. Maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma itu, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik menurutmu.” (HR.al-Nasa’i dan Abu Dawud).
Alasan yang dikemukakan mereka adalah sebuah hadits dari Jabir bin Abdullah; “Jabir berkata: Bibiku dari ibu ditalak tiga kali oleh suaminya lalu ia keluar untuk memotong kurmanya. Tiba-tiba ia ditemui oleh seorang laki-laki, lalu melarangnya keluar. Maka saya ceritakan hal itu kepada Nabi SAW. Kemudian Rasulullah SAW bersabda, pergilah engkau ke kebunmu itu untuk memetik buah kurma itu, mudah-mudahan engkau bersedekah dengan buah kurma itu dan lakukanlah sesuatu yang baik menurutmu.” (HR.al-Nasa’i dan Abu Dawud).


Dalam riwayat Mujahid, dikatakan bahwa beberapa orang laki-laki mati syahid ketika perang Uhud. Lalu istri-istri mereka mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW ditanya apakah mereka dibolehkan keluar malam ini. Ia menjawab “silakan kalian semua (yang ditinggal oleh kematian suaminya itu) berkumpul bersama di malam hari dan apabila telah mengantuk, maka kembalilah ke rumah masing-masing. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, al-Nasa`i, al-Timidzi dan Ibnu Majah).[34] Alasan yang lain adalah firman Allah dalam Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 yang artinya; “...''Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diijinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan keji yang terang...''”.
Dalam riwayat Mujahid, dikatakan bahwa beberapa orang laki-laki mati syahid ketika perang Uhud. Lalu istri-istri mereka mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW ditanya apakah mereka dibolehkan keluar malam ini. Ia menjawab “silakan kalian semua (yang ditinggal oleh kematian suaminya itu) berkumpul bersama di malam hari dan apabila telah mengantuk, maka kembalilah ke rumah masing-masing. (HR. Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, al-Nasa`i, al-Timidzi dan Ibnu Majah).<ref>Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II, hlm. 158-159</ref> Alasan yang lain adalah firman Allah dalam Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 yang artinya; “...''Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diijinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan pekerjaan keji yang terang...''”.


Persoalannya kemudian, bagaimana dengan perempuan yang ber''’iddah'' wafat? Tampaknya, larangan keluar rumah bagi perempuan yang ber''’iddah'' wafat, tidak dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ketentuan ini didapat dari hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari beberapa jalur, bahwa Nabi bersabda kepada Furai’ah binti Malik bin Sanan yang ditinggal mati suaminya; ''umkutsî fiy baitiki hattâ yablugha al-kitâb ajalah.'' Kemudian Furai’ah menjalani ''‘iddah'' selama empat bulan sepuluh hari.[35]
Persoalannya kemudian, bagaimana dengan perempuan yang ber''’iddah'' wafat? Tampaknya, larangan keluar rumah bagi perempuan yang ber''’iddah'' wafat, tidak dijumpai dalam ayat-ayat al-Qur’an. Ketentuan ini didapat dari hadits yang diriwayatkan oleh Malik dari beberapa jalur, bahwa Nabi bersabda kepada Furai’ah binti Malik bin Sanan yang ditinggal mati suaminya; ''umkutsî fiy baitiki hattâ yablugha al-kitâb ajalah.'' Kemudian Furai’ah menjalani ''‘iddah'' selama empat bulan sepuluh hari.<ref>Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an,'' Juz III, 171. Bandingkan dengan al-Syairaziy, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’i,'' Juz II, hlm. 147.</ref>


Namun, Imam Dawud menyangkal dengan menyatakan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak wajib ber''’iddah'' di rumahnya. Ia boleh ber''’iddah'' di tempat mana saja yang disukai karena kewajiban menempati tempat tinggal yang terdapat dalam al-Qur`an hanya berlaku bagi perempuan ''muthallaqah''. Ulama yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa hadits riwayat Malik tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perempuan yang tidak populer (''ghair ma’rufah'') di kalangan para perawi hadits. Ini artinya, hadits yang dijadikan dasar pelarangan keluar rumah bagi perempuan yang ber''’iddah'' wafat, derajat keshahihannya belum disepakati oleh seluruh ulama. Jauh sebelum Dawud, pendapat ini konon pernah dikemukakan oleh Ali, Ibnu Abbas, Jabir, dan ‘Aisyah. Kecuali itu, ada riwayat dari Ma’mar bahwa ‘Aisyah pernah keluar rumah, melakukan umrah ke Mekah pada saat ditinggal mati suaminya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah.[36]
Namun, Imam Dawud menyangkal dengan menyatakan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya tidak wajib ber''’iddah'' di rumahnya. Ia boleh ber''’iddah'' di tempat mana saja yang disukai karena kewajiban menempati tempat tinggal yang terdapat dalam al-Qur`an hanya berlaku bagi perempuan ''muthallaqah''. Ulama yang mendukung pendapat ini mengatakan bahwa hadits riwayat Malik tersebut hanya diriwayatkan oleh seorang perempuan yang tidak populer (''ghair ma’rufah'') di kalangan para perawi hadits. Ini artinya, hadits yang dijadikan dasar pelarangan keluar rumah bagi perempuan yang ber''’iddah'' wafat, derajat keshahihannya belum disepakati oleh seluruh ulama. Jauh sebelum Dawud, pendapat ini konon pernah dikemukakan oleh Ali, Ibnu Abbas, Jabir, dan ‘Aisyah. Kecuali itu, ada riwayat dari Ma’mar bahwa ‘Aisyah pernah keluar rumah, melakukan umrah ke Mekah pada saat ditinggal mati suaminya, Thalhah ibn ‘Ubaidillah.<ref>Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an,'' Juz III hlm. 177</ref>


