Iddah dan Ihdad: Perbedaan revisi

16.090 bita dihapus ,  25 September 2021 07.05
tidak ada ringkasan suntingan
Baris 1: Baris 1:


[[Kategori:Hukum Keluarga]]
[[Kategori:Hukum Keluarga]]
Sebagai agama pembebas, sedari awal Islam telah mengusung satu tugas suci, yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan umat manusia. Islam datang membawa serta pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Misi pokok al-Qur`an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial lainnya.[1] Semua watak diskriminatif yang berkembang subur dalam masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu senantiasa secara bertahap dieliminasi dan ditolak.
Sebagai agama pembebas, sedari awal Islam telah mengusung satu tugas suci, yaitu menghapus segala praktik diskriminasi dalam kehidupan umat manusia. Islam datang membawa serta pesan profetik untuk menegakkan keadilan dalam bentuknya yang paling konkret. Misi pokok al-Qur`an diturunkan ialah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis, dan ikatan-ikatan primordial lainnya.<ref>Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur`an (49:13), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.</ref> Semua watak diskriminatif yang berkembang subur dalam masyarakat Arab jahiliyah pada masa itu senantiasa secara bertahap dieliminasi dan ditolak.


Salah satu upaya paling fundamental dari Islam adalah keputusannya untuk menyangkal pandangan diskriminatif terhadap manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin, di mana kaum perempuan sepanjang sejarah kemanusiaan dipandang tidak berharga dibanding lelaki.[2] Kaum perempuan diposisikan tak lebih dari sekedar mesin reproduksi manusia, bagaikan mesin foto copy. Tidak jarang, mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat pemuas kebutuhan biologis pria belaka.[3] Mereka seringkali disteriotipkan sebagai makhluk yang lemah, baik fisik, mental maupun nalar (''nâqishat ‘aql'').
Salah satu upaya paling fundamental dari Islam adalah keputusannya untuk menyangkal pandangan diskriminatif terhadap manusia berdasarkan perbedaan jenis kelamin, di mana kaum perempuan sepanjang sejarah kemanusiaan dipandang tidak berharga dibanding lelaki.<ref>Salah satu indikator tentang kerendahan posisi perempuan dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyah, dapat dilihat dari ungkapan Umar ibn Khathab, “kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan perempuan. Namun, ketika Islam datang dan Tuhan telah menyebut mereka dalam al-Qur`an, kami baru tahu bahwa mereka juga memiliki hak yang tidak bisa dicampuri oleh kami”.</ref> Kaum perempuan diposisikan tak lebih dari sekedar mesin reproduksi manusia, bagaikan mesin foto copy. Tidak jarang, mereka hanya dimanfaatkan sebagai alat pemuas kebutuhan biologis pria belaka.<ref>Armahedi Mahzar, “Wanita dan Islam: Satu Pengantar untuk Tiga Buku”, dalam Mazhar ul-Haq Khan, ''Wanita Islam Korban Patologi Sosial'', Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.</ref> Mereka seringkali disteriotipkan sebagai makhluk yang lemah, baik fisik, mental maupun nalar (''nâqishat ‘aql'').


Data historis telah menyuguhkan sekian banyak bukti yang mengindikasikan adanya proses marginalisasi, bahkan dehumanisasi terhadap perempuan. Pada masa jahiliyah, misalnya, anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat secara umum.[4] Peradaban Jahiliyah telah menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebelum menikah, ia berada dalam pengawasan dan kendali penuh ayahandanya. Tatkala menikah, kekuasaan itupun berpindah ke tangan suami. Suami mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk berbuat apa saja terhadap istrinya. Perempuan telah dipandang sebagai sesuatu barang (''something'') yang boleh diperlakukan sehendak suami, bukan sebagai seorang manusia (''somebody'') yang harus dihargai dan dihormati.
Data historis telah menyuguhkan sekian banyak bukti yang mengindikasikan adanya proses marginalisasi, bahkan dehumanisasi terhadap perempuan. Pada masa jahiliyah, misalnya, anak-anak perempuan tidak diterima sepenuh hati oleh masyarakat secara umum.<ref>Al-Qur`an merekam pandangan mereka mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan tentang kelahiran anak perempuan (QS, 16:58) sampai kepada yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi perempuan (QS, 81:9).</ref> Peradaban Jahiliyah telah menjadikan perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan laki-laki. Sebelum menikah, ia berada dalam pengawasan dan kendali penuh ayahandanya. Tatkala menikah, kekuasaan itupun berpindah ke tangan suami. Suami mempunyai wewenang dan kekuasaan untuk berbuat apa saja terhadap istrinya. Perempuan telah dipandang sebagai sesuatu barang (''something'') yang boleh diperlakukan sehendak suami, bukan sebagai seorang manusia (''somebody'') yang harus dihargai dan dihormati.


