Draft Tulisan Satu: Perbedaan revisi

1.425 bita ditambahkan ,  19 Januari 2022 00.25
tidak ada ringkasan suntingan
(upload baru, tetapi belum beresin footnote)
Baris 14: Baris 14:


== Mengenal Qiwamah dan Wilayah ==
== Mengenal Qiwamah dan Wilayah ==
Dalam [[Fiqh]] (Hukum Islam), relasi gender dalam keluarga diatur melalui dua konsep kunci yang disebut dengan ''Qiwamah'' dan ''Wilayah''. Secara umum, kedua konsep ini mengatur bahwa sebelum menikah perempuan berada dalam tanggungjawab ayah melalui konsep ''wilayah'' dan setelah menikah ia berada dalam tanggungjawab suami melalui konsep ''qiwamah'' (kepemimpinan keluarga).
Dalam [[Fiqh]] (Hukum Islam), relasi gender dalam keluarga diatur melalui dua [[Konsep Kunci|konsep kunci]] yang disebut dengan ''Qiwamah'' dan ''Wilayah''. Secara umum, kedua konsep ini mengatur bahwa sebelum menikah perempuan berada dalam tanggungjawab ayah melalui konsep ''wilayah'' dan setelah menikah ia berada dalam tanggungjawab suami melalui konsep ''qiwamah'' (kepemimpinan keluarga).


Menurut Ibnu Mandzur, kata ''al-qiwamah'' secara bahasa bermakna قام على الشيء يقوم قياماً  yakni penjaga atas sesuatu dan penjamin kemaslahatannya. Kata ''qayyim'' berarti seseorang yang bertanggungjawab atas sesuatu, menyelesaikan masalahnya dan menjamin kebutuhannya. ''Qayyim'' adalah pemimpin dan pemegang urusan. Istilah ''qayyim al-qaum'' mengandung arti pemimpin sebuah kaum yang bertugas menyelesaikan segala urusan mereka. ''Qayyim al-mar’ah'' mengandung maksud suami atau walinya karena keduanyalah yang menyelesaikan urusan perempuan dan memenuhi kebutuhannya.[1]
Menurut Ibnu Mandzur, kata ''al-qiwamah'' secara bahasa bermakna قام على الشيء يقوم قياماً  yakni penjaga atas sesuatu dan penjamin kemaslahatannya. Kata ''qayyim'' berarti seseorang yang bertanggungjawab atas sesuatu, menyelesaikan masalahnya dan menjamin kebutuhannya. ''Qayyim'' adalah pemimpin dan pemegang urusan. Istilah ''qayyim al-qaum'' mengandung arti pemimpin sebuah kaum yang bertugas menyelesaikan segala urusan mereka. ''Qayyim al-mar’ah'' mengandung maksud suami atau walinya karena keduanyalah yang menyelesaikan urusan perempuan dan memenuhi kebutuhannya.<ref>Ibn Manzhur, ''Lisan al-Arab'' (Beirut: Darl al-Fikr), j. 12, h. 502, Abu Bakr al-Razy, ''Mukhtar al-Shahhah (''Beirut: Maktabah Lubnan), h. 233</ref>


