Pandangan Islam Mengenai Disabilitas

Dari Kupipedia
Loncat ke navigasi Loncat ke pencarian

Pada dasarnya semua manusia diciptakan Allah SWT fī ahsani taqwīm (dalam bentuk sempurna). Manusia adalah karya agung (masterpiece) Allah SWT. Berbeda dengan makluk lain, Allah SWT menyediakan akal budi dalam diri manusia agar ia sebagai khalifah-Nya bisa mengemban amanah membangun peradaban di bumi. Allah SWT telah menganugerahkan pada manusia kemampuan untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “fa alhamaha fujūrahā wa taqwāhā”, “maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaaanya.” (QS. al-Syams/91: 8).

Namun, Allah SWT menciptakan manusia tak seragam. Setiap manusia yang hadir ke bumi adalah unik. Yang satu bukan fotocopy dari yang lain. Manusia lahir membawa kelebihan dan keterbatasan masing-masing. Secara ruhani-spiritual, kemampuan manusia juga berbeda. Allah SWT misalnya menciptakan manusia unggul sebagai pembimbing manusia lain pada jalan kebenaran. Untuk itu, Allah SWT mengangkat para rasul, nabi, dan waliyullah (kekasih Allah).

Secara fisik-jasmani, rangka manusia hakekatnya sama. Namun, yang berbeda adalah bentuk dan kemampuannya. Ada hikmah dan rahasia yang kita tidak tahu di balik penciptaan manusia yang berbeda-beda bentuk fisiknya itu. Tak hanya berbeda secara fisik-jasmani, secara intelektual, kemampuan manusia juga berbeda. Seorang manusia unggul pada satu bidang, namun lemah pada bidang lain. Demikian juga halnya ketika seorang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, namun yang lain berada di bawah rata-rata manusia.

Dalam status sosial pun manusia tidak sama, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang lemah dan ada yang kuat, ada yang menjadi bawahan dan ada yang menjadi atasan. Ketidakseragaman manusia bukan tidak disengaja oleh Allah. Allah menjadikan manusia tidak seragam agar supaya terjadi tolong menolong dan kerja sama di antara mereka. Allah berfirman:

اَهُمْ يَقْسِمُوْنَ رَحْمَتَ رَبِّكَۗ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَّعِيْشَتَهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۙ وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجٰتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا سُخْرِيًّا ۗوَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُوْنَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”. (QS. Az-Zukhruf/43: 32)

Dalam komentarnya terhadap ayat ini Wahbah az-Zuhaili berkata:

“Kami yang membagi rizki dan keberuntungan di antara para hamba, dan Kami memberikan kelebihan derajat kepada sebagian mereka terhadap sebagian yang lain dalam kekuatan dan kelemahan, pengetahuan dan kebodohan, populer dan asing, kekayaan dan kefakiran, karena jika Kami samakan mereka, tidak akan ada tolong menolong diantara mereka, dan tidak mungkin terjadi saling membantu diantara mereka, dan sebagian mereka menjadi sebab kehidupan bagi sebagian yang lain, jika maka rusak keteraturan alam.

Manusia dengan sejumlah keterbatasan pada fisik, mental, dan intelektualnya disebut penyandang disabilitas atau difabel. Dalam UU No 8 Tahun 2016, penyandang disabilitas didefinisikan sebagai orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang.

Dalam literatur fikih ditemukan beberapa istilah yang menjelaskan macam-macam penyandang disabilitas atau difabel, seperti syalal (kelumpuhan) yaitu kerusakan atau ketidakberfungsian organ tubuh, al-a‘ma (difabel netra), ala’raj (difabel daksa kaki), dan al-aqthā’ (difabel daksa tangan).

“Syalal adalah kerusakan atau ketidakberfungsian organ tubuh. Dan konteks syalal az-zakar maksudnya adalah lemahnya kekuatan zakar”.

Tentang al-a‘ma (netra) dapat dijumpai dalam kitab al-Bahr ar-Rā`iq salah satu kitab fikih Madzhab Hanafi. Dalam kitab tersebut misalnya dikatakan tentang sahnya akad jual-beli bagi penyandang disabilitas netra termasuk juga akad-akad yang lain. Dengan demikian, dalam kasus ini, kedudukan penyandang disabilitas netra sama belaka dengan orang yang bisa melihat.  

“(Pernyataan penulis: ‘Dan sah akadnya netra), maksudnya, akad jualbeli dan akad-akad lainnya. Karena ia adalah orang mukallaf yang membutuhkan terhadap akad-akad tersebut sehingga dalam konteks ini ia sama dengan orang yang bisa melihat”

Bukan hanya soal keabsahan jual beli orang dengan disabilitas netra, Imam Ibnu al-Shalah juga membuka peluang bagi penyandang disabilitas netra dan wicara yang memenuhi persyaratan akademik-intelektual untuk menjadi seorang mufti. Menurut Ibn al-Shalah, orang dengan disabilitas wicara bisa berfatwa dengan bahasa isyarat yang bisa dipahami, sementara penyandang disabilitas netra bisa berfatwa dengan bahasa tulisan. Ini menunjukkan bahwa orang dengan disabilitas netra dan wicara bisa mencapai derajat intelektual sebagaimana yang lain.