Wawan Gunawan: Perbedaan revisi
(←Membuat halaman berisi '{{Infobox person|name=Wawan Gunawan|birth_date=|image=Berkas:NO PHOTO.jpg|imagesize=220px|known for=* * *|occupation=* * *}}'''Wawan Gunawan''' yang bernama lengkap Wa...') |
|||
(1 revisi antara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 1: | Baris 1: | ||
{{Infobox person|name=Wawan Gunawan|birth_date=|image=Berkas: | {{Infobox person|name=Wawan Gunawan|birth_date=Garut, 8 Desember 1965|image=Berkas:Wawan Gunawan.jpeg|imagesize=220px|known for=*Aura Misoginis Versus Gairah Yang Berkesopanan: Membincangkan Kembali Khitan Perempuan (2017) | ||
* | *Fikih Kebinekaan; Pandangan Islam Indonesia tentang umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non Muslim (2014) | ||
*|occupation=* | *Posisi Ushul Fikih dalam Metodologi Ekonomi Islam (2014) | ||
* | *Pandangan Majelis Tarjih Dan Tajdid Muhammadiyah Tentang Nikah Sirri Dan Itsbat Nikah: Analisis Maqashid Asy-Yari’Ah (2013) | ||
*Membaca Kepemimpinan Perempuan Dalam RUU Kesetaraan Dan Keadilan Gender Dengan Perspektif Muhammadiyah (2012) | |||
*Kepemimpinan Perempuan Dalam Kajian Majelis Tarjih Muhammadiyah (Telaah Analisis Gender) (2004) | |||
*Perilaku Homoseks Dalam Pandangan Hukum Islam (2003) | |||
*Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah (Telaah atas Buku Adab al-Mar’ah fi al-Islam).|occupation=*Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta | |||
*Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah}}'''Wawan Gunawan''' yang bernama lengkap Wawan Gunawan Abdul Wahid berasal dari tanah Sunda. Ia lahir pada tanggal 8 Desember 1965. Ia adalah dosen tetap di Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, mengajar mata kuliah Hadis Ahkam, Hukum Islam, Analisis Gender, dan Studi Perbandingan Mazhab. Ia juga menjabat sebagai pengurus Majelis Tarjih dan Tajdid di Pimpinan Pusat Muhammadiyah. | |||
Kang Wawan terlibat dalam halaqah pra-Kongres [[Ulama Perempuan]] Indonesia ([[KUPI]]) tahun 2017, salah satunya halaqah metodologi sikap dan pandangan keagamaan KUPI. Pada saat perhelatan kongres, ia terlibat aktif di dalam musyawarah keagamaan mengenai pernikahan anak. | Kang Wawan terlibat dalam halaqah pra-Kongres [[Ulama Perempuan]] Indonesia ([[KUPI]]) tahun 2017, salah satunya halaqah metodologi sikap dan pandangan keagamaan KUPI. Pada saat perhelatan kongres, ia terlibat aktif di dalam musyawarah keagamaan mengenai pernikahan anak. | ||
Baris 10: | Baris 14: | ||
Kang Wawan, demikian ia biasa dikenal, terlahir dari keluarga Nahdliyin. Ia menempuh Studi S1 jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, dan melanjutkan ke jenjang magister di kampus yang sama dengan mengambil jurusan Hukum Islam. Selain pendidikan formal, ia juga mengenyam pendidikan keislaman di Pondok Pesantren Darul Arqam Garut, Jawa Barat. | Kang Wawan, demikian ia biasa dikenal, terlahir dari keluarga Nahdliyin. Ia menempuh Studi S1 jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, dan melanjutkan ke jenjang magister di kampus yang sama dengan mengambil jurusan Hukum Islam. Selain pendidikan formal, ia juga mengenyam pendidikan keislaman di Pondok Pesantren Darul Arqam Garut, Jawa Barat. | ||