Al''-Qawwam'' mengikuti ''wazan'' ''fa’aal'' yang menunjukan arti lebih dalam mempertanggungjawabkan sesuatu hal, kekuasaan, serta menjaganya dengan sungguh-sungguh.[2] Al-Baghawi juga mengatakan bahwa ''qawwam'' mengandung makna yang lebih kuat daripada ''al-qoyyim'', yakni orang yang menyelesaikan segala kebutuhan (maslahat), mengatur, dan mengarahkan.[3] Secara istilah kata ''Qiwamah'' dapat berarti kepemimpinan suami atas istri atau wewenang yang diberikan pada suami untuk menyelesaikan persoalan-persoalan istri dan mengerjakan hal-hal yang dibutuhkannya. ''Qiwamah Zaujiyah'' dengan demikian adalah wewenang yang diberikan kepada suami untuk mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan istri dengan mengatur dan melindunginya. Dalam arti ini ''qiwamah'' merupakan tanggungjawab suami dan penghormatan untuk istri.[4]
Al''-Qawwam'' mengikuti ''wazan'' ''fa’aal'' yang menunjukan arti lebih dalam mempertanggungjawabkan sesuatu hal, kekuasaan, serta menjaganya dengan sungguh-sungguh<ref>Ibn Mandzur, Lisan, j.12, h. 233. </ref>. Al-Baghawi juga mengatakan bahwa ''qawwam'' mengandung makna yang lebih kuat daripada ''al-qoyyim'', yakni orang yang menyelesaikan segala kebutuhan (maslahat), mengatur, dan mengarahkan.<ref>Abu Muhammad al-Husein Mas’ud al-Baghawi, ''Ma’alim at-Tanzil'' (t.t: Dar Thoyyibah li an-Nasyri wa at-Tauzi’, 1997), j.2, h.207. </ref> Secara istilah kata ''Qiwamah'' dapat berarti kepemimpinan suami atas istri atau wewenang yang diberikan pada suami untuk menyelesaikan persoalan-persoalan istri dan mengerjakan hal-hal yang dibutuhkannya. ''Qiwamah Zaujiyah'' dengan demikian adalah wewenang yang diberikan kepada suami untuk mengerjakan sesuatu yang dibutuhkan istri dengan mengatur dan melindunginya. Dalam arti ini ''qiwamah'' merupakan tanggungjawab suami dan penghormatan untuk istri.<ref>Al-Baghawi, ''Ma’alim,'' j.12, h.207''.''</ref>


Adapun kata ''wilayah'' memiliki pengertian yang serupa namun tidak sama dengan ''qiwamah.'' Menurut Ibn al-Mandzur ada dua kata yang mirip satu sama lain, yaitu ''wilayah'' dan ''walayah.'' Pada umumnya para ahli bahasa seperti Al-Farra’, Sibawaih, Ibn Sakit, dan lainnya membedakan kedua kata tersebut. ''Wilayah'' dan ''Walayah'' sama-sama berarti pertolongan, nasab atau pembebasan budak, namun kata ''wilayah'' mengandung arti kekuasaan, sedangkan kata ''walayah'' tidak. Subjeknya disebut dengan ''wali'' yang berarti teman atau penolong. Secara istilah kata ''wali'' berarti setiap orang yang menyelesaikan atau mengurus suatu masalah.[5] Ibn Mandzur juga menyebutkan bahwa menurut Ibn Al-Atsir istilah ''wilayah'' berhubungan erat dengan pengaturan, kemampuan dan pelaksanaan, dan jika tidak memiliki ketiga unsur tersebut, maka seseorang tidak bisa disebut dengan ''wali''.[6]
Adapun kata ''wilayah'' memiliki pengertian yang serupa namun tidak sama dengan ''qiwamah.'' Menurut Ibn al-Mandzur ada dua kata yang mirip satu sama lain, yaitu ''wilayah'' dan ''walayah.'' Pada umumnya para ahli bahasa seperti Al-Farra’, Sibawaih, Ibn Sakit, dan lainnya membedakan kedua kata tersebut. ''Wilayah'' dan ''Walayah'' sama-sama berarti pertolongan, nasab atau pembebasan budak, namun kata ''wilayah'' mengandung arti kekuasaan, sedangkan kata ''walayah'' tidak. Subjeknya disebut dengan ''wali'' yang berarti teman atau penolong. Secara istilah kata ''wali'' berarti setiap orang yang menyelesaikan atau mengurus suatu masalah.<ref>Ibn al-Mandzur, ''Lisan al-Arab'', j.6, h. 4920-4923.</ref> Ibn Mandzur juga menyebutkan bahwa menurut Ibn Al-Atsir istilah ''wilayah'' berhubungan erat dengan pengaturan, kemampuan dan pelaksanaan, dan jika tidak memiliki ketiga unsur tersebut, maka seseorang tidak bisa disebut dengan ''wali''.<ref>Ibn al-Mandzur, Lisan al-Arab, j.6, h. 4920-4923. </ref>


