Trusted, Pengurus
77
suntingan
Faqihuddin (bicara | kontrib) |
Faqihuddin (bicara | kontrib) |
||
Baris 56: | Baris 56: | ||
Transformasi cara pandang atas perempuan baik sebagai hamba Allah, di ruang public, dan dalam keluarga member dampak pada relasi gender dalam keluarga di mana sebelumnya dijiwai oleh kekuasaan menjadi perlindungan. Salah satu contoh revolusioner dalam hal ini ada pada waris. Jika semula perempuan menjadi bagian yang diwariskan, maka mereka kemudian mendapatkan jaminan untuk memperoleh waris hingga setengah dari bagian laki-laki (misalnya surat an-Nisa/4:11), bahkan bisa mewariskan (Misalnya an-Nisa/4:12) | Transformasi cara pandang atas perempuan baik sebagai hamba Allah, di ruang public, dan dalam keluarga member dampak pada relasi gender dalam keluarga di mana sebelumnya dijiwai oleh kekuasaan menjadi perlindungan. Salah satu contoh revolusioner dalam hal ini ada pada waris. Jika semula perempuan menjadi bagian yang diwariskan, maka mereka kemudian mendapatkan jaminan untuk memperoleh waris hingga setengah dari bagian laki-laki (misalnya surat an-Nisa/4:11), bahkan bisa mewariskan (Misalnya an-Nisa/4:12) | ||
Namun demikian, dominasi pemahaman fiqh yang menitikberatkan pada petunjuk literal daripada kontekstual dan minimnya keterlibatan perempuan, maka spirit perlindungan dalam dua konsep kunci yang menentukan relasi gender dalam keluarga ini mempunyai kecenderungan untuk diabaikan sehingga ''qiwamah'' dan ''wilayah'' malah berbalik menjadi peneguh kekuasaan laki-laki atas perempuan. Pembagian peran yang semulabersifat fleksible dibakukan agar memberikan kepastian. Perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah pasca turunnya al-Qur’an tidak dipandang penting sehingga pembakuan kewajiban dan hak yang sama dapat justru melahirkan ketidakadilan pada perempuan. | Namun demikian, dominasi pemahaman fiqh yang menitikberatkan pada petunjuk literal daripada kontekstual dan minimnya keterlibatan perempuan, maka spirit perlindungan dalam dua [[Konsep Kunci|konsep kunci]] yang menentukan relasi gender dalam keluarga ini mempunyai kecenderungan untuk diabaikan sehingga ''qiwamah'' dan ''wilayah'' malah berbalik menjadi peneguh kekuasaan laki-laki atas perempuan. Pembagian peran yang semulabersifat fleksible dibakukan agar memberikan kepastian. Perubahan sosial yang terjadi sepanjang sejarah pasca turunnya al-Qur’an tidak dipandang penting sehingga pembakuan kewajiban dan hak yang sama dapat justru melahirkan ketidakadilan pada perempuan. | ||
== Qiwamah dan Wilayah dalam Kehidupan Perempuan == | == Qiwamah dan Wilayah dalam Kehidupan Perempuan == | ||
Baris 131: | Baris 131: | ||
''MS sudah mulai kerja cari duit dari masih kecil, abis lulus SD, langsung kerja sampai tahun lalu, mula-mula cuma kerja rumahan, bantu-bantu tetangga bibi yang buka usaha bikin es; MS dapet upah... uang jajan namanya. Terus waktu MS berumur 14 tahun, MS dimasukkan kerja di pabrik sepatu… Upah yang MS dapat sekitar Rp 250.000 per bulan, sudah termasuk uang lembur. Upah yang didapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari dan membiayai pendidikan adik.''<ref>Hasil interview Alimat dengan MS, eks pekerja migrant, di Karawang pada bukan Mei, Juni, dan Juli 2011. </ref> | ''MS sudah mulai kerja cari duit dari masih kecil, abis lulus SD, langsung kerja sampai tahun lalu, mula-mula cuma kerja rumahan, bantu-bantu tetangga bibi yang buka usaha bikin es; MS dapet upah... uang jajan namanya. Terus waktu MS berumur 14 tahun, MS dimasukkan kerja di pabrik sepatu… Upah yang MS dapat sekitar Rp 250.000 per bulan, sudah termasuk uang lembur. Upah yang didapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari dan membiayai pendidikan adik.''<ref>Hasil interview Alimat dengan MS, eks pekerja migrant, di Karawang pada bukan Mei, Juni, dan Juli 2011. </ref> | ||
