Aizzah Amin

Ummi Aizzah adalah pelopor pendidikan di Bangsri Jepara. Ia merupakan orang pertama yang bertekad mendirikan sekolah menengah di tanah kelahirannya. Bermodal semangat juang yang tinggi, bersama suami –Kiai Amin Soleh, sejak tahun 1967 hingga saat ini ia menghabiskan waktunya untuk memperjuangkan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.

Aizzah Amin
AizzahAmin.jpg
Tempat, Tgl. LahirBangsri, 14 Agustus 1940
Aktivitas Utama
  • Pengasuh Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari, Bangsri Jepara
Karya Utama
  • . . .
  • . . .

Aizzah menjadi tuan rumah dalam perhelatan Kongres Ulama Perempuan Indonesia kedua. Dalam jajaran kepanitiaan, pengasuh pondok pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri itu diamanahi menjadi dewan pengawas. Pada pembukaan acara KUPI, ia mendapat kehormatan untuk membuka acara dengan memimpin pembacaan hadoroh (tawasul). Di sela-sela waktu istirahat selama acara, Ummi Aizzah aktif menemani dan menjadi tamu-tamu VIP. Kediamannya juga menjadi salah satu tempat penginapan.

Ummi Aizzah menyambut baik ketika pertama kali mendengar pesantrennya akan dijadikan tempat pelaksanaan acara KUPI II. Meski beberapa tema pembahasannya dianggap sensitif dalam kultur pesantren –seperti tema Pelukaan dan Pemotongan Genetalia Perempuan, istri Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah itu tetap antuias menyambutnya. Aizzah meyakini seluruh tema yang akan dibahas dalam acara tersebut adalah tema-tema yang memang krusial dan dibutuhkan banyak orang. Menurutnya, peserta yang terlibat juga merupakan orang-orang yang memang expert di bidangnya masing-masing. Ia yakin keputusan yang dihasilkan akan bermanfaat secara luas, khususnya bagi perempuan.

Riwayat Hidup

Nama aslinya adalah Azizah. Berubah menjadi Aizzah sebab memiliki kesamaan nama dengan mertuanya sendiri. Ia akrab dipanggil Ummi oleh anak, masyarakat dan para santri. Lahir di Bangsri pada bulan Agustus tahun 1940. Putri dari pasangan H. Harun Syakur dan Hj. Rofiah itu menyelesaikan pendidikan dasarnya di SD Negeri Bangsri. Dan melanjutkan pendidikan menengahnya di SMP Negeri Jepara.

Di tahun kedua pendidikannya di SMP Negeri Jepara, Aizzah dijodohkan dengan putra Kiai Soleh Pati, yakni Kiai Amin. Sebagai calon menantu keluarga darah biru yang kental dengan kultur agama, Aizzah kemudian diminta untuk pindah ke sekolah Muallimat Nahdlatul Muslimat Kauman Surakarta. Permintaan itu didasarkan karena pergaulan di sekolah negeri yang lebih terbuka dan bebas dibandingkan sekolah di pesantren. Sebagaimana lumrahnya sekolah negeri di luar pesantren, peserta didik di SMP Negeri Jepara berbaur antara siswa laki-laki dan perempuan. Selain itu, materi pelajaran yang diajarkan juga murni pendidikan umum tanpa ada materi pendidikan agama.

Di sekolah Muallimat Nahdlatul Muslimat Surakarta itu, Ummi Aizzah harus mengulang pendidikannya dari kelas dua karena perlu mengejar pelajaran agama yang tertinggal dan tidak dipelajari di sekolah sebelumnya. Ummi Aizzah baru lulus di tahun 1955. Setelah lulus pendidikan menengah pertama, ia langsung melanjutkan pendidikan menengah atasnya di tempat yang sama, di Surakarta. Dua tahun berjalan, tepatnya pada tahun 1957 Ummi Aizzah dinikahkan dengan Kiai Amin Soleh sebelum lulus sekolah.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Aizzah adalah tipikal perempuan pejuang tanpa pamrih. Lumrahnya sepasang suami-istri yang baru membangun rumah tangga, kondisi ekonominya masih belum stabil dan serba kekurangan. Namun demikian, Aizzah tidak pernah menuntut lebih kepada suaminya. Ia menerima dengan lapang dada meski diminta membantu mengajar tanpa dibayar. Ia selalu mendampingi dan membantu Kiai Amin Soleh mengajar dari masjid ke masjid dan teras ke teras.

