Baldatun Tayyibah
Term Baldatun Ṯayyibah berasal dari Alquran surat Sabā’ ayat 15:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِي مَسْكَنِهِمْ آيَةٌ جَنَّتَانِ عَنْ يَمِينٍ وَشِمَالٍ كُلُوا مِنْ رِزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوا لَهُ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ [سبأ: 15]
“Sungguh, bagi kaum Sabā’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan) “makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (QS. Sabā’ [34]: 15)
Teks ini menceritakan kerajaan bangsa Sabā’ yang indah permai memiliki kebun menakjubkan di kiri kanannya, sumber daya alam melimpah. Ibn Zaid dalam tafsir al-Baghawī menceritakan lebih detil tentang keistimewaan bangsa ini, tidak ada lalat, nyamuk, kutu dan ular dari saking bersihnya lingkungan alamnya. Diceritakan seorang lelaki lewat di daerah tersebut dengan pakaian lusuh berkutu kemudian kutu itu mati lantaran begitu jernihnya udara di daerah tersebut hingga mampu membunuh kuman dan jentik yang mengundang penyakit. Di samping itu juga ada jaminan pengampunan dari Tuhan jika mereka bersyukur[1].
Kampung yang permai itu menjadi seindah yang para mufassir gambarkan karena di dalamnya tidak terdapat hal yang menyakitkan, contoh kecilnya seperti binatang jentik. Maka jika ditarik pada konteks yang lebih luas, sebuah Negara atau kampung akan menjadi baik (baldah tayyibah), makmur dan tentram jika tidak ada kekerasan dan kedzaliman. Baik itu kekerasan seksual, kekerasan dalam pendidikan, ataupun kekerasan psikis. Tidak ada kelaliman dari atasan yang berlaku tidak adil pada rakyatnya, tidak ada kelaliman dari rakyat yang menyalahgunakan fasilitas, sumber daya alam dan hal lain yang menyakiti sesama manusia dan makhluk Tuhan.
Baldah tayyibah bisa dialihbahasakan dengan lebih sederhana dengan Negara yang aman, setiap elemen masyarakatnya memiliki kesadaran bahwa setiap makhluk di sekitarnya, manusia dan alam, memiliki hak yang harus diperoleh dengan senang hati dan gembira. Manusia (laki-laki dan perempuan) memiliki hak hidup dengan pendidikan keluarga yang harmonis, pendidikan di sekolah yang memadai sampai ke jenjang tertinggi, pendidikan mengembangkan potensi diri baik sebelum menikah atau setelah menikah, pendidikan dari lingkungan sosial yang aman dan menjadi support system.
Begitu pun lingkungan juga demikian, lingkungan adalah makhluk yang memiliki hak berkembang dan hidup sehat. Bebas dari polusi, sampah dan penebangan brutal. Semua itu adalah tugas setiap manusia untuk menjaga hak sesama makhluk hidup. Menjaga lingkungan bukan tugas pemerintah yang membayar pasukan kuning membersihkan trotoar dan sepanjang jalan. Melainkan tugas setiap kita yang masih bernafas.
Konsep baldah tayyibah sebagaimana di atas senada dengan spirit kaidah fikih universal/ al-Qawā’id al-fiqhiyyah al-kulliyyah lā ḍarara wa lā ḍirāra (لا ضرر ولا ضرار) jangan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Untuk menciptakan Negara atau kampung yang baik maka seluruh rakyatnya, laki-laki dan perempuan, bersama menjauuhkan diri dan orang lain dari bahaya sekecil apapunn itu. Tugas ini adalah tanggung jawab seluruh rakyat tanpa terkecuali, tidak tertentu pada jenis kelamin tertentu atau jabatan tertentu.
Namun sebelum mendapatkan predikat baldah tayyibah, kaum Saba’ diperintah untuk bersyukur wasykurū lahū “.. dan bersyukurlah kalian kepada-Nya (Allah)..” perintah syukur disebut dalam ayat sebelumnya اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا “..dan beramallah hai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah)..” tentang ayat ini Nabi menjelaskan:
ثلاث من أوتيهن فقد أوتي مثل ما أوتي أهل داود، قيل: وما هن يا رسول الله قال: العدل في الغضب والرضا، والقصد في الغنا والفقر، وخشية الله في السر والعلاني
“Tiga hal, jika seseorang mendapatkannya maka sungguh ia telah mendapatkan anugerah sebagaimana keluarga Daud. Apakah itu ya Rasulullah? Nabi menjawab; adil saat marah maupun lapang, berbagi saat kaya maupun miskin dan takut kepada Allah dalam sembunyi dan terang”[2]
Maka makna syukur bukan sekedar mengucapkan “Alhamdulillah” dan bergembira, implementasi lebih subtantif dari bersyukur adalah bersikap adil kepada siapapun saat kondisi emosial stabil ataupun labil, berbagi/berusaha membahagiakan orang lain dalam keadaan ekonomi mudah atau sulit, dan takut kepada Allah dalam keadaan sendirian atau beramai-ramai.
Bersikap adil bisa dimulai sejak dalam pikiran, seorang bapak, misalnya, berpikir adil dengan memandang hak dan kewajiban dirinya dan istrinya sama, tidak ada yang lebih tinggi dari pada yang lain. Berfikir anak laki-lakinya adalah sama hak dan kewajibannya dengan anaknya yang perempuan, baik dalam nafkah, kasih sayang dan pendidikan.
Berbagi/berusaha membahagiakan orang lain tidak selalu diungkapkan dengan harta, berbagi bahagia bisa menggunakan bahasa cinta yang lain yang dicontohkan Nabi Muhammad; 1) pelayanan pada keluarga dan orang-orang yang membutuhkan, 2) bahasa dan tutur kata yang halus dan penuh kasih sayang, dan semacamnya.
Takut kepada Allah justru menjadi kunci dari semua tingkah laku manusia. Takut kepada Allah adalah manifestasi dari ikrar syahadat, meniadakan kekuasaan selain Allah atau ketaatan mutlak hanya milik-Nya, menyadari bahwa semua makhluk adalah sama yakni menginginkan kenyamanan dan keamanan sebagaimana diri kita menginginkannya.
Penulis : Nur Kholilah Mannan
Editor : Nur Kholilah Mannan
Daftar Pustaka
- Al-Husain bin al-Farra’ Al-Baghawī, Tafsir al-Baghawī, (Beirut, Dar Ihya’ al-Turats: 1420).
- Abū al-Hasan al-Tabarī, Ahkāmu al-Quran, (Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah: 1405).