Nihayatul Wafiroh

Revisi per 1 Juli 2023 03.39 oleh Agus Munawir (bicara | kontrib) (←Membuat halaman berisi '{{Infobox person|name=Nihayatul Wafiroh|birth_date=Banyuwangi, 15 Desember 1979|image=Berkas:LogKupipedia (1).png|imagesize=220px|known for=*Genealogy of Islamic Fatay...')
(beda) ← Revisi sebelumnya | Revisi terkini (beda) | Revisi selanjutnya → (beda)

Nihayatul Wafiroh, lahir di Banyuwangi pada tanggal 15 Desember 1979 adalah aktivis, dosen, dan ulama perempuan. Ning Niek atau Mbak Ninik—demikian ia akrab disapa—adalah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Selain vokal dalam menyuarakan kesetaraan perempuan di ruang legislatif, Ning Niek juga berjuang menghidupkan majelis taklim  di sektor akar rumput. Figur energik yang sudah melahirkan 3 buah hati ini tercatat sebagai dosen Institut Agama Islam Darussalam, dosen Universitas Nahdlatul Ulama (UNU), Wakil Ketua Komisi IX DPR RI (2019-2022), Anggota Tim Pengawasan TKI DPR RI (2019-sekarang), dan Anggota Pemindahan Ibu Kota DPR RI (2015-sekarang). Sebelumnya, Ning Niek pernah berkiprah di DPR RI  sebagai Wakil Ketua Komisi II (2018-2019), Anggota Komisi IX DPR RI (2014-2018), Anggota Badan Legislasi DPR RI (2016-2018), Anggota BKSAP DPR RI (2014-2016),  Wakil Sekretaris KPPRI DPR RI (2014-2019),  GOPAC DPR RI (2015), Green Economic Caucus DPR RI (2015), Consultant Final Women View Report Search For Common Ground (SFCG) pada September-Oktober 2012, Temporary Program Officer in SILE/LLD Canadian International Development Agency (CIDA)  pada tahun 2012-2013, Program Manager  pada Association for Community Empowerment (ACE) pada tahun 2011-2012, Program Executive  pada Globethics.net (2010-2011), Teaching Assistant di University of Hawaii sebagai Manoa (2008), dan pengajar Pondok Pesantren Darussalam (2004-2010).

Nihayatul Wafiroh
LogKupipedia (1).png
Tempat, Tgl. LahirBanyuwangi, 15 Desember 1979
Aktivitas Utama
  • Anggota DPR RI Periode 2019-2024 dari Partai Kebangkitan Bangsa untuk Jawa Timur III.
  • Dosen Institut Agama Islam Darussalam (2004-sekarang)
  • Dosen Universitas Nahdlatul Ulama (2019-sekarang)
  • Anggota Tim Pengawasan TKI DPR RI (2019-sekarang)
  • Anggota Pemindahan Ibu Kota DPR RI (2015-sekarang)
Karya Utama
  • Genealogy of Islamic Fatayat Politics in the Era of Soekarno and Soeharto: a Feminist Studies on Organizational History (jurnal) & Pesantren, Women Agency and Arranged Marriages in Indonesia (jurnal)

Riwayat Hidup

Nihayatul tumbuh dalam tradisi pesantren yang kuat. Ia tumbuh dalam lingkungan pesantren terbesar di Kota Banyuwangi, Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung. Hidup dengan penuh pelayanan, itulah yang ia rasakan. Namun hal ini tidak serta merta membuatnya menjadi sosok yang menggantungkan orang lain. Bahkan ketika dewasa, ia mulai keluar dari zona nyaman karena menempuh pendidikan di luar negeri. Adaptasi, adalah satu kata yang ia jadikan sebagai upaya untuk mampu bertahan dalam perjuangan sebagai musafir ilmu.

Ia mengenyam pendidikan di SD  Darussalam (Blokagung) dan melanjutkan pendidikan di MTs Al-Amiriyah (Blokagung). Setelah menamatkan pendidikan MTs dengan gemilang, ia melanjutkan pendidikan di MA Al-Amiriyah, Blokagung. Pasca dinyatakan lulus dari MA, perempuan yang memiliki minat belajar akademik ini dinikahkan dengan lelaki pilihan keluarga. Demi bakti kepada kedua orang tua, Nihayatul yang masih belia ikhlas menerima perjodohan dengan syarat. Syarat yang ia ajukan adalah ia harus diberi ijin untuk melanjutkan pengembaraan ilmiah. Syarat ini pun disetujui oleh pihak keluarga. Dengan demikian, Nihayatul merupakan cucu perempuan pertama yang menempuh pendidikan tinggi. Antara merasa bimbang dan bungah, perempuan dengan gaya bicara lugas ini pun melanjutkan studi S1 di IAIN, Sunan Kalijaga Yogyakarta pada jurusan tafsir hadis.