Baik kata ''qiwamah'' maupun ''wilayah'', keduanya mengandung unsur tanggungjawab. Untuk melaksanakan tanggungjawab ini, seorang ayah dan suami diberi wewenang mengatur perempuan dalam keluarga. Peralihan tanggungjawab ayah ke suami atau dari ''wilayah'' ke ''qiwamah'' terjadi saat akad nikah selesai dilafalkan. Oleh karenanya subjek akad nikah adalah ayah dan calon suami. Dalam sebuah masyarakat di mana perempuan dipandang lemah dan kerap dipermainkan, maka berhadap-hadapannya calon suami dengan ayah perempuan dalam akad nikah mempunyai makna sosial bahwa calon suami tidak bisa mempermainkan perempuan karena dia akan berurusan dengan sesama laki-laki yaitu ayahnya.
Baik kata ''qiwamah'' maupun ''wilayah'', keduanya mengandung unsur tanggungjawab. Untuk melaksanakan tanggungjawab ini, seorang ayah dan suami diberi wewenang mengatur perempuan dalam keluarga. Peralihan tanggungjawab ayah ke suami atau dari ''wilayah'' ke ''qiwamah'' terjadi saat akad nikah selesai dilafalkan. Oleh karenanya subjek akad nikah adalah ayah dan calon suami. Dalam sebuah masyarakat di mana perempuan dipandang lemah dan kerap dipermainkan, maka berhadap-hadapannya calon suami dengan ayah perempuan dalam akad nikah mempunyai makna sosial bahwa calon suami tidak bisa mempermainkan perempuan karena dia akan berurusan dengan sesama laki-laki yaitu ayahnya.
Baris 32: Baris 32:
Masyarakat Arab memandang identitas gender sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal ini antara lain direfleksikan oleh bahasa Arab yang menjadikan identitas gender seseorang atau sesuatu sebagai penentu bentuk kata kerja ''(fi’il)'', kata ganti ''(isim dlomir)'', kata tunjuk ''(isim'' isyaroh), kata sifat ''(isim naat),'' kata sambung ''(isim maushul).'' Kedudukan identitas gender bagi masyarakat Arab adalah setara dengan kedudukan kelas sosial dalam masyarakat Jawa, dan waktu ''(tenses)'' bagi masyarakat pengguna bahasa Inggris. Ketiganya menjadi pusat kesadaran masyarakat masing-masing.
Masyarakat Arab memandang identitas gender sebagai sesuatu yang sangat penting. Hal ini antara lain direfleksikan oleh bahasa Arab yang menjadikan identitas gender seseorang atau sesuatu sebagai penentu bentuk kata kerja ''(fi’il)'', kata ganti ''(isim dlomir)'', kata tunjuk ''(isim'' isyaroh), kata sifat ''(isim naat),'' kata sambung ''(isim maushul).'' Kedudukan identitas gender bagi masyarakat Arab adalah setara dengan kedudukan kelas sosial dalam masyarakat Jawa, dan waktu ''(tenses)'' bagi masyarakat pengguna bahasa Inggris. Ketiganya menjadi pusat kesadaran masyarakat masing-masing.


Sayangnya relasi gender yang terbangun dalam bahasa maupun budaya Arab sangat bias. Tentu ini merefleksikan pengalaman masyarakat Arab dalam memperlakukan perempuan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kebencian masyarakat Arab terhadap perempuan itu paling tinggi dibandingkan dengan kebencian pada lainnya.[7] Al-Qur’an mengisyaratkan kebencian tersebut dalam surat an-Nahl/19:58-59 sebagai berikut:
Sayangnya relasi gender yang terbangun dalam bahasa maupun budaya Arab sangat bias. Tentu ini merefleksikan pengalaman masyarakat Arab dalam memperlakukan perempuan. Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa kebencian masyarakat Arab terhadap perempuan itu paling tinggi dibandingkan dengan kebencian pada lainnya.<ref>Abu al-‘Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Taimiyyah, al-Harani, ''Al-Nubuwwat,'' (Mesir: al-Mathba’ah al-Salafiyyah, 1386), jilid 1, h. 240.</ref> Al-Qur’an mengisyaratkan kebencian tersebut dalam surat an-Nahl/19:58-59 sebagai berikut:


وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ  يَتَوَارَى مِنَ لْقَوْمِ  مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ  
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيمٌ  يَتَوَارَى مِنَ لْقَوْمِ  مِنْ سُوءِ مَا بُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ  
Baris 38: Baris 38:
''Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.''
''Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah.Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.''