''Ketiga'', ''al-mu’taddah'' berkewajiban untuk ''ihdâd''. Bagian yang ketiga akan dijelaskan secara agak detail pada bagian berikut.
''Ketiga'', ''al-mu’taddah'' berkewajiban untuk ''ihdâd''. Bagian yang ketiga akan dijelaskan secara agak detail pada bagian berikut.
Baris 140: Baris 140:


=== ''Ihdâd'': Pengertian dan Dasar Hukum ===
=== ''Ihdâd'': Pengertian dan Dasar Hukum ===
Secara etimologis, ''ihdâd'' atau juga disebut ''hidâd'' berarti mencegah [''imtinâ’''] dari memakai perhiasan. Dalam ''vocabulary'' Arab, ''ihdâd'' berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya. [37] Kalau bagi selain suami, ''ihdâd'' hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam ajaran fikih konvensional, ''ihdâd'' hanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. ''Ihdâd'' juga tidak dapat dikenakan kepada istri yang ditalak ''raj’i'' dan talak ''bâ`in''.[38]
Secara etimologis, ''ihdâd'' atau juga disebut ''hidâd'' berarti mencegah [''imtinâ’''] dari memakai perhiasan. Dalam ''vocabulary'' Arab, ''ihdâd'' berarti keadaan perempuan yang tidak menghias dirinya sebagai tanda perasaan berkabung atas kematian suaminya atau keluarganya.<ref>Ibnu Qudamah, ''al-Muqni’ fiy Fiqh Imam al-Sunnah Ahamd ibn Hanbal al-Syaibaniy,'' Juz III'','' hlm. 289-291. Baca juga, Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqiy, ''Rahmat al-Ummah fiy Ikhtilaf al-A`immah,'' Katar: Tanpa Penerbit, 1981, hlm. 314.</ref> Kalau bagi selain suami, ''ihdâd'' hanya dilakukan sampai masa tiga hari. Dalam ajaran fikih konvensional, ''ihdâd'' hanya berlaku bagi istri yang ditinggal mati suaminya, dan tidak berlaku terhadap suami yang ditinggal mati istrinya. ''Ihdâd'' juga tidak dapat dikenakan kepada istri yang ditalak ''raj’i'' dan talak ''bâ`in''.<ref>Al-Syairaziy, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’I,'' hlm. 149. Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 294. Bandingkan dengan Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II, hlm. 92. Sebagian ulama berpendapat, ''ihdad'' hanya disunatkan bagi perempuan yang ditalak (''muthallaqah''). Lihat Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107.</ref>


''Ihdâd,'' dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajib dilakukan bagi istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan terhadap suami dan memelihara haknya.[39] ''Ihdâd'' disyari’atkan dalam ajaran Islam berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka dapat (menghadapi) ''‘iddah''-nya (yang wajar) dan hitunglah waktu ''‘iddah'' itu serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. Selain itu, ''ihdâd'' juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “seorang perempuan tidak boleh melakukan ''ihdâd'' lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia melakukan ''ihdâd'' selama empat bulan sepuluh hari…” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi). [40]
''Ihdâd,'' dalam kitab-kitab kuning, selalu dinyatakan wajib dilakukan bagi istri yang suaminya wafat dengan tujuan menyempurnakan penghormatan terhadap suami dan memelihara haknya.<ref>Abd ‘al-Bar al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' Beirut: Dar al-Kutub, 1992, hlm. 294.</ref> ''Ihdâd'' disyari’atkan dalam ajaran Islam berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka dapat (menghadapi) ''‘iddah''-nya (yang wajar) dan hitunglah waktu ''‘iddah'' itu serta bertakwalah kepada Allah, Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang”. Selain itu, ''ihdâd'' juga didasarkan pada sabda Rasulullah SAW: “seorang perempuan tidak boleh melakukan ''ihdâd'' lebih dari tiga hari, kecuali atas kematian suaminya, maka ia melakukan ''ihdâd'' selama empat bulan sepuluh hari…” (HR. al-Jama’ah kecuali al-Tirmidzi).<ref>Hadits ini banyak dikutip oleh para ahli fikih dalam karya-karyanya, misalnya: Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' hlm. 246. Ibnu Hazm, ''al-Muhalla,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz IX, hlm. 256; Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 101.</ref>


Dalam hadits Ummi Salamah dikatakan: “Terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya, janganlah ia memakai pakaian yang dicelup, jangan memakai perhiasan, jangan memakai pewarna wajah, dan jangan bercelak” (HR. Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, dan al-Nasa`i). Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berasal dari Ummu ‘Athiyah juga berisi larangan yang sama dengan hal di atas. Dinyatakan bahwa jika seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mengetahui bahwa ''ihdâd'' wajib dilakukan selama masa ''‘iddah'', namun ia tidak melakukannya, maka tindakannya termasuk mendurhakai Allah.[41]
Dalam hadits Ummi Salamah dikatakan: “Terhadap perempuan yang ditinggal mati suaminya, janganlah ia memakai pakaian yang dicelup, jangan memakai perhiasan, jangan memakai pewarna wajah, dan jangan bercelak” (HR. Ahmad ibn Hanbal, Abu Dawud, dan al-Nasa`i). Hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang berasal dari Ummu ‘Athiyah juga berisi larangan yang sama dengan hal di atas. Dinyatakan bahwa jika seorang istri yang ditinggal wafat suaminya mengetahui bahwa ''ihdâd'' wajib dilakukan selama masa ''‘iddah'', namun ia tidak melakukannya, maka tindakannya termasuk mendurhakai Allah.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 662</ref>


Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan ''ihdâd'' dengan cara menjauhi hal-hal berikut: [1] memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab Syafi’i; [2] memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih; [3] memakai pakaian yang berbau wangi; [4] memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak, misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk mempercantik diri; [5] memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa perempuan yang sedang melakukan ''ihdâd'' tidak boleh melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi; [6] meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian maupun tidak mengandung wewangian; [7] memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap tidak dibenarkan; [8] mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i dan Ahmad ibn Hanbal.[42]
Menurut kitab-kitab fikih konvensional, perempuan yang ditinggal mati oleh suami atau keluarganya diharuskan melakukan ''ihdâd'' dengan cara menjauhi hal-hal berikut: [1] memakai perhiasan cincin atau perak. Larangan ini diakui oleh ahli fikih pada umumnya, kecuali menurut sebagian madzhab Syafi’i; [2] memakai pakaian yang terbuat dari sutera berwarna putih; [3] memakai pakaian yang berbau wangi; [4] memakai pakaian yang dicelup dengan warna mencolak, misalnya warna merah atau kuning. Pada umumnya ahli fikih menyatakan bahwa perempuan tersebut boleh memakai pakaian yang berwarna hitam. Akan tetapi, menurut madzhab Maliki, pakaian yang berwarna hitam pun tidak boleh dipakai kecuali jika di kalangan masyarakatnya warna hitam dipandang untuk mempercantik diri; [5] memakai wewangian (parfum) pada tubuhnya, kecuali untuk keperluan menghilangkan bau tidak sedap pada kemaluannya sehabis haid. Bahkan, madzhab Maliki berpendapat bahwa perempuan yang sedang melakukan ''ihdâd'' tidak boleh melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan wewangian, misalnya menjadi pembuat atau pedagang minyak wangi; [6] meminyaki rambut, baik minyak yang mengandung wewangian maupun tidak mengandung wewangian; [7] memakai celak, karena hal itu akan memperindah mata. Menurut ahli fikih, jika bercelak untuk keperluan pengobatan boleh dilakukan pada malam hari, sedangkan pada siang hari tetap tidak dibenarkan; [8] mewarnai kuku dengan inai dan semua yang berkaitan dengan pewarnaan wajah. Seluruh larangan ini didasarkan kepada hadits riwayat Bukhari dan Muslim ditambah dengan hadits al-Nasa`i dan Ahmad ibn Hanbal.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 662. Bandingkan dengan Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 293. Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 134-136. Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107. Hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan-larangan yang mesti dijauhi oleh perempuan yang menjalani ''ihdâd'' dapat diketemukan dalam al-Syawkaniy, ''Nayl al-Awthâr'', (Mesir: Dar al-Kutub, 1993), Juz VI hlm. 296</ref>


Di samping itu, larangan lain dalam ''ihdâd'' adalah larangan untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah. Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT pada Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 tersebut di atas.
Di samping itu, larangan lain dalam ''ihdâd'' adalah larangan untuk keluar rumah, kecuali untuk keperluan tertentu dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang mendasar, seperti mencari nafkah. Larangan keluar rumah ini juga didasarkan pada firman Allah SWT pada Surat ''al-Thalâq'' (65) ayat 1 tersebut di atas.
Baris 154: Baris 154:
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang wajib melakukan ''ihdâd'' karena kematian suaminya adalah perempuan yang beragama Islam, ''baligh'', merdeka, atau budak, dan melakukan perkawinan yang sah dengan suaminya yang wafat itu. Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kewajiban melakukan ''ihdâd'' bagi istri yang masih kecil (''shaghirah''), atau istri yang beragama Yahudi dan Nashrani (perempuan ''kitâbiyyah''; ''ahlu al-kitâb'').
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang wajib melakukan ''ihdâd'' karena kematian suaminya adalah perempuan yang beragama Islam, ''baligh'', merdeka, atau budak, dan melakukan perkawinan yang sah dengan suaminya yang wafat itu. Akan tetapi, para ahli fikih berbeda pendapat mengenai kewajiban melakukan ''ihdâd'' bagi istri yang masih kecil (''shaghirah''), atau istri yang beragama Yahudi dan Nashrani (perempuan ''kitâbiyyah''; ''ahlu al-kitâb'').


''Fuqahâ`'' dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil (belum baligh) tidak wajib melakukan ''ihdâd'', karena ia tidak ''mukallaf''. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib melakukan ''ihdâd'' juga, karena ia tetap berstatus sebagai istri. Sementara itu, mengenai perempuan ''kitâbiyyah'' dan ''dzimmiyah'', madzhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib melakukan ''ihdâd'', sebagaimana ''shaghirah'', karena tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan ''kitâbiyyah'' dan ''dzimmiyah'' yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan yang beragama Islam.[43] Perempuan yang dinikahi dengan nikah ''fâsid'' (pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib melakukan ''ihdâd''.
''Fuqahâ`'' dari madzhab Hanafi berpendapat bahwa istri yang masih kecil (belum baligh) tidak wajib melakukan ''ihdâd'', karena ia tidak ''mukallaf''. Sedangkan menurut madzhab Syafi’i dan Maliki, istri yang masih kecil wajib melakukan ''ihdâd'' juga, karena ia tetap berstatus sebagai istri. Sementara itu, mengenai perempuan ''kitâbiyyah'' dan ''dzimmiyah'', madzhab Hanafi berpendapat bahwa perempuan tersebut tidak wajib melakukan ''ihdâd'', sebagaimana ''shaghirah'', karena tidak mukallaf. Sedangkan menurut madzhab Maliki, ia wajib melakukannya karena perempuan ''kitâbiyyah'' dan ''dzimmiyah'' yang melakukan perkawinan dengan laki-laki muslim memiliki hak yang sama dengan hak-hak perempuan yang beragama Islam.<ref>Lihat Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 292.</ref> Perempuan yang dinikahi dengan nikah ''fâsid'' (pernikahan yang salah satu syaratnya tidak terpenuhi) tidak wajib melakukan ''ihdâd''.