Bagi warga persyarikatan Muhammadiyah, Kang Wawan bukanlah sosok yang asing. Ia merupakan salah satu cendekiawan Muslim yang dikenal memiliki penguasaan yang sangat baik terhadap [[khazanah]] Islam klasik dengan perspektif kekinian. Kecakapan dan kefaqihan Kang Wawan mengenai kitab-kitab kuning maupun putih mengantarkannya pada posisi strategis dalam melakukan ijtihad berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer. | Bagi warga persyarikatan Muhammadiyah, Kang Wawan bukanlah sosok yang asing. Ia merupakan salah satu cendekiawan Muslim yang dikenal memiliki penguasaan yang sangat baik terhadap [[khazanah]] Islam klasik dengan perspektif kekinian. Kecakapan dan kefaqihan Kang Wawan mengenai kitab-kitab kuning maupun putih mengantarkannya pada posisi strategis dalam melakukan [[ijtihad]] berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer. | ||
Selain sebagai dosen, Kang Wawan juga dikenal sebagai pendakwah dan penulis. Ia adalah penulis di bidang ilmu fikih, isu perempuan, dan pengkajian Islam. Tulisannya banyak dimuat di beberapa jurnal, dan dibukukan. Pada tahun 2017, ia berkesempatan mempresentasikan tulisannya mengenai "Aura Misoginis Versus Gairah yang Berkesopanan: Membincangkan Kembali Khitan Perempuan", dalam Halaqah Nasional Ulama dan Cendekiawan. | Selain sebagai dosen, Kang Wawan juga dikenal sebagai pendakwah dan penulis. Ia adalah penulis di bidang ilmu fikih, isu perempuan, dan pengkajian Islam. Tulisannya banyak dimuat di beberapa jurnal, dan dibukukan. Pada tahun 2017, ia berkesempatan mempresentasikan tulisannya mengenai "Aura Misoginis Versus Gairah yang Berkesopanan: Membincangkan Kembali Khitan Perempuan", dalam Halaqah Nasional Ulama dan Cendekiawan. | ||
Baris 23: | Baris 27: | ||
Pandangan anti mainstream ini berlandaskan pada dua argumen. Pertama, Kang Wawan memosisikan rumah sebagai masjid itu merujuk hadits Nabi SAW yang menyebutkan bahwa salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah SAW adalah menjadikan seluruh tanah suci sehingga dapat dijadikan tempat sujud untuk shalat. Rumah sebagai salah satu entitas yang menempati tanah, masuk ke dalam kategori tempat sujud tersebut. | Pandangan anti mainstream ini berlandaskan pada dua argumen. Pertama, Kang Wawan memosisikan rumah sebagai masjid itu merujuk hadits Nabi SAW yang menyebutkan bahwa salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah SAW adalah menjadikan seluruh tanah suci sehingga dapat dijadikan tempat sujud untuk shalat. Rumah sebagai salah satu entitas yang menempati tanah, masuk ke dalam kategori tempat sujud tersebut. | ||
Argumen kedua, dapat dianalogikan sebagaimana hukum pelaksanaan akad nikah secara online. Menurut Kang Wawan, akad nikah merupakan peristiwa sakral (''mitsaqan ghalizha'') yang berkualifikasi ibadah dan disaksikan sekian banyak orang. Sementara shalat Jumat pun peristiwa ibadah yang melibatkan lebih dari satu orang. | Argumen kedua, dapat dianalogikan sebagaimana hukum pelaksanaan [[Akad Nikah|akad nikah]] secara online. Menurut Kang Wawan, akad nikah merupakan peristiwa sakral (''mitsaqan ghalizha'') yang berkualifikasi ibadah dan disaksikan sekian banyak orang. Sementara shalat Jumat pun peristiwa ibadah yang melibatkan lebih dari satu orang. | ||