Pada masa pra-Islam, perempuan Arab berada di bawah kekuasaan penuh laki-laki. Perempuan adalah bagian dari sesuatu yang diwariskan. Dalam menjelasakan surat an-Nisa/4:19, ath-Thabari mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan tradisi Arab saat itu di mana jika salah seorang perempuan ditinggal mati suaminya, maka anaknya atau kerabatnya lebih berhak atas diri perempuan itu dari siapa pun termasuk dari diri perempuan itu. Merekalah yang memutuskan apakah perempuan tersebut akan dinikahinya, dinikahkan dengan orang lain, atau bahkan dilarang menikah sepanjang hidupnya.[8]
Pada masa pra-Islam, perempuan Arab berada di bawah kekuasaan penuh laki-laki. Perempuan adalah bagian dari sesuatu yang diwariskan. Dalam menjelasakan surat an-Nisa/4:19, ath-Thabari mengatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan tradisi Arab saat itu di mana jika salah seorang perempuan ditinggal mati suaminya, maka anaknya atau kerabatnya lebih berhak atas diri perempuan itu dari siapa pun termasuk dari diri perempuan itu. Merekalah yang memutuskan apakah perempuan tersebut akan dinikahinya, dinikahkan dengan orang lain, atau bahkan dilarang menikah sepanjang hidupnya.<ref>At-Thabari, ''Jami’ l-Bayan,'' jilid 3, h. 646.</ref>


Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa di antara topik terpenting yang dibawa al-Qur’an berkaitan dengan perkawinan adalah perintah untuk berlaku adil pada perempuan, membebaskannya dari kezaliman jahiliyyah, dan dari tindakan otoriter suami dalam menentukan kehidupannya. Al-Qur’an memberikan kehormatan pada perempuan baik sebagai anak, isteri, ibu maupun sebagai anggota masyarakat.[9] Qardhawi mempunyai gambaran menarik tentang cara masyarakat Arab memperlakukan sebagai berikut:
Yusuf Qardhawi mengatakan bahwa di antara topik terpenting yang dibawa al-Qur’an berkaitan dengan perkawinan adalah perintah untuk berlaku adil pada perempuan, membebaskannya dari kezaliman jahiliyyah, dan dari tindakan otoriter suami dalam menentukan kehidupannya. Al-Qur’an memberikan kehormatan pada perempuan baik sebagai anak, isteri, ibu maupun sebagai anggota masyarakat.<ref>Yusuf Qardhawi, ''Berinteraksi dengan Al-Qur’an,'' penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani (Jakarta: Gema Insani, 1999), h. 148.</ref> Qardhawi mempunyai gambaran menarik tentang cara masyarakat Arab memperlakukan sebagai berikut:


''Ketika itu wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk menggunakan hartanya tanpa persetujuan isteri. kaum laki-laki di banyak negeri berbeda pendapat tentang hakikat wanita apakah ia seorang manusia yang mempunyai jiwa dan ruh yang kekal seperti pria atau tidak? Apakah ia beragama dan sah iabdahnya atau tidak? Apakah ia nanti masuk surga atau masuk neraka? Salah satu konsili di Roma menetapkan bahwa wanita adalah hewan najis yang tidak mempunyai ruh dan kekekala, namun ia wajib beribadah dan berkhidmah agar mulutnya dibungkam seperti sapi dan anjing peliharaan, untuk mencegahnya tertawa dan bebricara, karena ia adalah alat penggoda setan, salah satu undang-undang membolehkan orangtua menjual anak wanitanya, sebagian orang Arab berpendapat seorang bapak mempunyai hak untuk mengubur anak wanitanya hidup-hidu. Dan di antara mereka ada yang berpendapat seorang laki-laki tidak dihukum qishas dan tidak perlu membayar diyat jika membunuh seorang wanita.'''[10]'''''  
''Ketika itu wanita diperjualbelikan seperti hewan dan barang. Mereka dipaksa untuk kawin dan melacur. Mereka diwariskan namun tidak mewarisi, dimiliki namun tidak memiliki, dan wanita yang memiliki sesuatu dihalangi untuk menggunakan apa yang dimilikinya kecuali dengan izin laki-laki. Suami mempunyai hak untuk menggunakan hartanya tanpa persetujuan isteri. kaum laki-laki di banyak negeri berbeda pendapat tentang hakikat wanita apakah ia seorang manusia yang mempunyai jiwa dan ruh yang kekal seperti pria atau tidak? Apakah ia beragama dan sah iabdahnya atau tidak? Apakah ia nanti masuk surga atau masuk neraka? Salah satu konsili di Roma menetapkan bahwa wanita adalah hewan najis yang tidak mempunyai ruh dan kekekala, namun ia wajib beribadah dan berkhidmah agar mulutnya dibungkam seperti sapi dan anjing peliharaan, untuk mencegahnya tertawa dan bebricara, karena ia adalah alat penggoda setan, salah satu undang-undang membolehkan orangtua menjual anak wanitanya, sebagian orang Arab berpendapat seorang bapak mempunyai hak untuk mengubur anak wanitanya hidup-hidu. Dan di antara mereka ada yang berpendapat seorang laki-laki tidak dihukum qishas dan tidak perlu membayar diyat jika membunuh seorang wanita.''<ref>Yusuf, ''Berinteraksi, 151-152.''</ref>