Dalam kondisi seperti itu, Islam datang dengan merubah paradigma hegemonik-tiranik tersebut kepada sebuah paradigma yang lebih menghargai dan menghormati perempuan. Islam, misalnya, memberi hak kepada anak perempuan untuk mengajukan keberatan terhadap calon suami yang ditawarkan oleh walinya. Begitu juga, pernikahan bukanlah akad atau transaksi jual beli antara wali perempuan dan calon suami. Al-Qur`an menggambarkan hubungan suami dan isteri sebagai hubungan kemitraan yang saling menyempurnakan.
Dalam kondisi seperti itu, Islam datang dengan merubah paradigma hegemonik-tiranik tersebut kepada sebuah paradigma yang lebih menghargai dan menghormati perempuan. Islam, misalnya, memberi hak kepada anak perempuan untuk mengajukan keberatan terhadap calon suami yang ditawarkan oleh walinya. Begitu juga, pernikahan bukanlah akad atau transaksi jual beli antara wali perempuan dan calon suami. Al-Qur`an menggambarkan hubungan suami dan isteri sebagai hubungan kemitraan yang saling menyempurnakan.


Bahkan, kemitraan dalam hubungan suami isteri dinyatakan al-Qur`an sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. berfirman (2:187), “Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”. Lebih jauh dari itu, hubungan pernikahan merupakan hubungan cinta-kasih antara dua insan yang berlainan jenis. Dengan logika ini, dapat dipahami bahwa maskawin pernikahan (''mahar, shaduqah'')[5] merupakan simbol adanya cinta kasih itu. Allah SWT. berfirman (4:4), “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Bahkan, kemitraan dalam hubungan suami isteri dinyatakan al-Qur`an sebagai kebutuhan timbal-balik. Allah SWT. berfirman (2:187), “Isteri-isteri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”. Lebih jauh dari itu, hubungan pernikahan merupakan hubungan cinta-kasih antara dua insan yang berlainan jenis. Dengan logika ini, dapat dipahami bahwa maskawin pernikahan (''mahar, shaduqah'')<ref>Al-Qur`an tidak menggunakan kata ''mahar'' melainkan kata ''shaduqah'' bagi ''“''maskawin” perempuan. Secara generik, ''shaduqah'' yang berasal dari kata ''shadaqa'' berarti kejujuran, ketulusan, dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh, dan bukan untuk mempertunjukkan status sosial atau finansial seseorang. Lihat Louis Ma’luf, ''al-Munjid fiy al-Lughat wa al-A’lam,'' Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 419-420. Dengan ini akan terlihat bahwa menurut konsep Islam, calon suami harus membayar kepada calon istri sejumlah nilai materi tertentu sebagai tanda cinta, kesungguhan, dan ketulusannya. Kata lain yang juga dipakai untuk kata maskawin ini adalah ''nihlah.'' Menurut al-Raghib, ''nihlah'' berarti sesuatu yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, melainkan karena dorongan cinta dan penghormatan. Lihat Al-Ishfahaniy Al-Raghib, ''Mu’jam Mufradat Alfadzh al-Qur`an,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 485.</ref> merupakan simbol adanya cinta kasih itu. Allah SWT. berfirman (4:4), “Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.