AS dan MS tidaklah sendirian. Menurut laporan ILO (International Labour Office) pekerja anak Indonesia telah mencapai angka 3,7 juta pada tahun 2009 berumur 10-17 tahun. Artinya lebih dari 10 % dari jumlah penduduk indonesia yang yang berusia 10-17 tahun yaitu 35.7 juta, telah bekerja dan mayoritasnya ada di sektor buruh. | AS dan MS tidaklah sendirian. Menurut laporan ILO (International Labour Office) pekerja anak Indonesia telah mencapai angka 3,7 juta pada tahun 2009 berumur 10-17 tahun. Artinya lebih dari 10 % dari jumlah penduduk indonesia yang yang berusia 10-17 tahun yaitu 35.7 juta, telah bekerja dan mayoritasnya ada di sektor buruh.<ref>ILO, ''Children Working in Indonesia, Laporan tahun 2009, hal. 21 dan 30.''</ref> Pendidikan yang snagat minim dan keterampilan yang belum memadai memaksa anak terjun dalam dunia pekerjaan dengan kategori kotor, sulit, dan bahaya (3D: dirty, difficult, and dangerous). Di samping sektor perburuhan, anak-anak juga dipekerjakan di jalanan. | ||
Anak jalanan perempuan juga banyak dipekerjakan dengan cara-cara yang memprihatinkan. Dalam tulisan ''Profil Pekerja Jalanan (Anak Jalanan Perempuan yang Dilacurkan)'' disebutkan bahwa 10% jenis kelamin dari 5.000 anak jalanan yang teridentifikasi adalah perempuan. Dalam tulisan ini terdapat pengakuan seorang anak perempuan jalanan yang berusia 16 tahun. Siang hari bersama beberapa teman perempuannya ia bekerja di dalam bis-bis kota sampai jam tiga sore. Malam harinya mereka dilacurkan oleh preman setempat melayani sopir bemo, kenek, tukang becak dan preman. Mereka diharuskan setor Rp 35.000 per hari dan hanya mendapatkan Rp 5.000,- darinya. Hal yang sama dialami oleh anak-anak perempuan di sepanjang rel di daerah setempat. Dengan tarif 3.500 sekali main anak-anak dipaksa melakukan pekerjaan itu baik oleh ibu mereka, semang maupun teman sebaya mereka.<ref> | Anak jalanan perempuan juga banyak dipekerjakan dengan cara-cara yang memprihatinkan. Dalam tulisan ''Profil Pekerja Jalanan (Anak Jalanan Perempuan yang Dilacurkan)'' disebutkan bahwa 10% jenis kelamin dari 5.000 anak jalanan yang teridentifikasi adalah perempuan. Dalam tulisan ini terdapat pengakuan seorang anak perempuan jalanan yang berusia 16 tahun. Siang hari bersama beberapa teman perempuannya ia bekerja di dalam bis-bis kota sampai jam tiga sore. Malam harinya mereka dilacurkan oleh preman setempat melayani sopir bemo, kenek, tukang becak dan preman. Mereka diharuskan setor Rp 35.000 per hari dan hanya mendapatkan Rp 5.000,- darinya. Hal yang sama dialami oleh anak-anak perempuan di sepanjang rel di daerah setempat. Dengan tarif 3.500 sekali main anak-anak dipaksa melakukan pekerjaan itu baik oleh ibu mereka, semang maupun teman sebaya mereka.<ref>Yuliati Umrah, ''Profil Pekerja Jalanan (Anak Jalanan Perempuan yang Dilacurkan),'' dikutip dari www.humantrafficking.org/uploads/updates/alit_pelacuran_1.doc</ref> | ||
Minimnya akses pendidikan pada jenjang yang tinggi dan terbatasnya keterampilan yang dimiliki, menjadi faktor penting mengapa perempuan banyak berada dalam sektor pekerjaan yang beresiko tinggi. Di samping pekerja jalanan, perburuhan dalam negeri, perempuan Indonesia juga banyak menjadi buruh migran atau dikenal dengan sebutan TKW. | Minimnya akses pendidikan pada jenjang yang tinggi dan terbatasnya keterampilan yang dimiliki, menjadi faktor penting mengapa perempuan banyak berada dalam sektor pekerjaan yang beresiko tinggi. Di samping pekerja jalanan, perburuhan dalam negeri, perempuan Indonesia juga banyak menjadi buruh migran atau dikenal dengan sebutan TKW. | ||
Baris 139: | Baris 139: | ||
Menjadi pekerja migran, meskipun beresiko tinggi, menjadi pilihan bagi banyak jutaan warga negara Indonesia, termasuk perempuan. Banyak di antara mereka yang sebetulnya sudah mengetahui pengalaman buruk TKW, bahkan mengalami sendiri. Namun demikian, tuntutan hidup yang terus meningkat, sementara pekerjaan dengan syarat mudah, dan gaji memadai sulit ditemukan di tanah air menyebabkan banyak perempuan tetap memutuskan untuk kembali menjadi pekerja migran meskipun telah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. | Menjadi pekerja migran, meskipun beresiko tinggi, menjadi pilihan bagi banyak jutaan warga negara Indonesia, termasuk perempuan. Banyak di antara mereka yang sebetulnya sudah mengetahui pengalaman buruk TKW, bahkan mengalami sendiri. Namun demikian, tuntutan hidup yang terus meningkat, sementara pekerjaan dengan syarat mudah, dan gaji memadai sulit ditemukan di tanah air menyebabkan banyak perempuan tetap memutuskan untuk kembali menjadi pekerja migran meskipun telah mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan. | ||