Hal serupa dikemukakan oleh sejarawan Haekal dalam buku ''Hayat Muhammad.'' Ia mengatakan sebagai berikut:
Hal serupa dikemukakan oleh sejarawan Haekal dalam buku ''Hayat Muhammad.'' Ia mengatakan sebagai berikut:


''Pada jaman jahiliyah orang-orang Arab itu belum mengenal arti suatu organisasi yang tetap, selain apa yang sudha berjalan menurut adat istiadat. Mereka tida punya suatu ketentuan keluarga, suatu undang-undang perkawinan dan syarat-syarat perceraian....pada dasarnya hubungan pria dan wanita dalam masyarakat Arab itu seluruhnya –berdasarkan bukti-bukti al-Qur’an serta peninggalan-peninggalan sejarah masa itu- todak lebih adalah suatu hubungan jantan dengan betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok dan golongan-golongan kabilah masing-masing yang pada umumnya tidak jauh dari cara hidup yang masih mirip-mirip dengan tingkatan manusia primitif...juga pada masa itu maslaah [[poligami]] dan perbudakan tanpa ada batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki boleh kawin sesukanya, boleh mengambil gundik sesukanya. Mereka semua boleh saja beranak sesuka-sukanya...'''[11]'''''
''Pada jaman jahiliyah orang-orang Arab itu belum mengenal arti suatu organisasi yang tetap, selain apa yang sudha berjalan menurut adat istiadat. Mereka tida punya suatu ketentuan keluarga, suatu undang-undang perkawinan dan syarat-syarat perceraian....pada dasarnya hubungan pria dan wanita dalam masyarakat Arab itu seluruhnya –berdasarkan bukti-bukti al-Qur’an serta peninggalan-peninggalan sejarah masa itu- todak lebih adalah suatu hubungan jantan dengan betina, dengan sedikit perbedaan, sesuai dengan tingkat-tingkat kelompok dan golongan-golongan kabilah masing-masing yang pada umumnya tidak jauh dari cara hidup yang masih mirip-mirip dengan tingkatan manusia primitif...juga pada masa itu maslaah [[poligami]] dan perbudakan tanpa ada batas atau sesuatu ikatan. Laki-laki boleh kawin sesukanya, boleh mengambil gundik sesukanya. Mereka semua boleh saja beranak sesuka-sukanya...''<ref>Muhammad Husain Haekal, ''Sejarah Hidup Muhammad,'' penerjemah Ali Audah (Bandung: Dunia  Pustaka Jaya, 1979), h. 395-397.</ref>


Keterangan di atas sejalan dengan kesaksian Umar bin Khatab dalam sebuah hadis yang berbunyi sebagai berikut:
Keterangan di atas sejalan dengan kesaksian Umar bin Khatab dalam sebuah hadis yang berbunyi sebagai berikut:
Baris 79: Baris 79:
3.  Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.
3.  Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.


