Maimanah Ghazali
Maimanah Ghazali | |
---|---|
Tempat, Tgl. Lahir | Kalimantan Selatan, 21 Juli 1973 |
Aktivitas Utama |
|
Karya Utama |
|
Maimanah. Untuk membedakan dengan Maimanah-Maimanah lainnya, ia membubuhkan nama ayahnya di belakangnya, jadilah nama lengkapnya Maimanah Ghazali.
Setelah lebih dari 20 tahun menuntaskan studi masternya di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pada bidang studi agama dan filsafat (1997-1999), ia kembali belajar secara formal untuk menuntaskan jenjang pendidikannya, yaitu doktoral, dua UIN Antasari Banjarmasin, almamaternya saat menempuh studi sarjana. Kali ini, ia fokus dalam studi hukum keluarga. Sementara jenjang pendidikan sarjananya muamalah jinayat (1992-1997).
Tak ada pertentangan baginya untuk melanjutkan studi. Bahkan, ia sangat didukung keluarganya, khususnya sang suami. Pendidikannya yang tinggi mengantarkannya duduk sebagai pengajar di almamaternya, UIN Antasari Banjarmasin. Ia bahkan pernah menjadi sekretaris program studi. Namun, kesibukannya sebagai ibu rumah tangga membuatnya tidak lagi aktif menjabat karena khawatir salah satunya menjadi terbengkalai.
Lahir di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, 21 Juli 1973, ia tumbuh di lingkungan pesantren. Ayahnya seorang ulama yang menamatkan studinya di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dan mendirikan Pesantren Darul Hijrah di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Di pesantren itulah ia tumbuh dan berkembang.
“Dulu, saya besar di lingkungan pesantren. Darul Hijrah Putra dan Putri pendirinya ayah saya. Kami besar di lingkungan pesantren Darul Hijrah putra,” katanya.
Dari Pondok Pesantren Darul Hijrah Banjarbaru, Kalimantan Selatan, ia hijrah ke Jakarta untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah. Tidak berbeda dari tanah kelahirannya, di ibukota ia kembali berkecimpung dalam pesantren, tepatnya di Pondok Pesantren Darunnajah.
Ia memiliki berbagai pengalaman terkait isu-isu Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), baik dari sisi latar belakang studinya maupun dinamika yang berkembang di lingkungannya. Hal itu yang mendekatkan dan membuatnya hadir pada KUPI 2 di Jawa Tengah.
Tokoh dan Keulamaan Perempuan
Dunia Maimanah terbelah dalam tiga dimensi, yakni pesantren, kampus, dan rumah. Sebagai perempuan Banjar, ia tak bisa melepaskan diri dari dunia domestik di dalam rumahnya. Saban pagi, ia sudah harus menyiapkan masakan untuk sarapan dan makan siang. Penataan dalam rumah juga tidak terlepas dari tangannya, meskipun ia sendiri disibukkan dengan dunia lain di luarnya, yaitu kampus dan pesantren. Soal pesantren, memang dirinya tidak terlibat secara langsung di dalamnya. Sebab, sudah ada anggota keluarga lain yang fokus untuk meneruskan perjuangan orang tuanya. Sementara ia memilih rumah dan kampus sebagai prioritasnya.
“Kita lebih meletakkan dasar kebijakannya (pesantren). Tidak terlibat langsung dalam pengajaran. Ketika sudah menjadi dosen, sulit membagi waktu,” katanya.
Di kampus, ia menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai pengajar di UIN Antasari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, tepatnya di Fakultas Ushuluddin dan Humaniora. Ia mengajar psikologi agama, hukum keluarga Islam, dan fiqih. Hal ini tentu saja sangat relevan dan berkaitan erat dengan isu-isu yang dibahas dalam KUPI.
“Selain mengajar di UIN, kembali ke rumah. Pernah mengajar di STIT Darul Hijrah. Di situ saya juga sebagai dewan pertimbangan akademik. Hanya memberi saran kebijakan,” katanya.