Bukti lain dari marginalisasi dan dehumanisasi perempuan oleh masyarakat Arab pra-Islam adalah munculnya suatu tradisi yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca-kematian sang suami.[6] Misalnya, masyarakat Arab pra-Islam telah secara sadis menerapkan apa yang dikenal dengan ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' (atau ''hidad'').[7] Yakni, suatu kondisi di mana kaum perempuan yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama setahun penuh.[8] Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya. Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan yang ber-''ihdâd'' tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya, dan seandainya ia keluar ruangan dengan segera burung-burung gagak akan menyergapnya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Naifnya, tradisi ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki.[9]
Bukti lain dari marginalisasi dan dehumanisasi perempuan oleh masyarakat Arab pra-Islam adalah munculnya suatu tradisi yang dibebankan terhadap kaum perempuan pasca-kematian sang suami.<ref>Memang terdapat kontroversi tentang apakah pada masa jahiliyah ada masa ''‘iddah'' setelah terjadi perceraian. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ada, dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Mereka yang berpendapat terakhir mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah dicerai di mana ia dalam keadaan hamil, bisa langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, dan melahirkan di rumah suaminya yang baru tersebut. Sedangkan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suaminya yang baru, walaupun ia hamil karena suaminya terdahulu. Menurut mereka, Islamlah yang menetapkan adanya ''‘iddah.'' Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' (Terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf), Yogyakarta: LSPPA, 1997</ref> Misalnya, masyarakat Arab pra-Islam telah secara sadis menerapkan apa yang dikenal dengan ''‘iddah'' dan ''ihdâd'' (atau ''hidad'').<ref>Syah Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', (Beirut: Dar Ihya` al-Ulum), Tanpa Tahun, Jilid II, hlm. 377.</ref> Yakni, suatu kondisi di mana kaum perempuan yang baru saja ditinggal mati oleh suaminya bahkan juga oleh anggota keluarganya yang lain, harus mengisolasi diri di dalam ruang terpisah selama setahun penuh.<ref>Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Juz V, hlm. 247.</ref> Dalam masa pengasingan itu, perempuan tersebut tidak diperkenankan untuk memakai wewangian, memotong kuku, menyisir rambut, dan berganti pakaian. Dia akan diberi seekor binatang seperti keledai, kambing atau burung untuk dipakai menggosok-gosok kulitnya. Diilustrasikan dalam sebuah hadits, begitu busuknya bau badan perempuan yang ber-''ihdâd'' tersebut, sehingga tidak seorang pun berani menghampirinya, dan seandainya ia keluar ruangan dengan segera burung-burung gagak akan menyergapnya, karena bau busuk yang ditimbulkannya. Naifnya, tradisi ini tidak berlaku bagi kaum laki-laki.<ref>Lihat al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Kairo: 1969, Juz II, hlm. 194. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah'', Makalah tidak diterbitkan, disampaikan dalam seminar tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997.</ref>


Menghadapi model tradisi seperti ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan. Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis-moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan ''‘iddah''. Yaitu, suatu masa menunggu bagi seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
Menghadapi model tradisi seperti ini, secara perlahan Islam melakukan perubahan-perubahan yang cukup mendasar. Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang istri, dan ini dilakukan tidak dengan cara-cara yang merendahkan atau menistakan diri perempuan. Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada waktu itu dan pertimbangan etis-moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan ''‘iddah''. Yaitu, suatu masa menunggu bagi seorang wanita yang baru berpisah dari suaminya, baik karena perceraian atau kematian untuk tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
Baris 19: Baris 19:


=== ''‘Iddah'': Pengertian dan Dalil Hukum ===
=== ''‘Iddah'': Pengertian dan Dalil Hukum ===
Jika ditelusuri secara etimologis, kata ''‘iddah'' berasal dari kata kerja ''‘adda ya’uddu'' yang artinya kurang lebih ''al-ihshâ`'', hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.[10] Dari sudut bahasa, kata ''‘iddah'' biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya.
Jika ditelusuri secara etimologis, kata ''‘iddah'' berasal dari kata kerja ''‘adda ya’uddu'' yang artinya kurang lebih ''al-ihshâ`'', hitungan, perhitungan atau sesuatu yang dihitung.<ref>Baca Ibnu ‘Abidin, ''Hasyiyah'' ''Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Jilid III, hlm. 502. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabiy. ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah'', Mesir: Dar al-Kutub al-Hadtsah, 1968, hlm. 357. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily. ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII, hlmm. 624.</ref> Dari sudut bahasa, kata ''‘iddah'' biasanya dipakai untuk menunjukkan pengertian hari-hari haid atau hari-hari suci pada perempuan. Artinya, perempuan (istri) menghitung hari-hari haidnya dan masa-masa sucinya.


Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ''‘iddah'' dengan berbagai ungkapan, antara lain[11]:
Sedangkan secara terminologis, para ulama telah merumuskan pengertian ''‘iddah'' dengan berbagai ungkapan, antara lain[11]:
Baris 210: Baris 210:


== Referensi ==
== Referensi ==
[1]Hal ini diisyaratkan dalam al-Qur`an (49:13), “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
ref
 
[2]Salah satu indikator tentang kerendahan posisi perempuan dalam pandangan masyarakat Arab jahiliyah, dapat dilihat dari ungkapan Umar ibn Khathab, “kami dahulu sama sekali tidak mempedulikan perempuan. Namun, ketika Islam datang dan Tuhan telah menyebut mereka dalam al-Qur`an, kami baru tahu bahwa mereka juga memiliki hak yang tidak bisa dicampuri oleh kami”.
 