Berseberangan dengan pendapat para ahli fikih pada umumnya, kalangan madzhab Hanafi mewajibkan ''ihdâd'' kepada istri yang menjalani masa ''‘iddah'' setelah dijatuhi talak tiga oleh suaminya.[44] Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat bahwa hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi memandangnya wajib karena perbuatan itu merupakan ungkapan rasa berduka atas hilangnya karunia Allah SWT. dalam bentuk perkawinan dari diri istri. Karena itu, kewajiban melaksanakan ''ihdâd'', juga berlaku terhadap perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi menyamakan kedudukannya dengan istri yang suaminya wafat.[45] Berbeda dengan Hanafi, madzhab Ja’fariy menyatakan bahwa hanya perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dikenakan kewajiban untuk ''ihdâd''. Pasalnya, dalam kasus ini sudah tidak bermakna lagi adanya masa “berkabung” tersebut. Karena, suami melakukan talak dengan ''ikhtiyâr.'' [46]
Berseberangan dengan pendapat para ahli fikih pada umumnya, kalangan madzhab Hanafi mewajibkan ''ihdâd'' kepada istri yang menjalani masa ''‘iddah'' setelah dijatuhi talak tiga oleh suaminya.<ref>Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 100.</ref> Sedangkan ahli fikih lainnya berpendapat bahwa hukumnya hanya sunnah. Madzhab Hanafi memandangnya wajib karena perbuatan itu merupakan ungkapan rasa berduka atas hilangnya karunia Allah SWT. dalam bentuk perkawinan dari diri istri. Karena itu, kewajiban melaksanakan ''ihdâd'', juga berlaku terhadap perempuan tersebut. Dalam hal ini, madzhab Hanafi menyamakan kedudukannya dengan istri yang suaminya wafat.<ref>Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 661</ref> Berbeda dengan Hanafi, madzhab Ja’fariy menyatakan bahwa hanya perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya yang dikenakan kewajiban untuk ''ihdâd''. Pasalnya, dalam kasus ini sudah tidak bermakna lagi adanya masa “berkabung” tersebut. Karena, suami melakukan talak dengan ''ikhtiyâr.''<ref>Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 374</ref>


Lebih lanjut, ''fuqahâ`'' lainnya berpendapat bahwa ''ihdâd'' bagi perempuan seperti itu tidak wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk kawin lagi dengan suaminya itu, jika terlebih dahulu ia kawin dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di samping itu, ia juga memiliki masa ''‘iddah'' yang sama dengan istri yang dijatuhi talak ''raj’i''. Sedangkan anjuran untuk melakukan ''ihdâd'' selama masa ''‘iddah'' talak ''bâ`in'' hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia berhias diri.
Lebih lanjut, ''fuqahâ`'' lainnya berpendapat bahwa ''ihdâd'' bagi perempuan seperti itu tidak wajib, karena ia masih memiliki kemungkinan untuk kawin lagi dengan suaminya itu, jika terlebih dahulu ia kawin dengan laki-laki lain yang kemudian menceraikannya. Di samping itu, ia juga memiliki masa ''‘iddah'' yang sama dengan istri yang dijatuhi talak ''raj’i''. Sedangkan anjuran untuk melakukan ''ihdâd'' selama masa ''‘iddah'' talak ''bâ`in'' hanya dimaksudkan untuk menghindarkan dirinya dari fitnah yang mungkin muncul jika ia berhias diri.


Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang menjalani masa ''‘iddah'' talak ''raj’i'' tidak wajib melakukan ''ihdâd'', karena selama berada dalam masa ''‘iddah'' ini pada hakikatnya ia masih berada dalam status perkawinan.[47] Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik untuk melakukan ''rujû’''.[48]
Para ahli fikih sepakat bahwa perempuan yang menjalani masa ''‘iddah'' talak ''raj’i'' tidak wajib melakukan ''ihdâd'', karena selama berada dalam masa ''‘iddah'' ini pada hakikatnya ia masih berada dalam status perkawinan.<ref>Lihat Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' hlm. 134.</ref> Karenanya, ia berhak untuk menghias diri, bahkan hal tersebut dianjurkan kepadanya dengan tujuan agar suaminya tertarik untuk melakukan ''rujû’''.<ref>al-Bujairimiy, ''Bujairimiy ‘ala al-Khathib,'' hlm. 47.</ref>
 




Baris 170: Baris 171:
Akan tetapi, berargumen bahwa ''‘iddah'' diundangkan untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan agaknya tidak bisa dipertahankan lagi. Sebab, dengan kecanggihan tehnologi modern sekarang, pelacakan terhadap bagian terdalam rahim seorang perempuan bukanlah sesuatu yang sulit lagi untuk dilakukan. Tehnologi sudah dapat mendeteksi dengan sangat akurat dan valid tentang ada dan tidak adanya bibit atau benih dalam rahim perempuan. Jaminan akurat dari tehnologi ini terus terang membuat kelompok agamawan ortodoks-tradisional khawatir terhadap kemungkinan ditanggalkannya ketentuan ''‘iddah'' ini.
Akan tetapi, berargumen bahwa ''‘iddah'' diundangkan untuk mengetahui kondisi terakhir rahim perempuan agaknya tidak bisa dipertahankan lagi. Sebab, dengan kecanggihan tehnologi modern sekarang, pelacakan terhadap bagian terdalam rahim seorang perempuan bukanlah sesuatu yang sulit lagi untuk dilakukan. Tehnologi sudah dapat mendeteksi dengan sangat akurat dan valid tentang ada dan tidak adanya bibit atau benih dalam rahim perempuan. Jaminan akurat dari tehnologi ini terus terang membuat kelompok agamawan ortodoks-tradisional khawatir terhadap kemungkinan ditanggalkannya ketentuan ''‘iddah'' ini.