Perjalanan pengembaraan di dunia akademik meluaskan cakrawala dan menjernihkan pikiran. Hingga ketika perkawinan goncang, ia memutuskan untuk menyelesaikan pernikahan. Beruntung, kedua orang tua memberikan dukungan dan memahami keputusannya.  Titik ini adalah titik tolak pemikiran kritis Nihayatul dalam hal kesetaraan dan keadilan gender. Berkaca pada medan pengalamannya sebagai seorang perempuan, ia mulai tertarik terhadap isu-isu yang berkaitan dengan perjuangan keseteraan dan keadilan hakiki. Meski separuh sayapnya terluka, ia tetap melanjutkan perjalanan dengan tabah dan gigih. Selepas menyelesaikan pendidikan di IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga), Nihayatul melanjutkan pendidikan S2 di  Universitas of Hawai, Moana pada fokus kajian Amerika Asian Studies. Bahkan, Nihayatul juga melanjutkan studi S3 di ICRS UGM Yogyakarta. Disertasinya yang berjudul, “Women’s Agency in Arranged Marriages Within The Context of Pesantrean” mengantarkannya meraih gelar doktor.

Tokoh dan Keulamaan Perempuan

Selain beraktivitas di panggung legislasi, pesantren, kampus, dan organisasi, Nihayatul vokal menyampaikan fatwa, nilai dasar, dan gagasan KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) kepada rekan sejawat. Ia juga menginisiasi Community Library PP Darussalam untuk membangkitkan geliat literasi akar rumput.  Dengan argumentatif dan berani, Nihayatul menepis anggapan bahwa perempuan adalah makhluk kedua yang dilekati subordinat. Ia juga menepis tuduhan bahwa perjuangan KUPI ditunggangi oleh kepentingan ‘asing.’ Bagi Bu legislator perempuan yang tegas ini, perjuangan kesetaraan adalah bagian dari jihad fi sabilillah. Dalam rangka menjaga marwah kemanusiaan disabilitas, Nihayatul juga berkiprah sebagai Ketua Bidang Kesehatan dan Inklusi Disabilitas DPP PKB. Meski berada di puncak pengambil kebijakan publik, ia juga masih meluangkan waktu untuk berjuang dalam barisan Pimpinan Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama sebagai Wakil Koodinator Bidang Hukum, Politik dan Advokasi. Dalam setiap kesempatan bergerak di akar rumput, peraih legislator terbaik, panggung Indonesia ini menyempatkan untuk melakukan psiko-edukasi mengenai kesehatan reproduksi pada perempuan.

Sejak belia, Nihayatul tergerak melakukan pengabdian kepada umat melalui berbagai organisasi dan inisiasi. Ia tak ragu memulai langkah demi mencerdaskan masyarakat di sekitar pesantren. Hal ini terbukti dengan langkah nyata mendirikan pengajian ‘Jami’atul Khoiriyah’ bagi remaja putri di sekitar Pondok Pesantren Darussalam, Blokagung, Banyuwangi. Sejak tahun 1994, pengajian khusus untuk remaja putri ini mampu menghidupkan napas pendidikan dirasah islamiyah di luar pesantren. Tidak hanya itu, Nihayatul juga mendirikan Pimpinan Anak Cabang Fatayat Nahdlatul Ulama Tegalsari pada tahun 2004. Pada waktu itu, Kecamatan tempatnya tinggal melakukan pemekaran wilayah, sehingga belum ada Pimpinan Anak Cabang Fatayat di Tegalsari. Oleh karena itu, ia menguatkan gerakan Fatayat dari akar rumput. Ia berjuang melakukan edukasi dan memaparkan gagasan tentang kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan.

Setelah menyelesaikan S3, Nihayatul kembali berkhidmah pada Fatayat. Perjalanan hingga menjadi legislator sebenarnya bukanlah impian utama Nihayatul. Beberapa kali, beliau menolak pinangan untuk dijadikan calon legislatif. Pada waktu itu, ia masih berada di Amerika. Namun ternyata, jalan legislasi adalah perjalanan yang harus ia tempuh. Menyadari bahwa kebijakan harus diambil sesuai dengan suara akar rumput, ia pun melangkah maju saat dicalonkan sebagai wakil dari Fraksi PKB. “Politik itu seperti sandwich, jadi sandwich itu tidak bisa menjadi sandwich  bila di bawahnya tidak ada roti dan di atasnya tidak ada daging. Selama ini kita sudah melakukan pergerakan dari bawah, namun pengambil kebijakan tidak paham akan kebutuhan masyarakat, sehingga harus ada orang yang baik dan mampu untuk ikut mengambil kebijakan,” ujar Nihayatul memaparkan faktor yang mendorong dirinya berjuang di jalur legislatif. Tidak mudah bagi dirinya untuk bernegoisasi dengan diri agar mantap dalam berjuang di jalur legislatif. Namun memahami realitas bahwa pengambil kebijakan publik sering mengesampingkan suara akar rumput mendorongnya untuk berjuang di gedung legislatif. Pada waktu itu dengan tanpa modal rupiah, Nihayatul meniatkan diri untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Berbekal niat ikhlas, ia pun terpilih dengan suara paling banyak di delapan dapil (daerah pemilihan).