[3]Armahedi Mahzar, “Wanita dan Islam: Satu Pengantar untuk Tiga Buku”, dalam Mazhar ul-Haq Khan, ''Wanita Islam Korban Patologi Sosial'', Bandung: Penerbit Pustaka, 1994.
 
[4]Al-Qur`an merekam pandangan mereka mulai dari yang paling ringan yaitu bermuka masam jika disampaikan tentang kelahiran anak perempuan (QS, 16:58) sampai kepada yang paling parah yaitu membunuh bayi-bayi perempuan (QS, 81:9).
 
[5]Al-Qur`an tidak menggunakan kata ''mahar'' melainkan kata ''shaduqah'' bagi ''“''maskawin” perempuan. Secara generik, ''shaduqah'' yang berasal dari kata ''shadaqa'' berarti kejujuran, ketulusan, dan hadiah yang diberikan sebagai amal saleh, dan bukan untuk mempertunjukkan status sosial atau finansial seseorang. Lihat Louis Ma’luf, ''al-Munjid fiy al-Lughat wa al-A’lam,'' Beirut: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 419-420. Dengan ini akan terlihat bahwa menurut konsep Islam, calon suami harus membayar kepada calon istri sejumlah nilai materi tertentu sebagai tanda cinta, kesungguhan, dan ketulusannya. Kata lain yang juga dipakai untuk kata maskawin ini adalah ''nihlah.'' Menurut al-Raghib, ''nihlah'' berarti sesuatu yang diberikan tanpa mengharapkan imbalan, melainkan karena dorongan cinta dan penghormatan. Lihat Al-Ishfahaniy Al-Raghib, ''Mu’jam Mufradat Alfadzh al-Qur`an,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 485.
 
[6]Memang terdapat kontroversi tentang apakah pada masa jahiliyah ada masa ''‘iddah'' setelah terjadi perceraian. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ada, dan sebagian yang lain mengatakan tidak ada. Mereka yang berpendapat terakhir mengatakan bahwa seorang perempuan yang telah dicerai di mana ia dalam keadaan hamil, bisa langsung melakukan pernikahan dengan laki-laki lain, dan melahirkan di rumah suaminya yang baru tersebut. Sedangkan anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak suaminya yang baru, walaupun ia hamil karena suaminya terdahulu. Menurut mereka, Islamlah yang menetapkan adanya ''‘iddah.'' Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' (Terjemahan Farid Wajidi dan Cici Farcha Assegaf), Yogyakarta: LSPPA, 1997
 
[7]Syah Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', (Beirut: Dar Ihya` al-Ulum), Tanpa Tahun, Jilid II, hlm. 377.
 
[8]Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1983, Juz V, hlm. 247.
 
[9]Lihat al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Kairo: 1969, Juz II, hlm. 194. Bandingkan dengan Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah'', Makalah tidak diterbitkan, disampaikan dalam seminar tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997.
 
[10]Baca Ibnu ‘Abidin, ''Hasyiyah'' ''Radd al-Mukhtar ‘ala al-Dur al-Mukhtar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Jilid III, hlm. 502. Lihat juga, Muhammad Husain al-Dzahabiy. ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah'', Mesir: Dar al-Kutub al-Hadtsah, 1968, hlm. 357. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaily. ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Damaskus: Dar al-Fikr, 1996, Juz VII, hlmm. 624.
 
[11]Zakaria al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' Beirut: Dar al-Fikr, 103. Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Khathib,'' Beirut: Dar al-Fikr, 1981, Juz IV. Baca juga, ''Hasyiyah al-Bujairimiy ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab,'' Beirut: Dar Shadr, Tanpa Tahun, Juz IV, hlm. 76. Bandingkan dengan Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah'', Jilid II, Beirut: Dar al-Fikr, Cet. IV, tahun 1403/1983, hlm. 277
 
[12]Lihat Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 103''.'' Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Kathib'', hlm. 35. al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 358.
 
[13]Abdurrahman al-Jaziri, ''Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah'', Tanpa Tahun'','' hlm. 517. Bandingkan dengan Ibnu Qudamah al-Maqdisiy, ''al-Syarh al-Shaghir'': Juz II, hlm. 671. ''al-Qawanin al-Fiqhiyyah'', hlm. 235. Al-Syarbiniy, ''Mughniy al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’aniy Alfadl al-Minhaj'', Mesir: Dar al-Fikr, 1996, Juz III hlm. 384
 
[14]Abdurrahman al-Jaziri, ''Kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah.'' hlm. 513. Bandingkan dengan Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', hlm. 624. Baca juga al-Timirtasyi, ''al-Durr al-Mukhtar: Syarah Tanwir al-Abshar'', Mesir: Bolaqiyah, 1252 H., Juz II, hlm. 823
 
[15]Wahbah al-Zuhaily, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 626
 
[16]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 625
 
[17]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 626. Lihat juga al-Bujairimiy, ''Hasyiyah al-Bujairimiy ‘ala Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 76.
 