Dengan latar tersebut, dalam perkembangan berikutnya, kelompok tekstualis ini mulai menolak keberadaan ''‘illat'' hukum dari ketentuan ''‘iddah.'' Sebagai argumen pengganti, dihadirkanlah teori lain yang mengatakan bahwa alasan utama ''‘iddah'' bukan untuk ''ma’rîfah barâ`ah al-rahim'' (mengetahui keadaan rahim), melainkan lebih karena tuntutan teks ajaran agama. Menurut mereka, meminjam bahasa ''ushûl al-fiqh'', ''‘iddah'' disyari’atkan tidak mengandung ‘''illat'' apapun. Dengan mengikuti ketegorisasi hukum dalam ''ushul fiqh'', ''‘iddah'' termasuk ke dalam hukum ''ghayr al-ma’qûlat al-ma’nâ'', sebuah ketentuan hukum yang harus diimani dan dilaksanakan oleh ''mukallaf'' tanpa perlu mempertanyakan apalagi menggugatnya.[49] Berangkat dari logika ini, kalaulah ''‘iddah'' memuat hal-hal yang rasional, maka ia tetap tidak diakui sebagai ''‘illat'' hukum, melainkan sebagai ''hikmah al-hukm''. Dalam ''ushûl al-fiqh'' syafi’iyyah, hukum tidak bertumpu pada ''hikmah'' melainkan pada ''illat''.
Dengan latar tersebut, dalam perkembangan berikutnya, kelompok tekstualis ini mulai menolak keberadaan ''‘illat'' hukum dari ketentuan ''‘iddah.'' Sebagai argumen pengganti, dihadirkanlah teori lain yang mengatakan bahwa alasan utama ''‘iddah'' bukan untuk ''ma’rîfah barâ`ah al-rahim'' (mengetahui keadaan rahim), melainkan lebih karena tuntutan teks ajaran agama. Menurut mereka, meminjam bahasa ''ushûl al-fiqh'', ''‘iddah'' disyari’atkan tidak mengandung ‘''illat'' apapun. Dengan mengikuti ketegorisasi hukum dalam ''ushul fiqh'', ''‘iddah'' termasuk ke dalam hukum ''ghayr al-ma’qûlat al-ma’nâ'', sebuah ketentuan hukum yang harus diimani dan dilaksanakan oleh ''mukallaf'' tanpa perlu mempertanyakan apalagi menggugatnya.<ref>Para ulama ''ushûl al-fiqh'' biasanya membagi hukum kepada dua bagian. ''Pertama'', hukum-hukum yang disyari’atkan Allah tanpa disertai ‘''illat'' hukumnya. Pada jenis ini, ''mukallaf'' hanya mampu menangkap hikmah--bukan ''‘illat''--yang ada dibalik hukum tersebut. Hukum ini biasa disebut dengan ''ahkâm ta’abbudiyah'' atau ''ghayr ma’qûlat al-ma’nâ.'' Sekedar contoh, jumlah rakaat shalat. Percuma saja jika mukallaf mau mencari dimensi rasionalitasnya, kenapa mesti dua rakaat, tiga rakaat dan tidak yang lain. Dengan perkataan lain, hukum jenis pertama ini merupakan hak prerogatif Tuhan. ''Kedua'', hukum yang disyari’atkan dengan disertai ''‘illat'' hukumnya. Dalam wacana ''ushûl al-fiqh'', hukum ini disebut ''ahkâm ta’aqquliyah'' atau ''ma’qûlat al-ma’nâ''. Bagian kedua ini, dengan nalar, mukallaf dapat menangkap alasan dari hukum ini. Secara lebih dalam baca, Abdul Wahab Khallaf, ''Ilmu Ushûl al-Fiqh'', (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah), 1956, hlm. 62; Ali Hasballah, ''Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmiy'', (Kairo: Dar al-Ma’arif), Tanpa Tahun, hlm. 145; Abu Ishaq al-Syathibiy, ''al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî’ah'', (''Tahqiq'' Abdullah Daraz), Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 238; Abu Hamid al-Ghazali, ''al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushûl'', (Beirut: Dar al-Fikr), Tanpa Tahun, hlm. 250. Bahasan lengkap tentang ''ta’aqquliy'' dan ''ta’abbudiy'' ini dapat dibaca, Abd Moqsith Ghazali, ''Ta’aqquliy'' dan ''Ta’abbudiy:'' Formulasi Hukum dalam Ayat-Ayat al-Qur`an, dalam ''Majalah AULA'' PWNU Jawa Timur, No. 03/Tahun XXII Maret 2000, hlm. 64-74.</ref> Berangkat dari logika ini, kalaulah ''‘iddah'' memuat hal-hal yang rasional, maka ia tetap tidak diakui sebagai ''‘illat'' hukum, melainkan sebagai ''hikmah al-hukm''. Dalam ''ushûl al-fiqh'' syafi’iyyah, hukum tidak bertumpu pada ''hikmah'' melainkan pada ''illat''.