4.  Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
4.  Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:


1.   [[nafkah]], kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
1.   [[nafkah]], kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
Baris 123: Baris 123:
Ketika perempuan ditelantarkan oleh suaminya, kemudian dia merawat sendiri anak perempuannya sejak lahir. Begitu anak memasuki usia dewasa dan ingin menikah, maka yang dianggap berhak menjadi wali nikah tetaplah ayahnya. Padahal dia tidak menafkahinya sepeser pun sejak lahir. Sementara ibu yang mengambil alih kewajiban ayahnya yakni menafkahi anak seorang diri, tetap sama sekali dipandang tidak berhak untuk menjadi wali anaknya. Seorang perempuan yang mengalami hal ini sempat menuturkan keinginannya sebagai berikut:
Ketika perempuan ditelantarkan oleh suaminya, kemudian dia merawat sendiri anak perempuannya sejak lahir. Begitu anak memasuki usia dewasa dan ingin menikah, maka yang dianggap berhak menjadi wali nikah tetaplah ayahnya. Padahal dia tidak menafkahinya sepeser pun sejak lahir. Sementara ibu yang mengambil alih kewajiban ayahnya yakni menafkahi anak seorang diri, tetap sama sekali dipandang tidak berhak untuk menjadi wali anaknya. Seorang perempuan yang mengalami hal ini sempat menuturkan keinginannya sebagai berikut:


''Setelah bercerai suami masih suka menengok anak-anaknya, namun hanya semaunya saja kadang 1 bulan sekali,kadang 1 tahun sekali, dan itu pun hanya mengajak jalan-jalan di mall saja dan setelah pulang kerumah tidak diberikan untuk nafkah sehari-harinya dan biaya sekolah.…Pernah terfikir untuk menuntut hak nafkah anak ke Pengadilan namun dirasa sia-sia saja. Dan berniat wali untuk anak perempuan saya pada saat menikah kelak tidak ingin diwalikan oleh bapaknya.'''[12]'''''
''Setelah bercerai suami masih suka menengok anak-anaknya, namun hanya semaunya saja kadang 1 bulan sekali,kadang 1 tahun sekali, dan itu pun hanya mengajak jalan-jalan di mall saja dan setelah pulang kerumah tidak diberikan untuk nafkah sehari-harinya dan biaya sekolah.…Pernah terfikir untuk menuntut hak nafkah anak ke Pengadilan namun dirasa sia-sia saja. Dan berniat wali untuk anak perempuan saya pada saat menikah kelak tidak ingin diwalikan oleh bapaknya.''<ref>Hasil Interview Alimat dengan YNH, 43 tahun, di Jakarta 17 Februari 2011.</ref>


Di negara kita, kemiskinan dan tidak adanya jaminan pemenuhan atas kebutuhan pokok hidup oleh negara maupun lembaga yang mengurus dana umat, serta tidak adanya penerapan sanksi bagi laki-laki yang menelantarkan telah menyebabkan anak-anak termasuk anak-anak perempuan bahkan membantu nafkah keluarga sejak dini.
Di negara kita, kemiskinan dan tidak adanya jaminan pemenuhan atas kebutuhan pokok hidup oleh negara maupun lembaga yang mengurus dana umat, serta tidak adanya penerapan sanksi bagi laki-laki yang menelantarkan telah menyebabkan anak-anak termasuk anak-anak perempuan bahkan membantu nafkah keluarga sejak dini.


''....Saya sendiri sudah mulai ikut mencari nafkah untuk keluarga, sejak lulus SD, yaitu sekitar tahun 1993, umur saya waktu itu 15 tahu. Saya kerja di pabrik, Saya masuk pabrik dengan bantuan calo, bayar ke dia 100.000 rupiah. Hasilnya tidak seberapa tetapi lumayanlah, 50.000 per dua minggu, pada waktu itu uang sebesar itu...buat jajan-jajan dan keperluan  Saya sendiri mah tercukupi, tidak perlu tergantung pada pemberian orang tua.'''[13]'''''
''....Saya sendiri sudah mulai ikut mencari nafkah untuk keluarga, sejak lulus SD, yaitu sekitar tahun 1993, umur saya waktu itu 15 tahu. Saya kerja di pabrik, Saya masuk pabrik dengan bantuan calo, bayar ke dia 100.000 rupiah. Hasilnya tidak seberapa tetapi lumayanlah, 50.000 per dua minggu, pada waktu itu uang sebesar itu...buat jajan-jajan dan keperluan  Saya sendiri mah tercukupi, tidak perlu tergantung pada pemberian orang tua.''<ref>Hasil interview Alimat dengan AS, eks pekerja migrant, di Karawang pada 8, 11, 16, Juni dan 6 Juli 2011.</ref>