Wacana yang diusulkan Kang Wawan mendulang beragam respon dari banyak kalangan. Penolakan mengalir deras merespon idenya yang dianggap ''nyeleneh'' dan tidak lazim bagi masyarakat luas. Walaupun mendapat resistensi dari sebagian besar masyarakat, Kang Wawan tetap melaksanakan ibadah secara daring bersama orang-orang yang sependapat dengan gagasannya itu. Setiap hari Jumat, ia dan anggota jamaahnya rutin membagikan tautan link zoom khusus peribadatan shalat Jumat. Kang Wawan didaulat sebagai khatib sekaligus imam dalam kesempatan ini. Konsistensi inilah yang membuat jumlah anggota jamaah shalat Jumat secara daring terus bertambah. | Wacana yang diusulkan Kang Wawan mendulang beragam respon dari banyak kalangan. Penolakan mengalir deras merespon idenya yang dianggap ''nyeleneh'' dan tidak lazim bagi masyarakat luas. Walaupun mendapat resistensi dari sebagian besar masyarakat, Kang Wawan tetap melaksanakan ibadah secara daring bersama orang-orang yang sependapat dengan gagasannya itu. Setiap hari Jumat, ia dan anggota jamaahnya rutin membagikan tautan link zoom khusus peribadatan shalat Jumat. Kang Wawan didaulat sebagai khatib sekaligus imam dalam kesempatan ini. Konsistensi inilah yang membuat jumlah anggota jamaah shalat Jumat secara daring terus bertambah. | ||
Baris 59: | Baris 63: | ||
|[[Faqihuddin Abdul Kodir]] | |[[Faqihuddin Abdul Kodir]] | ||
|} | |} | ||
[[Kategori:Tokoh]] |
Revisi terkini pada 16 Maret 2022 03.36
Wawan Gunawan yang bernama lengkap Wawan Gunawan Abdul Wahid berasal dari tanah Sunda. Ia lahir pada tanggal 8 Desember 1965. Ia adalah dosen tetap di Program Studi Perbandingan Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, mengajar mata kuliah Hadis Ahkam, Hukum Islam, Analisis Gender, dan Studi Perbandingan Mazhab. Ia juga menjabat sebagai pengurus Majelis Tarjih dan Tajdid di Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Kang Wawan terlibat dalam halaqah pra-Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) tahun 2017, salah satunya halaqah metodologi sikap dan pandangan keagamaan KUPI. Pada saat perhelatan kongres, ia terlibat aktif di dalam musyawarah keagamaan mengenai pernikahan anak.
Riwayat Hidup
Kang Wawan, demikian ia biasa dikenal, terlahir dari keluarga Nahdliyin. Ia menempuh Studi S1 jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga, dan melanjutkan ke jenjang magister di kampus yang sama dengan mengambil jurusan Hukum Islam. Selain pendidikan formal, ia juga mengenyam pendidikan keislaman di Pondok Pesantren Darul Arqam Garut, Jawa Barat.
Bagi warga persyarikatan Muhammadiyah, Kang Wawan bukanlah sosok yang asing. Ia merupakan salah satu cendekiawan Muslim yang dikenal memiliki penguasaan yang sangat baik terhadap khazanah Islam klasik dengan perspektif kekinian. Kecakapan dan kefaqihan Kang Wawan mengenai kitab-kitab kuning maupun putih mengantarkannya pada posisi strategis dalam melakukan ijtihad berkaitan dengan persoalan-persoalan kontemporer.
Selain sebagai dosen, Kang Wawan juga dikenal sebagai pendakwah dan penulis. Ia adalah penulis di bidang ilmu fikih, isu perempuan, dan pengkajian Islam. Tulisannya banyak dimuat di beberapa jurnal, dan dibukukan. Pada tahun 2017, ia berkesempatan mempresentasikan tulisannya mengenai "Aura Misoginis Versus Gairah yang Berkesopanan: Membincangkan Kembali Khitan Perempuan", dalam Halaqah Nasional Ulama dan Cendekiawan.
