Mursyidah Tarekat: Kesetaraan Gender dalam Otoritas Keagamaan di Madura: Perbedaan revisi

tidak ada ringkasan suntingan
(←Membuat halaman berisi ''''Penulis: Nur Kasanah''' '''Abstrak''' Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan eksistensi ulama perempuan dan perannya sebagai mursyid perempuan ''(mursyidah)'...')
 
 
Baris 1: Baris 1:
'''Penulis: Nur Kasanah'''
''Penulis: Nur Kasanah''
 




'''Abstrak'''
'''Abstrak'''


Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan eksistensi [[Ulama Perempuan|ulama perempuan]] dan perannya sebagai mursyid perempuan ''(mursyidah)'' tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah sebagai pemangku otoritas keagamaan di Madura. Penelitian berjenis kualitatif ini menggunakan pendekatan ''library research''. Data penelitian diambil dari artikel maupun buku lain yang relevan dengan kajian mursyidah tarekat di Madura. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi dan dianalisis dengan menggunakan teori otoritas dan relasi gender Hasanatul Jannah.  Hasil penelitian menunjukkan ada lima ulama perempuan Madura yang menjadi ''mursyidah'' tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah yaitu Nyai Aisyah, Nyai Asiyah, Syarifah Fatimah, Nyai Thabibah dan Nyai Syafi’ah. Eksistensi dan otoritas keagamaan mereka sebagai mursyidah dibangun oleh kontruksi sosial yang tidak hanya didukung oleh faktor keturunan (genealogis) semata akan tetapi juga karena pengetahuan agama dan kesalehan, ''pangaro'' yaitu kemampuan memimpin ''(leadership)'' sekaligus menggerakkan orang lain untuk patuh, dan adanya pesantren sebagai pusat otoritas. Keempat hal ini yang menjadikan mereka setara dengan ulama laki-laki (kiai) dalam membimbing jemaah sekaligus mendapatkan  otoritas keagamaan dalam tarekat sehingga  tidak hanya bertugas sebagai asisten suami melainkan benar-benar secara mandiri dan penuh menjadi pemimpin jemaah tarekat perempuan ''(akhwat)''. Peran mursyidah tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah: 1) dalam bidang keagamaan yaitu memimpin ritual ibadah misalnya mengajarkan kitab kuning, memimpin shalat jemaah ''akhwat,'' melakukan baiat, memimpin zikir dan wirid, ''muraqabah,'' ''rabithah, khatm kwajagan'', ''istighatsah,'' dan 2) dalam bidang sosial, mengajarkan dan membiasakan sikap kedermawanan, takzim pada guru, loyal pada Nahdlatul Ulama, dan memberikan kehangatan dan perlindungan sebagai keluarga yang tidak didapatkan di tempat lain''.'' Meski hanya terbatas pada jemaah tarekat perempuan dan tidak berhak menunjuk ''badal'' dan ''khalifah'', eksistensi ''mursyidah'' ini menunjukkan adanya toleransi dan kesetaraan gender dalam otoritas keagamaan di Madura.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan eksistensi [[Ulama Perempuan|ulama perempuan]] dan perannya sebagai mursyid perempuan ''(mursyidah)'' tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah sebagai pemangku otoritas keagamaan di Madura. Penelitian berjenis kualitatif ini menggunakan pendekatan ''library research''. Data penelitian diambil dari artikel maupun buku lain yang relevan dengan kajian mursyidah tarekat di Madura. Pengumpulan data dilakukan melalui dokumentasi dan dianalisis dengan menggunakan teori otoritas dan relasi gender Hasanatul Jannah.  Hasil penelitian menunjukkan ada lima [[Ulama Perempuan|ulama perempuan]] Madura yang menjadi ''mursyidah'' tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah yaitu Nyai Aisyah, Nyai Asiyah, Syarifah Fatimah, Nyai Thabibah dan Nyai Syafi’ah. Eksistensi dan otoritas keagamaan mereka sebagai mursyidah dibangun oleh kontruksi sosial yang tidak hanya didukung oleh faktor keturunan (genealogis) semata akan tetapi juga karena pengetahuan agama dan kesalehan, ''pangaro'' yaitu kemampuan memimpin ''(leadership)'' sekaligus menggerakkan orang lain untuk patuh, dan adanya pesantren sebagai pusat otoritas. Keempat hal ini yang menjadikan mereka setara dengan ulama laki-laki (kiai) dalam membimbing jemaah sekaligus mendapatkan  otoritas keagamaan dalam tarekat sehingga  tidak hanya bertugas sebagai asisten suami melainkan benar-benar secara mandiri dan penuh menjadi pemimpin jemaah tarekat perempuan ''(akhwat)''. Peran mursyidah tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah: 1) dalam bidang keagamaan yaitu memimpin ritual ibadah misalnya mengajarkan kitab kuning, memimpin shalat jemaah ''akhwat,'' melakukan baiat, memimpin zikir dan wirid, ''muraqabah,'' ''rabithah, khatm kwajagan'', ''istighatsah,'' dan 2) dalam bidang sosial, mengajarkan dan membiasakan sikap kedermawanan, takzim pada guru, loyal pada Nahdlatul Ulama, dan memberikan kehangatan dan perlindungan sebagai keluarga yang tidak didapatkan di tempat lain''.'' Meski hanya terbatas pada jemaah tarekat perempuan dan tidak berhak menunjuk ''badal'' dan ''khalifah'', eksistensi ''mursyidah'' ini menunjukkan adanya toleransi dan kesetaraan gender dalam otoritas keagamaan di Madura.


'''Kata Kunci:''' agama, gender, mursyidah, otoritas, perempuan, tarekat
'''Kata Kunci:''' agama, gender, mursyidah, otoritas, perempuan, tarekat