Kondisi ekonomi Bangsri yang terpuruk membuat banyak masyarakat Bangsri tidak mampu menyekolahkan putra-putrinya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Rata-rata pendidikan anak pada saat itu hanya sampai lulus sekolah dasar. Selepas itu kebanyakan diantara mereka bekerja sebagai buruh tani atau pedagang. Sebagian diantaranya dinikahkan di usia dini. Mayoritas masyarakatnya berasal dari kelas menengah ke bawah. Sumber penghasilan rata-rata penduduknya adalah bertani. Itu pun hanya sebagai buruh tani. Jauh dari kata cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok hidup.

Melihat kondisi ekonomi dan pendidikan masyarakat Bangsri yang begitu memprihatinkan, keduanya berinisatif untuk mendirikan sekolah menengah pertama di kawasan Utara Kabupaten Jepara itu. Pada tahun 1957, keduanya memulai merintis sekolah Muallimin dan Muallimat dengan sistem pendidikan seadanya. Fasilitas pendidikan juga masih tidak ada. Kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di emperan masjid dan di rumah-rumah kerabat Aizzah.

Failitas pendidikan yang sangat minim membuat Aizzah dan suami terpaksa menyekat rumah pribadinya untuk dijadikan sebagai tempat penginapan santri putri. Ia rela berbagi rumah yang terbilang sempit untuk meminimalisir biaya operasional ketimbang harus membangun atau menyewa tempat di lokasi lain. Sedangkan untuk penginapan santri putra, ia memanfaatkan rumah pamannya yang cukup besar.

Tidak ada guru lain selain keduanya. Kiai Amin Soleh mengajar santri putra. Sementara Ummi Aizzah mengajar peserta didik putri. Sebagai seorang yang memiliki background pendidikan sekolah umum, kapasitas keilmuan Aizzah lebih menonjol di bidang ilmu-ilmu umum seperti matematika dan geografi, ketimbang wawasan keagamaannya. Maka untuk mengajar di pagi hari, ia belajar terlebih dahulu kepada suaminya di waktu malam. Cara seperti itu rutin ia lakukan setiap malam sebelum mendapatkan guru pembantu yang rela mengajar tanpa dibayar.

Karena memang keluarga wali murid berasal dari kalangan menengah ke bawah, keduanya tidak memungut biaya pendidikan dari peserta didik. Semua biaya pendidikan gratis dan ditanggung mereka berdua. Untuk mencukupi biaya operasional pendidikan, Ummi Aizzah bekerja sebagai penjahit dan tukang bordir kain. Ia memanfaatkan repihan kain untuk dijadikan sarung tangan lalu menjualnya ke took-toko dan para pemain drumband. Ia juga menjual kembang sebagai pemasukan tambahan untuk menutupi kekurangan biaya.

Di tahun-tahun berikutnya, kepercayaan masyarkaat terhadap sekolah yang ia dirikan semakin meningkat. Perkembangan dan manfaatnya mulai dirasakan banyak kalangan. Hingga pada tahun 1967 Ummi Aizzah bersama Kiai Amin Soleh mendirikan pesantren yang diberi nama Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari. Pesantren ini didirikan sebagai upaya penguatan materi keagamaan bagi peserta didik. Tujuan lainnya juga agar siswa yang tinggal cukup jauh tidak perlu pulang pergi setiap hari untuk sekolah. Mereka bisa bermukim di dalam pesantren.

Pengalaman bertahun-tahun memperjuangkan pendidikan di Bangsri ini lah yang menjadi cikal bakal pernjumpaannya dengan isu pemberdayaan perempuan. Meski tidak masuk langsung dalam komunitas atau organinsasi tertentu yang memang concern terhadap isu perempuan, perhatiannya bisa dilihat dari lingkungan keluarga dan aktivitas kesehariannya. Mendirikan madrasah Muallimat adalah salah satu bukti konkret perhatiannya kepada pemberdayaan perempuan. Di angkatan pertama madrasah Muallimat yang didirikan, jumlah siswi yang berhasil ia sekolahkan hamper mencapai separuh dari jumlah siswa laki-laki. Enam berbanding empat belas.