Ia mengaku memiliki segudang pengalaman pribadi yang erat kaitannya dengan isu-isu KUPI. Soal urusan rumah tangga, misalnya, bagi orang Banjar hal tersebut menjadi urusan perempuan. Sekalipun bekerja, perempuan harus memainkan perannya dalam mengurusi perkara-perkara domestik. Hal tersebut tentu menjadi satu nilai lebih bagi perempuan-perempuan Banjar sebagai bagian dari ibadah. Namun memang, akan sulit jadinya ketika urusan domestik berbenturan dengan urusan pekerjaan. Hal itu kerap menjadi dilema dan tidak bisa dilimpahkan begitu saja urusan domestik itu pada laki-laki. Selain budaya yang tidak menghendakinya, juga karena ketidakbiasaan menjadi faktor alamiah sehingga tidak ada keterampilan untuk melakukan hal tersebut bagi laki-laki di sana.
Maimanah juga tidak bisa menyerahkan urusan domestik itu kepada Asisten Rumah Tangga (ART). Sebagai orang Banjar, ia sendiri sungkan untuk meminta bantuan (baca: menyuruh) orang lain untuk melakukan hal tersebut, selain memang sulit pula untuk mendapatkan orang yang mau untuk dipekerjakan demikian. Hal ini tidak lain, menurutnya, karena budaya egaliter orang Banjar.
“Kita tidak pernah menganggap mereka menyuruh. Orang Banjar malas punya ART karena gak nyaman menyuruh, selain tidak suka juga disuruh. Memang orang Banjar tidak suka diatur,” katanya.
Oleh karena itu, materi-materi yang disampaikan Nyai Dr. Nur Rofiah, Bil.Uzm sangat menarik baginya. Sebab, ia mendapatkan penyegaran wawasan mengenai konsep-konsep keseteraan gender dalam Islam. Hal itu yang sebetulnya ia sampaikan dalam mengajar di kampus dan memberikan ceramah kepada kelompok mahasiswa di luar jam kuliah, bahwa tugas domestik itu bukan pekerjaan perempuan. Tidak ada Alquran dan hadis yang mengatakan itu. Itu hanya budaya yang terjadi di sebuah wilayah tertentu.
Ia sendiri mengaku tidak dapat melihat capaian atas upayanya itu. Namun, jika melihat hasil evaluasi studi, ia mendapati pandangan-pandangan serupa dalam jawaban mahasiswanya. “Menurut saya, jawaban mereka sesuai harapan tentang kesetaraan rumah tangga,” katanya.
Namun, tentu jawaban dalam selembar kertas evaluasi atau ujian masih sebatas wacana yang tidak berarti mesti sejalan dengan apa yang bakal diterapkan mereka dalam perjalanan kehidupannya ke depan. “Tetapi dalam berumah tangga, apakah mereka menerapkan, kita belum tahu. Tidak melihat sejauh itu,” katanya.
Apalagi, dominasi budaya tentu saja lebih kuat dari sekadar wacana yang mereka peroleh dari kampus. Ia sendiri mengakui masih sulit untuk dapat mendidik anak laki-lakinya untuk dapat menunaikan tugas-tugas domestik. Barangkali itu dipengaruhi faktor hanya ada satu anak laki-laki. “Karena mungkin satu-satunya, selain memang mencontoh bapaknya. Kalau bapaknya punya kesadaran itu, anak mungkin bisa melihat. Saya pikir orang Banjar memang belum memiliki kesadaran itu.
Urusan rumah tangga dan pendidikan memang berbeda. Sekalipun harus tampil berperan penuh dalam urusan domestik, tetapi perempuan Banjar dibebaskan untuk menempuh pendidikan apa saja dan di mana saja, setinggi apapun. Sebagian besar keluarganya mengikuti jejak ayahnya menempuh studi di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor dan pendidikan tingginya di Madinah Al-Munawwarah. Ia pun, sebagaimana disebut di atas, studi di Pondok Pesantren Darunnajah yang juga menjadi salah satu bagian dari Pesantren Gontor mengingat pendirinya, K.H. Mahrus Amin, merupakan salah satu alumni.