Pada tahun 2015, ia juga menjadi narasumber dalam Seminar (Halaqah) Nasional tentang “Fikih Kebinekaan: Pandangan Islam Indonesia tentang Umat, Kewargaan, dan Kepemimpinan Non-Muslim”. Ia menuliskan tentang pentingnya toleransi bagi umat Islam Indonesia dalam memahami persoalan fikih, sehingga tercipta hubungan sosial yang harmonis, tanpa diskriminasi, dan memperkuat demokratisasi dengan landasan normatif religius. Menurutnya, umat Islam seringkali berbeda pendapat dalam memahami agama bahkan ekspresi keagamaan juga berbeda.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Kang Wawan memiliki pandangan yang progresif yang bagi sebagian masyarakat dianggap cukup anti mainstream. Ia berani mendobrak kebuntuan fikih dalam menghadapi persoalan-persoalan baru dan isu kontemporer. Ia banyak menelurkan fatwa-fatwa, baik individu maupun secara kolektif di Majelis Tarjih, yang hingga kini dijadikan rujukan oleh umat Islam.
Kang Wawan termasuk ulama yang gelisah memikirkan kondisi negeri yang tak kunjung membaik karena hantaman pandemic Covid-19. Ia tak mampu membayangkan bagaimana dampak dari penutupan tempat-tempat peribadatan dan penghentian ritual keagamaan seperti shalat Jumat bagi umat Islam yang diliburkan. Dalam perenungan panjang, ia kemudian mengusulkan gagasan ibadah daring di saat pandemi. Ia berpandangan, dalam menghadapi pandemi harus ada solusi bagi umat agar bisa tetap melaksanakan ibadah. Ia pun mencetuskan pelaksanaan shalat Jumat dan shalat Ied secara daring.
Pandangan anti mainstream ini berlandaskan pada dua argumen. Pertama, Kang Wawan memosisikan rumah sebagai masjid itu merujuk hadits Nabi SAW yang menyebutkan bahwa salah satu keistimewaan yang dianugerahkan Allah kepada Rasulullah SAW adalah menjadikan seluruh tanah suci sehingga dapat dijadikan tempat sujud untuk shalat. Rumah sebagai salah satu entitas yang menempati tanah, masuk ke dalam kategori tempat sujud tersebut.
Argumen kedua, dapat dianalogikan sebagaimana hukum pelaksanaan akad nikah secara online. Menurut Kang Wawan, akad nikah merupakan peristiwa sakral (mitsaqan ghalizha) yang berkualifikasi ibadah dan disaksikan sekian banyak orang. Sementara shalat Jumat pun peristiwa ibadah yang melibatkan lebih dari satu orang.
Wacana yang diusulkan Kang Wawan mendulang beragam respon dari banyak kalangan. Penolakan mengalir deras merespon idenya yang dianggap nyeleneh dan tidak lazim bagi masyarakat luas. Walaupun mendapat resistensi dari sebagian besar masyarakat, Kang Wawan tetap melaksanakan ibadah secara daring bersama orang-orang yang sependapat dengan gagasannya itu. Setiap hari Jumat, ia dan anggota jamaahnya rutin membagikan tautan link zoom khusus peribadatan shalat Jumat. Kang Wawan didaulat sebagai khatib sekaligus imam dalam kesempatan ini. Konsistensi inilah yang membuat jumlah anggota jamaah shalat Jumat secara daring terus bertambah.
Selain menggagas wacana shalat Jumat daring, Kang Wawan yang membidangi Divisi Fatwa dan Pengembangan Tuntunan Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini juga cukup keras menolak rokok, dan rokok elektronik atau vape. Bersama pengurus MTT lainnya, Kang Wawan menerbitkan fatwa haram rokok dan rokok elektronik.
Kang Wawan berpandangan bahwa arah kiblat bangsa sudah saatnya dikoreksi. Ia mengemukakan negara sedang serius untuk memerangi narkoba, maka jalan-jalan menuju narkoba juga harus ditutup dan tidak boleh dibiarkan seperti rokok maupun vape. Selain menyayangkan penjualan rokok kian masif di negeri ini, ia menegaskan bahwa Muhammadiyah mengharamkan rokok tanpa pengecualian sebab rokok dapat membahayakan atau merusak generasi bangsa.