''Saya bekerja di Saudi sampai empat kali, Keberangkatan pertama pada tahun 1998, Saya berangkat tiga tahun setelah perkawinan. Pada keberangkatan yang pertama ini Saya bekerja di dua majikan, yang pertama Saya Cuma kerja 6 bulan... terus kabur ke embesi (embassy) karena majikan coba-coba, Saya lari dan dapat majikan baru, di sini dua tahun penuh... jadi di Saudi yang pertama Saya kerja total 2 tahun lebih...Lalu Saya berangkat lagi pada pertengahan tahun 2001 hingga pertengahan 2003. Cuti sebentar, lalu berangkat lagi yang ketiga pada tahun 2003-2005. Keberangkatan yang keempat tahun 2005. Saya kembali tahun 2007.'' | ''Saya bekerja di Saudi sampai empat kali, Keberangkatan pertama pada tahun 1998, Saya berangkat tiga tahun setelah perkawinan. Pada keberangkatan yang pertama ini Saya bekerja di dua majikan, yang pertama Saya Cuma kerja 6 bulan... terus kabur ke embesi (embassy) karena majikan coba-coba, Saya lari dan dapat majikan baru, di sini dua tahun penuh... jadi di Saudi yang pertama Saya kerja total 2 tahun lebih...Lalu Saya berangkat lagi pada pertengahan tahun 2001 hingga pertengahan 2003. Cuti sebentar, lalu berangkat lagi yang ketiga pada tahun 2003-2005. Keberangkatan yang keempat tahun 2005. Saya kembali tahun 2007.''<ref>Hasil wawancara Alimat dengan AS, eks pekerja migran, di Karawang pada bulan Juni dan Juli 2011. </ref> | ||
Hingga akhir tahun 2008, Pemerintah RI memperkirakan bahwa ada sekitar 4,3 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Jumlah ini tentu akan membengkak jika ditambahkan pekerja tidak berdokumen. Migrasi tenaga kerja perempuan meningkat pesat sejak krisis keuangan Asia di tahun 1997. Prosentase jumlah mereka meningkat tajam menjadi 80% dari total pekerja migran Indoensia dan merupakan tertinggi di Asia Tenggara. | Hingga akhir tahun 2008, Pemerintah RI memperkirakan bahwa ada sekitar 4,3 juta Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Jumlah ini tentu akan membengkak jika ditambahkan pekerja tidak berdokumen. Migrasi tenaga kerja perempuan meningkat pesat sejak krisis keuangan Asia di tahun 1997. Prosentase jumlah mereka meningkat tajam menjadi 80% dari total pekerja migran Indoensia dan merupakan tertinggi di Asia Tenggara.<ref>Dikutip dari <nowiki>http://komnasperempuan.or.id/publikasi/Indonesia/2011/Migran/Panduan%20untuk%20Fasilitator.pdf</nowiki> pada hari Rabu, 25 Januari 2012 jam 08.17.</ref> | ||
Berbeda dengan laki-laki yang dapat bekerja dengan tenang karena tugas rumah tangga menjadi tugas perempuan, maka perempuan pekerja pada umumnya tetap diharuskan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga meskipun ketika suami dalam kondisi tidak bekerja. Lebih-lebih perempuan yang menjadi orangtua tunggal bagi anaknya baik karena perceraian maupun karena penelantaran suami. Perempuan seperti ini sebetulnya adalah perempuan kepala keluarga yang mempunyai tugas ganda, yakni sebagai ayah sekaligus ibu | Berbeda dengan laki-laki yang dapat bekerja dengan tenang karena tugas rumah tangga menjadi tugas perempuan, maka perempuan pekerja pada umumnya tetap diharuskan mengerjakan tugas-tugas rumah tangga meskipun ketika suami dalam kondisi tidak bekerja. Lebih-lebih perempuan yang menjadi orangtua tunggal bagi anaknya baik karena perceraian maupun karena penelantaran suami. Perempuan seperti ini sebetulnya adalah perempuan kepala keluarga yang mempunyai tugas ganda, yakni sebagai ayah sekaligus ibu | ||