[18]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 630. Lihat juga pada Abdul Wahhab, ''Hasyiyah al-Muqni’''. Juz III hlm. 286.
 
[19]Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 359.
 
[20]Ibnu Qudamah, ''al-Muqni’ fiy Fiqh Imam al-Sunnah Ahamd ibn Hanbal al-Syaibaniy'', Riyadl: Maktabah al-Riyadl al-Haditsah, 1980, Juz III hlm. 268. Bandingkan dengan al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Juz XIII, hlm. 202. Lihat juga Jalaluddin al-Suyuthiy, ''al-Durr al-Mantsur fiy al-Tafsir al-Ma`tsur'', Beirut: Dar al-Fikr, 1988, Juz VI, hlm. 625; Baca juga Abi Ishaq al-Syairazi, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’i'', (Semarang: Thaha Putera), Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 142.
 
[21]Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II Dar al-Fikr, Beirut, tanpa tahun, hlm. 66
 
[22]Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II, hlm. 278
 
[23] Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 628-629.
 
[24]Hikmah batas waktu itu ialah karena dalam masa inilah sempurnanya janin dari peniupan roh sesudah 120 hari. Menurut jumhur ulama, ''mu’taddah'' tersebut tidak boleh (''la'' yahill) nikah dengan laki-laki lain, kecuali sudah masuk hari yang kesebelasnya.
 
[25]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 628
 
[26]Sebagian ulama memahami arti ''qurû`'' dengan masa suci. Di antara mereka adalah Malik, Syafi’i, jumhur penduduk Madinah, Abu Tsaur, dan Jama’ah. Di kalangan sahabat pendapat ini dianut oleh Ibnu Umar, Zaid ibn Tsabit dan Aisyah. Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa ''qurû`'' berarti haid. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah, al-Tsawry, al-Awza’i, Ibnu Abi Layla dan lainnya. Dari kalangan sahabat, pendapat ini dianut oleh Ali ibn Abi Thalib, Umar ibn Khattab, Ibnu Mas’ud, dan Abu Musa al-Asy’ari. Di samping itu, ada pula yang memahami ''qurû`'' dalam pengertian perpindahan dari masa suci ke masa haid. Menurut Ali Hasballah, pendapat ini juga dianut oleh Syafi’i, Malik, dan Dzahiriyyah. Baca Ibnu Rusyd, ''Bidâyah al-Mujtahid wa Nihâyah al-Muqtashid,'' Juz II'','' hlm. 67 dan juga Ali Hasballah. 1968. ''Al-Furqah baina al-Zawjayn wa mâ Yata’allaqu bihâ min al-’iddah wa al-Nasab'', (Mesir: Dar al-Fikr,) hlm. 188.
 
[27]Para ulama berbeda pendapat tentang batas umur terjadinya menopause (putus haid). Sebagian berkata 50 tahun dan sebagian yang lain 60 tahun. Dan memang antara perempuan yang satu dengan yang lain berlainan. Ibnu Taymiyyah menyatakan bahwa umur putus haid itu berbeda antara seorang perempuan dengan perempuan yang lain. Tidak ada batas umur yang disepakati oleh perempuan. Baca Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' hlm. 147. Bandingkan dengan Zakaria al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 104. Lebih lanjut al-Fakhr al-Raziy menegaskan, jika seorang perempuan ragu apakah ia sudah sampai kepada masa menopause atau tidak, maka ia dapat menentukan antara usia 60 tahun dan 55 tahun, sehingga darah yang keluar dari vaginanya dapat ditentukan sebagai darah haid atau istihadlah. Lihat al-Fakhr al-Rziy, ''Tafsîr al-Fakhr al-Râziy'', Beirut: Dar al-Fikr, 1985, Juz 29, hlm. 35.
 