Kajian mengenai kesetaraan gender juga kerap disampaikan Kang Wawan dalam sejumlah majelis. Ia memandang bahwa sejatinya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama, termasuk berkiprah di ranah publik. Ia menegaskan, Islam sangat menjunjung tinggi martabat perempuan. Ini dibuktikan dengan diperbolehkannya perempuan menjadi pemimpin dan memegang tampuk kekuasaan tertinggi di sektor apa pun.
Dalam konteks imam shalat, Kang Wawan juga menjadi salah satu ulama di Muhammadiyah yang mengizinkan perempuan menjadi imam shalat bagi makmum laki-laki. Pada umumnya, masyarakat mengamini bahwa yang berhak menjadi imam shalat adalah laki-laki. Namun sebaliknya, Kang Wawan justru memaparkan tidak ada larangan bagi perempuan menjadi imam bagi makmum laki-laki. Pandangan ini sudah ada sejak dulu, namun hanya diimani oleh minoritas. Ia pun menunjukkan sejumlah hujjah baik dari nash Al-Quran maupun hadits Nabi SAW.
Kang Wawan mengatakan, pandangan ini dikuatkan dari kisah Ummu Waraqah. Di mana, Nabi Muhammad pernah mengizinkan Ummu Waraqah untuk mengimami jamaah laki-laki. Nabi bahkan menunjuk seorang laki-laki untuk menjadi muadzin dari shalat jamaah tersebut. Salah satu alasan Nabi tidak keberatan menjadikan Ummu Waraqah sebagai imam karena ia memiliki syarat untuk menjadi imam, yakni mampu membaca, menghafal, dan memahami Al-Quran. Nabi pun menyebut bahwa orang paling pantas menjadi imam adalah yang paling banyak membaca Al-Quran.
Karya-Karya
Kang Wawan banyak menghasilkan karya, di antaranya tulisan mengenai kesetaraan gender yang terbit di beberapa jurnal. Pada tahun 2012, ia menerbitkan tulisan berjudul “Membaca Kepemimpinan Perempuan dalam RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender dengan Perspektif Muhammadiyah”. Ia mengungkapkan wawasan Muhammadiyah tentang kepemimpinan perempuan jelas menunjukkan keberpihakan pada kesetaraan gender. Keberpihakan tersebut tampak dalam berbagai putusan, fatwa, serta wacana yang disajikan yang memberikan kesempatan bagi perempuan untuk tampil menjadi pemimpin dalam berbagai tingkatannya di ruang publik. Bahkan, memperhatikan waktu kemunculannya, kajian Majelis Tarjih tentang hukum perempuan dalam dunia politik serta menjadi hakim dapat dipandang sebagai pioner di bidangnya.
Karya intelektual di bidang fikih lainnya berjudul “Perilaku Homoseks dalam Pandangan Hukum Islam” (2003), “Pandangan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah tentang Nikah Sirri dan Itsbat Nikah: Analisis Maqashid asy-Syari’Ah” (2013), “Kepemimpinan Perempuan dalam Kajian Majelis Tarjih Muhammadiyah (Telaah Analisis Gender)” (2004), dan “Posisi Ushul Fikih dalam Metodologi Ekonomi Islam” (2014).
Kang Wawan juga menuliskan “Fiqh Perempuan dalam Perspektif Muhammadiyah (Telaah atas Buku Adab al-Mar’ah fi al-Islam)”, “Karyanya Risalah Wanita”, lalu “Menyoal Perempuan dalam Fiqh Ibadah (Telaah Kritis atas Hadits tentang Larangan Berpuasa Sunah bagi Perempuan tanpa Izin Suaminya)”. Selain itu, ia juga menuliskan gagasannya terkait hak anak melalui tulisan berjudul, “Asas dan Tujuan Perlindungan Anak dalam Pasal 2 dan 3 Undang-undang No 23 Tahun 2002: Telaah Perspektif Islam” (2006).
Penulis | : | Tsani Itsna Ariyanti |
Editor | : | Nor Ismah |
Reviewer | : | Faqihuddin Abdul Kodir |