Dalam tradisi atau budaya keluarga pesantren ada pandangan negative tentang anak perempuan yang berkiprah di luar. Namun tidak dengan Ummi Aizzah. Ia tidak pernah mempermasalahkan anak atau menantu perempuannya untuk berkiprah di luar. Sebut saja puteri pertamanya, Luluk Amnah Fitriati yang menjadi dosen di IKIP Semarang dan Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini. Contoh lain misalkan menantunya, Hindun Anisah yang menjadi staf khusus Menteri Ketenaga Kerjaan Republik Indonesia.

Ummi Aizzah memberikan akses pendidikan yang sama kepada tujuh anaknya tanpa membedakan jenis kelamin. Semuanya didorong untuk menyelesaikan pendidikan hingga tamat kuliah. Meski mendapat banyak cibiran dari masyarakat tentang putra-putrinya yang sekolah di luar pesantren, Ummi Aizzah tetap mendukung dan memberikan kebebasan kepada semua anaknya. Baginya, pendidikan agama untuk anak-anaknya sudah selesai diajarkan oleh santri senior yang dianggap mempuni. Putra-putrinya juga diajarkan langsung oleh Kiai Amin Soleh. Sehingga meskipun menempuh pendidikan di luar, ia yakin putra-putrinya tidak kalah dengan orang seumuran mereka yang sekolah di pesantren.

Cara mendidik tanpa membedakan jenis kelamin seperti yang diberikan kepada anak-anaknya juga diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar di marasah dan pesantren yang ia dirikan. Aizzah memberikan akses dan hak yang sama antara siswa laki-laki dan perempuan di berbagai bidang. Itu sebabnya pondok pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri dikenal sebagai pesantren yang berbasis kesetaraan gender. Dan hal itu pula yang menjadi pertimbangan pondok diriannya bersama suami dipilih sebagai tuan rumah perhelatan acara Kongres Ulama Perempuan Indonesia II.

Selain aktif di sektor pendidikan, sebagai orang yang besar di lingkungan keluarga NU, ditambah menjadi istri Rais Syuriah PWNU Jawa Tengah, Ummi Aizzah juga aktif berperan di sektor sosial keagamaan. Ia menjadi inisiator kegiatan-kegiatan pemberdayaan muslimat dan ibu rumah tangga di Bangsri. Diantaranya, ia menginisiasi pengajian al-Qur’an yang awalnya diikuti oleh sekitar 30 orang hingga kini berjumlah ratusan muslimat dan ibu rumah tangga. Perkumpulan yang dimulai sejak awal tahun 1960-an itu dilakukan setiap hari Jum’at dengan system anjang sana atau idaroh (berpindah dari satu rumah ke rumah lain).

Ia juga mempelopori pengajian rutinan yang diadakan setiap tanggal 12 bulan hijriah atau yang ia sebut sebagai pengajian rolasan. Dalam perkumpulan yang diikuti oleh sekitar 2.000-an perempuan Bangsri itu, selain diisi dengan pembacaan selawat Nabi, Ummi Aizzah juga menyelingi dengan materi dasar-dasar ilmu agama yang dibutuhkan sehari-hari, seperti tata cara salat, akidah ahlussunnah wal jamaah dan ilmu-ilmua agama Islam lainnya. Melalui pengajian rutinan yang diadakan tiap bulan, mantan ketua muslimat MWC NU Bangsri itu berharap bisa membentengi keyakinan dan ajaran muslimat Bangsri. Perkumpulan ini mulai ia pelopori sejak tahun 1980-an hingga diliburkan sementar saat pandemi COVID-19 lalu.

Karya-karya

  • Madrasah Tsanawiyah Hasyim Asy’ari
  • Madrasah Aliyah Hasyim Asy’ari
  • Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari

Daftar Bacaan Lanjutan


Penulis : Syahru A'dhom
Editor :
Reviewer :