[28]Fatima Mernissi, seorang pemikir Muslim dari Maroko, menyatakan bahwa masa ‘i''ddah'' merupakan hukuman paling keras bagi semua wanita yang baru diceraikan, terutama bagi wanita yang telah memasuki usia menopause yang memiliki banyak kekurangan karena telah berusia menengah, dalam tatanan masyarakat di mana usia muda sangat digemari. Lihat Fatima Mernissi, ''Beyond the Veil: Seks dan Kekuasaan,'' Surabaya: al-Fikr, 1997, hlm. 135.
 
[29]Ayat ini menunjukkan bahwa sekiranya ia hamil dengan anak kembar, maka ''‘iddah''nya belum habis sebelum anak kembarnya lehir semua. Begitu juga, perempuan yang keguguran ''‘iddah''nya adalah sesudah melahirkan pula. Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II hlm. 148. Berkaitan dengan ''iddah'' hamil ini dapat dibaca pada, Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah,'' hlm. 378-379.
 
[30]Dalam perspektif ''ushul al-fiqh'', ''nash'' yang dinyatakan dalam bentuk angka adalah ''qath’iyyat,'' yang tidak bisa diambil ''mafhum mukhalafah''nya. ''Dus'', batasan hari ini (atau bulan) praktis tidak bisa diturunkan dan dinaikkan.Ia tidak bisa ditelusuri ''illat'' hukumnya. ''Mujtahid'' hanya mampu menangkap hikmahnya. Berkaitan dengan konsep hikmah ini, Waliyullah al-Dihlawiy mengajukan dua bentuk hikmah dalam penetapan empat bulan sepuluh hari ini. ''Pertama'', karena ditiupkannya ruh ke dalam janin tidak kurang dari 4 bulan. Ditambahkan 10 hari, karena padamasa itulah mulai munculnya gerakan-gerakan pada janin. ''Kedua'', masa 4 bulan 10 hari adalah separuh dari masa kehamilan. Dalam masa ini, kehamilan perempuan sudah mulai tampak dengan jelas. Baca Waliyullah al-Dihlawiy, ''Hujjah Allah al-Balighah'', hlm. 379.
 
[31]Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II, hlm. 72; Bandingkan dengan Ibnu Katsir, ''Tafsir al-Qur`an al-’Adhim'', (Riyadl: Dar ‘Alam al-Kutub), 1997, jilid I, hlm.353.
 
[32]Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 373
 
[33] Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an'', Juz XIIIX. hlm. 154-155.
 
[34] Lihat Sayyid Sabiq, ''Fiqh al-Sunnah,'' Juz II, hlm. 158-159
 
[35]Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an,'' Juz III, 171. Bandingkan dengan al-Syairaziy, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’i,'' Juz II, hlm. 147.
 
[36]Al-Qurthubiy, ''al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur`an,'' Juz III hlm. 177
 
[37]Ibnu Qudamah, ''al-Muqni’ fiy Fiqh Imam al-Sunnah Ahamd ibn Hanbal al-Syaibaniy,'' Juz III'','' hlm. 289-291. Baca juga, Muhammad ibn Abdurrahman al-Dimasyqiy, ''Rahmat al-Ummah fiy Ikhtilaf al-A`immah,'' Katar: Tanpa Penerbit, 1981, hlm. 314.
 
[38]Al-Syairaziy, ''al-Muhadzdzab fiy Fiqh al-Imam al-Syafi’I,'' hlm. 149. Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 294. Bandingkan dengan Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid'', Juz II, hlm. 92. Sebagian ulama berpendapat, ''ihdad'' hanya disunatkan bagi perempuan yang ditalak (''muthallaqah''). Lihat Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107.
 
[39] Abd ‘al-Bar al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' Beirut: Dar al-Kutub, 1992, hlm. 294.
 
[40]Hadits ini banyak dikutip oleh para ahli fikih dalam karya-karyanya, misalnya: Muhammad ibn Idris al-Syafi’iy, ''al-Umm,'' hlm. 246. Ibnu Hazm, ''al-Muhalla,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, Juz IX, hlm. 256; Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 101.
 
[41]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 662
 
[42]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII hlm. 662. Bandingkan dengan Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 293. Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun, hlm. 134-136. Zakariya al-Anshariy, ''Fath al-Wahhab Syarh Manhaj al-Thullab,'' hlm. 107. Hadits-hadits yang berkaitan dengan larangan-larangan yang mesti dijauhi oleh perempuan yang menjalani ''ihdâd'' dapat diketemukan dalam al-Syawkaniy, ''Nayl al-Awthâr'', (Mesir: Dar al-Kutub, 1993), Juz VI hlm. 296
 
[43]Lihat Abd al-Barr al-Namiriy, ''al-Kafiy fiy Fiqh Ahl al-Madinah al-Malikiy,'' hlm. 292.
 