Jika mau dilacak secara agak dalam, sejatinya terdapat aturan dalam al-Qur`an bahwa lelaki harus menanggung beban material dari pernikahan dan perceraian. Beban itu adalah pemberian nafkah oleh suami untuk istri dalam masa pernikahan atau ''mut’ah''--bedakan dengan nikah ''mut’ah''--bagi istri yang baru diceraikan selama masa ''‘iddah''. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2, “Kepada perempuan-perempuan yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) ''mut’ah'' menurut yang ''ma’ruf,'' sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”. [50]
Jika mau dilacak secara agak dalam, sejatinya terdapat aturan dalam al-Qur`an bahwa lelaki harus menanggung beban material dari pernikahan dan perceraian. Beban itu adalah pemberian nafkah oleh suami untuk istri dalam masa pernikahan atau ''mut’ah''--bedakan dengan nikah ''mut’ah''--bagi istri yang baru diceraikan selama masa ''‘iddah''. Allah SWT. berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2, “Kepada perempuan-perempuan yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) ''mut’ah'' menurut yang ''ma’ruf,'' sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang takwa”.<ref>Yusuf Ali menterjemahkan ayat tersebut, “Bagi perempuan yang dicerai harus diberikan nafkah menurut kadar yang masuk akal. Ini adalah tugas bagi mereka yang takwa. [Lihat Abdullah Yusuf Ali, ''The Holy Qur`an: Text, Translation, and Commentary,'' Leicester: The Islamic Foundation, 1975, hlm. 63]. Al-Syinqithiy mengatakan bahwa ''mut’ah'' merupakan hak bagi setiap istri yang diceraikan, baik telah terjadi hubungan seksual maupun tidak; dan sebaliknya merupakan kewajiban bagi seorang suami yang takwa. [Lihat al-Syinqithiy, ''Adhwa` al-Bayan fiy Iydhah al-Qur`an bi al-Qur`an,'' Beirut: Alam al-Kutub, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 219]. Terkait dengat ayat tersebut, Muhammad Asad mengatakan bahwa ayat ini terkait dengan perempuan yang diceraikan tanpa ada kesalahan yang bisa dibenarkan menurut hukum. Sementara tentang besarnya nafkah yang harus ditanggung oleh suami tampaknya tidak ada ketentuan yang pasti. Dengan demikian, besar dan kecilnya nafkah dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian suami dan kondisi sosial waktu itu. Baca Muhammad Asad, ''The Message of the Quran,'' Gibraltar, 1980, hlm. 54.</ref>


Para ulama sepakat bahwa wanita yang berada dalam ‘''iddah'' talak ''raj’i'' berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (''al-suknâ'') dari suami yang menceraikannya. Begitu juga, mereka sepakat bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya (baik talak ''raj’i'' maupun talak ''ba`in'') berhak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal hingga melahirkan.[51] Allah SWT. berfirman (65:6), “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”. Allah SWT. berfirman Selanjutnya, Allah SWT juga berfirman (65:6), “….Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin..”.
Para ulama sepakat bahwa wanita yang berada dalam ‘''iddah'' talak ''raj’i'' berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (''al-suknâ'') dari suami yang menceraikannya. Begitu juga, mereka sepakat bahwa wanita hamil yang dicerai suaminya (baik talak ''raj’i'' maupun talak ''ba`in'') berhak untuk mendapatkan nafkah dan tempat tinggal hingga melahirkan.<ref>Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Khathib,'' hlm. 45. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal bagi perempuan yang ditalak ''ba`in'' sementara ia tidak dalam keadaan hamil. Dalam hal ini, dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat. ''Pertama'', pendapat ulama Kufah bahwa perempuan tersebut berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.  ''Kedua'', pendapat Ahmad, Dawud, Abu Tsawr, Ishaq bahwa perempuan tersebut tidak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Pendapat ini didasarkan kepada hadits al-Dar Qutni bahwa nafkah dan tempat tinggal itu hanya bagi perempuan yang ditalak ''raj’i''. ''Ketiga'', pendapat yang dikemukakan oleh Malik, Syafi’ie bahwa perempuan tersebut hanya mendapat tempat tinggal tidak nafkah. Lihat Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 76. Bandingkan Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' hlm. 132.</ref> Allah SWT. berfirman (65:6), “Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin…”. Allah SWT. berfirman Selanjutnya, Allah SWT juga berfirman (65:6), “….Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin..”.


Namun, dalam realitasnya, wacana yang berkembang di kalangan umat Islam justru bukan masalah nafkah yang harus ditunaikan oleh “bekas” suami, melainkan kewajiban ‘''iddah'' yang mesti dijalankan oleh “mantan” istri. Sangat terasa bahwa ketentuan ''‘iddah'' yang dalam praktiknya telah dipahami sebagai beban dan urusan istri (perempuan) telah memperoleh perhatian yang jauh lebih serius baik dari sudut teoritisnya maupun pengawasan dan pelaksanaannya di lapangan ketimbang urusan nafkah yang pada dasarnya merupakan kewajiban lelaki (suami)--juga baik dari sudut teoritisnya maupun aplikatifnya.[52]
Namun, dalam realitasnya, wacana yang berkembang di kalangan umat Islam justru bukan masalah nafkah yang harus ditunaikan oleh “bekas” suami, melainkan kewajiban ‘''iddah'' yang mesti dijalankan oleh “mantan” istri. Sangat terasa bahwa ketentuan ''‘iddah'' yang dalam praktiknya telah dipahami sebagai beban dan urusan istri (perempuan) telah memperoleh perhatian yang jauh lebih serius baik dari sudut teoritisnya maupun pengawasan dan pelaksanaannya di lapangan ketimbang urusan nafkah yang pada dasarnya merupakan kewajiban lelaki (suami)--juga baik dari sudut teoritisnya maupun aplikatifnya.<ref>Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah,'' hlm. 4.</ref>