''Aku bekerja membanting tulang dengan menjadi petani. Aku mencangkul dan menanam padi dengan penuh semangat karena mengharapkan hasil yang memuaskan. Di samping petani sawah, aku membuat kue basah yang dititipkan di warung-warung kopi yang tidak jauh dari tempat tinggalku....sesudah mengantar kue ke warung sekitar jam 7 pagi, aku menyediakan sarapan pagi sekaligus menyuapi anak sebelum berangkat sekolah....'' | ''Aku bekerja membanting tulang dengan menjadi petani. Aku mencangkul dan menanam padi dengan penuh semangat karena mengharapkan hasil yang memuaskan. Di samping petani sawah, aku membuat kue basah yang dititipkan di warung-warung kopi yang tidak jauh dari tempat tinggalku....sesudah mengantar kue ke warung sekitar jam 7 pagi, aku menyediakan sarapan pagi sekaligus menyuapi anak sebelum berangkat sekolah....''<ref>Adek Vera, dkk, ''Sebuah Dunia Tanpa Suami'' (Jakarta: PEKKA, 2009), h. 138. </ref> | ||
Pemahaman agama maupun aturan negara yang membakukan peran laki-laki sebagai kepala keluarga menyebabkan sosok perempuan dipandang tidak mungkin menjadi kepala keluarga. Sekali pun jumlah mereka jutaan, namun tidak dianggap ada sehingga mendapatkan kesulitan ketika mengurus surat-surat penting keluarga. | Pemahaman agama maupun aturan negara yang membakukan peran laki-laki sebagai kepala keluarga menyebabkan sosok perempuan dipandang tidak mungkin menjadi kepala keluarga. Sekali pun jumlah mereka jutaan, namun tidak dianggap ada sehingga mendapatkan kesulitan ketika mengurus surat-surat penting keluarga. | ||
''Kalau mengurus apa-apa itu sulit sekali. Kayaknya kita nggak dianggap. Kita nggak pernah dilibatkan, kayaknya kita itu dianggap ngga ada. Juga gangguan karena kita nggak punya suami, kita dianggap remeh sekali. Karena kita itu sendiri, yang ditakuti sama mereka itu tidak ada. Jadi merasa tidak aman juga.'' | ''Kalau mengurus apa-apa itu sulit sekali. Kayaknya kita nggak dianggap. Kita nggak pernah dilibatkan, kayaknya kita itu dianggap ngga ada. Juga gangguan karena kita nggak punya suami, kita dianggap remeh sekali. Karena kita itu sendiri, yang ditakuti sama mereka itu tidak ada. Jadi merasa tidak aman juga.''<ref>Laporan Akhir Pemberdayaan Perempuan Kepala Kleuarga, PEKKA 2001-2004. </ref> | ||
Keberadaan pekerja migran perempuan, perempuan pencari nafkah tunggal keluarga, dan perempuan yang menjadi orangtua tunggal betul-betul membalik konsep keluarga yang diidealkan oleh agama dan negara. Perempuan yang dikonsepkan berada di rumah karena semua keperluannya akan dipenuhi oleh laki-laki, dalam realitasnya bertebaran mencari nafkah. Mereka bahkan tidak hanya keluar rumah sebentar, melainkan keluar negeri selama bertahun-tahun. Mereka keluar negeri bukan untuk pesiar, melainkan untuk menafkahi keluarga yang konon menjadi haknya. Mereka tidak hanya menafkahi diri sendiri dan anaknya, melainkan juga ayah dan suami yang konon berkewajiban menafkahinya. | Keberadaan pekerja migran perempuan, perempuan pencari nafkah tunggal keluarga, dan perempuan yang menjadi orangtua tunggal betul-betul membalik konsep keluarga yang diidealkan oleh agama dan negara. Perempuan yang dikonsepkan berada di rumah karena semua keperluannya akan dipenuhi oleh laki-laki, dalam realitasnya bertebaran mencari nafkah. Mereka bahkan tidak hanya keluar rumah sebentar, melainkan keluar negeri selama bertahun-tahun. Mereka keluar negeri bukan untuk pesiar, melainkan untuk menafkahi keluarga yang konon menjadi haknya. Mereka tidak hanya menafkahi diri sendiri dan anaknya, melainkan juga ayah dan suami yang konon berkewajiban menafkahinya. | ||
Baris 1.035: | Baris 1.035: | ||
'''Keterangan:''' | '''Keterangan:''' | ||
Artikel ini adalah bahan diskusi internal Alimat pada tahun 2015 yang dipersiapkan untuk draft buku tentang konsep dan hukum keluarga Islam dalam perspektif keadilan gender Islam. | Artikel ini adalah bahan diskusi internal Alimat pada tahun 2015 yang dipersiapkan untuk draft buku tentang konsep dan [[Hukum Keluarga|hukum keluarga]] Islam dalam perspektif keadilan gender Islam. | ||