Saat banyak anggota dewan perempuan dipertanyakan kualitas kepemimpinan dan kapasitas dirinya, Nihayatul dengan tegas menyuarakan kesetaraan. “Kamu mempertanyakan kinerja anggota dewan perempuan, tapi kenapa kamu tidak mempertanyakan kualitas kinerja anggota dewan laki-laki?” Sebagai salah satu perempuan yang duduk di meja legislatif, ia memiliki harapan bahwa fatwa KUPI akan mempengaruhi keputusan parlemen. Ketika terdengar suara anggota legislatif memandang remeh ulama perempuan, Nihayatul mengungkapkan bahwa fatwa KUPI merupakan salah satu inisiator RUU TPKS yang sekarang masuk prolegnas kembali. Dalam berbagai kesempatan, Nihayatul memberikan pemaparan bahwa fatwa KUPI bukanlah pesanan dari kaum liberal sebagaimana persepsi beberapa pihak. Ia menegaskan bahwa KUPI berangkat dari hak dasar sebagai manusia. Kini, ia masih ingin memperjuangkan hak dan mengupayakan kesempatan kemandirian ekonomi bagi perempuan.  

Perjuangan yang ia pertahankan selalu senapas dengan gerakan organisasi Fatayat Nahdlatul Ulama. Tidak hanya melulu pada kegiatan keagamaan, Nihayatul juga mendirikan perpustakaan komunitas untuk menggairahkan literasi dengan menyalakan ‘pemantik’ di lingkungan terdekat. Tidak hanya menggairahkan spirit membaca, Nihayatul juga menginisiasi berdirinya kegiatan kepenulisan di Pondok Pesantren Darussalam. Baginya, pesantren harus lekat dengan tradisi menulis.

Dalam hal kepedulian terhadap hak-hak perempuan, Nihayatul berkiprah dalam beragam kegiatan nir laba. Pada tahun 2003, ia menjadi inisiator diskusi tentang gender di wilayah pondok pesantren di Banyuwangi. Hasil diskusi tidak sekedar menjadi catatan hampa. Dengan penuh inisiatif dan rasa tanggung jawa terhadap kelangsungan kesehatan reproduksi kaum perempuan, ia kembali hadir untuk menginisiasi advokasi PKRS (Pendidikan Kesehatan Reproduksi dan Seksualitas) untuk pendidikan madrasah di Kabupaten Banyuwangi. Didukung dengan kepiawaian akademik dan keagamaan, Nihayatul secara kreatif memunculkan ide-ide untuk pemberdayaan pesantren dan perempuan. Hal ini dibuktikan dengan komitmen kuat untuk menginisiasi pendidikan pesantren inklusif (2012).

Sebagai ulama perempuan sekaligus pengasuh pesantren, Nihayatul Wafiroh tegar untuk memulai langkah dalam perjuangan mengampanyekan kesehatan reproduksi. Bahkan, dengan telaten ia menginisiasi diskusi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas di Pondok Pesantren Darussalam. Langkah inspiratifnya pun mampu menghadirkan pandangan yang lebih jernih di mata perempuan dan santri putri. Sehingga, wacana mengenai pentingnya belajar mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas menepis anggapan bahwa tabu membincangkan keduanya.

Penghargaan/Prestasi:

Nihayatul Wafiroh pernah mendapatkan penghargaan sebagai Legislator Terbaik, Panggung Indonesia pada tahun 2018. Selain itu, ia juga pernah dinobatkan sebagai wisudawati tercepat dari Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga pada tahun 2004, peraih beasiswa untuk Master dari International Fellowship Program (IFP) pada tahun 2005-2009, dan peraih travel award dari Star Foundation Asian Student Department, University of Hawaii, at Manoa (2007). Dalam hal penulisan karya ilmiah, Nihayatul Wafiroh juga menerima anugrah The Best Paper for Master Degree 20th Annual Graduate Students Conference School of Pacific and Asian Studies, University of Hawaii at Manoa.

Karya-Karya:

  1. Genealogy of Islamic Fatayat Politics in the Era of Soekarno and Soeharto: a Feminist Studies on Organizational History di dalam Jurnal Perempuan Vol 19, No 3 (2014): 2014 Presidential Election, Religion & Status of Women, diterbitkan Yayasan Jurnal Perempuan.
  2. Pesantren, Women Agency and Arranged Marriages in Indonesia di dalam jurnal DINIKA: Academic Journal of Islamic Studies Vol 3, No 2 (2018): Islam and Politics, diterbitkan IAIN Surakarta.

Daftar Bacaan Lanjutan:

https://id.wikipedia.org/wiki/Nihayatul_Wafiroh


Penulis : Nurul Lathiffah
Editor :
Reviewer :