Sesungguhnyalah, di samping untuk mengetahui tentang positif dan negatifnya rahim'', s''esuai dengan struktur masyarakat Arab yang patriarkhal, ‘''iddah'' pada saat diturunkannya telah berfungsi secara efektif sebagai upaya minimal untuk melindungi hak-hak perempuan pasca-perceraian dan kematian. Dalam batas waktu ''‘iddah'' itu, perempuan masih berhak untuk mendapat perlindungan ekonomi dan perlindungan sosial. Perlindungan ini misalnya terlihat dari desakan al-Qur`an pada suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya.
Sesungguhnyalah, di samping untuk mengetahui tentang positif dan negatifnya rahim'', s''esuai dengan struktur masyarakat Arab yang patriarkhal, ‘''iddah'' pada saat diturunkannya telah berfungsi secara efektif sebagai upaya minimal untuk melindungi hak-hak perempuan pasca-perceraian dan kematian. Dalam batas waktu ''‘iddah'' itu, perempuan masih berhak untuk mendapat perlindungan ekonomi dan perlindungan sosial. Perlindungan ini misalnya terlihat dari desakan al-Qur`an pada suami untuk membuat wasiat khusus sebelum meninggal dunia untuk mempertahankan istrinya di dalam rumahnya paling tidak selama satu tahun dan untuk nafkah hidupnya.


Allah SWT. berfirman (2:240), “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya. Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka”.[53] Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam perspektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan yang waktu itu banyak yang terampas.
Allah SWT. berfirman (2:240), “Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah dari rumahnya. Akan tetapi, jika mereka pindah (sendiri), maka tidak ada dosa bagimu membiarkan mereka berbuat yang makruf terhadap diri mereka”.<ref>Menurut Imam Syafi’ie, ayat ini turun sebelum turunnya ayat-ayat tentang ''mawarits'' dalam Islam. Ayat ini juga telah ''di­nasakh'' oleh ayat 234 surat al-Baqarah dalam al-Qur`an. Baca Imam Syafi’ie, ''al-Umm,'' Juz 5'','' hlm. 238. Pertanyannya, kenapa ayat 234 me''nasakah'' ayat 240, padahal ayat yang menjelaskan tentang ''‘iddah'' 4 bulan 10 9 (ayat 234) hari lebih awal turun ketimbang ayat yang menjelaskan satu tahun. Dalam menjawab pertanyaan ini, al-Bujairimi menyatakan bahwa ayat 234 lebih belakangan turunnya (''mutaqaddimah al-nuzul''), dan lebih awal bacaannya (''mutaqaddimah al-tilawah'')''.'' Lihat al-Bujairimiy, ''Bujairimiy'' ''‘ala'' ''al-Khathib,'' Jilid 4, hlm. 37.</ref> Dengan demikian, jika ayat ini dibaca dalam perspektif sosial yang berlaku pada saat itu, maka akan terlihat bahwa perlindungan khusus diambil untuk melindungi hak-hak perempuan yang waktu itu banyak yang terampas.


Bahkan, jika berpedoman pada konteks masyarakat Arab dalam era pra-Islam dan awal Islam, perlindungan semacam ini jelas sangat signifikan, karena dua hal. ''Pertama'', pada masa itu secara kultural perempuan memang tidak memperoleh hak apapun. ''Kedua'', dalam fakta obyektif dan realitas empiriknya, tidak banyak dijumpai (kecuali hanya sedikit saja) perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah. Pada saat itu, secara ekonomis dan sosial istri memang berada dalam tanggung jawab suaminya. Dengan demikian, apa yang akan terjadi jika tidak ada prakondisi, misalnya dengan tersedianya waktu tertentu (''‘iddah'') untuk mencadangkan diri memasuki kehidupan mandiri, setelah terjadi perceraian.[54]
Bahkan, jika berpedoman pada konteks masyarakat Arab dalam era pra-Islam dan awal Islam, perlindungan semacam ini jelas sangat signifikan, karena dua hal. ''Pertama'', pada masa itu secara kultural perempuan memang tidak memperoleh hak apapun. ''Kedua'', dalam fakta obyektif dan realitas empiriknya, tidak banyak dijumpai (kecuali hanya sedikit saja) perempuan yang bekerja untuk mencari nafkah. Pada saat itu, secara ekonomis dan sosial istri memang berada dalam tanggung jawab suaminya. Dengan demikian, apa yang akan terjadi jika tidak ada prakondisi, misalnya dengan tersedianya waktu tertentu (''‘iddah'') untuk mencadangkan diri memasuki kehidupan mandiri, setelah terjadi perceraian.<ref>Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' hlm. 185-201. Bandingkan dengan Lies Marcos Natsir, ''Haidl dan ‘Iddah: Sebuah Tinjauan Analisis Gender,'' Makalah disampaikan dalam diskusi tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997, hlm. 3</ref>