''MS sudah mulai kerja  cari duit dari masih kecil, abis lulus SD, langsung kerja sampai tahun lalu, mula-mula cuma kerja rumahan, bantu-bantu tetangga bibi yang buka usaha bikin es; MS dapet upah... uang jajan namanya. Terus waktu MS berumur 14 tahun, MS dimasukkan kerja di pabrik sepatu… Upah yang MS dapat sekitar Rp 250.000 per bulan, sudah termasuk uang lembur. Upah yang didapat dipakai untuk  memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari dan membiayai pendidikan adik.'''[14]'''''
''MS sudah mulai kerja  cari duit dari masih kecil, abis lulus SD, langsung kerja sampai tahun lalu, mula-mula cuma kerja rumahan, bantu-bantu tetangga bibi yang buka usaha bikin es; MS dapet upah... uang jajan namanya. Terus waktu MS berumur 14 tahun, MS dimasukkan kerja di pabrik sepatu… Upah yang MS dapat sekitar Rp 250.000 per bulan, sudah termasuk uang lembur. Upah yang didapat dipakai untuk  memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari dan membiayai pendidikan adik.''<ref>Hasil interview Alimat dengan MS, eks pekerja migrant, di Karawang pada bukan Mei, Juni, dan Juli 2011. </ref>


AS dan MS tidaklah sendirian. Menurut laporan ILO (International Labour Office) pekerja anak Indonesia telah mencapai angka 3,7 juta pada tahun 2009 berumur 10-17 tahun. Artinya lebih dari 10 % dari jumlah penduduk indonesia yang yang berusia 10-17 tahun yaitu 35.7 juta, telah bekerja dan mayoritasnya ada di sektor buruh.[15] Pendidikan yang snagat minim dan keterampilan yang belum memadai memaksa anak terjun dalam dunia pekerjaan dengan kategori kotor, sulit, dan bahaya (3D: dirty, difficult, and dangerous). Di samping sektor perburuhan, anak-anak juga dipekerjakan di jalanan.  
AS dan MS tidaklah sendirian. Menurut laporan ILO (International Labour Office) pekerja anak Indonesia telah mencapai angka 3,7 juta pada tahun 2009 berumur 10-17 tahun. Artinya lebih dari 10 % dari jumlah penduduk indonesia yang yang berusia 10-17 tahun yaitu 35.7 juta, telah bekerja dan mayoritasnya ada di sektor buruh.[15] Pendidikan yang snagat minim dan keterampilan yang belum memadai memaksa anak terjun dalam dunia pekerjaan dengan kategori kotor, sulit, dan bahaya (3D: dirty, difficult, and dangerous). Di samping sektor perburuhan, anak-anak juga dipekerjakan di jalanan.  


Anak jalanan perempuan juga banyak dipekerjakan dengan cara-cara yang memprihatinkan. Dalam tulisan ''Profil Pekerja Jalanan (Anak Jalanan Perempuan yang Dilacurkan)'' disebutkan bahwa 10% jenis kelamin dari 5.000 anak jalanan yang teridentifikasi adalah perempuan. Dalam tulisan ini terdapat pengakuan seorang anak perempuan jalanan yang berusia 16 tahun. Siang hari bersama beberapa teman perempuannya ia bekerja di dalam bis-bis kota sampai jam tiga sore. Malam harinya mereka dilacurkan oleh preman setempat melayani sopir bemo, kenek, tukang becak dan preman. Mereka diharuskan setor Rp 35.000 per hari dan hanya mendapatkan Rp 5.000,- darinya. Hal yang sama dialami oleh anak-anak perempuan di sepanjang rel di daerah setempat. Dengan tarif 3.500 sekali main anak-anak dipaksa melakukan pekerjaan itu baik oleh ibu mereka, semang maupun teman sebaya mereka.[16]
Anak jalanan perempuan juga banyak dipekerjakan dengan cara-cara yang memprihatinkan. Dalam tulisan ''Profil Pekerja Jalanan (Anak Jalanan Perempuan yang Dilacurkan)'' disebutkan bahwa 10% jenis kelamin dari 5.000 anak jalanan yang teridentifikasi adalah perempuan. Dalam tulisan ini terdapat pengakuan seorang anak perempuan jalanan yang berusia 16 tahun. Siang hari bersama beberapa teman perempuannya ia bekerja di dalam bis-bis kota sampai jam tiga sore. Malam harinya mereka dilacurkan oleh preman setempat melayani sopir bemo, kenek, tukang becak dan preman. Mereka diharuskan setor Rp 35.000 per hari dan hanya mendapatkan Rp 5.000,- darinya. Hal yang sama dialami oleh anak-anak perempuan di sepanjang rel di daerah setempat. Dengan tarif 3.500 sekali main anak-anak dipaksa melakukan pekerjaan itu baik oleh ibu mereka, semang maupun teman sebaya mereka.<ref>ILO, ''Children Working in Indonesia, Laporan tahun 2009, hal. 21 dan 30.''</ref>