[44]Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 100.
 
[45]Wahbah al-Zuhailiy, ''al-Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu'', Juz VII, hlm. 661
 
[46]Lihat al-Dzahabiy, ''al-Syarî’ah al-Islâmiyyah: Dirâsah Muqaranah baina Ahli al-Sunnah wa Madzhab a-Ja’fariyyah,'' hlm. 374
 
[47]Lihat Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' hlm. 134.
 
[48]al-Bujairimiy, ''Bujairimiy ‘ala al-Khathib,'' hlm. 47.
 
[49]Para ulama ''ushûl al-fiqh'' biasanya membagi hukum kepada dua bagian. ''Pertama'', hukum-hukum yang disyari’atkan Allah tanpa disertai ‘''illat'' hukumnya. Pada jenis ini, ''mukallaf''  hanya mampu menangkap hikmah--bukan ''‘illat''--yang ada dibalik hukum tersebut. Hukum ini biasa disebut dengan ''ahkâm ta’abbudiyah'' atau ''ghayr ma’qûlat al-ma’nâ.'' Sekedar contoh, jumlah rakaat shalat. Percuma saja jika mukallaf mau mencari dimensi rasionalitasnya, kenapa mesti dua rakaat, tiga rakaat dan tidak yang lain. Dengan perkataan lain, hukum jenis pertama ini merupakan hak prerogatif Tuhan. ''Kedua'', hukum yang disyari’atkan dengan disertai ''‘illat'' hukumnya. Dalam wacana ''ushûl al-fiqh'', hukum ini disebut ''ahkâm ta’aqquliyah'' atau ''ma’qûlat al-ma’nâ''. Bagian kedua ini, dengan nalar, mukallaf dapat menangkap alasan dari hukum ini. Secara lebih dalam baca, Abdul Wahab Khallaf, ''Ilmu Ushûl al-Fiqh'', (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah), 1956, hlm. 62; Ali Hasballah, ''Ushûl al-Tasyrî’ al-Islâmiy'', (Kairo: Dar al-Ma’arif), Tanpa Tahun, hlm. 145; Abu Ishaq al-Syathibiy, ''al-Muwâfaqât fiy Ushûl al-Syarî’ah'', (''Tahqiq'' Abdullah Daraz), Tanpa Tahun, Juz II, hlm. 238; Abu Hamid al-Ghazali, ''al-Mushtashfa min ‘Ilm al-Ushûl'', (Beirut: Dar al-Fikr), Tanpa Tahun, hlm. 250. Bahasan lengkap tentang ''ta’aqquliy'' dan ''ta’abbudiy'' ini dapat dibaca, Abd Moqsith Ghazali, ''Ta’aqquliy'' dan ''Ta’abbudiy:'' Formulasi Hukum dalam Ayat-Ayat al-Qur`an, dalam ''Majalah AULA'' PWNU Jawa Timur, No. 03/Tahun XXII Maret 2000, hlm. 64-74.  
 
[50]Yusuf Ali menterjemahkan ayat tersebut, “Bagi perempuan yang dicerai harus diberikan nafkah menurut kadar yang masuk akal. Ini adalah tugas bagi mereka yang takwa. [Lihat Abdullah Yusuf Ali, ''The Holy Qur`an: Text, Translation, and Commentary,'' Leicester: The Islamic Foundation, 1975, hlm. 63]. Al-Syinqithiy mengatakan bahwa ''mut’ah'' merupakan hak bagi setiap istri yang diceraikan, baik telah terjadi hubungan seksual maupun tidak; dan sebaliknya merupakan kewajiban bagi seorang suami yang takwa. [Lihat al-Syinqithiy, ''Adhwa` al-Bayan fiy Iydhah al-Qur`an bi al-Qur`an,'' Beirut: Alam al-Kutub, Tanpa Tahun, Juz I, hlm. 219]. Terkait dengat ayat tersebut, Muhammad Asad mengatakan bahwa ayat ini terkait dengan perempuan yang diceraikan tanpa ada kesalahan yang bisa dibenarkan menurut hukum. Sementara tentang besarnya nafkah yang harus ditanggung oleh suami tampaknya tidak ada ketentuan yang pasti. Dengan demikian, besar dan kecilnya nafkah dapat disesuaikan dengan kondisi perekonomian suami dan kondisi sosial waktu itu. Baca Muhammad Asad, ''The Message of the Quran,'' Gibraltar, 1980, hlm. 54.
 