Dalam kondisi demikian, ''‘iddah'' menjadi sangat dibutuhkan untuk menunjang masa transisional perempuan tersebut (''muthallaqah'' atau ''al-mutawaffa ‘anha zawjuhâ''). Dengan pengertian seperti ini, konsep ''‘iddah'' pada mulanya jelas sebuah lompatan radikal dari Nabi Muhammad SAW, setidaknya karena dua hal. ''Pertama'', untuk menggantikan cara-cara ber''iddah'' sekaligus ber''ihdad'' yang di luar batas kewajaran--seperti telah dijelaskan sebelumnya--pada cara yang lebih berperikemanusiaan. ''Kedua'', agar setelah diceraikan, perempuan tidak segera tercampakkan dan kehilangan hak-haknya.
Dalam kondisi demikian, ''‘iddah'' menjadi sangat dibutuhkan untuk menunjang masa transisional perempuan tersebut (''muthallaqah'' atau ''al-mutawaffa ‘anha zawjuhâ''). Dengan pengertian seperti ini, konsep ''‘iddah'' pada mulanya jelas sebuah lompatan radikal dari Nabi Muhammad SAW, setidaknya karena dua hal. ''Pertama'', untuk menggantikan cara-cara ber''iddah'' sekaligus ber''ihdad'' yang di luar batas kewajaran--seperti telah dijelaskan sebelumnya--pada cara yang lebih berperikemanusiaan. ''Kedua'', agar setelah diceraikan, perempuan tidak segera tercampakkan dan kehilangan hak-haknya.
Baris 190: Baris 191:
''Pertama'', dalam kasus perceraian karena suami meninggal. Pada bagian ini, ''‘iddah'' di samping untuk tujuan memperjelas status genetika juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (''ihdâd''). Tentu saja, berkabung yang perlu dijalani istri tidak boleh dijalani dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti yang telah ditampilkan masyarakat Arab jahiliyyah yang melarang perempuan ''mu’taddah'' untuk menyisir rambut, memotong kuku, dan sebagainya. Dengan demikian, selama masa ''‘iddah''nya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah.
''Pertama'', dalam kasus perceraian karena suami meninggal. Pada bagian ini, ''‘iddah'' di samping untuk tujuan memperjelas status genetika juga dimaksudkan sebagai pernyataan sikap berkabung (''ihdâd''). Tentu saja, berkabung yang perlu dijalani istri tidak boleh dijalani dengan cara-cara yang tidak manusiawi, seperti yang telah ditampilkan masyarakat Arab jahiliyyah yang melarang perempuan ''mu’taddah'' untuk menyisir rambut, memotong kuku, dan sebagainya. Dengan demikian, selama masa ''‘iddah''nya (4 bulan 10 hari), di samping perempuan tersebut harus membiarkan rahimnya tidak menampung benih baru, yang bersangkutan juga diminta untuk tidak mengekspresikan satu sikap yang mengesankan bahwa dirinya tidak sedang tertimpa musibah.


Dalam bingkai pemikiran ini, boleh jadi prinsip yang diletakkan dalam ''ihdâd'' ini tidak untuk berkabung atas meninggalnya mendiang suami atau keluarga. Sebab, tanpa dikondisikan pun seorang istri atau suami yang ditinggal pasangan yang sangat mencintai dan menyayanginya tentu akan berkabung, bahkan bisa hingga beberapa tahun. Dengan demikian, ''ihdâd'' adalah kriteria kepantasan bagi mereka yang baru ditimpa musibah kematian. Karena itu, maka baik istri maupun suami mesti menjaga takaran kepantasan tersebut dengan tidak menunjukkan kepada publik suatu cita rasa bahagia dan senang dengan kematian mitra hidupnya itu.[55]
Dalam bingkai pemikiran ini, boleh jadi prinsip yang diletakkan dalam ''ihdâd'' ini tidak untuk berkabung atas meninggalnya mendiang suami atau keluarga. Sebab, tanpa dikondisikan pun seorang istri atau suami yang ditinggal pasangan yang sangat mencintai dan menyayanginya tentu akan berkabung, bahkan bisa hingga beberapa tahun. Dengan demikian, ''ihdâd'' adalah kriteria kepantasan bagi mereka yang baru ditimpa musibah kematian. Karena itu, maka baik istri maupun suami mesti menjaga takaran kepantasan tersebut dengan tidak menunjukkan kepada publik suatu cita rasa bahagia dan senang dengan kematian mitra hidupnya itu.<ref>Secara etik-moral, tidak selayaknya bagi seorang suami yang baru ditinggal mati oleh istrinya untuk melangsungkan pernikahan dengan perempuan lain. Dalam kaitan ini, terus terang, fiqh yang memberikan perkenan bagi seorang laki-laki untuk nikah dengan perempuan lain tatkala istrinya baru meninggal, adalah fiqh patriarkhal yang kurang mempertimbangkan ukuran-ukuran etik-moral. Dilihat dengan mata curiga, fiqh seperti itu menunjukkan adanya arogansi kelelakian.</ref>


''Kedua'', dalam kasus talak ''raj’i''. Dalam tataran ini, fungsi ''‘iddah'' di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak ''raj’i'', merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Suami tetap dibebani tanggung jawab nafkah sekalipun ia tidak memperoleh haknya secara penuh. Sebaliknya, wanita menerima pemberian itu agar tidak mudah larut dalam godaan lelaki lain. Ujungnya, diharapkan agar alternatif utama yang menjadi pilihan mereka adalah ''ruju’'', bersatu kembali dalam rumah keluarga.
''Kedua'', dalam kasus talak ''raj’i''. Dalam tataran ini, fungsi ''‘iddah'' di samping untuk kerangka kejelasan genetika juga untuk membuka kesempatan selebar-lebarnya khusus kepada mereka berdua (suami-istri) untuk segera kembali sebagai suami istri. Sejatinya, kewajiban memberikan nafkah atas suami terhadap istri yang dicerainya, terutama dalam talak ''raj’i'', merupakan cara lain untuk menggiring suami-istri tersebut ke arah perdamaian (rekonsiliasi). Suami tetap dibebani tanggung jawab nafkah sekalipun ia tidak memperoleh haknya secara penuh. Sebaliknya, wanita menerima pemberian itu agar tidak mudah larut dalam godaan lelaki lain. Ujungnya, diharapkan agar alternatif utama yang menjadi pilihan mereka adalah ''ruju’'', bersatu kembali dalam rumah keluarga.