Dinamika Diskursus Feminisme dan Kehadiran Ulama Perempuan

Istilah Feminisme memang tidaklah akrab di telinga masyarakat muslim. Mengingat selama ini konsep “Feminisme” dipandang untuk menyebut sebuah gerakan yang berasal dari Barat; dalam perkembangan era industri. Celakanya, di masyarakat banyak berkembang dikotomi yang mempertentangkan antara Barat versus Timur, Barat versus Islam, dan sebagainya. Namun, Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dua orang Feminis dari Asia Selatan mendefinisikan Feminisme sebagai “suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk mengubah keadaan tersebut” (Kamla dan Nighat, 1995:5). Dari definisi tersebut, 3 ciri utama feminisme adalah: a) menyadari adanya ketidakadilan gender di masyarakat maupun di keluarga, antara lain dalam bentuk penindasan dan pemerasan terhadap perempuan; (b) memaknai gender bukan sebagai sifat kodrati melainkan sebagai hasil proses sosialisasi; (c) memperjuangkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Di Indonesia, diskursus mengenai Feminisme sendiri baru marak di era 90-an, kala seorang Mansour Fakih memperkenalkan sebuah terminologi yang bernama “gender”, melalui bukunya Analisis Gender dan Transformasi Sosial.  Saat itu, berbagai organisasi masyarakat juga memperkenalkan isu tentang hak-hak perempuan dengan menghadirkan beberapa feminis muslim dunia seperti Asghar Ali Engineer, Riffat Hassan, Fatima Mernissi dan sebagainya. Pasca itu, kalangan pesantren dan aktivis gerakan perempuan Islam mulai akrab dengan wacana seputar Islam, gender dan hak-hak perempuan. Selain pendekatan ‘kritis’ dalam melihat ketimpangan relasi gender (relasi antara laki-laki dan perempuan dalam khazanah dunia Islam), salah satu poin penting dengan diperkenalkannya perspektif gender adalah pentingnya melihat persoalan dari perspektif perempuan sendiri. Dalam konteks dimana wacana agama ‘didominasi’ oleh laki-laki dan hanya ‘melibatkan perempuan’ sebagai objek semata; sudah saatnya pendekatan itu digeser dengan melihat persoalan dari perspektif dan pengalaman hidup perempuan itu sendiri. Oleh karenanya, perdebatan mengenai isu-isu seperti mahram, pernikahan anak, marital rape, kepemimpinan dalam keluarga, khitan perempuan, dan lain-lain tidak hanya perlu didekati dengan pendekatan teks semata. Namun perlu juga dianalisis konteksnya dan direfleksikan dengan pengalaman keseharian perempuan yang dalam banyak hal rentan menjadi korban.

Istilah “ulama perempuan” sendiri, memang diperkenalkan dalam rangka me-reclaim (merebut kembali) makna ulama yang sejatinya netral gender. Bila selama ini masyarakat yang dalam konteks dominasi budaya patriarkhi hanya mengenal ‘ulama’ sebagai sosok laki-laki bersorban, memiliki otoritas untuk menyampaikan fatwa keagamaan dengan merujuk pada setumpuk ‘Kitab Kuning’; kita juga diajak untuk melihat adakah sosok ulama perempuan? Fakta bahwa Rabiah al-Adawiyah adalah seorang perempuan yang menjadi Sufi Master di kalangan para sufi, Aisyah istri Rasulullah SAW. juga periwayat ribuan hadis yang kapasitasnya tidak diragukan lagi sehingga Nabi bersabda, “Ambillah separuh pengetahuan agamamu dari Sang Humairah”, hadirnya kitab “Parukunan Djamaluddin” di Banjarmasin Kalimantan Selatan yang diyakini banyak pihak sebenarnya merupakan “Parukunan Fathimah” murid Syekh Al Arsyad al-Banjari, merupakan beragam upaya untuk menghadirkan “her story” (cerita perempuan) yang oleh sejarah banyak ditinggalkan.

Beragam kesadaran inilah yang membuat Rahima sebuah lembaga yang concern pada isu Islam dan hak-hak Perempuan yang telah merancang dengan sadar hadirnya ulama-ulama perempuan, Fahmina sebuah lembaga yang concern pada demokratisasi di pesantren yang tentunya juga meniscayakan kehadiran aktor-aktor perubahan sosial perempuan maupun perspektif gender di kalangan pesantren, serta Alimat sebuah jejaring individu dan individu berbasis organisasi yang concern pada hadirnya relasi yang adil dan setara dalam Keluarga Indonesia. Ketiga lembaga tersebut menggandeng banyak pihak untuk menyelenggarakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) sebagai sebuah wadah atau sarana konsolidasi dan berbagi pengetahuan maupun inspirasi gerakan sosial di kalangan ulama perempuan yang memiliki mandat sebagai waratsat al-anbiya’, untuk menghapuskan kemiskinan, kebodohan dan beragam bentuk ketidakadilan.  Acara pertemuan KUPI (Kongres Perempuan Ulama Indonesia) 25-27 April 2017 yang akan datang, akan menjadi sebuah momentum bersama untuk menghadirkan upaya perubahan sosial berbasis pengetahuan dan pengalaman keseharian menuju kehidupan yang damai, adil, sejahtera dan nir kekerasan.


30 Maret 2017

(Sumber: https://www.freakmagz.com/blog/2017/3/30/dinamika-diskursus-feminisme-dan-kehadiran-ulama-perempuan)


Penulis: AD Kusumaningtyas (Staf Badan Pelaksana Rahima/Div. Pokja Pro Kongres KUPI)