[51]Al-Bujairimiy, ''Bujairimy ‘ala al-Khathib,'' hlm. 45. Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal bagi perempuan yang ditalak ''ba`in'' sementara ia tidak dalam keadaan hamil. Dalam hal ini, dapat dikelompokkan ke dalam tiga pendapat. ''Pertama'', pendapat ulama Kufah bahwa perempuan tersebut berhak mendapatkan nafkah dan tempat tinggal.  ''Kedua'', pendapat Ahmad, Dawud, Abu Tsawr, Ishaq bahwa perempuan tersebut tidak berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal. Pendapat ini didasarkan kepada hadits al-Dar Qutni bahwa nafkah dan tempat tinggal itu hanya bagi perempuan yang ditalak ''raj’i''. ''Ketiga'', pendapat yang dikemukakan oleh Malik, Syafi’ie bahwa perempuan tersebut hanya mendapat tempat tinggal tidak nafkah. Lihat Ibnu Rusyd, ''Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid,'' hlm. 76. Bandingkan Taqiyuddin al-Husainiy, ''Kifayah al-Akhyar fiy Hall Ghayah al-Ikhtishar,'' hlm. 132.
 
[52] Masdar F. Mas’udi, ''Ihdâd dan ‘iddah dalam Kehidupan Umat yang Berubah,'' hlm. 4.
 
[53]Menurut Imam Syafi’ie, ayat ini turun sebelum turunnya ayat-ayat tentang ''mawarits'' dalam Islam. Ayat ini juga telah ''di­nasakh'' oleh ayat 234 surat al-Baqarah dalam al-Qur`an. Baca Imam Syafi’ie, ''al-Umm,'' Juz 5'','' hlm. 238. Pertanyannya, kenapa ayat 234 me''nasakah'' ayat 240, padahal ayat yang menjelaskan tentang ''‘iddah'' 4 bulan 10 9 (ayat 234) hari lebih awal turun ketimbang ayat yang menjelaskan satu tahun. Dalam menjawab pertanyaan ini, al-Bujairimi menyatakan bahwa ayat 234 lebih belakangan turunnya (''mutaqaddimah al-nuzul''), dan lebih awal bacaannya (''mutaqaddimah al-tilawah'')''.'' Lihat al-Bujairimiy, ''Bujairimiy'' ''‘ala'' ''al-Khathib,'' Jilid 4, hlm. 37.  
 
[54]Baca Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' hlm. 185-201. Bandingkan dengan Lies Marcos Natsir, ''Haidl dan ‘Iddah: Sebuah Tinjauan Analisis Gender,'' Makalah disampaikan dalam diskusi tentang “Implikasi Transformasi Global terhadap Konsep ''‘iddah''”, Lis-Sakinah, Situbondo 27 Pebruari 1997, hlm. 3
 
[55]Secara etik-moral, tidak selayaknya bagi seorang suami yang baru ditinggal mati oleh istrinya untuk melangsungkan pernikahan dengan perempuan lain. Dalam kaitan ini, terus terang, fiqh yang memberikan perkenan bagi seorang laki-laki untuk nikah dengan perempuan lain tatkala istrinya baru meninggal, adalah fiqh patriarkhal yang kurang mempertimbangkan ukuran-ukuran etik-moral. Dilihat dengan mata curiga, fiqh seperti itu menunjukkan adanya arogansi kelelakian.  
 
[56]Hadits ini dapat dibaca dalam Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, ''Bulugh al-Maram,'' Semarang: Thaha Putera, 1982, hlm. 321.
 
[57]Dalam Islam, perceraian diperbolehkan karena pernikahan dianggap sebagai sebuah kontrak, yang dapat diputuskan baik karena kehendak keduanya atau karena kemauan salah satu pihak darinya. Dengan menganggap pernikahan sebagai sebuah kontrak, maka perceraian menjadi sebuah konsep yang alamiah terjadi, walaupun dalam praktiknya seringkali disalahgunakan oleh pihak yang lebih kuat, yang dalam masyarakat patriarkhal pihak yang kuat itu adalah laki-laki. Karena itu, perempuan juga mempunyai hak cerai, yang dikenal dengan istilah ''khulu’.'' Lihat Asghar Ali Engineer, ''Hak-Hak Perempuan dalam Islam,'' hlm. 185.
 
[58]Al-Syinqithiy, ''Adhwa` al-Bayan fiy Iydhah al-Qur`an bi al-Qur`an,'' hlm. 219.
 
[59]Al-Qur`an (65:2) yang artinya, “apabila mereka telah mendekati akhir ''‘iddah''nya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah.”.