Minimnya akses pendidikan pada jenjang yang tinggi dan terbatasnya keterampilan yang dimiliki, menjadi faktor penting mengapa perempuan banyak berada dalam sektor pekerjaan yang beresiko tinggi. Di samping pekerja jalanan, perburuhan dalam negeri, perempuan Indonesia juga banyak menjadi buruh migran atau dikenal dengan sebutan TKW.  
Minimnya akses pendidikan pada jenjang yang tinggi dan terbatasnya keterampilan yang dimiliki, menjadi faktor penting mengapa perempuan banyak berada dalam sektor pekerjaan yang beresiko tinggi. Di samping pekerja jalanan, perburuhan dalam negeri, perempuan Indonesia juga banyak menjadi buruh migran atau dikenal dengan sebutan TKW.  
Baris 1.025: Baris 1.025:
Fakta bahwa para ulama telah memiliki pandangan yang progresif sejak masa klasik memberikan harapan bahwa perubahan itu adalah mungkin. Dalam situasi dimana relasi gender yang bias dalam keluarga memberikan dampak relasi gender di ruang publik, yang berarti bahwa ketidakadilan gender dalam keluarga memberi pengaruh signifikan pada ketidakadilan gender di ruang publik, maka perubahan itu tidak hanya mungkin melainkan harus segera dilakukan.  
Fakta bahwa para ulama telah memiliki pandangan yang progresif sejak masa klasik memberikan harapan bahwa perubahan itu adalah mungkin. Dalam situasi dimana relasi gender yang bias dalam keluarga memberikan dampak relasi gender di ruang publik, yang berarti bahwa ketidakadilan gender dalam keluarga memberi pengaruh signifikan pada ketidakadilan gender di ruang publik, maka perubahan itu tidak hanya mungkin melainkan harus segera dilakukan.  


Reformasi hukum keluarga bahkan sudah dilakukan di negara-negara muslim lainnya. Dalam konteks Indonesia, undang-undang yang terkait dengan keluarga seperti perkawinan mempunyai sensitifitas yang tinggi mengingat undang-undang perkawinan ini dipandang sebagai satu-satu hukum Islam yang tersisa dalam aturan negara. Hal ini berarti bahwa selain gerakan struktural, maka reformasi cara berkeluarga Muslim Indonesia juga penting untuk dilakukan melalui strategi budaya, seperti pendidikan publik melalui bukum talkshow, training, dan lain-lain menjadi sama pentingnya dengan advokasi undang-undang apa saja yang terkait langsung dengan kehidupan keluarga.
Reformasi [[Hukum Keluarga|hukum keluarga]] bahkan sudah dilakukan di negara-negara muslim lainnya. Dalam konteks Indonesia, undang-undang yang terkait dengan keluarga seperti perkawinan mempunyai sensitifitas yang tinggi mengingat undang-undang perkawinan ini dipandang sebagai satu-satu hukum Islam yang tersisa dalam aturan negara. Hal ini berarti bahwa selain gerakan struktural, maka reformasi cara berkeluarga Muslim Indonesia juga penting untuk dilakukan melalui strategi budaya, seperti pendidikan publik melalui bukum talkshow, training, dan lain-lain menjadi sama pentingnya dengan advokasi undang-undang apa saja yang terkait langsung dengan kehidupan keluarga.
 




'''Penulis: [[Nur Rofiah]]'''
'''Penulis: [[Nur Rofiah]]'''




Baris 1.036: Baris 1.038:


----Footnote:
----Footnote:
 
<references />
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
[[Kategori:Diskursus Hukum Islam]]
Trusted, Pengurus
77

suntingan