Doktrin kebebasan berpendidikan juga diterapkan Maimanah pada anak-anaknya. Putri pertamanya saat ini tengah menempuh studi sarjana di bidang farmasi pada Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di kota pelajar itu, putrinya juga menempuh pendidikan menengahnya. “Keluarga rata-rata alumni Gontor. Ke Madinah. Anak-anak saya juga ke pesantren. Kami silakan memilih jurusan apa saja. Anak saya perempuan di Farmasi UGM,” katanya.
Baru saya kuliah setelah anak sudah besar. tidak terlalu ngoyo untuk mencapai apa. Santai. Prinsipnya apapun yang dilakukan, kebaikan itu tidak harus terlihat wah. Apa yang bisa saya lakukan, saya lakukan. Jika tidak kondusif untuk melakukan hal besar, paling tidak lakukan yang kecil saja.
Secara kultural, ia mengikuti pemahaman keagamaan ala Nahdlatul Ulama. Ia rutin tahlilan dan yasinan, serta menggelar haul orang-orang tuanya. Dalam pemakaman, keluarganya juga membacakan talqin. Meskipun secara organisasi, ia tidak terlibat aktif di dalamnya.
Pemahamannya ini berbeda dengan yang dipegang oleh suami dan sebagian kakak-kakaknya yang mendeklarasikan diri bagian dari Persyarikatan Muhammadiyah. Meskipun demikian, hal tersebut tidaklah menjadi masalah baginya dan keluarganya. Ia dan keluarganya tetap hidup dengan rukun.
“Saya punya suami Muhammadiyah. Saya pribadi tidak terlibat sebagai NU. Di Banjar, kalau tidak berlabel Muhammadiyah, berarti kita NU. Karena bagi mereka yang Muhammadiyah harus memberikan label. Begitu pun masjid. Kalau tidak ada tulisan Muhammadiyah, berarti NU,” katanya.
Hanya saja, ibunya yang memberikan nasihat untuk keluarganya yang tidak memiliki kesamaan pemahaman dengannya, agar perlu memiliki amal baik yang banyak mengingat mereka tidak dikirimi doa.
“Ketika suami saya kental Muhammadiyah, jadi saya tidak terlalu masalah. Keluarga tidak masalah. Kakak saya di Majelis Tarjih Muhammadiyah. Di MUI juga. Yang agak khawatir ibu, terutama kalau meninggal tidak dihaulin loh, jadi banyak-banyak punya sangu karena tidak haul,” katanya.
Karya-karya
- Konsep Diri Muslimah Bercadar (Buku ; Hasil Penelitian)
- Toleransi Beragama Perspektif Salafi (Hasil Penelitian)
- Habib Prenuer ; Dinamika Bisnis Para Habib di Kalimantan Selatan (Hasil Penelitian dan sedang proses percetakan)
- Aktivitas Memanah Pada Masyarakat Muslim Kalimantan Selatan : Teks Agama, Hobi Islami dan Identitas Baru (Hasil Penelitian dan Sedang proses cetak)
- Wanita dan Toleransi Beragama (Analisis Psikologis) dalam Jurnal Mu’adalah: Jurnal Studi Gender dan Anak (2013).
- Tradisi Baayun Mulud di Kota Banjarmasin (Kajian Fenomenologis) ditulis bersama A Arni dan N Norhidayat dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Ushuluddin (2018).
- Kepercayaan dan Perilaku Masyarakat Banjar dalam Hubungan Kekerabatan dengan Buaya Jelmaan di Banjarmasin dan Banjarbaru ditulis bersama B Basrian dan A Arni dalam Jurnal Tashwir: Jurnal Penelitian Agama dan Sosial Budaya (2014).
- Pengembangan Kurikulum Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin IAIN Antasari dalam Menjawab Tantangan Dunia Kerja ditulis bersama A Arni (2010).
- Tradisi Baayun Mulud di Banjarmasin.
- Profil Desa Binaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Study pada Desa Tajau Pecah Kecamatan Batu Ampar, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
Daftar Bacaan lanjutan
Google Scholar Maimanah https://scholar.google.co.id/citations?user=V23_ajwAAAAJ&hl=en
Penulis | : | Syakir |
Editor | : | |
Reviewer | : |